"Sudah sampai," salah satu supir keluarga Aruna berhenti di depan gang sempit. Sebelumnya Baskara memang sudah menginformasikan kalau cukup diantar sampai depan gang. Bukan karena tidak ingin atau takut para tetangga bertanya melainkan karena gang itu hanya cukup dilalui oleh satu motor saja. "Makasih, Pak," Baskara melemparkan senyum sebelum turun dan mobil. Dia sempat membungkuk sebelum mobil keluaran Eropa itu berlalu. Sepanjang perjalanan menuju kamar kontrakan yang sudah menjadi rumah sepanjang ingatannya dia tidak berhenti memikirkan perbedaan antara dirinya dan Aruna. Terlalu jauh. Sulit untuk menyamai bahkan sekadar mendekati kehidupan yang dijalani Aruna. "Tahu diri, dong, Bas," dia menghembuskan napas panjang sebelum berhenti di depan pagar berkarat sambil menatap ke ujung lantai dua. Cahaya lampu berpendar keluar dari jendela. Salimah sudah pulang. Pasti beliau cemas karena sampai pukul sembilan malam anaknya belum kembali. "Nggak ada yang perlu disesali, Bas. Keluarga
"Sejak kapan Kakak suka tiramisu? Seingatku Kakak nggak suka makanan manis, deh." Pertanyaan yang sejak tadi tertahan di ujung lidah Aruna akhirnya terlontarkan dalam perjalanan pulang. Setelah menyelesaikan makan malam dan puas mengobrol, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang menjelang pukul sebelas malam. Saat ini merasa sedang dalam perjalanan menuju gedung apartemen yang mereka tinggali. "Kata siapa?" Baskara mengecilkan volume lagu yang mengalun mengisi keheningan. "Masih nggak suka? Kalau gitu kenapa Kakak sengaja pesan?" Gadis itu masih belum menyerah. "Aku nggak sengaja pesan," Baskara berusaha mengelak sambil berpura-pura fokus pada laju lalu lintas. Akan sangat memalukan kalau sampai Aruna tahu apa saja yang dilakukannya untuk menyenangkan hati sang gadis."Nggak usah bohong, Kak," Aruna mengulum senyuman, "Tadi Kak Putra sendiri yang bilang kalau Kak Askara minta dessertnya harus tiramisu. Nggak mau tahu, pokoknya tiramisu. Ngaku, deh!""Ck," dia berdecak kesal, "Dasa
Gala tidak peduli pada musik yang berdentum memekakkan telinga setiap pengunjung kelab malam terkenal ibukota ini. Dia tidak pernah benar-benar peduli pada musik. Pengetahuannya terbatas pada top 40. Itu juga hanya familiar. Tidak benar-benar tahu. Tidak ada penyanyi yang disukai atau diidolakannya. Meski begitu, pria itu senang mengunjungi kelab malam. Bukan untuk mendengarkan musik tetap untuk minum sambil mengamati kelakuan para pengunjung. Malam ini tidak ada bedanya. Setelah berdebat dengan sang ayah tadi siang, dia hanya menginginkan satu hal. Melarutkan diri dalam minuman racikan bartender favoritnya. Persetan dengan lagu yang dimainkan oleh DJ. "Lagi, Pak?" Martin, bartender kebanggan kelab malam ini kembali bertanya ketika dia menghabiskan gelas untuk kedua kalinya. "Ya. Vodka Martini," Gala menjawab sambil menggeser gelas kosong, "Kelab ini nggak pernah sepi, ya." "Jangan sampai sepi, dong, Pak. Nanti saya nggak dapat tip," bartender itu terkekeh, "Belakangan makin rame,
Setelah gelas kelima, Gala memutuskan untuk berhenti. Jika menuruni keinginan tentu dia akan memesan gelas keenam, ketujuh dan baru berhenti entah di gelas keberapa. Tetapi dia ingat kalau dia masih harus menyetir pulang ke apartemennya. Biasanya dia akan memanggil supir untuk menjemput. Dia selalu taat peraturan. Sangat jarang dia membiarkan dirinya menyetir setelah mengkonsumsi alkohol. Malam ini pengecualian. Suasana hatinya masih belum cukup baik. Sepertinya dia tidak akan langsung balik ke apartemen. Menyetir tanpa arah selama beberapa saat terdengar menyenangkan. Pria itu tidak labgsung menyetir pulang. Dia bersandar ke kap Jeep Wrangler Rubicon miliknya kemudian mengeluarkan rokok dari saku beserta lighter. Tidak membutuhkan waktu lama dia sudah tengelam dalam nikotin.Dia masih kesal. Tentu saja. Minuman tidak akan semudah itu mengusir kekesalannya. Tadi siang dia mendengar jawaban yang sama untuk kesekian kalinya dari sang ayah. "Mungkin tahun depan." Tiga kata yang menghanc
"Mampir?" Daniya memejamkan mata dan sedikit menggerakan kepala untuk mengusir pusing yang mulai hadir. "Udah jam segini," Gala tersenyum, "Lain kali."Gadis itu tersenyum tipis sebelum membuka mulut, "Kalau gue kenapa-kenapa lo bakal nyesal seumur hidup, lho."Gala tertawa kecil, "Bilang sama gue, apa yang mungkin terjadi dari lobi sampai apartemen lo?" "Bisa apa aja," dia menjawab dengan memanyunkan bibir, "Yang jelas lo bakalan nyesal." "Oke, oke," pria itu masih tertawa ketika melepaskan seatbelt dan turun dari mobil, "Ayo, gue anterin sampai apartemen lo." "Gitu, dong. Kalau baik jangan nanggung," gadis itu melompat turun dari Jeep Wrangler Rubicon milik pria yang baru dikenalnya. Aneh. Mereka baru berkenalan. Itu pun hanya bertukar nama. Tetapi Daniya merasa nyaman. Gadis itu tidak canggung untuk berkeluh kesah sepanjang perjalanan dari kelab malam menuju apartemennya. Dia memaki Dani, kakak kembarnya, menyebutkan alasan kenapa dia membenci Dani, bercerita tentang masalah
Daniya terbangun karena dering bel apartemen yang terus berbunyi. Masih setengah memejamkan mata, gadis itu keluar dari selimut tebal kemudian mencari ponsel untuk mengetahui ini sudah pukul berapa. Pukul enam. Masih terlalu pagi. Siapa? Dia beringsut turun dari tempat tidur dan tersuruk mencari sandal sebelum keluar dari kamar. Matanya masih terasa berat. Kepalanya sangat sakit. Pengar karena alkohol yang dinikmatinya sepanjang malam. "Sial," dia memijat pelipis sambil melihat interkom. Ada sosok kembarannya di depan pintu apartemen."Ngapain lo? Ayam juga kalah pagi sama lo," dia membuka pintu apartemennya. "Pagi, Daniya. Lo nggak bakalan ngomel karena gue bawakn croissant favorit lo. Gue bela-belain ngantre demi lo." "Croissant doang nggak cukup," Daniya menerima paperbag yang diulurkan kembarannya, "Lo ngapain ke sini?" "Bangunin lo. Semalam lo bilang ada meeting penting pagi ini. Tadi malam lo minum banyak. Gue takut lo telat bangun." "Perhatian banget," gadis itu ke pantry
"Lo udah mau cabut?" Sejak pukul enam sore Gala sudah berada di apartemen Baskara. Sahabatnya itu memaksa Baskara untuk pulang cepat karena katanya ada sesuatu yang ingin diceritakannya dan itu hal penting. Jangan tanya kenapa Baskara memenuhi permintaan Gala yang cukup absurs karena biasanya dia baru meninggalkan kantor setelah pukul enam sore. "Iya. Kenapa?" Gala mengenakan jaket jeans-nya. Sedikit bersungut karena dia bisa melupakan leather jacket favoritnya di apartemen Daniya. Walau dia sangat ingin untuk mengunjungi gadis itu tetapi dia menahan diri untuk tidak melakukan itu. Gala tidak cukup yakin kalau Daniya mengingatnya karena gadis itu cukup mabuk ketika mereka berkenalan. "Lo nyuruh gue pulang cepat buat dengar curhatan lo doang?" Gala mengangguk sambil terkekeh, "Sesekali gantian, Bas. Jangan cuma gue yang capek denger tentang Aruna." "Sialan," Baskara melempar kulist kacang yang baru dikupas. "Ngomong-ngomong Aruna, udah semingguan lo nggak ngocehin tentang dia. Ka
Salimah pernah bercerita bagaimana memasak merupakan serangkaian ritual penuh sihir dan keajaiban. Walau sudah dewasa, Baskara masih mempercayainya. Bagaimana tidak, hanya dengan masakan seseorang dapat tersenyum bahagia atau sebaliknya, mendadak merasa sembilu. Tentu itu karena sihir dan keajaiban. Ketika ide untuk membuatkan makan malam sebagai bentuk permintaan maaf kepada Aruna muncul di benak, pria itu langsung melakukannya. Semoga keajaiban dan sihir masakannya akan membuat Aruna memaafkannya. Baskara menumis irisan bawang putih dan bawang bombay. Sambil menunggu layu, pria itu membalurkan bawang putih, lada dan jahe ke arah daging iris lalu mengaduknya hingga rata sebelum menyimpan di kulkas selama beberapa saat. Ketika aroma khas bawang putih dan bawang bombay tercium dengan gesit dia memasukan irisan wortel lalu menambahkan sedikit air. Baskara lalu memgambil sisa sayur yang belum sempat dicuci dan membersihkannya satu persatu. Setelah itu kembang kol dan jagung muda menyu