"Nona Aruna," seorang usher acara menghampiri Aruna yang berdiri di barisan belakang sambil memegang segelas sampanye, "Mari ikut saya. Setelah Nona Calya berikutnya giliran Anda." Aruna menarik napas panjang sambil melirik ke arah panggung. Nama sepupunya itu disebut oleh MC dan tidak lama disusul dengan sosok Calya yang berjalan ke tengah panggung. Gadis itu tersenyum. Tentu saja. Pacarnya ada di barisan paling depan dan siap menyelamatkannya dengan menjadi penawar tertinggi. Hati Aruna mencelos ketika ingat tidak ada seorang pun yang akan menyelamatkannya. Peraturan tidak tertulis, keluarga tidak boleh ikut dalam pelelangan. "Baik," Aruna meletakkan gelas sampanye di neja terdekat kemudian mengikuti usher ke belakang panggung. "Silakan menunggu sampai nama Anda dipanggil," usher itu tersenyum sambil membuka sebuah ruangan yang tercipta dengan beberapa helai kain hitam. Meski begitu tentu bagian dalamnya begitu mewah dan elegan. Sofa kulit yang diimpor langsung dari Italia dan
Baskara menghela napas untuk kesekian kalinya. Seharusnya dia tidak setuju untuk menghadiri acara ini seorang diri. Mulut manis Gala yang berhasil meyakinkan dia kalau sebagai mitra bisnis Widjaja Group dia harus hadir. Setidak menyetor mukanya di hadapan keluarga Widjaja demi kesan baik. Bodohnya dia mempercayai sahabatnya itu hingga malam ini dia berada di acara penggalangan dana yang diadakan oleh Widjaja Group seorang diri. Dia sudah berusaha menyerat Gala tetapi dengan licin sahabatnya itu berkelit kalau dia memiliki janji makan malam bersama orang tuanya. Pria itu tahu dengan pasti kelemahan Baskara, orang tua. Ketika musik tiba-tiba berhenti dan suara nyanyian berganti dengan suara MC, Baskara tidak peduli. Pria itu memilih untuk tetap bergeming. Berdiri di samping sebuah dekorasi besar yang diyakininya berharga fantastis agar bayangan dapat menutupi dirinya hingga kehadirannya tidak mencolok. Dia melemparkan tatapan malas ke panggung. Melihat gadis silih berganti setelah di
"Aku tidak pernah tahu kalau Anda tertarik dengan acara pelelangan semacam itu," Narendra menyapa Baskara yang sedang menyesap mocktail. "Memang tidak," Baskara menjawab cepat dan berharap itu cukup meyakin, "Tapi pengecualian." "Karena Aruna?" Senyum yang terulas di wajah Narendra memastikan dugaan Baskara kalau pemimpin Widjaja Group itu tahu kisah masa lalu antara dia dan Aruna. "Sejelas itu?" Baskara terkekeh pelan. Berusaha untuk tetap terlihat tidak terganggu. "Hanya untuk mata tertentu," Narendra mengambil segelas Scotch yang dihidangkan on the rock glass, "Sama sekali di luar rencana, benar?" Baskara mengangguk sambil menyesap minumannya. Tidak ada gunanya berusaha mengelak atau berbohong di hadapan Narendra. Kemampuan pria itu mengendus kebohongan sudah terkenal di duni bisnis. "Good luck, then," sebuah tepukan di bahu Baskara sebelum Narendra menunjuk ke belakang punggungnya, "Kalau dilihat dari ekspresinya saat ini, kamu membutuhkan banyak keberuntungan malam ini." S
Baskara tidur tidak nyenyak. Pria itu gelisah sepanjang malam. Ketika terbangun di pagi hari jangankan merasa segar dia malah merasa lelah dengan gumpalan perasaan kesal bersemayam di perutnya. Juga sakit hati. Ini sering terjadi saat dia masih bersekolah di SMA Insan Harapan. Setiap hari ada saja kelakuan siswa-siswa lain yang membuat harga dirinya terluka hingga malam-malamnya menjadi jauh dari kata tenang. Ada ego yang harus ditambalnya. Setiap malam. Setelah memaksa diri untuk turun dari tempat tidur dan bersiap bekerja, perasaannya masih juga belum membaik. Sepanjang perjalanan ingin rasanya dia meneriaki mereka yang ditemuinya hanya karena permasalahan sederhana. Concierge yang tidak sengaja menabrak bahunya, petugas parkir yang menghalangi sepedanya, pengguna jalan yang tidak tertib dan berbagai alasan lain yang biasa tidak pernah menjadi masalah untuknya. Ketika sampai di kantor, tahu kalau sedang tidak baik-baik saja, Baskara memilih untuk lebih banyak berdiam diri. Dia ti
"Berapa?" Baskara tidak mengindahkan pertanyaan sahabatnya. "Apa-apaan, sih, Bas," Gala menatap pria itu dengan campuran bingung sekaligus tidak percaya, "Lo nggak pernah gini. Kesambet?" "Lo berisik minta gue ngehargain usaha lo ke sini sampai bahas bensin. Berapa? Gue ganti sekarang juga. Lima juta?!" Mata Gala membulat. Dia tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Sahabatnya tidak pernah bertingkah aneh seperti ini. "Lo beneran kesambet. Lewat mana tadi pagi?" "Nggak lucu. Berapa? Cash atau gue transfer?" "Bas, lo yang sekarang bertingkah nggak lucu. Lo habis kenapa? Ada kejadian apa di Gala Dinner semalam?" Pandangan Baskara sesaat mengabur penuh emosi sebelum dia berhasil mengusai dirinya. Sudah cukup sekali dia membiarkan emosi menguasai dirinya. Dia juga tidak ingin mempermalukan diri di depan sahabatnya. "Apa hubungannya?" Baskara menoleh dan menatap sahabatnya, "Lo yang mulai. Berapa?" "Ck," Gala berdecak, "Lo tahu kalau tadi gue cuma bercanda. Itu bukan perta
"Cut!" Hansa menghela napas panjang, "Bentar, ya, Kak," dia tersenyum menenangkan kepada model yang langsung salah tingkah mendengar teriakan pria di balik kamera. "Mbak," pria itu menghampiri Aruna yang berdiri tidak jauh dari tempatnya mengambil stock video sebelum para model beraksi di depan fotografer sesuai arahan editor in chief salah satu majalah gaya hidup franchise dari Amerika Serikat. "Kenapa? Itu model bisa kerja nggak, sih? Ekspresinya itu, lho!" "Mbak, maaf banget, tapi bisa nggak Mbak ngelihatnya biasa aja?" Hansa memelankan suara, "Dia ketakutan karena Mbak ngelihatnya tajam kayak siap nelan dia bulat-bulat." "Please, alasan dia aja kali! Aku biasa aja. Nggak yang kayak gimana." Tahu kalau Aruna tidak akan percaya begitu saja, Hansa segera membuka galeri kamera dan menunjukkan beberapa foto pemilik KAMALA yang sempat terpotret olehnya. "Nih, lihat sendiri. Biasa?" Hansa mengulurkan kamera ke hadapan Aruna, "Mbak itu aneh sejak kemarin. Diem aja terus bentar-benta
Seluruh anggota keluarga Widjaja memiliki asisten pribadi. Beberapa bahkan sudah memiliki asisten pribadi sejak kecil sementara yang lain baru mendapatkan setelah beranjak dewasa. Keluarga Aruna sedikit berbeda, mereka baru mendapatkan asisten pribadi ketika mulai bekerja. Maya sudah hampir tiga tahun menjadi asisten pribadi Aruna. Tidak banyak pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Sebenarnya Aruna merasa dia belum membutuhkan asisten pribadi tetapi orang tuanya berkata lain. Menyiasati hal itu, Aruna meminta Maya untuk sehari-hari membantu sang ibu yang menjadi pengurus di Yayasan Widjaja yang sekarang pengelola utamanya adalah Rheinya Widjaja dibantu dengan Samahita Agnia Widjaja, istri sepupunya. Hanya ketika Aruna membutuhkan bantuan Maya akan mendampingi gadis itu. Salah satu hari itu adalah hari ini. Tadi pagi secara mendadak Aruna memintanya untuk menyiapkan gaun, tidak terlalu sopan tetapi juga tidak terlalu seksi, lengkap dengan aksesoris dan detail lainnya. Ketika Maya
"Kita ke mana?" Baskara baru saja membawa mobil Aruna keluar dari pelataran gedung perkantoran tempat Steam Perfection bermukim. Pria itu hanya tahan berpura-pura sibuk selama kurang dari lima menit. Tidak enak rasanya membiarkan Aruna duduk melihat setiap jengkal kantornya dengan teliti sebelum memperhatikan setiap gerak-gerik Baskara. Jangan salah paham. Pria itu bukan tidak nyaman diperhatikan oleh Aruna. Sebaliknya, ternyata dia cukup menyukainya. Perasaan tidak enak itu hadir karena dia mendiamkannya. Gadis itu masih salah paham. Dia masih berpikiran kalau Baskara belum memaafkannya. Dia menyerah dan menuruti keinginan Aruna. "Dinner," Aruna menjawab dengan ringan sambil tersenyum lebar. Dia senang rencananya berhasil walau Baskara masih irit bicara. Tapi itu bukan masalah. Pixel by pixel, seperti kata Pinot, salah satu kreator favorit Aruna. "Aku tahu," Baskara memperhatikan sedikit menekan pedal gas ketika melihat jalanan cukup lengang, "Tapi di mana?" "Eh?" Pertanyaan i