"Nggak lucu, Pa!" Aruna mengancing celana yang baru dikenakanya sebelum melesat keluar dari kamarnya yang terletak di lantai tiga kediaman keluarganya. Salah satu asisten rumah tangga baru saja mengabari kalau Nanditama, sang ayah, ada di rumah dan penasaran dengan teman anak bungsunya itu. "Nona, hati-hati," asisten runah tangga yang sudah bekerja cukup lama berteriak tertahan saat melihat Aruna melompati dua anak tangga sekaligus. "Iya!" Aruna balas berteriak masih sambil melompati dua anak tangga. Begitu tiba di lantai dasar dia tidak juga mengurangi kecepatannya. Gadis itu bahkan semakin mempercepat langkah menuju pool house. Dia tidak dapat membayangkan apa yang sedang terjadi saat ini. Aruna harus menyelamatkan pacarnya dari apapun yang akan dilakukan oleh Nanditama. Aruna langsung masuk ke pool house tanpa merasa perlu mengetuk terlebih dulu. Gadis itu muluncur masuk dan sontak tatapannya berubah menjadi kebingungan. Dia berpikir akan menemukan suasana dingin atau berhadap
"Udah?" Aruna menaikan kacamata renang yang dikenakan. Bosan menunggu Nanditama yang masih ingin memonopoli Baskara karena penasaran dengan kemampuan bercatur pemuda itu. Beliau tidak terima dapat dikalahkan dengan mudah. Bahkan Arsya saja nasih kesulitan untuk mengalahkan ayahnya. "Udah," Baskara berjongkok di tepi kolam renang, "Katanya ada urusan penting. Kalau nggak masih bakalan main kayaknya." "Tadi berapa ronde? Lama banget. Aku sampai pegal, lho. Nggak tahu udah berapa kali bolak-balik." Baskara melihat panjang kolam renang ukuran olimpiade. Tidak aneh jika Aruna mengeluh kakinya pegal. Dia yakin hanya mampu berenang satu putaran sebelum kakinya kram. "Lima," Baskara terkekeh sambil menepuk kepala Aruna lembut, "Tebak aku menang berapa kali." "Tiga?" Melihat Baskara menggeleng gadis itu langsung mengubah tebakannya, "Dua? Nggak juga? Masa empat? Papa aku jago banget, lho!" "Lima," pemuda itu tersenyum lebar melihat mata Aruna melebar tidak percaya, "Kenapa? Kamu kira ak
"Sudah sampai," salah satu supir keluarga Aruna berhenti di depan gang sempit. Sebelumnya Baskara memang sudah menginformasikan kalau cukup diantar sampai depan gang. Bukan karena tidak ingin atau takut para tetangga bertanya melainkan karena gang itu hanya cukup dilalui oleh satu motor saja. "Makasih, Pak," Baskara melemparkan senyum sebelum turun dan mobil. Dia sempat membungkuk sebelum mobil keluaran Eropa itu berlalu. Sepanjang perjalanan menuju kamar kontrakan yang sudah menjadi rumah sepanjang ingatannya dia tidak berhenti memikirkan perbedaan antara dirinya dan Aruna. Terlalu jauh. Sulit untuk menyamai bahkan sekadar mendekati kehidupan yang dijalani Aruna. "Tahu diri, dong, Bas," dia menghembuskan napas panjang sebelum berhenti di depan pagar berkarat sambil menatap ke ujung lantai dua. Cahaya lampu berpendar keluar dari jendela. Salimah sudah pulang. Pasti beliau cemas karena sampai pukul sembilan malam anaknya belum kembali. "Nggak ada yang perlu disesali, Bas. Keluarga
"Sejak kapan Kakak suka tiramisu? Seingatku Kakak nggak suka makanan manis, deh." Pertanyaan yang sejak tadi tertahan di ujung lidah Aruna akhirnya terlontarkan dalam perjalanan pulang. Setelah menyelesaikan makan malam dan puas mengobrol, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang menjelang pukul sebelas malam. Saat ini merasa sedang dalam perjalanan menuju gedung apartemen yang mereka tinggali. "Kata siapa?" Baskara mengecilkan volume lagu yang mengalun mengisi keheningan. "Masih nggak suka? Kalau gitu kenapa Kakak sengaja pesan?" Gadis itu masih belum menyerah. "Aku nggak sengaja pesan," Baskara berusaha mengelak sambil berpura-pura fokus pada laju lalu lintas. Akan sangat memalukan kalau sampai Aruna tahu apa saja yang dilakukannya untuk menyenangkan hati sang gadis."Nggak usah bohong, Kak," Aruna mengulum senyuman, "Tadi Kak Putra sendiri yang bilang kalau Kak Askara minta dessertnya harus tiramisu. Nggak mau tahu, pokoknya tiramisu. Ngaku, deh!""Ck," dia berdecak kesal, "Dasa
Gala tidak peduli pada musik yang berdentum memekakkan telinga setiap pengunjung kelab malam terkenal ibukota ini. Dia tidak pernah benar-benar peduli pada musik. Pengetahuannya terbatas pada top 40. Itu juga hanya familiar. Tidak benar-benar tahu. Tidak ada penyanyi yang disukai atau diidolakannya. Meski begitu, pria itu senang mengunjungi kelab malam. Bukan untuk mendengarkan musik tetap untuk minum sambil mengamati kelakuan para pengunjung. Malam ini tidak ada bedanya. Setelah berdebat dengan sang ayah tadi siang, dia hanya menginginkan satu hal. Melarutkan diri dalam minuman racikan bartender favoritnya. Persetan dengan lagu yang dimainkan oleh DJ. "Lagi, Pak?" Martin, bartender kebanggan kelab malam ini kembali bertanya ketika dia menghabiskan gelas untuk kedua kalinya. "Ya. Vodka Martini," Gala menjawab sambil menggeser gelas kosong, "Kelab ini nggak pernah sepi, ya." "Jangan sampai sepi, dong, Pak. Nanti saya nggak dapat tip," bartender itu terkekeh, "Belakangan makin rame,
Setelah gelas kelima, Gala memutuskan untuk berhenti. Jika menuruni keinginan tentu dia akan memesan gelas keenam, ketujuh dan baru berhenti entah di gelas keberapa. Tetapi dia ingat kalau dia masih harus menyetir pulang ke apartemennya. Biasanya dia akan memanggil supir untuk menjemput. Dia selalu taat peraturan. Sangat jarang dia membiarkan dirinya menyetir setelah mengkonsumsi alkohol. Malam ini pengecualian. Suasana hatinya masih belum cukup baik. Sepertinya dia tidak akan langsung balik ke apartemen. Menyetir tanpa arah selama beberapa saat terdengar menyenangkan. Pria itu tidak labgsung menyetir pulang. Dia bersandar ke kap Jeep Wrangler Rubicon miliknya kemudian mengeluarkan rokok dari saku beserta lighter. Tidak membutuhkan waktu lama dia sudah tengelam dalam nikotin.Dia masih kesal. Tentu saja. Minuman tidak akan semudah itu mengusir kekesalannya. Tadi siang dia mendengar jawaban yang sama untuk kesekian kalinya dari sang ayah. "Mungkin tahun depan." Tiga kata yang menghanc
"Mampir?" Daniya memejamkan mata dan sedikit menggerakan kepala untuk mengusir pusing yang mulai hadir. "Udah jam segini," Gala tersenyum, "Lain kali."Gadis itu tersenyum tipis sebelum membuka mulut, "Kalau gue kenapa-kenapa lo bakal nyesal seumur hidup, lho."Gala tertawa kecil, "Bilang sama gue, apa yang mungkin terjadi dari lobi sampai apartemen lo?" "Bisa apa aja," dia menjawab dengan memanyunkan bibir, "Yang jelas lo bakalan nyesal." "Oke, oke," pria itu masih tertawa ketika melepaskan seatbelt dan turun dari mobil, "Ayo, gue anterin sampai apartemen lo." "Gitu, dong. Kalau baik jangan nanggung," gadis itu melompat turun dari Jeep Wrangler Rubicon milik pria yang baru dikenalnya. Aneh. Mereka baru berkenalan. Itu pun hanya bertukar nama. Tetapi Daniya merasa nyaman. Gadis itu tidak canggung untuk berkeluh kesah sepanjang perjalanan dari kelab malam menuju apartemennya. Dia memaki Dani, kakak kembarnya, menyebutkan alasan kenapa dia membenci Dani, bercerita tentang masalah
Daniya terbangun karena dering bel apartemen yang terus berbunyi. Masih setengah memejamkan mata, gadis itu keluar dari selimut tebal kemudian mencari ponsel untuk mengetahui ini sudah pukul berapa. Pukul enam. Masih terlalu pagi. Siapa? Dia beringsut turun dari tempat tidur dan tersuruk mencari sandal sebelum keluar dari kamar. Matanya masih terasa berat. Kepalanya sangat sakit. Pengar karena alkohol yang dinikmatinya sepanjang malam. "Sial," dia memijat pelipis sambil melihat interkom. Ada sosok kembarannya di depan pintu apartemen."Ngapain lo? Ayam juga kalah pagi sama lo," dia membuka pintu apartemennya. "Pagi, Daniya. Lo nggak bakalan ngomel karena gue bawakn croissant favorit lo. Gue bela-belain ngantre demi lo." "Croissant doang nggak cukup," Daniya menerima paperbag yang diulurkan kembarannya, "Lo ngapain ke sini?" "Bangunin lo. Semalam lo bilang ada meeting penting pagi ini. Tadi malam lo minum banyak. Gue takut lo telat bangun." "Perhatian banget," gadis itu ke pantry