Aruna mematikan laptop setelah hari yang panjang dilanjutkan dengan merenggangkan punggung. Hari ini semua berjalan sebaik yang bisa dibayangkan olehnya. Meeting panjang dengan tim legal dan sepupunya berakhir dengan baik. Tim legal akan menyelesaikan draft kontrak kemudian mengirimkan kepada KAMALA dan Steam Perfection untuk dievaluasi terakhir kali sebelum penandatanganan. Jadwal yang padat menjadi alasan baik karena itu berarti dia tidak sempat memikirkan Baskara. Jantungnya melonjak ketika dia mengingat pria itu. Astaga. Dia terdengar seperti remaja ingusan saat ini. "Mbak," ketukan samar terdengar dari pintu ruang kerja yang memang tidak ditutupnya. Ketika Aruna memalingkan wajah dia menemukan sosok Hansa dan Fahira di ambang pintu. "Ya?" Dia berdeham untuk memastikan suaranya tidak memancing kecurigaan, "Kenapa?""Jadi meeting-nya? Udah hampir jam 5. Yang lain udah pada siap-siap mau pulang." "Shit! Aku sampai lupa," dia menepuk kening, "Masuk. Harusnya ini nggak lama
"Au!" Aruna berteriak ketika Maya menyimpul pita yang berada di bagian pinggang wrap gown sutra dengan panjang menyapalu lantai yang dikenakannya. Gaun berwarna silver itu memiliki belahan leher rendah serupa dengan desain blazer yang memberikan kesan sporty tetapi tetap seksi dengan belahan tinggi hingga ke paha. "Kekencangan, Mbak?" Penuh rasa bersalah asisten pribadi gadis itu bertanya. "Iya," dia mengusap bagian depan gaunnya, "Ini nggak terlalu seksi?" "Nggak," gadis itu menjawab dengan cepat, "Lebih seksi yang satunya." "Iya?" Aruna bertanya ragu, "Ini belahan lehernya nggak bisa diapain gitu?""Mau diapain? Udah bagus ini, Mbak," Maya sedikit melonggarkan ikatan pinggang gaun Aruna, "Segini, Mbak?" Aruna mengangguk sambil memperhatikan riasan wajah hasil karya MUA langganan yang baru diselesaikan lima menit lalu. Seperti biasa MUA tersebut berhasil memenuhi permintaannya. Riasan flawless dengan bold di bagian bibir. "Lipstick-nya kemerahan, deh," Aruna menoleh menv
Tamu lain terlihat bersenang-senang, minum dan tertawa, mengabaikan kemewahan yang tersaji di setiap sudut ballroom. Berbeda dengan Aruna. Gadis itu sudah terbiasa dengan kemewahan dan bertemu dengan tidak hanya orang kaya tetapi juga berkuasa. Yang membuat dia tidak tenang adalah kenyataan kalau namanya sudah dimasukkan oleh sang ibu dalam daftar pelelangan malam ini. Salah satu cara mengumpulkan dana sumbangan malam ini adalah dengan mengadakan acara lelang bertajuk One Hour Dinner with Lady. Acara yang paling dibenci oleh Aruna. Konsep pelelangan itu sederhana. Gadis yang namanya ada dalam daftar akan dipanggil ke panggung dan pengunjung akan menawarkan harga yang pantas untuk menikmati makan malam bersama dengan gadis yang sedang dilelang saat itu. Untuk waktu makan malam diserahkan kepada pemenang lelang. Manusia sudah hampir mendarat di Mars tetapi acara seperti ini entah mengapa masih menarik perhatiaan. Padahal sungguh itu merendahkan wanita dirasa oleh Aruna. Capek para
"Nona Aruna," seorang usher acara menghampiri Aruna yang berdiri di barisan belakang sambil memegang segelas sampanye, "Mari ikut saya. Setelah Nona Calya berikutnya giliran Anda." Aruna menarik napas panjang sambil melirik ke arah panggung. Nama sepupunya itu disebut oleh MC dan tidak lama disusul dengan sosok Calya yang berjalan ke tengah panggung. Gadis itu tersenyum. Tentu saja. Pacarnya ada di barisan paling depan dan siap menyelamatkannya dengan menjadi penawar tertinggi. Hati Aruna mencelos ketika ingat tidak ada seorang pun yang akan menyelamatkannya. Peraturan tidak tertulis, keluarga tidak boleh ikut dalam pelelangan. "Baik," Aruna meletakkan gelas sampanye di neja terdekat kemudian mengikuti usher ke belakang panggung. "Silakan menunggu sampai nama Anda dipanggil," usher itu tersenyum sambil membuka sebuah ruangan yang tercipta dengan beberapa helai kain hitam. Meski begitu tentu bagian dalamnya begitu mewah dan elegan. Sofa kulit yang diimpor langsung dari Italia dan
Baskara menghela napas untuk kesekian kalinya. Seharusnya dia tidak setuju untuk menghadiri acara ini seorang diri. Mulut manis Gala yang berhasil meyakinkan dia kalau sebagai mitra bisnis Widjaja Group dia harus hadir. Setidak menyetor mukanya di hadapan keluarga Widjaja demi kesan baik. Bodohnya dia mempercayai sahabatnya itu hingga malam ini dia berada di acara penggalangan dana yang diadakan oleh Widjaja Group seorang diri. Dia sudah berusaha menyerat Gala tetapi dengan licin sahabatnya itu berkelit kalau dia memiliki janji makan malam bersama orang tuanya. Pria itu tahu dengan pasti kelemahan Baskara, orang tua. Ketika musik tiba-tiba berhenti dan suara nyanyian berganti dengan suara MC, Baskara tidak peduli. Pria itu memilih untuk tetap bergeming. Berdiri di samping sebuah dekorasi besar yang diyakininya berharga fantastis agar bayangan dapat menutupi dirinya hingga kehadirannya tidak mencolok. Dia melemparkan tatapan malas ke panggung. Melihat gadis silih berganti setelah di
"Aku tidak pernah tahu kalau Anda tertarik dengan acara pelelangan semacam itu," Narendra menyapa Baskara yang sedang menyesap mocktail. "Memang tidak," Baskara menjawab cepat dan berharap itu cukup meyakin, "Tapi pengecualian." "Karena Aruna?" Senyum yang terulas di wajah Narendra memastikan dugaan Baskara kalau pemimpin Widjaja Group itu tahu kisah masa lalu antara dia dan Aruna. "Sejelas itu?" Baskara terkekeh pelan. Berusaha untuk tetap terlihat tidak terganggu. "Hanya untuk mata tertentu," Narendra mengambil segelas Scotch yang dihidangkan on the rock glass, "Sama sekali di luar rencana, benar?" Baskara mengangguk sambil menyesap minumannya. Tidak ada gunanya berusaha mengelak atau berbohong di hadapan Narendra. Kemampuan pria itu mengendus kebohongan sudah terkenal di duni bisnis. "Good luck, then," sebuah tepukan di bahu Baskara sebelum Narendra menunjuk ke belakang punggungnya, "Kalau dilihat dari ekspresinya saat ini, kamu membutuhkan banyak keberuntungan malam ini." S
Baskara tidur tidak nyenyak. Pria itu gelisah sepanjang malam. Ketika terbangun di pagi hari jangankan merasa segar dia malah merasa lelah dengan gumpalan perasaan kesal bersemayam di perutnya. Juga sakit hati. Ini sering terjadi saat dia masih bersekolah di SMA Insan Harapan. Setiap hari ada saja kelakuan siswa-siswa lain yang membuat harga dirinya terluka hingga malam-malamnya menjadi jauh dari kata tenang. Ada ego yang harus ditambalnya. Setiap malam. Setelah memaksa diri untuk turun dari tempat tidur dan bersiap bekerja, perasaannya masih juga belum membaik. Sepanjang perjalanan ingin rasanya dia meneriaki mereka yang ditemuinya hanya karena permasalahan sederhana. Concierge yang tidak sengaja menabrak bahunya, petugas parkir yang menghalangi sepedanya, pengguna jalan yang tidak tertib dan berbagai alasan lain yang biasa tidak pernah menjadi masalah untuknya. Ketika sampai di kantor, tahu kalau sedang tidak baik-baik saja, Baskara memilih untuk lebih banyak berdiam diri. Dia ti
"Berapa?" Baskara tidak mengindahkan pertanyaan sahabatnya. "Apa-apaan, sih, Bas," Gala menatap pria itu dengan campuran bingung sekaligus tidak percaya, "Lo nggak pernah gini. Kesambet?" "Lo berisik minta gue ngehargain usaha lo ke sini sampai bahas bensin. Berapa? Gue ganti sekarang juga. Lima juta?!" Mata Gala membulat. Dia tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Sahabatnya tidak pernah bertingkah aneh seperti ini. "Lo beneran kesambet. Lewat mana tadi pagi?" "Nggak lucu. Berapa? Cash atau gue transfer?" "Bas, lo yang sekarang bertingkah nggak lucu. Lo habis kenapa? Ada kejadian apa di Gala Dinner semalam?" Pandangan Baskara sesaat mengabur penuh emosi sebelum dia berhasil mengusai dirinya. Sudah cukup sekali dia membiarkan emosi menguasai dirinya. Dia juga tidak ingin mempermalukan diri di depan sahabatnya. "Apa hubungannya?" Baskara menoleh dan menatap sahabatnya, "Lo yang mulai. Berapa?" "Ck," Gala berdecak, "Lo tahu kalau tadi gue cuma bercanda. Itu bukan perta