Taman belakang SMA Insan Harapan terlihat teduh seperti biasa walau matahari bersinar terik. Meski begitu nyaris tidak ada seorangpun di sana. Para siswa lebih memilih menghabiskan waktu di ruang klub atau bersantai di kantin yang lebih menyerupai kafetaria dengan sekian banyak pilihan menu dan fasilitas yang ditawarkan. Itu yang membuat Baskara betah berlama-lama di sana. Dia tidak harus berinteraksi dengan siapapun kecuali sahabatnya. Itu juga jika Gala tidak terlalu sibuk dengan berbagai urusannya. Tetapi itu hingga beberapa bulan lalu. Sebelum Aruna dengan seenaknya masuk dalam hidupnya. Sebelum tiga bulan lalu dia menyatakan perasaannya pada gadis itu. "Selesai! Aku boleh pulang!" Sambil tersenyum lebar Aruna menggeser buku tugasnya ke arah Baskara. Pemuda yang sejak tadi diam-diam terus memperhatikan gadis itu dengan berpura-pura membaca novel langsung meletakkan buku yang sedang dibaca dan menarik buku tugas milik pacarnya. "Yakin benar semua? Kalau ada yang salah tetap ngg
Baskara tahu kalau Aruna berasal dari keluarga kaya. Bahkan salah satu yang terkaya tidak hanya di negara melainkan di kawasan ini. Meski begitu ketika tiba di kediaman keluarga gadis itu, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak terpukau. Rumah Aruna tidak hanya besar. Sangat besar dan dilengkapi teknologi terkini. Ukuran pos penjagaan di depan jauh lebih besar dari kamar yang disebut rumah oleh Baskara. Setelah melewati gerbang, rumah utama masih belum terlihat jelas. Selain karena keberadaan pohon-pohon yang cukup rindang juga karena masih cukup jauh jarak dari gerbang ke rumah utama. Baskara tidak dapat membayangkan sebesar apa lahan milik keluarga Aruna. Dibandingkan dengan rumah Gala juga rumah gadis itu masih berkali lipat lebih besar. Tetapi dia tidak sepenuhnya yakin karena dia hanya pernah sekali ke rumah sahabatnya karena ada barang tertinggal. Selebihnya Gala lebih memilih menghabiskan waktu di apartemen yang ditinggalinya bersama asisten rumah tangga. "Rumah kamu gede
"Nggak lucu, Pa!" Aruna mengancing celana yang baru dikenakanya sebelum melesat keluar dari kamarnya yang terletak di lantai tiga kediaman keluarganya. Salah satu asisten rumah tangga baru saja mengabari kalau Nanditama, sang ayah, ada di rumah dan penasaran dengan teman anak bungsunya itu. "Nona, hati-hati," asisten runah tangga yang sudah bekerja cukup lama berteriak tertahan saat melihat Aruna melompati dua anak tangga sekaligus. "Iya!" Aruna balas berteriak masih sambil melompati dua anak tangga. Begitu tiba di lantai dasar dia tidak juga mengurangi kecepatannya. Gadis itu bahkan semakin mempercepat langkah menuju pool house. Dia tidak dapat membayangkan apa yang sedang terjadi saat ini. Aruna harus menyelamatkan pacarnya dari apapun yang akan dilakukan oleh Nanditama. Aruna langsung masuk ke pool house tanpa merasa perlu mengetuk terlebih dulu. Gadis itu muluncur masuk dan sontak tatapannya berubah menjadi kebingungan. Dia berpikir akan menemukan suasana dingin atau berhadap
"Udah?" Aruna menaikan kacamata renang yang dikenakan. Bosan menunggu Nanditama yang masih ingin memonopoli Baskara karena penasaran dengan kemampuan bercatur pemuda itu. Beliau tidak terima dapat dikalahkan dengan mudah. Bahkan Arsya saja nasih kesulitan untuk mengalahkan ayahnya. "Udah," Baskara berjongkok di tepi kolam renang, "Katanya ada urusan penting. Kalau nggak masih bakalan main kayaknya." "Tadi berapa ronde? Lama banget. Aku sampai pegal, lho. Nggak tahu udah berapa kali bolak-balik." Baskara melihat panjang kolam renang ukuran olimpiade. Tidak aneh jika Aruna mengeluh kakinya pegal. Dia yakin hanya mampu berenang satu putaran sebelum kakinya kram. "Lima," Baskara terkekeh sambil menepuk kepala Aruna lembut, "Tebak aku menang berapa kali." "Tiga?" Melihat Baskara menggeleng gadis itu langsung mengubah tebakannya, "Dua? Nggak juga? Masa empat? Papa aku jago banget, lho!" "Lima," pemuda itu tersenyum lebar melihat mata Aruna melebar tidak percaya, "Kenapa? Kamu kira ak
"Sudah sampai," salah satu supir keluarga Aruna berhenti di depan gang sempit. Sebelumnya Baskara memang sudah menginformasikan kalau cukup diantar sampai depan gang. Bukan karena tidak ingin atau takut para tetangga bertanya melainkan karena gang itu hanya cukup dilalui oleh satu motor saja. "Makasih, Pak," Baskara melemparkan senyum sebelum turun dan mobil. Dia sempat membungkuk sebelum mobil keluaran Eropa itu berlalu. Sepanjang perjalanan menuju kamar kontrakan yang sudah menjadi rumah sepanjang ingatannya dia tidak berhenti memikirkan perbedaan antara dirinya dan Aruna. Terlalu jauh. Sulit untuk menyamai bahkan sekadar mendekati kehidupan yang dijalani Aruna. "Tahu diri, dong, Bas," dia menghembuskan napas panjang sebelum berhenti di depan pagar berkarat sambil menatap ke ujung lantai dua. Cahaya lampu berpendar keluar dari jendela. Salimah sudah pulang. Pasti beliau cemas karena sampai pukul sembilan malam anaknya belum kembali. "Nggak ada yang perlu disesali, Bas. Keluarga
"Sejak kapan Kakak suka tiramisu? Seingatku Kakak nggak suka makanan manis, deh." Pertanyaan yang sejak tadi tertahan di ujung lidah Aruna akhirnya terlontarkan dalam perjalanan pulang. Setelah menyelesaikan makan malam dan puas mengobrol, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang menjelang pukul sebelas malam. Saat ini merasa sedang dalam perjalanan menuju gedung apartemen yang mereka tinggali. "Kata siapa?" Baskara mengecilkan volume lagu yang mengalun mengisi keheningan. "Masih nggak suka? Kalau gitu kenapa Kakak sengaja pesan?" Gadis itu masih belum menyerah. "Aku nggak sengaja pesan," Baskara berusaha mengelak sambil berpura-pura fokus pada laju lalu lintas. Akan sangat memalukan kalau sampai Aruna tahu apa saja yang dilakukannya untuk menyenangkan hati sang gadis."Nggak usah bohong, Kak," Aruna mengulum senyuman, "Tadi Kak Putra sendiri yang bilang kalau Kak Askara minta dessertnya harus tiramisu. Nggak mau tahu, pokoknya tiramisu. Ngaku, deh!""Ck," dia berdecak kesal, "Dasa
Gala tidak peduli pada musik yang berdentum memekakkan telinga setiap pengunjung kelab malam terkenal ibukota ini. Dia tidak pernah benar-benar peduli pada musik. Pengetahuannya terbatas pada top 40. Itu juga hanya familiar. Tidak benar-benar tahu. Tidak ada penyanyi yang disukai atau diidolakannya. Meski begitu, pria itu senang mengunjungi kelab malam. Bukan untuk mendengarkan musik tetap untuk minum sambil mengamati kelakuan para pengunjung. Malam ini tidak ada bedanya. Setelah berdebat dengan sang ayah tadi siang, dia hanya menginginkan satu hal. Melarutkan diri dalam minuman racikan bartender favoritnya. Persetan dengan lagu yang dimainkan oleh DJ. "Lagi, Pak?" Martin, bartender kebanggan kelab malam ini kembali bertanya ketika dia menghabiskan gelas untuk kedua kalinya. "Ya. Vodka Martini," Gala menjawab sambil menggeser gelas kosong, "Kelab ini nggak pernah sepi, ya." "Jangan sampai sepi, dong, Pak. Nanti saya nggak dapat tip," bartender itu terkekeh, "Belakangan makin rame,
Setelah gelas kelima, Gala memutuskan untuk berhenti. Jika menuruni keinginan tentu dia akan memesan gelas keenam, ketujuh dan baru berhenti entah di gelas keberapa. Tetapi dia ingat kalau dia masih harus menyetir pulang ke apartemennya. Biasanya dia akan memanggil supir untuk menjemput. Dia selalu taat peraturan. Sangat jarang dia membiarkan dirinya menyetir setelah mengkonsumsi alkohol. Malam ini pengecualian. Suasana hatinya masih belum cukup baik. Sepertinya dia tidak akan langsung balik ke apartemen. Menyetir tanpa arah selama beberapa saat terdengar menyenangkan. Pria itu tidak labgsung menyetir pulang. Dia bersandar ke kap Jeep Wrangler Rubicon miliknya kemudian mengeluarkan rokok dari saku beserta lighter. Tidak membutuhkan waktu lama dia sudah tengelam dalam nikotin.Dia masih kesal. Tentu saja. Minuman tidak akan semudah itu mengusir kekesalannya. Tadi siang dia mendengar jawaban yang sama untuk kesekian kalinya dari sang ayah. "Mungkin tahun depan." Tiga kata yang menghanc