"Hidangan penutup," Putra sendiri yang mengantarkan ke meja mereka, "Lho, kamu sendirian? Baskara mana?" Aruna tersenyum kemudian menunjuk ke arah teman makan malamnya yang sedang berdiri di taman hanya berjarak beberapa meter dari meja mereka, "Teleponan. Penting katanya." "Pasti susah, ya, jadi pasangan Baksara," Putra tersenyum penuh pemakluman, "Dari dulu dia udah sibuk gitu. Ada aja yang dikerjainnya. Terus ringan banget buat bantu orang. Aku salah satu orang yang dibantunya." "Kak Askara nggak pernah cerita apa-apa." "Baskara banget, ya? Mana pernah dia cerita apa aja yang udah dia lakuin. Semua proses hidupnya cuma dia yang tahu. Orang-orang, termasuk aku bahkan mungkin keluarganya cuma tahu prosesnya aja." "Ya," Aruna mengangguk sebelum kembali memperhatikan pria yang terlihat sibuk berbicara di telepon dengan seseorang. Entah siapa. "Berkat Baskara, aku nggak kedinginan di jalan waktu diusir dari apartemen sewaanku. Dia juga yang ngenalin aku sama chef di salah satu res
Taman belakang SMA Insan Harapan terlihat teduh seperti biasa walau matahari bersinar terik. Meski begitu nyaris tidak ada seorangpun di sana. Para siswa lebih memilih menghabiskan waktu di ruang klub atau bersantai di kantin yang lebih menyerupai kafetaria dengan sekian banyak pilihan menu dan fasilitas yang ditawarkan. Itu yang membuat Baskara betah berlama-lama di sana. Dia tidak harus berinteraksi dengan siapapun kecuali sahabatnya. Itu juga jika Gala tidak terlalu sibuk dengan berbagai urusannya. Tetapi itu hingga beberapa bulan lalu. Sebelum Aruna dengan seenaknya masuk dalam hidupnya. Sebelum tiga bulan lalu dia menyatakan perasaannya pada gadis itu. "Selesai! Aku boleh pulang!" Sambil tersenyum lebar Aruna menggeser buku tugasnya ke arah Baskara. Pemuda yang sejak tadi diam-diam terus memperhatikan gadis itu dengan berpura-pura membaca novel langsung meletakkan buku yang sedang dibaca dan menarik buku tugas milik pacarnya. "Yakin benar semua? Kalau ada yang salah tetap ngg
Baskara tahu kalau Aruna berasal dari keluarga kaya. Bahkan salah satu yang terkaya tidak hanya di negara melainkan di kawasan ini. Meski begitu ketika tiba di kediaman keluarga gadis itu, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak terpukau. Rumah Aruna tidak hanya besar. Sangat besar dan dilengkapi teknologi terkini. Ukuran pos penjagaan di depan jauh lebih besar dari kamar yang disebut rumah oleh Baskara. Setelah melewati gerbang, rumah utama masih belum terlihat jelas. Selain karena keberadaan pohon-pohon yang cukup rindang juga karena masih cukup jauh jarak dari gerbang ke rumah utama. Baskara tidak dapat membayangkan sebesar apa lahan milik keluarga Aruna. Dibandingkan dengan rumah Gala juga rumah gadis itu masih berkali lipat lebih besar. Tetapi dia tidak sepenuhnya yakin karena dia hanya pernah sekali ke rumah sahabatnya karena ada barang tertinggal. Selebihnya Gala lebih memilih menghabiskan waktu di apartemen yang ditinggalinya bersama asisten rumah tangga. "Rumah kamu gede
"Nggak lucu, Pa!" Aruna mengancing celana yang baru dikenakanya sebelum melesat keluar dari kamarnya yang terletak di lantai tiga kediaman keluarganya. Salah satu asisten rumah tangga baru saja mengabari kalau Nanditama, sang ayah, ada di rumah dan penasaran dengan teman anak bungsunya itu. "Nona, hati-hati," asisten runah tangga yang sudah bekerja cukup lama berteriak tertahan saat melihat Aruna melompati dua anak tangga sekaligus. "Iya!" Aruna balas berteriak masih sambil melompati dua anak tangga. Begitu tiba di lantai dasar dia tidak juga mengurangi kecepatannya. Gadis itu bahkan semakin mempercepat langkah menuju pool house. Dia tidak dapat membayangkan apa yang sedang terjadi saat ini. Aruna harus menyelamatkan pacarnya dari apapun yang akan dilakukan oleh Nanditama. Aruna langsung masuk ke pool house tanpa merasa perlu mengetuk terlebih dulu. Gadis itu muluncur masuk dan sontak tatapannya berubah menjadi kebingungan. Dia berpikir akan menemukan suasana dingin atau berhadap
"Udah?" Aruna menaikan kacamata renang yang dikenakan. Bosan menunggu Nanditama yang masih ingin memonopoli Baskara karena penasaran dengan kemampuan bercatur pemuda itu. Beliau tidak terima dapat dikalahkan dengan mudah. Bahkan Arsya saja nasih kesulitan untuk mengalahkan ayahnya. "Udah," Baskara berjongkok di tepi kolam renang, "Katanya ada urusan penting. Kalau nggak masih bakalan main kayaknya." "Tadi berapa ronde? Lama banget. Aku sampai pegal, lho. Nggak tahu udah berapa kali bolak-balik." Baskara melihat panjang kolam renang ukuran olimpiade. Tidak aneh jika Aruna mengeluh kakinya pegal. Dia yakin hanya mampu berenang satu putaran sebelum kakinya kram. "Lima," Baskara terkekeh sambil menepuk kepala Aruna lembut, "Tebak aku menang berapa kali." "Tiga?" Melihat Baskara menggeleng gadis itu langsung mengubah tebakannya, "Dua? Nggak juga? Masa empat? Papa aku jago banget, lho!" "Lima," pemuda itu tersenyum lebar melihat mata Aruna melebar tidak percaya, "Kenapa? Kamu kira ak
"Sudah sampai," salah satu supir keluarga Aruna berhenti di depan gang sempit. Sebelumnya Baskara memang sudah menginformasikan kalau cukup diantar sampai depan gang. Bukan karena tidak ingin atau takut para tetangga bertanya melainkan karena gang itu hanya cukup dilalui oleh satu motor saja. "Makasih, Pak," Baskara melemparkan senyum sebelum turun dan mobil. Dia sempat membungkuk sebelum mobil keluaran Eropa itu berlalu. Sepanjang perjalanan menuju kamar kontrakan yang sudah menjadi rumah sepanjang ingatannya dia tidak berhenti memikirkan perbedaan antara dirinya dan Aruna. Terlalu jauh. Sulit untuk menyamai bahkan sekadar mendekati kehidupan yang dijalani Aruna. "Tahu diri, dong, Bas," dia menghembuskan napas panjang sebelum berhenti di depan pagar berkarat sambil menatap ke ujung lantai dua. Cahaya lampu berpendar keluar dari jendela. Salimah sudah pulang. Pasti beliau cemas karena sampai pukul sembilan malam anaknya belum kembali. "Nggak ada yang perlu disesali, Bas. Keluarga
"Sejak kapan Kakak suka tiramisu? Seingatku Kakak nggak suka makanan manis, deh." Pertanyaan yang sejak tadi tertahan di ujung lidah Aruna akhirnya terlontarkan dalam perjalanan pulang. Setelah menyelesaikan makan malam dan puas mengobrol, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang menjelang pukul sebelas malam. Saat ini merasa sedang dalam perjalanan menuju gedung apartemen yang mereka tinggali. "Kata siapa?" Baskara mengecilkan volume lagu yang mengalun mengisi keheningan. "Masih nggak suka? Kalau gitu kenapa Kakak sengaja pesan?" Gadis itu masih belum menyerah. "Aku nggak sengaja pesan," Baskara berusaha mengelak sambil berpura-pura fokus pada laju lalu lintas. Akan sangat memalukan kalau sampai Aruna tahu apa saja yang dilakukannya untuk menyenangkan hati sang gadis."Nggak usah bohong, Kak," Aruna mengulum senyuman, "Tadi Kak Putra sendiri yang bilang kalau Kak Askara minta dessertnya harus tiramisu. Nggak mau tahu, pokoknya tiramisu. Ngaku, deh!""Ck," dia berdecak kesal, "Dasa
Gala tidak peduli pada musik yang berdentum memekakkan telinga setiap pengunjung kelab malam terkenal ibukota ini. Dia tidak pernah benar-benar peduli pada musik. Pengetahuannya terbatas pada top 40. Itu juga hanya familiar. Tidak benar-benar tahu. Tidak ada penyanyi yang disukai atau diidolakannya. Meski begitu, pria itu senang mengunjungi kelab malam. Bukan untuk mendengarkan musik tetap untuk minum sambil mengamati kelakuan para pengunjung. Malam ini tidak ada bedanya. Setelah berdebat dengan sang ayah tadi siang, dia hanya menginginkan satu hal. Melarutkan diri dalam minuman racikan bartender favoritnya. Persetan dengan lagu yang dimainkan oleh DJ. "Lagi, Pak?" Martin, bartender kebanggan kelab malam ini kembali bertanya ketika dia menghabiskan gelas untuk kedua kalinya. "Ya. Vodka Martini," Gala menjawab sambil menggeser gelas kosong, "Kelab ini nggak pernah sepi, ya." "Jangan sampai sepi, dong, Pak. Nanti saya nggak dapat tip," bartender itu terkekeh, "Belakangan makin rame,
Berbeda dengan tadi pagi ketika mengawali hari, semakin sore Anya semakin uring-uringan. Bagaimana tidak sepanjang hari dia berulang kali mendapati atasannya melihat ponsel sambil senyum-senyum sendiri. Menyebalkan. Anya yakin kalau mantan pacar sang atasan yang menjadi penyebabnya. Hari sudah menjelang pukul tiga tetapi pekerjaannya masih menggunung. Hari ini entah mengapa dia tidak dapat fokus. Yang dilakukannya hanya mencari tahu tentang Aruna. Awalnya dia cukup yakin dapat bersaing dengan gadis itu. Aruna hanya menang nama keluarg saja. Memang gadis itu lebih cantik dan menawan dibanding dirinya tetapi dia tahu kalau Baskara tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Sayangnya, semakin dia mencari tahu tentang Aruna, semakin dia merasa kecil. Aruna memang terlahir dengan begitu banyak priviledge dan dia memanfaatkannya dengan baik. Sejak remaja dia sudah sering mendapatkan penghargaan di bidang fotografi, menyelesaikan sekolah dan kuliah tidak hanya tepat waktu tapi juga dengan ha
Anya memulai pagi hari Rabu ini seperti biasa. Dari indekosnya dia menumpangi angkutan umum selama lima belas menit, cukup beruntung karena pagi ini dia tidak harus berdesak-desakan. Itu saja sudah berhasil membuat suasana hatinya riang. Dia yakin hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Begitu turun di halte seberang gedung tempat kantor Steam Perfection berada dia menyempatkan diri untuk membeli dua porsi bubur ayam. Satu porsi untuknya, dengan esktra sambal, dan satu porsi lagi yang tidak mengunakan daun seledri akan diberikan kepada atasannya, Baskara. Beberapa kali dalam sebulan, biasanya ketika suasana hatinya sedang riang, dia membelikan sarapan untuk pria yang diam-diam ditaksirnya itu. Baskara bukan seorang pemilih dalam hal makanan dan itu memudahkan Anya jika ingin memberikan kejutan seperti pagi ini. Gadis itu yakin, perhatian-perhatian kecil seperti ini akan meluluhkan hati sang atasan. Walau sejak kehadiran Aruna dia tidak seyakin dulu. Kesal mengingat gadis yang
Aruna memastikan ikat pinggang yang dikenakannya masuk ke lubang chino berearna khaki yang dikenakannya. Hari ini akan menjadi hari yang panjang di kantor hingga dia memutuskan mengenakan kaus garis-garis horizontal yang dipadu dengan blazer berpotongan pas badan warna navy agar tidak terlihat terlalu santai. Terlalu fokus merapikan penampilan hingga butuh waktu cukup lama sebelum otaknya menyadari bahwa ada seseorang yang sedang membunyikan bel apartemennya. Dia melirik jam sambil berjalan keluar dari kamar. Bahkan pukul enam saja baru lewat beberapa menit. Rasanya terlalu pagi untuk bertamu. Siapa? Gadis itu membuka pintu yang terhubung dengan foyer dan mengintip siapa yang berkunjung. Terburu, dia lupa untuk melihat di interkom siapa yang datang. Seluruh kebingungannya menguap dan berganti dengan senyum lebar ketika melihat Baskara berdiri di foyer sambil memegang dua tumbler yang mengepul dan sebuah kantong paper bag berwarna cokelat dengan logo salah satu gerai kopi yang terse
"Tanaman?" Aruna berhenti mengunyah sebelum tertawa kecil dan melanjutkan makannya, "Pasti Kak Askara ngerasa aneh karena dulu aku kayak sebel banget sama tanaman, kan?"Baskara mengangguk mendengar ucapan gadis itu. "Kapan, ya..." tatapannya terlihat menerawang seakan dia sedang berusaha mengingat, "Waktu kuliah kayaknya. Aku sempat yang stress banget gitu karena kuliah. Memang jurusan yangvaku pengin tapi nggak tahu kok makin lama kayak makin berat. Capek gitu.""Aku sampai ngerasa susah banget buat bangun. Ngerasa nggak punya alasan aja gitu," Aruna kembali menambahkan gyudon ke piringnya, "Terus aku ke psikolog gitu. Nah, buat terapi awal disaranin buat aku punya sesuatu yang bergantung ke aku. Biar itu jadi alasan aku buat bangun dan mulai aktivitas." Baskara sama sekali sudah melupakan makanan yang ada di piringnya. Pria itu fokus mendengarkan cerita Aruna. "Awalnya aku mikir buat pelihara kucing atau anjing. Tapi terus kepikiran kalau aku nggak becus terus mereka mati gimana
"Maaf aku nggak bawa apa-apa," Baskara yang hanya mengenakan kaos dan jeans tersenyum canggung menatap Aruna yang berdiri di ambang pintu. "Siapa yang bilang barus bawa sesuatu?" Aruna tersenyum geli. "Kata Mamak," Baskara beranjak masuk setelah Aruna sedikit menggeser posisi berdiri dan mempersilakan pria itu untuk masuk. Unit apartemen Aruna serupa dengan miliknya. Tetapi suasananya begitu berbeda. Tidak aneh mengingat dekorasi unit apartemen mereka sangat jauh berbeda. Ruang tengah Aruna didominasi furnitur kayu dan rotan dengan bantalan berwarna cream. Di depan sofa terdapat meja kaya dengan desain sederhana tetapi Baskara tahu harganya jauh dari kata murah. Beberapa bantal tertata di sofa dengan sarung berwarna cerah. TV LCD berukuran besar diletakan di atas kabinet dari kayu berpadu anyaman rotan. Tidak ada kabel yang terlihat. Disamping TV hanya ada vas kaca berisi anggrek bulan. Dinding kosong di antara kabinet dan pintu gesee menuju beranda penuh dengan foto hasil jepret
Aruna tersenyum lebar saat pintu lift tertutup. Sejak tadi dia berusaha menahan senyuman. Tidak ingin concierge menyalahartikan atau menimbulkan rumor tentangnya. Dia mengangkat tas bekal yang diberikan oleh concierge. Senyumnya semakin lebar. 'Titipan dari Pak Baskara'Rasa penasaran membuat gadis itu langsung membuka dan mengintip. Terlalu lama rasanya jika harus menunggu hingga dia tiba di unit apartemennya. "Kotak bekal?" Aruna menatap bingung. Dia sudah menduga kalau isi tas bekal itu adalah makanan. Tidak mungkin Baskara repot-repot menggunakan tas bekal dengan lapisan thermal jika isinya bukan makanan. Dugaannya Baskara memesan sesuatu dari restoran. "Isinya apa, ya?" Sungguh gadis itu ingin langsung membuka dua kotak bekal yang tersusun rapi dalam tas itu. Seandainya saja bawaannya malam ini tidak banyak, pasti dia tidak akan berpikir panjang seperti sekarang. Aruna menatap panel lantai. Tidak sabar melihat perpindahan lampu yang menyala. Saat pintu lift terbuka, gadis i
Salimah pernah bercerita bagaimana memasak merupakan serangkaian ritual penuh sihir dan keajaiban. Walau sudah dewasa, Baskara masih mempercayainya. Bagaimana tidak, hanya dengan masakan seseorang dapat tersenyum bahagia atau sebaliknya, mendadak merasa sembilu. Tentu itu karena sihir dan keajaiban. Ketika ide untuk membuatkan makan malam sebagai bentuk permintaan maaf kepada Aruna muncul di benak, pria itu langsung melakukannya. Semoga keajaiban dan sihir masakannya akan membuat Aruna memaafkannya. Baskara menumis irisan bawang putih dan bawang bombay. Sambil menunggu layu, pria itu membalurkan bawang putih, lada dan jahe ke arah daging iris lalu mengaduknya hingga rata sebelum menyimpan di kulkas selama beberapa saat. Ketika aroma khas bawang putih dan bawang bombay tercium dengan gesit dia memasukan irisan wortel lalu menambahkan sedikit air. Baskara lalu memgambil sisa sayur yang belum sempat dicuci dan membersihkannya satu persatu. Setelah itu kembang kol dan jagung muda menyu
"Lo udah mau cabut?" Sejak pukul enam sore Gala sudah berada di apartemen Baskara. Sahabatnya itu memaksa Baskara untuk pulang cepat karena katanya ada sesuatu yang ingin diceritakannya dan itu hal penting. Jangan tanya kenapa Baskara memenuhi permintaan Gala yang cukup absurs karena biasanya dia baru meninggalkan kantor setelah pukul enam sore. "Iya. Kenapa?" Gala mengenakan jaket jeans-nya. Sedikit bersungut karena dia bisa melupakan leather jacket favoritnya di apartemen Daniya. Walau dia sangat ingin untuk mengunjungi gadis itu tetapi dia menahan diri untuk tidak melakukan itu. Gala tidak cukup yakin kalau Daniya mengingatnya karena gadis itu cukup mabuk ketika mereka berkenalan. "Lo nyuruh gue pulang cepat buat dengar curhatan lo doang?" Gala mengangguk sambil terkekeh, "Sesekali gantian, Bas. Jangan cuma gue yang capek denger tentang Aruna." "Sialan," Baskara melempar kulist kacang yang baru dikupas. "Ngomong-ngomong Aruna, udah semingguan lo nggak ngocehin tentang dia. Ka
Daniya terbangun karena dering bel apartemen yang terus berbunyi. Masih setengah memejamkan mata, gadis itu keluar dari selimut tebal kemudian mencari ponsel untuk mengetahui ini sudah pukul berapa. Pukul enam. Masih terlalu pagi. Siapa? Dia beringsut turun dari tempat tidur dan tersuruk mencari sandal sebelum keluar dari kamar. Matanya masih terasa berat. Kepalanya sangat sakit. Pengar karena alkohol yang dinikmatinya sepanjang malam. "Sial," dia memijat pelipis sambil melihat interkom. Ada sosok kembarannya di depan pintu apartemen."Ngapain lo? Ayam juga kalah pagi sama lo," dia membuka pintu apartemennya. "Pagi, Daniya. Lo nggak bakalan ngomel karena gue bawakn croissant favorit lo. Gue bela-belain ngantre demi lo." "Croissant doang nggak cukup," Daniya menerima paperbag yang diulurkan kembarannya, "Lo ngapain ke sini?" "Bangunin lo. Semalam lo bilang ada meeting penting pagi ini. Tadi malam lo minum banyak. Gue takut lo telat bangun." "Perhatian banget," gadis itu ke pantry