"Aku tidak pernah tahu kalau Anda tertarik dengan acara pelelangan semacam itu," Narendra menyapa Baskara yang sedang menyesap mocktail. "Memang tidak," Baskara menjawab cepat dan berharap itu cukup meyakin, "Tapi pengecualian." "Karena Aruna?" Senyum yang terulas di wajah Narendra memastikan dugaan Baskara kalau pemimpin Widjaja Group itu tahu kisah masa lalu antara dia dan Aruna. "Sejelas itu?" Baskara terkekeh pelan. Berusaha untuk tetap terlihat tidak terganggu. "Hanya untuk mata tertentu," Narendra mengambil segelas Scotch yang dihidangkan on the rock glass, "Sama sekali di luar rencana, benar?" Baskara mengangguk sambil menyesap minumannya. Tidak ada gunanya berusaha mengelak atau berbohong di hadapan Narendra. Kemampuan pria itu mengendus kebohongan sudah terkenal di duni bisnis. "Good luck, then," sebuah tepukan di bahu Baskara sebelum Narendra menunjuk ke belakang punggungnya, "Kalau dilihat dari ekspresinya saat ini, kamu membutuhkan banyak keberuntungan malam ini." S
Baskara tidur tidak nyenyak. Pria itu gelisah sepanjang malam. Ketika terbangun di pagi hari jangankan merasa segar dia malah merasa lelah dengan gumpalan perasaan kesal bersemayam di perutnya. Juga sakit hati. Ini sering terjadi saat dia masih bersekolah di SMA Insan Harapan. Setiap hari ada saja kelakuan siswa-siswa lain yang membuat harga dirinya terluka hingga malam-malamnya menjadi jauh dari kata tenang. Ada ego yang harus ditambalnya. Setiap malam. Setelah memaksa diri untuk turun dari tempat tidur dan bersiap bekerja, perasaannya masih juga belum membaik. Sepanjang perjalanan ingin rasanya dia meneriaki mereka yang ditemuinya hanya karena permasalahan sederhana. Concierge yang tidak sengaja menabrak bahunya, petugas parkir yang menghalangi sepedanya, pengguna jalan yang tidak tertib dan berbagai alasan lain yang biasa tidak pernah menjadi masalah untuknya. Ketika sampai di kantor, tahu kalau sedang tidak baik-baik saja, Baskara memilih untuk lebih banyak berdiam diri. Dia ti
"Berapa?" Baskara tidak mengindahkan pertanyaan sahabatnya. "Apa-apaan, sih, Bas," Gala menatap pria itu dengan campuran bingung sekaligus tidak percaya, "Lo nggak pernah gini. Kesambet?" "Lo berisik minta gue ngehargain usaha lo ke sini sampai bahas bensin. Berapa? Gue ganti sekarang juga. Lima juta?!" Mata Gala membulat. Dia tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Sahabatnya tidak pernah bertingkah aneh seperti ini. "Lo beneran kesambet. Lewat mana tadi pagi?" "Nggak lucu. Berapa? Cash atau gue transfer?" "Bas, lo yang sekarang bertingkah nggak lucu. Lo habis kenapa? Ada kejadian apa di Gala Dinner semalam?" Pandangan Baskara sesaat mengabur penuh emosi sebelum dia berhasil mengusai dirinya. Sudah cukup sekali dia membiarkan emosi menguasai dirinya. Dia juga tidak ingin mempermalukan diri di depan sahabatnya. "Apa hubungannya?" Baskara menoleh dan menatap sahabatnya, "Lo yang mulai. Berapa?" "Ck," Gala berdecak, "Lo tahu kalau tadi gue cuma bercanda. Itu bukan perta
"Cut!" Hansa menghela napas panjang, "Bentar, ya, Kak," dia tersenyum menenangkan kepada model yang langsung salah tingkah mendengar teriakan pria di balik kamera. "Mbak," pria itu menghampiri Aruna yang berdiri tidak jauh dari tempatnya mengambil stock video sebelum para model beraksi di depan fotografer sesuai arahan editor in chief salah satu majalah gaya hidup franchise dari Amerika Serikat. "Kenapa? Itu model bisa kerja nggak, sih? Ekspresinya itu, lho!" "Mbak, maaf banget, tapi bisa nggak Mbak ngelihatnya biasa aja?" Hansa memelankan suara, "Dia ketakutan karena Mbak ngelihatnya tajam kayak siap nelan dia bulat-bulat." "Please, alasan dia aja kali! Aku biasa aja. Nggak yang kayak gimana." Tahu kalau Aruna tidak akan percaya begitu saja, Hansa segera membuka galeri kamera dan menunjukkan beberapa foto pemilik KAMALA yang sempat terpotret olehnya. "Nih, lihat sendiri. Biasa?" Hansa mengulurkan kamera ke hadapan Aruna, "Mbak itu aneh sejak kemarin. Diem aja terus bentar-benta
Seluruh anggota keluarga Widjaja memiliki asisten pribadi. Beberapa bahkan sudah memiliki asisten pribadi sejak kecil sementara yang lain baru mendapatkan setelah beranjak dewasa. Keluarga Aruna sedikit berbeda, mereka baru mendapatkan asisten pribadi ketika mulai bekerja. Maya sudah hampir tiga tahun menjadi asisten pribadi Aruna. Tidak banyak pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Sebenarnya Aruna merasa dia belum membutuhkan asisten pribadi tetapi orang tuanya berkata lain. Menyiasati hal itu, Aruna meminta Maya untuk sehari-hari membantu sang ibu yang menjadi pengurus di Yayasan Widjaja yang sekarang pengelola utamanya adalah Rheinya Widjaja dibantu dengan Samahita Agnia Widjaja, istri sepupunya. Hanya ketika Aruna membutuhkan bantuan Maya akan mendampingi gadis itu. Salah satu hari itu adalah hari ini. Tadi pagi secara mendadak Aruna memintanya untuk menyiapkan gaun, tidak terlalu sopan tetapi juga tidak terlalu seksi, lengkap dengan aksesoris dan detail lainnya. Ketika Maya
"Kita ke mana?" Baskara baru saja membawa mobil Aruna keluar dari pelataran gedung perkantoran tempat Steam Perfection bermukim. Pria itu hanya tahan berpura-pura sibuk selama kurang dari lima menit. Tidak enak rasanya membiarkan Aruna duduk melihat setiap jengkal kantornya dengan teliti sebelum memperhatikan setiap gerak-gerik Baskara. Jangan salah paham. Pria itu bukan tidak nyaman diperhatikan oleh Aruna. Sebaliknya, ternyata dia cukup menyukainya. Perasaan tidak enak itu hadir karena dia mendiamkannya. Gadis itu masih salah paham. Dia masih berpikiran kalau Baskara belum memaafkannya. Dia menyerah dan menuruti keinginan Aruna. "Dinner," Aruna menjawab dengan ringan sambil tersenyum lebar. Dia senang rencananya berhasil walau Baskara masih irit bicara. Tapi itu bukan masalah. Pixel by pixel, seperti kata Pinot, salah satu kreator favorit Aruna. "Aku tahu," Baskara memperhatikan sedikit menekan pedal gas ketika melihat jalanan cukup lengang, "Tapi di mana?" "Eh?" Pertanyaan i
"Ini meja kita?" Aruna langsung bertanya setelah waitress menjauh. Dia cukup takjub Aruna tahu kalau restoran berukuran sedang dengan halaman disesaki berbagai tanaman rempah seperti oregano, thyme, basil dan lainnya ini milik kenalan Baskara. Walau begitu dia sama sekali tidak menduga mereka akan diperlakukan dengan sangat istimewa. Saat mereka tiba sudah ada staf yang menyambut dan langsung mengantarkan ke meja di area yang cukup private. Jauh dari meja lain dengan pemandangan taman yang cantik. Rasanya sekadar teman tidak akan mendapat perlakuan sebaik ini. Perut Aruna sesaat mulas. Berduaan dengan Baskara di sekitar taman membuat kenangan beberapa hari lalu kembali teringat olehnya. Tapi malam ini akan berbeda. Dia berjanji pada dirinya sendiri. "Ya. Seperti kataku, kita cukup beruntung malam ini." "Waah..." gadis itu mengedarkan pandangan. "Ada yang batalin reservasi di last minute." Aruna mengangguk sambil tersenyum lebar. Walau pernah mendengar nama restoran ini tetapi A
"Hidangan penutup," Putra sendiri yang mengantarkan ke meja mereka, "Lho, kamu sendirian? Baskara mana?" Aruna tersenyum kemudian menunjuk ke arah teman makan malamnya yang sedang berdiri di taman hanya berjarak beberapa meter dari meja mereka, "Teleponan. Penting katanya." "Pasti susah, ya, jadi pasangan Baksara," Putra tersenyum penuh pemakluman, "Dari dulu dia udah sibuk gitu. Ada aja yang dikerjainnya. Terus ringan banget buat bantu orang. Aku salah satu orang yang dibantunya." "Kak Askara nggak pernah cerita apa-apa." "Baskara banget, ya? Mana pernah dia cerita apa aja yang udah dia lakuin. Semua proses hidupnya cuma dia yang tahu. Orang-orang, termasuk aku bahkan mungkin keluarganya cuma tahu prosesnya aja." "Ya," Aruna mengangguk sebelum kembali memperhatikan pria yang terlihat sibuk berbicara di telepon dengan seseorang. Entah siapa. "Berkat Baskara, aku nggak kedinginan di jalan waktu diusir dari apartemen sewaanku. Dia juga yang ngenalin aku sama chef di salah satu res