Baskara menghela napas untuk kesekian kalinya. Seharusnya dia tidak setuju untuk menghadiri acara ini seorang diri. Mulut manis Gala yang berhasil meyakinkan dia kalau sebagai mitra bisnis Widjaja Group dia harus hadir. Setidak menyetor mukanya di hadapan keluarga Widjaja demi kesan baik. Bodohnya dia mempercayai sahabatnya itu hingga malam ini dia berada di acara penggalangan dana yang diadakan oleh Widjaja Group seorang diri. Dia sudah berusaha menyerat Gala tetapi dengan licin sahabatnya itu berkelit kalau dia memiliki janji makan malam bersama orang tuanya. Pria itu tahu dengan pasti kelemahan Baskara, orang tua. Ketika musik tiba-tiba berhenti dan suara nyanyian berganti dengan suara MC, Baskara tidak peduli. Pria itu memilih untuk tetap bergeming. Berdiri di samping sebuah dekorasi besar yang diyakininya berharga fantastis agar bayangan dapat menutupi dirinya hingga kehadirannya tidak mencolok. Dia melemparkan tatapan malas ke panggung. Melihat gadis silih berganti setelah di
"Aku tidak pernah tahu kalau Anda tertarik dengan acara pelelangan semacam itu," Narendra menyapa Baskara yang sedang menyesap mocktail. "Memang tidak," Baskara menjawab cepat dan berharap itu cukup meyakin, "Tapi pengecualian." "Karena Aruna?" Senyum yang terulas di wajah Narendra memastikan dugaan Baskara kalau pemimpin Widjaja Group itu tahu kisah masa lalu antara dia dan Aruna. "Sejelas itu?" Baskara terkekeh pelan. Berusaha untuk tetap terlihat tidak terganggu. "Hanya untuk mata tertentu," Narendra mengambil segelas Scotch yang dihidangkan on the rock glass, "Sama sekali di luar rencana, benar?" Baskara mengangguk sambil menyesap minumannya. Tidak ada gunanya berusaha mengelak atau berbohong di hadapan Narendra. Kemampuan pria itu mengendus kebohongan sudah terkenal di duni bisnis. "Good luck, then," sebuah tepukan di bahu Baskara sebelum Narendra menunjuk ke belakang punggungnya, "Kalau dilihat dari ekspresinya saat ini, kamu membutuhkan banyak keberuntungan malam ini." S
Baskara tidur tidak nyenyak. Pria itu gelisah sepanjang malam. Ketika terbangun di pagi hari jangankan merasa segar dia malah merasa lelah dengan gumpalan perasaan kesal bersemayam di perutnya. Juga sakit hati. Ini sering terjadi saat dia masih bersekolah di SMA Insan Harapan. Setiap hari ada saja kelakuan siswa-siswa lain yang membuat harga dirinya terluka hingga malam-malamnya menjadi jauh dari kata tenang. Ada ego yang harus ditambalnya. Setiap malam. Setelah memaksa diri untuk turun dari tempat tidur dan bersiap bekerja, perasaannya masih juga belum membaik. Sepanjang perjalanan ingin rasanya dia meneriaki mereka yang ditemuinya hanya karena permasalahan sederhana. Concierge yang tidak sengaja menabrak bahunya, petugas parkir yang menghalangi sepedanya, pengguna jalan yang tidak tertib dan berbagai alasan lain yang biasa tidak pernah menjadi masalah untuknya. Ketika sampai di kantor, tahu kalau sedang tidak baik-baik saja, Baskara memilih untuk lebih banyak berdiam diri. Dia ti
"Berapa?" Baskara tidak mengindahkan pertanyaan sahabatnya. "Apa-apaan, sih, Bas," Gala menatap pria itu dengan campuran bingung sekaligus tidak percaya, "Lo nggak pernah gini. Kesambet?" "Lo berisik minta gue ngehargain usaha lo ke sini sampai bahas bensin. Berapa? Gue ganti sekarang juga. Lima juta?!" Mata Gala membulat. Dia tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Sahabatnya tidak pernah bertingkah aneh seperti ini. "Lo beneran kesambet. Lewat mana tadi pagi?" "Nggak lucu. Berapa? Cash atau gue transfer?" "Bas, lo yang sekarang bertingkah nggak lucu. Lo habis kenapa? Ada kejadian apa di Gala Dinner semalam?" Pandangan Baskara sesaat mengabur penuh emosi sebelum dia berhasil mengusai dirinya. Sudah cukup sekali dia membiarkan emosi menguasai dirinya. Dia juga tidak ingin mempermalukan diri di depan sahabatnya. "Apa hubungannya?" Baskara menoleh dan menatap sahabatnya, "Lo yang mulai. Berapa?" "Ck," Gala berdecak, "Lo tahu kalau tadi gue cuma bercanda. Itu bukan perta
"Cut!" Hansa menghela napas panjang, "Bentar, ya, Kak," dia tersenyum menenangkan kepada model yang langsung salah tingkah mendengar teriakan pria di balik kamera. "Mbak," pria itu menghampiri Aruna yang berdiri tidak jauh dari tempatnya mengambil stock video sebelum para model beraksi di depan fotografer sesuai arahan editor in chief salah satu majalah gaya hidup franchise dari Amerika Serikat. "Kenapa? Itu model bisa kerja nggak, sih? Ekspresinya itu, lho!" "Mbak, maaf banget, tapi bisa nggak Mbak ngelihatnya biasa aja?" Hansa memelankan suara, "Dia ketakutan karena Mbak ngelihatnya tajam kayak siap nelan dia bulat-bulat." "Please, alasan dia aja kali! Aku biasa aja. Nggak yang kayak gimana." Tahu kalau Aruna tidak akan percaya begitu saja, Hansa segera membuka galeri kamera dan menunjukkan beberapa foto pemilik KAMALA yang sempat terpotret olehnya. "Nih, lihat sendiri. Biasa?" Hansa mengulurkan kamera ke hadapan Aruna, "Mbak itu aneh sejak kemarin. Diem aja terus bentar-benta
Seluruh anggota keluarga Widjaja memiliki asisten pribadi. Beberapa bahkan sudah memiliki asisten pribadi sejak kecil sementara yang lain baru mendapatkan setelah beranjak dewasa. Keluarga Aruna sedikit berbeda, mereka baru mendapatkan asisten pribadi ketika mulai bekerja. Maya sudah hampir tiga tahun menjadi asisten pribadi Aruna. Tidak banyak pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Sebenarnya Aruna merasa dia belum membutuhkan asisten pribadi tetapi orang tuanya berkata lain. Menyiasati hal itu, Aruna meminta Maya untuk sehari-hari membantu sang ibu yang menjadi pengurus di Yayasan Widjaja yang sekarang pengelola utamanya adalah Rheinya Widjaja dibantu dengan Samahita Agnia Widjaja, istri sepupunya. Hanya ketika Aruna membutuhkan bantuan Maya akan mendampingi gadis itu. Salah satu hari itu adalah hari ini. Tadi pagi secara mendadak Aruna memintanya untuk menyiapkan gaun, tidak terlalu sopan tetapi juga tidak terlalu seksi, lengkap dengan aksesoris dan detail lainnya. Ketika Maya
"Kita ke mana?" Baskara baru saja membawa mobil Aruna keluar dari pelataran gedung perkantoran tempat Steam Perfection bermukim. Pria itu hanya tahan berpura-pura sibuk selama kurang dari lima menit. Tidak enak rasanya membiarkan Aruna duduk melihat setiap jengkal kantornya dengan teliti sebelum memperhatikan setiap gerak-gerik Baskara. Jangan salah paham. Pria itu bukan tidak nyaman diperhatikan oleh Aruna. Sebaliknya, ternyata dia cukup menyukainya. Perasaan tidak enak itu hadir karena dia mendiamkannya. Gadis itu masih salah paham. Dia masih berpikiran kalau Baskara belum memaafkannya. Dia menyerah dan menuruti keinginan Aruna. "Dinner," Aruna menjawab dengan ringan sambil tersenyum lebar. Dia senang rencananya berhasil walau Baskara masih irit bicara. Tapi itu bukan masalah. Pixel by pixel, seperti kata Pinot, salah satu kreator favorit Aruna. "Aku tahu," Baskara memperhatikan sedikit menekan pedal gas ketika melihat jalanan cukup lengang, "Tapi di mana?" "Eh?" Pertanyaan i
"Ini meja kita?" Aruna langsung bertanya setelah waitress menjauh. Dia cukup takjub Aruna tahu kalau restoran berukuran sedang dengan halaman disesaki berbagai tanaman rempah seperti oregano, thyme, basil dan lainnya ini milik kenalan Baskara. Walau begitu dia sama sekali tidak menduga mereka akan diperlakukan dengan sangat istimewa. Saat mereka tiba sudah ada staf yang menyambut dan langsung mengantarkan ke meja di area yang cukup private. Jauh dari meja lain dengan pemandangan taman yang cantik. Rasanya sekadar teman tidak akan mendapat perlakuan sebaik ini. Perut Aruna sesaat mulas. Berduaan dengan Baskara di sekitar taman membuat kenangan beberapa hari lalu kembali teringat olehnya. Tapi malam ini akan berbeda. Dia berjanji pada dirinya sendiri. "Ya. Seperti kataku, kita cukup beruntung malam ini." "Waah..." gadis itu mengedarkan pandangan. "Ada yang batalin reservasi di last minute." Aruna mengangguk sambil tersenyum lebar. Walau pernah mendengar nama restoran ini tetapi A
Berbeda dengan tadi pagi ketika mengawali hari, semakin sore Anya semakin uring-uringan. Bagaimana tidak sepanjang hari dia berulang kali mendapati atasannya melihat ponsel sambil senyum-senyum sendiri. Menyebalkan. Anya yakin kalau mantan pacar sang atasan yang menjadi penyebabnya. Hari sudah menjelang pukul tiga tetapi pekerjaannya masih menggunung. Hari ini entah mengapa dia tidak dapat fokus. Yang dilakukannya hanya mencari tahu tentang Aruna. Awalnya dia cukup yakin dapat bersaing dengan gadis itu. Aruna hanya menang nama keluarg saja. Memang gadis itu lebih cantik dan menawan dibanding dirinya tetapi dia tahu kalau Baskara tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Sayangnya, semakin dia mencari tahu tentang Aruna, semakin dia merasa kecil. Aruna memang terlahir dengan begitu banyak priviledge dan dia memanfaatkannya dengan baik. Sejak remaja dia sudah sering mendapatkan penghargaan di bidang fotografi, menyelesaikan sekolah dan kuliah tidak hanya tepat waktu tapi juga dengan ha
Anya memulai pagi hari Rabu ini seperti biasa. Dari indekosnya dia menumpangi angkutan umum selama lima belas menit, cukup beruntung karena pagi ini dia tidak harus berdesak-desakan. Itu saja sudah berhasil membuat suasana hatinya riang. Dia yakin hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Begitu turun di halte seberang gedung tempat kantor Steam Perfection berada dia menyempatkan diri untuk membeli dua porsi bubur ayam. Satu porsi untuknya, dengan esktra sambal, dan satu porsi lagi yang tidak mengunakan daun seledri akan diberikan kepada atasannya, Baskara. Beberapa kali dalam sebulan, biasanya ketika suasana hatinya sedang riang, dia membelikan sarapan untuk pria yang diam-diam ditaksirnya itu. Baskara bukan seorang pemilih dalam hal makanan dan itu memudahkan Anya jika ingin memberikan kejutan seperti pagi ini. Gadis itu yakin, perhatian-perhatian kecil seperti ini akan meluluhkan hati sang atasan. Walau sejak kehadiran Aruna dia tidak seyakin dulu. Kesal mengingat gadis yang
Aruna memastikan ikat pinggang yang dikenakannya masuk ke lubang chino berearna khaki yang dikenakannya. Hari ini akan menjadi hari yang panjang di kantor hingga dia memutuskan mengenakan kaus garis-garis horizontal yang dipadu dengan blazer berpotongan pas badan warna navy agar tidak terlihat terlalu santai. Terlalu fokus merapikan penampilan hingga butuh waktu cukup lama sebelum otaknya menyadari bahwa ada seseorang yang sedang membunyikan bel apartemennya. Dia melirik jam sambil berjalan keluar dari kamar. Bahkan pukul enam saja baru lewat beberapa menit. Rasanya terlalu pagi untuk bertamu. Siapa? Gadis itu membuka pintu yang terhubung dengan foyer dan mengintip siapa yang berkunjung. Terburu, dia lupa untuk melihat di interkom siapa yang datang. Seluruh kebingungannya menguap dan berganti dengan senyum lebar ketika melihat Baskara berdiri di foyer sambil memegang dua tumbler yang mengepul dan sebuah kantong paper bag berwarna cokelat dengan logo salah satu gerai kopi yang terse
"Tanaman?" Aruna berhenti mengunyah sebelum tertawa kecil dan melanjutkan makannya, "Pasti Kak Askara ngerasa aneh karena dulu aku kayak sebel banget sama tanaman, kan?"Baskara mengangguk mendengar ucapan gadis itu. "Kapan, ya..." tatapannya terlihat menerawang seakan dia sedang berusaha mengingat, "Waktu kuliah kayaknya. Aku sempat yang stress banget gitu karena kuliah. Memang jurusan yangvaku pengin tapi nggak tahu kok makin lama kayak makin berat. Capek gitu.""Aku sampai ngerasa susah banget buat bangun. Ngerasa nggak punya alasan aja gitu," Aruna kembali menambahkan gyudon ke piringnya, "Terus aku ke psikolog gitu. Nah, buat terapi awal disaranin buat aku punya sesuatu yang bergantung ke aku. Biar itu jadi alasan aku buat bangun dan mulai aktivitas." Baskara sama sekali sudah melupakan makanan yang ada di piringnya. Pria itu fokus mendengarkan cerita Aruna. "Awalnya aku mikir buat pelihara kucing atau anjing. Tapi terus kepikiran kalau aku nggak becus terus mereka mati gimana
"Maaf aku nggak bawa apa-apa," Baskara yang hanya mengenakan kaos dan jeans tersenyum canggung menatap Aruna yang berdiri di ambang pintu. "Siapa yang bilang barus bawa sesuatu?" Aruna tersenyum geli. "Kata Mamak," Baskara beranjak masuk setelah Aruna sedikit menggeser posisi berdiri dan mempersilakan pria itu untuk masuk. Unit apartemen Aruna serupa dengan miliknya. Tetapi suasananya begitu berbeda. Tidak aneh mengingat dekorasi unit apartemen mereka sangat jauh berbeda. Ruang tengah Aruna didominasi furnitur kayu dan rotan dengan bantalan berwarna cream. Di depan sofa terdapat meja kaya dengan desain sederhana tetapi Baskara tahu harganya jauh dari kata murah. Beberapa bantal tertata di sofa dengan sarung berwarna cerah. TV LCD berukuran besar diletakan di atas kabinet dari kayu berpadu anyaman rotan. Tidak ada kabel yang terlihat. Disamping TV hanya ada vas kaca berisi anggrek bulan. Dinding kosong di antara kabinet dan pintu gesee menuju beranda penuh dengan foto hasil jepret
Aruna tersenyum lebar saat pintu lift tertutup. Sejak tadi dia berusaha menahan senyuman. Tidak ingin concierge menyalahartikan atau menimbulkan rumor tentangnya. Dia mengangkat tas bekal yang diberikan oleh concierge. Senyumnya semakin lebar. 'Titipan dari Pak Baskara'Rasa penasaran membuat gadis itu langsung membuka dan mengintip. Terlalu lama rasanya jika harus menunggu hingga dia tiba di unit apartemennya. "Kotak bekal?" Aruna menatap bingung. Dia sudah menduga kalau isi tas bekal itu adalah makanan. Tidak mungkin Baskara repot-repot menggunakan tas bekal dengan lapisan thermal jika isinya bukan makanan. Dugaannya Baskara memesan sesuatu dari restoran. "Isinya apa, ya?" Sungguh gadis itu ingin langsung membuka dua kotak bekal yang tersusun rapi dalam tas itu. Seandainya saja bawaannya malam ini tidak banyak, pasti dia tidak akan berpikir panjang seperti sekarang. Aruna menatap panel lantai. Tidak sabar melihat perpindahan lampu yang menyala. Saat pintu lift terbuka, gadis i
Salimah pernah bercerita bagaimana memasak merupakan serangkaian ritual penuh sihir dan keajaiban. Walau sudah dewasa, Baskara masih mempercayainya. Bagaimana tidak, hanya dengan masakan seseorang dapat tersenyum bahagia atau sebaliknya, mendadak merasa sembilu. Tentu itu karena sihir dan keajaiban. Ketika ide untuk membuatkan makan malam sebagai bentuk permintaan maaf kepada Aruna muncul di benak, pria itu langsung melakukannya. Semoga keajaiban dan sihir masakannya akan membuat Aruna memaafkannya. Baskara menumis irisan bawang putih dan bawang bombay. Sambil menunggu layu, pria itu membalurkan bawang putih, lada dan jahe ke arah daging iris lalu mengaduknya hingga rata sebelum menyimpan di kulkas selama beberapa saat. Ketika aroma khas bawang putih dan bawang bombay tercium dengan gesit dia memasukan irisan wortel lalu menambahkan sedikit air. Baskara lalu memgambil sisa sayur yang belum sempat dicuci dan membersihkannya satu persatu. Setelah itu kembang kol dan jagung muda menyu
"Lo udah mau cabut?" Sejak pukul enam sore Gala sudah berada di apartemen Baskara. Sahabatnya itu memaksa Baskara untuk pulang cepat karena katanya ada sesuatu yang ingin diceritakannya dan itu hal penting. Jangan tanya kenapa Baskara memenuhi permintaan Gala yang cukup absurs karena biasanya dia baru meninggalkan kantor setelah pukul enam sore. "Iya. Kenapa?" Gala mengenakan jaket jeans-nya. Sedikit bersungut karena dia bisa melupakan leather jacket favoritnya di apartemen Daniya. Walau dia sangat ingin untuk mengunjungi gadis itu tetapi dia menahan diri untuk tidak melakukan itu. Gala tidak cukup yakin kalau Daniya mengingatnya karena gadis itu cukup mabuk ketika mereka berkenalan. "Lo nyuruh gue pulang cepat buat dengar curhatan lo doang?" Gala mengangguk sambil terkekeh, "Sesekali gantian, Bas. Jangan cuma gue yang capek denger tentang Aruna." "Sialan," Baskara melempar kulist kacang yang baru dikupas. "Ngomong-ngomong Aruna, udah semingguan lo nggak ngocehin tentang dia. Ka
Daniya terbangun karena dering bel apartemen yang terus berbunyi. Masih setengah memejamkan mata, gadis itu keluar dari selimut tebal kemudian mencari ponsel untuk mengetahui ini sudah pukul berapa. Pukul enam. Masih terlalu pagi. Siapa? Dia beringsut turun dari tempat tidur dan tersuruk mencari sandal sebelum keluar dari kamar. Matanya masih terasa berat. Kepalanya sangat sakit. Pengar karena alkohol yang dinikmatinya sepanjang malam. "Sial," dia memijat pelipis sambil melihat interkom. Ada sosok kembarannya di depan pintu apartemen."Ngapain lo? Ayam juga kalah pagi sama lo," dia membuka pintu apartemennya. "Pagi, Daniya. Lo nggak bakalan ngomel karena gue bawakn croissant favorit lo. Gue bela-belain ngantre demi lo." "Croissant doang nggak cukup," Daniya menerima paperbag yang diulurkan kembarannya, "Lo ngapain ke sini?" "Bangunin lo. Semalam lo bilang ada meeting penting pagi ini. Tadi malam lo minum banyak. Gue takut lo telat bangun." "Perhatian banget," gadis itu ke pantry