"Daebaak! Ini keren banget!" Anya tidak berhenti bersuara sejak mereka tiba di gedung Widjaja Group, "Bos, kira-kira kapan kita pindah ke kantor sekeren ini?" "Kantor kita masih kurang keren?" Baskara bertanya sambil terkekeh melihat polah asisten pribadinya itu. Di banding gedung Widjaja Group jelas kantor Steam Perfection tidak ada apa-apa. Bukan berarti kantor mereka sangat buruk. Dibandingkan dengan kantor lain di ibukota, Steam Perfection terbilang sebagai salah satu kantor terbaik. Tidak hanya lokasi yang stretegis tetapi juga berdasarkan fasilitas yang tersedia seperti camilan gratis, tempat istirahat, desain interior yang instagramable tetapi masih memenuhi standar ergonomis, keanggotan tempat olahraga, dan sederet fasilitas lainnya. "Udah keren, tapi kurang mewah," Anya menjawab sebelum mendahului Baskara menghampiri resepsionis. Baskara memilih untuk menunggu sambil melihat ke sekeliling. Anya tidak salah, gedung Widjaja Group setiap sudutnya memang meneriakan kemewahan.
"Mas," Aruna mengetuk kemudian masuk ke ruang kerja Narendra, "Sibuk nggak?" "Tidak," Narendra menggoyangkan ponsel, "Baru selesai teleponan dengan Agnia. Syutingnya sudah selesai dan dia akan segera pulang. Akhirnya..." "Kangen banget, ya? Ini udah berapa lama di Interlaken? Ada sebulan?" "Hampir sebulan. Bayangkan saja. Kalau tidak ditahan Abi mungkin tiap minggu aku terbang ke sana. Sayangnay pekerjaanku juga sedang banyak." "Kapan, sih, pekerjaan Mas nggak banyak?" Gadis itu ketawa kecil, "Aku dengar dari Mas Abi kalau kita nawarin pendanaan ke Steam Perfection?" "Iya. Kenapa?" Narendra memutar kursi kerja, "Ada masalah?""Nggak ada. Aku cuma mau mastiin karena...""Kamu dan pemilik Steam Perfection memiliki cerita di masa lalu?" Pipi Aruna yang memerah sudah memberikan jawaban, "Pasti tahu dari Mas Arsya! Dasar, bisa-bisa aku punya kakak yang mulutnya ember kayak gitu." "Jadi itu benar?" "Benar," Aruna mengangguk dengan pipi semakin memerah, "Kami pernah pacaran. Tapi cum
Segera setelah Aruna bergabung bersama mereka pertemuan dimulai. Ada banyak yang harus mereka diskusikan sementara waktu yang mereka miliki sangat terbatas. Narendra dan Abimana harus menghadiri pertemuan lain sementara Baskara sudah memiliki janji dengan wartawan salah satu majalah ekonomi terbesar di negara ini. Seluruh persiapan yang sudah dilakukannya Baskara seakan lenyap. Pria itu bahkan tidak fokus sepanjang pertemuan ini. Setiap kata yang diucapkan oleh Aruna atau yang lain hanya masuk telinga kiri dan segera keluar dari telinga kanan. Konsentrasinya tertuju hanya pada Aruna. Jika di supermarket dia hanya dapat mengamati dari jauh, kali ini tidak. Mereka hanya berjarak beberapa langkah. Pandangan Baskara penuh dengan sosoknya. Gadis itu masih secantik ingatannya. Ada yang berbeda, fitur kekanakan sudah sempurna menghilang dari wajah gadis itu. Aruna yang sekarang berdiri di hadapannya merupakan sosok wanita dewasa yang tidak hanya cantik tetapi juga memancarkan aura kecerdas
Gadis itu menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga sebelum menggigit bibir menunjukkan dia sedang berpikir sambil menyoret sesuatu di kertas. Walau memiliki iPad dan laptop, Aruna lebih suka menggunakan kertas. Hanya gerakan sederhana tetapi itu memaku mata Baskara. Pikirannya yang sudah kembali jernih seketika kembali kosong. Hanya terisi dengan sosok Aruna. Ketika menatap wajah gadis itu dia seakan kembali ke masa lalu. Masa SMA. Masa ketika menatap wajah Aruna adalah hal yang sering dilakukannya hingga dia hapal berbagai ekspresi yang dimiliki oleh gadis itu. Ketika kesal Aruna akan mengernyit hingga muncul lipatan dalam di kening, ketika senyum ada lesung pipi samar yang hanya terlihat jika diperhatikan, atau ketika berpikir gadis itu tanpa sadar akan mengigit bibir kemudian menarik-nariknya seperti yang dilakukan sekarang. Tiba-tiba sebuah tendangan yang menyapa tulang kering menariknya dari lamunan. Tentu saja Anya pelakunya. Seketika dia langsung menoleh ke ara
BODOH! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sejak kembali dari gedung Widjaja Group, Baskara tidak berhenti merutuki diri. Dia tidak percaya kalau dia bisa sebodoh itu. Pria itu tidak habis pikir apa yang membuatnya menjawab pertanyaan Aruna dengan pernyataan yang sama sekali tidak menjawab mengapa dia tidak kunjung menghubungi gadis itu. Baskara melempar tas kerja ke sofa rung duduk unit apartemen kemudian berjalan dengan langkah lebar ke pantry. Segera dia membuka kulkas dan mengambil sebotol cold pressed juice sebelum kembali ke ruang duduk. "Baskara bodoh," pria itu duduk dan menaikan kaki ke atas meja. Dia memejamkan mata sambil memijat pelipis. "Aku akan segera menghubungi Anda," Baskara mengulangi jawaban yang diberikan kepada Aruna ketika gadis itu bertanya mengapa dia masih belum menghubungi gadis itu padahal Gala sudah memberikan nomor ponselnya sejak beberapa hari lalu. "Jawaban macam apa itu Baskara? Kamu mau ngehubungin dia? Kamu mau ngomong apa?" Dia menceracau sambil membuka
Katanya masa SMA adalah masa paling menyenangkan. Seragam putih abu menjadi saksi betapa bewarnanya masa itu. Pertama kali mengerti arti sahabat. Pertama kali tersipu ketika bersitatap dengan seseorang yang membuat jantung berdetak lebih cepat. Pertama kali menjalin hubungan dan mungkin pertama kali patah hati. Ada banyak yang terjadi di masa SMA sehingga masa itu menjadi masa penuh kenangan. Tidak sedikit yang ingin kembali mengulangi masa-masa itu. Baskara tentu termasuk dalam segelintir yang ingin melupakan masa SMA. Wajar. Tidak ada seorang pun yang ingin mengingat perundungan yang pernah mereka terima atau mengingat hinaan yang hampir setiap hari dilontarkan untuk merendahkan dirinya. Walau begitu, hidup tentu tidak hanya penuh dengan kesedihan. Ada Gala dan Aruna yang membuat masa SMAnya sedikit menyenangkan. Dan kenangan itu seketika menyerbu ketika melihat foto yang diunggah oleh Aruna di akun media sosialnya. Tidak ada yang istimewa. Dibandingkan dengan foto-foto lain yang
Selesai dengan harinya yang panjang, Aruna kembali ke rumah orang tuanya. Malam ini dia memiliki janji untuk makan malam bersama dengan mereka dan kakak satu-satunya yang kebetulan sedang berkunjung ke ibukota. Tidak ada yang istimewa. Makan malam bersama sudah menjadi kebiasaan setidaknya satu bulan sekali. Kedatangan Arsya juga tidak menjadikannya istimewa kecuali percakapan akan terfokus pada pria itu. Maklum, orang tua mereka sudah tidak sabar untuk memiliki menantu dan cucu. "Langsung ke kamar, Na?" Arsya yang bertanya. Hanya tersisa pria itu di meja makan."Iya," Aruna mengambil botol minuman yang sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga sesuai dengan permintaannya, "Capek banget hari ini. Pengin langsung istirahat. Besok juga aku meeting dari pagi." "Nggak ada yang pengin kamu ceritain ke aku?" Pria itu dengan santai menyandarkan punggung pada sandaran kursi dan asyik menikmati dessert. "Cerita apa?" Gadis itu membuka botol minum dan mencicipin teh herbal buatan asisten rum
"Mas Arsya nyebelin!" Sambil bersungut kesal Aruna masuk ke kamar tidurnya. Walau dia sudah bertahun-tahun tidak menempati kamar ini karena dia lebih memilih untuk tinggal di apartemen setelah menyelesaikan kuliahnya dan kembali ke ibukota, orang tuanya masih membiarkan kamar ini persis seperti dia meninggalkannya dulu. Nyaris tidak ada yang berubah kecuali wallpaper yang sudah diganti dengan motif yang lebih dewasa, foto-foto hasil jepretan fotografer idolanya sudah diganti dengan bingkai yang lebih minimalis, peralatan mandi, skincare serta make up sudah diganti sesuai dengan yang sekarang digunakan oleh Aruna. Setelah meletakkan botol minum di meja, gadis itu berjalan menuju jendela kemudian membuka gorden dan menatap lampu-lampu taman. Salah satu tempat favorit Aruna di rumah orang tuanya. Puas menatap pemandangan taman, Aruna beranjak menuju rak buku panjang dan tinggi di samping meja kerjanya. Tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk menemukan apa yang dicari. Buku tahunan
Berbeda dengan tadi pagi ketika mengawali hari, semakin sore Anya semakin uring-uringan. Bagaimana tidak sepanjang hari dia berulang kali mendapati atasannya melihat ponsel sambil senyum-senyum sendiri. Menyebalkan. Anya yakin kalau mantan pacar sang atasan yang menjadi penyebabnya. Hari sudah menjelang pukul tiga tetapi pekerjaannya masih menggunung. Hari ini entah mengapa dia tidak dapat fokus. Yang dilakukannya hanya mencari tahu tentang Aruna. Awalnya dia cukup yakin dapat bersaing dengan gadis itu. Aruna hanya menang nama keluarg saja. Memang gadis itu lebih cantik dan menawan dibanding dirinya tetapi dia tahu kalau Baskara tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Sayangnya, semakin dia mencari tahu tentang Aruna, semakin dia merasa kecil. Aruna memang terlahir dengan begitu banyak priviledge dan dia memanfaatkannya dengan baik. Sejak remaja dia sudah sering mendapatkan penghargaan di bidang fotografi, menyelesaikan sekolah dan kuliah tidak hanya tepat waktu tapi juga dengan ha
Anya memulai pagi hari Rabu ini seperti biasa. Dari indekosnya dia menumpangi angkutan umum selama lima belas menit, cukup beruntung karena pagi ini dia tidak harus berdesak-desakan. Itu saja sudah berhasil membuat suasana hatinya riang. Dia yakin hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Begitu turun di halte seberang gedung tempat kantor Steam Perfection berada dia menyempatkan diri untuk membeli dua porsi bubur ayam. Satu porsi untuknya, dengan esktra sambal, dan satu porsi lagi yang tidak mengunakan daun seledri akan diberikan kepada atasannya, Baskara. Beberapa kali dalam sebulan, biasanya ketika suasana hatinya sedang riang, dia membelikan sarapan untuk pria yang diam-diam ditaksirnya itu. Baskara bukan seorang pemilih dalam hal makanan dan itu memudahkan Anya jika ingin memberikan kejutan seperti pagi ini. Gadis itu yakin, perhatian-perhatian kecil seperti ini akan meluluhkan hati sang atasan. Walau sejak kehadiran Aruna dia tidak seyakin dulu. Kesal mengingat gadis yang
Aruna memastikan ikat pinggang yang dikenakannya masuk ke lubang chino berearna khaki yang dikenakannya. Hari ini akan menjadi hari yang panjang di kantor hingga dia memutuskan mengenakan kaus garis-garis horizontal yang dipadu dengan blazer berpotongan pas badan warna navy agar tidak terlihat terlalu santai. Terlalu fokus merapikan penampilan hingga butuh waktu cukup lama sebelum otaknya menyadari bahwa ada seseorang yang sedang membunyikan bel apartemennya. Dia melirik jam sambil berjalan keluar dari kamar. Bahkan pukul enam saja baru lewat beberapa menit. Rasanya terlalu pagi untuk bertamu. Siapa? Gadis itu membuka pintu yang terhubung dengan foyer dan mengintip siapa yang berkunjung. Terburu, dia lupa untuk melihat di interkom siapa yang datang. Seluruh kebingungannya menguap dan berganti dengan senyum lebar ketika melihat Baskara berdiri di foyer sambil memegang dua tumbler yang mengepul dan sebuah kantong paper bag berwarna cokelat dengan logo salah satu gerai kopi yang terse
"Tanaman?" Aruna berhenti mengunyah sebelum tertawa kecil dan melanjutkan makannya, "Pasti Kak Askara ngerasa aneh karena dulu aku kayak sebel banget sama tanaman, kan?"Baskara mengangguk mendengar ucapan gadis itu. "Kapan, ya..." tatapannya terlihat menerawang seakan dia sedang berusaha mengingat, "Waktu kuliah kayaknya. Aku sempat yang stress banget gitu karena kuliah. Memang jurusan yangvaku pengin tapi nggak tahu kok makin lama kayak makin berat. Capek gitu.""Aku sampai ngerasa susah banget buat bangun. Ngerasa nggak punya alasan aja gitu," Aruna kembali menambahkan gyudon ke piringnya, "Terus aku ke psikolog gitu. Nah, buat terapi awal disaranin buat aku punya sesuatu yang bergantung ke aku. Biar itu jadi alasan aku buat bangun dan mulai aktivitas." Baskara sama sekali sudah melupakan makanan yang ada di piringnya. Pria itu fokus mendengarkan cerita Aruna. "Awalnya aku mikir buat pelihara kucing atau anjing. Tapi terus kepikiran kalau aku nggak becus terus mereka mati gimana
"Maaf aku nggak bawa apa-apa," Baskara yang hanya mengenakan kaos dan jeans tersenyum canggung menatap Aruna yang berdiri di ambang pintu. "Siapa yang bilang barus bawa sesuatu?" Aruna tersenyum geli. "Kata Mamak," Baskara beranjak masuk setelah Aruna sedikit menggeser posisi berdiri dan mempersilakan pria itu untuk masuk. Unit apartemen Aruna serupa dengan miliknya. Tetapi suasananya begitu berbeda. Tidak aneh mengingat dekorasi unit apartemen mereka sangat jauh berbeda. Ruang tengah Aruna didominasi furnitur kayu dan rotan dengan bantalan berwarna cream. Di depan sofa terdapat meja kaya dengan desain sederhana tetapi Baskara tahu harganya jauh dari kata murah. Beberapa bantal tertata di sofa dengan sarung berwarna cerah. TV LCD berukuran besar diletakan di atas kabinet dari kayu berpadu anyaman rotan. Tidak ada kabel yang terlihat. Disamping TV hanya ada vas kaca berisi anggrek bulan. Dinding kosong di antara kabinet dan pintu gesee menuju beranda penuh dengan foto hasil jepret
Aruna tersenyum lebar saat pintu lift tertutup. Sejak tadi dia berusaha menahan senyuman. Tidak ingin concierge menyalahartikan atau menimbulkan rumor tentangnya. Dia mengangkat tas bekal yang diberikan oleh concierge. Senyumnya semakin lebar. 'Titipan dari Pak Baskara'Rasa penasaran membuat gadis itu langsung membuka dan mengintip. Terlalu lama rasanya jika harus menunggu hingga dia tiba di unit apartemennya. "Kotak bekal?" Aruna menatap bingung. Dia sudah menduga kalau isi tas bekal itu adalah makanan. Tidak mungkin Baskara repot-repot menggunakan tas bekal dengan lapisan thermal jika isinya bukan makanan. Dugaannya Baskara memesan sesuatu dari restoran. "Isinya apa, ya?" Sungguh gadis itu ingin langsung membuka dua kotak bekal yang tersusun rapi dalam tas itu. Seandainya saja bawaannya malam ini tidak banyak, pasti dia tidak akan berpikir panjang seperti sekarang. Aruna menatap panel lantai. Tidak sabar melihat perpindahan lampu yang menyala. Saat pintu lift terbuka, gadis i
Salimah pernah bercerita bagaimana memasak merupakan serangkaian ritual penuh sihir dan keajaiban. Walau sudah dewasa, Baskara masih mempercayainya. Bagaimana tidak, hanya dengan masakan seseorang dapat tersenyum bahagia atau sebaliknya, mendadak merasa sembilu. Tentu itu karena sihir dan keajaiban. Ketika ide untuk membuatkan makan malam sebagai bentuk permintaan maaf kepada Aruna muncul di benak, pria itu langsung melakukannya. Semoga keajaiban dan sihir masakannya akan membuat Aruna memaafkannya. Baskara menumis irisan bawang putih dan bawang bombay. Sambil menunggu layu, pria itu membalurkan bawang putih, lada dan jahe ke arah daging iris lalu mengaduknya hingga rata sebelum menyimpan di kulkas selama beberapa saat. Ketika aroma khas bawang putih dan bawang bombay tercium dengan gesit dia memasukan irisan wortel lalu menambahkan sedikit air. Baskara lalu memgambil sisa sayur yang belum sempat dicuci dan membersihkannya satu persatu. Setelah itu kembang kol dan jagung muda menyu
"Lo udah mau cabut?" Sejak pukul enam sore Gala sudah berada di apartemen Baskara. Sahabatnya itu memaksa Baskara untuk pulang cepat karena katanya ada sesuatu yang ingin diceritakannya dan itu hal penting. Jangan tanya kenapa Baskara memenuhi permintaan Gala yang cukup absurs karena biasanya dia baru meninggalkan kantor setelah pukul enam sore. "Iya. Kenapa?" Gala mengenakan jaket jeans-nya. Sedikit bersungut karena dia bisa melupakan leather jacket favoritnya di apartemen Daniya. Walau dia sangat ingin untuk mengunjungi gadis itu tetapi dia menahan diri untuk tidak melakukan itu. Gala tidak cukup yakin kalau Daniya mengingatnya karena gadis itu cukup mabuk ketika mereka berkenalan. "Lo nyuruh gue pulang cepat buat dengar curhatan lo doang?" Gala mengangguk sambil terkekeh, "Sesekali gantian, Bas. Jangan cuma gue yang capek denger tentang Aruna." "Sialan," Baskara melempar kulist kacang yang baru dikupas. "Ngomong-ngomong Aruna, udah semingguan lo nggak ngocehin tentang dia. Ka
Daniya terbangun karena dering bel apartemen yang terus berbunyi. Masih setengah memejamkan mata, gadis itu keluar dari selimut tebal kemudian mencari ponsel untuk mengetahui ini sudah pukul berapa. Pukul enam. Masih terlalu pagi. Siapa? Dia beringsut turun dari tempat tidur dan tersuruk mencari sandal sebelum keluar dari kamar. Matanya masih terasa berat. Kepalanya sangat sakit. Pengar karena alkohol yang dinikmatinya sepanjang malam. "Sial," dia memijat pelipis sambil melihat interkom. Ada sosok kembarannya di depan pintu apartemen."Ngapain lo? Ayam juga kalah pagi sama lo," dia membuka pintu apartemennya. "Pagi, Daniya. Lo nggak bakalan ngomel karena gue bawakn croissant favorit lo. Gue bela-belain ngantre demi lo." "Croissant doang nggak cukup," Daniya menerima paperbag yang diulurkan kembarannya, "Lo ngapain ke sini?" "Bangunin lo. Semalam lo bilang ada meeting penting pagi ini. Tadi malam lo minum banyak. Gue takut lo telat bangun." "Perhatian banget," gadis itu ke pantry