"BASKARA! WOY!" Teriakan Gala membuat Baskara refleks mematikan layar iMac-nya. Niat untuk memastikan komputernya sudah dapat berfungsi dan tersambung dengan baik ke wifi berujung dengan dia tenggelam dalam media sosial milik Aruna. Dia memang sudah pernah melihat semua foto yang diunggah oleh gadis itu tetapi itu tidak menahan dirinya untuk kembali tenggelam. Melihat foto-foto yang diunggah oleh Aruna membuat Baskara serasa ikut dalam perjalanan kehidupan gadis itu. Sebelum teriakan Gala mengejutkannya, pria itu sedang melihat foto saat Aruna diwisuda. Gadis itu terlihat anggun dengan gaun berpotongan sederhana tetapi membalut tubuhnya dengan sempurna. Meski terlihat sederhana, Baskara yakin kalau gaun itu pastilah keluaran rumah mode dengan harga yang fantastis, jauh dari kata murah. "Gila, ya! Lo nyeret gue ke sini buat bantu lo pindahan tapi lo malah asyik nge-stalking mantan! Luar biasa, Baskara!" Sial! Ternyata Baskara kurang cepat mematikan layar iMac hingga Gala sempat me
Seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, Baskara memilih untuk menghabsikan istirahat siangnya di halaman belakang ditemani bekal sederhana buatan Salimah. Sebenarnya siswa Insan Harapan mendapatkan makan siang yang disediakan di kafetaria. Makanan yang dihidang sudah dihitung agar sesuai dengan kebutuhan gizi dan kalori usia remaja. Tetapi berkunjung ke kafetaria berarti harus berhadapan dengan Andre dan genknya. Sesuatu yang ingin dihindari olehnya. Jangan salah paham, jika dia ingin melawan tentu dia yang akan keluar sebagai pemenangnya. Tetapi itu tidak sepadan dengan kemungkinan dia dikeluarkan dari sekolah. Setiap hari pria itu mendoktrin diri kalau dia harus bertahan sebaik mungkin untuk masa depannya. Baskara hanya ingin segera lulus kemudian mendapatkan beasiswa untuk kuliah dan membahagiakan sang ibu. Itu saja. Perundungan yang diterimanya hanya hal kecil jika dibandingkan keuntungan yang didapat dengan bersekolah di sini. "Here you are!" Suara Aruna terdengar bersamaan d
Mamak: Doa Mamak selalu menyertaimu, Bas. Mamak: Apapun hasilnya selalu percaya itu yang terbaik menurut Tuhan, ya. Untuk kesekian kali Baskara membaca pesan yang dikirimkan oleh Salimah pagi ini. Dia memang sempat memberitahukan kepada beliau kalau hari ini ada pertemuan penting antara dirinya dan Widjaja Group. Walau sang ibu tidak sepenuhnya paham sepenting apa pertemuan hari ini, selayaknya orang tua, Salimah selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya. "Tenang, Bas," dia meletakkan tangan di dada. Berusaha untuk mengatur detak jantung yang dirasanya berdetak lebih cepat dari biasanya. Walau bibirnya bisa berucap dia tidak nervous tetapi Baskara tidak dapat membohongi tubuhnya sendiri. Dia nervous. Sangat. Ini benar-benar kesempatan besar. Bertemu dengan Sabda Narendra Widjaja adalah mimpi semua pengusaha termasuk founder start up seperti dirinya. Belum lagi banyak rumor yang beredar mengatakan kalau Sabdra Narendra Widjaja diam-diam sering melakukan pendanaan untuk perusah
"Baskara," Narendra langsung berdiri dan menyambut kedatangan pria itu sambil tersenyum lebar, "Akhirnya kita bertemu. Sudah lama saya penasaran dengan sosok di balik kesuksesan Steam Perfection." Usia Baskara dan Narendra tidak terlalu jauh berbeda. Pria itu lebih tua satu atau dua tahun daripada Baskara. Tetapi pagi ini dia merasa begitu kerdil di depan Narendra. Mungkin seperti David di hadapan Goliath. Bedanya Narendra bukan penjahat seperti Goliath. Pria itu serupa dengan raksasa yang mengulurkan tangan kepada seseorang yang lemah. Jika Andre perlu berteriak untuk mengatakan dirinya besar maka Narendra sebaliknya. Narendra terlihat begitu tenang. Auranya menyenangkan. Sama sekali tidak ada kesan sombong atau ingin menunjukkan kalau dirinya adalah seseorang. Pria itu cukup terbuka dan ramah tetapi terselip sesuatu yang menghadirkan rasa sungkan bagi lawan bicaranya. "Pak Sabda," dia tersenyum canggung. Sama sekali tidak menduga akan mendapat sambutan seramah ini, "Apa kabar?"
"Sederhananya, kami ingin membeli Steam Perfection." Mendengar kalimat yang diucapkan Narendra dengan lugas Baskara langsung menutup map yang baru saja dibukanya. Dia sama sekali belum melihat apalagi membaca berkas yang ada di dalamnya. "Kalau itu yang Anda inginkan maka jawabannya saya hanya satu. Saya tidak menjual Steam Perfection.""Anda tidak ingin mengetahui penawaran kami terlebih dulu?" Dengan yakin Baskara menggelengkan kepala, "Sebaik apapun penawaran yang Anda dan Widjaja Group berikan saya tetap tidak akan melepaskan Steam Perfection." "Begitu," Narendra masih terlihat tenang seakan penolakan Baskara tidak berarti banyak, "Boleh saya tahu alasannya?" "Alasannya tidak terkait dengan bisnis," pria itu terlihat tersipu, "Lebih ke, hm, personal." "Karena ini perusahaan pertama Anda?" "Bukan," Baskara berdeham. Dia tidak pernah menceritakan ini kepada siapapun selain beberapa orang terdekatnya. Entah kenapa dia ingin membaginya bersama kedua pria yang ada di hadapannya
"Tadi lo bilang berapa?!" Gala langsung berteriak ketika dia keluar dari lift yang terhubung dengan foyer unit apartemen milik sahabatnya. Karena tidak mendapatkan jawaban, pria itu langsung mencari Baskara di ruang duduk dan ruang makan. Ketika tidak menemukan sosok yang dicari Gala langsung menuju ruang kerja dan tanpa merasa perlu untuk mengetuk, dia langsung berhamburan masuk. "Berapa tadi lo bilang?!"Baskara yang sedang menikmati lantunan lagu klasik gubahan Rachmaninoff terkejut mendengar teriakan Gala, "Apa?!" "Angkanya. Lo bilang tadi Widjaja Group nawarin berapa?" "Lima ratus," dia mengecilkan volume ponsel yang digunakan untuk mendengarkan lagu. "Ribu dollar?!" Gala belum terlihat ingin merendahkan suaranya. Dia masih berteriak. "Iya. Lima ratus ribu dollar," Baskara memutar kursi kerja hingga pria itu berhadapan dengan sahabatnya, "Itu pendanaan awal. Kalau valuasi Steam Perfection terus meningkat, mereka menjanjikan pendanaan berikutnya.""Serius lo?!"Baskara menga
"Ngapain ambil troli?" Gala menatap bingung saat Baskara menarik troli ketika mereka memasuki supermarket yang ada di lantai dasar gedung apartemen sahabatnya itu. "Belanja," dengan cuek Baskara menjawab. "Kita bukannya cuma mau beli indomie, kornet, telur sama sayur, ya? Keranjang aja biar cepet." "Sekalian mau belanja. Lo yang bilang kalau gue harus punya stock makanan selain air mineral." "Bener, sih," dia bersungut-sungut, "Tapi jangan lama-lama. Gue laper." "Iya," Baskara memilih untuk menjawab singkat. Gala jika lapar akan berkali lipat lebih cerewet dari biasanya. "Gue ambil indomie. Lo jangan lupa bahan yang lain," tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya, Gala langsung berlalu mencari keberadaan mie instans kesukaannya. Baskara hanya menggeleng kecil ketika melihat tingkah Gala. Mengenal pria itu selama bertahun-tahun membuat dia tidak lagi merasa aneh atau terkejut dengan tingkah polanya. Sama seperti sahabatnya, Baskara juga langsung menyusuri lorong-lorong supermarket
Troli Baskara sudah setengah penuh dengan berbagai bahan makanan baik segar maupun kering ketika dia mulai menyusuri setiap lorong supermarket untuk mencari keberadaan sahabatnya. Baskara sudah mencari di bagian mie instant tapi dia tidak menemukan sosok Gala. Entah ke mana dia. Sesekali Baskara akan berhenti jika menemukan abrang yang sekiranya dibutuhkannya. Terkadang dia membandingkan beberapa merk sebelum memutuskan mana yang akan diambilanya. Tidak jarang pula dia mengembalikan barang itu ke tempat semula karena berubah pikiran. Jika dibiarkan Baskara bisa berlama-lama di supermarket. Terdengar aneh tetapi supermarket serupa dengan playground baginya. Berwarna dan menyenangkan melihat berbagai barang yang terpajang di setiap raknya. "Gue cariin dari tadi ternyata lo di sini," tiba-tiba Gala muncul dari belakang dengan tangan penuh mie instant juga beberapa botol bir. Berbeda dengan Baskara yang tidak pernah menyentuh minuman beralkohol, sahabatnya merupakan pecinta alkohol. Bir
Berbeda dengan tadi pagi ketika mengawali hari, semakin sore Anya semakin uring-uringan. Bagaimana tidak sepanjang hari dia berulang kali mendapati atasannya melihat ponsel sambil senyum-senyum sendiri. Menyebalkan. Anya yakin kalau mantan pacar sang atasan yang menjadi penyebabnya. Hari sudah menjelang pukul tiga tetapi pekerjaannya masih menggunung. Hari ini entah mengapa dia tidak dapat fokus. Yang dilakukannya hanya mencari tahu tentang Aruna. Awalnya dia cukup yakin dapat bersaing dengan gadis itu. Aruna hanya menang nama keluarg saja. Memang gadis itu lebih cantik dan menawan dibanding dirinya tetapi dia tahu kalau Baskara tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Sayangnya, semakin dia mencari tahu tentang Aruna, semakin dia merasa kecil. Aruna memang terlahir dengan begitu banyak priviledge dan dia memanfaatkannya dengan baik. Sejak remaja dia sudah sering mendapatkan penghargaan di bidang fotografi, menyelesaikan sekolah dan kuliah tidak hanya tepat waktu tapi juga dengan ha
Anya memulai pagi hari Rabu ini seperti biasa. Dari indekosnya dia menumpangi angkutan umum selama lima belas menit, cukup beruntung karena pagi ini dia tidak harus berdesak-desakan. Itu saja sudah berhasil membuat suasana hatinya riang. Dia yakin hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Begitu turun di halte seberang gedung tempat kantor Steam Perfection berada dia menyempatkan diri untuk membeli dua porsi bubur ayam. Satu porsi untuknya, dengan esktra sambal, dan satu porsi lagi yang tidak mengunakan daun seledri akan diberikan kepada atasannya, Baskara. Beberapa kali dalam sebulan, biasanya ketika suasana hatinya sedang riang, dia membelikan sarapan untuk pria yang diam-diam ditaksirnya itu. Baskara bukan seorang pemilih dalam hal makanan dan itu memudahkan Anya jika ingin memberikan kejutan seperti pagi ini. Gadis itu yakin, perhatian-perhatian kecil seperti ini akan meluluhkan hati sang atasan. Walau sejak kehadiran Aruna dia tidak seyakin dulu. Kesal mengingat gadis yang
Aruna memastikan ikat pinggang yang dikenakannya masuk ke lubang chino berearna khaki yang dikenakannya. Hari ini akan menjadi hari yang panjang di kantor hingga dia memutuskan mengenakan kaus garis-garis horizontal yang dipadu dengan blazer berpotongan pas badan warna navy agar tidak terlihat terlalu santai. Terlalu fokus merapikan penampilan hingga butuh waktu cukup lama sebelum otaknya menyadari bahwa ada seseorang yang sedang membunyikan bel apartemennya. Dia melirik jam sambil berjalan keluar dari kamar. Bahkan pukul enam saja baru lewat beberapa menit. Rasanya terlalu pagi untuk bertamu. Siapa? Gadis itu membuka pintu yang terhubung dengan foyer dan mengintip siapa yang berkunjung. Terburu, dia lupa untuk melihat di interkom siapa yang datang. Seluruh kebingungannya menguap dan berganti dengan senyum lebar ketika melihat Baskara berdiri di foyer sambil memegang dua tumbler yang mengepul dan sebuah kantong paper bag berwarna cokelat dengan logo salah satu gerai kopi yang terse
"Tanaman?" Aruna berhenti mengunyah sebelum tertawa kecil dan melanjutkan makannya, "Pasti Kak Askara ngerasa aneh karena dulu aku kayak sebel banget sama tanaman, kan?"Baskara mengangguk mendengar ucapan gadis itu. "Kapan, ya..." tatapannya terlihat menerawang seakan dia sedang berusaha mengingat, "Waktu kuliah kayaknya. Aku sempat yang stress banget gitu karena kuliah. Memang jurusan yangvaku pengin tapi nggak tahu kok makin lama kayak makin berat. Capek gitu.""Aku sampai ngerasa susah banget buat bangun. Ngerasa nggak punya alasan aja gitu," Aruna kembali menambahkan gyudon ke piringnya, "Terus aku ke psikolog gitu. Nah, buat terapi awal disaranin buat aku punya sesuatu yang bergantung ke aku. Biar itu jadi alasan aku buat bangun dan mulai aktivitas." Baskara sama sekali sudah melupakan makanan yang ada di piringnya. Pria itu fokus mendengarkan cerita Aruna. "Awalnya aku mikir buat pelihara kucing atau anjing. Tapi terus kepikiran kalau aku nggak becus terus mereka mati gimana
"Maaf aku nggak bawa apa-apa," Baskara yang hanya mengenakan kaos dan jeans tersenyum canggung menatap Aruna yang berdiri di ambang pintu. "Siapa yang bilang barus bawa sesuatu?" Aruna tersenyum geli. "Kata Mamak," Baskara beranjak masuk setelah Aruna sedikit menggeser posisi berdiri dan mempersilakan pria itu untuk masuk. Unit apartemen Aruna serupa dengan miliknya. Tetapi suasananya begitu berbeda. Tidak aneh mengingat dekorasi unit apartemen mereka sangat jauh berbeda. Ruang tengah Aruna didominasi furnitur kayu dan rotan dengan bantalan berwarna cream. Di depan sofa terdapat meja kaya dengan desain sederhana tetapi Baskara tahu harganya jauh dari kata murah. Beberapa bantal tertata di sofa dengan sarung berwarna cerah. TV LCD berukuran besar diletakan di atas kabinet dari kayu berpadu anyaman rotan. Tidak ada kabel yang terlihat. Disamping TV hanya ada vas kaca berisi anggrek bulan. Dinding kosong di antara kabinet dan pintu gesee menuju beranda penuh dengan foto hasil jepret
Aruna tersenyum lebar saat pintu lift tertutup. Sejak tadi dia berusaha menahan senyuman. Tidak ingin concierge menyalahartikan atau menimbulkan rumor tentangnya. Dia mengangkat tas bekal yang diberikan oleh concierge. Senyumnya semakin lebar. 'Titipan dari Pak Baskara'Rasa penasaran membuat gadis itu langsung membuka dan mengintip. Terlalu lama rasanya jika harus menunggu hingga dia tiba di unit apartemennya. "Kotak bekal?" Aruna menatap bingung. Dia sudah menduga kalau isi tas bekal itu adalah makanan. Tidak mungkin Baskara repot-repot menggunakan tas bekal dengan lapisan thermal jika isinya bukan makanan. Dugaannya Baskara memesan sesuatu dari restoran. "Isinya apa, ya?" Sungguh gadis itu ingin langsung membuka dua kotak bekal yang tersusun rapi dalam tas itu. Seandainya saja bawaannya malam ini tidak banyak, pasti dia tidak akan berpikir panjang seperti sekarang. Aruna menatap panel lantai. Tidak sabar melihat perpindahan lampu yang menyala. Saat pintu lift terbuka, gadis i
Salimah pernah bercerita bagaimana memasak merupakan serangkaian ritual penuh sihir dan keajaiban. Walau sudah dewasa, Baskara masih mempercayainya. Bagaimana tidak, hanya dengan masakan seseorang dapat tersenyum bahagia atau sebaliknya, mendadak merasa sembilu. Tentu itu karena sihir dan keajaiban. Ketika ide untuk membuatkan makan malam sebagai bentuk permintaan maaf kepada Aruna muncul di benak, pria itu langsung melakukannya. Semoga keajaiban dan sihir masakannya akan membuat Aruna memaafkannya. Baskara menumis irisan bawang putih dan bawang bombay. Sambil menunggu layu, pria itu membalurkan bawang putih, lada dan jahe ke arah daging iris lalu mengaduknya hingga rata sebelum menyimpan di kulkas selama beberapa saat. Ketika aroma khas bawang putih dan bawang bombay tercium dengan gesit dia memasukan irisan wortel lalu menambahkan sedikit air. Baskara lalu memgambil sisa sayur yang belum sempat dicuci dan membersihkannya satu persatu. Setelah itu kembang kol dan jagung muda menyu
"Lo udah mau cabut?" Sejak pukul enam sore Gala sudah berada di apartemen Baskara. Sahabatnya itu memaksa Baskara untuk pulang cepat karena katanya ada sesuatu yang ingin diceritakannya dan itu hal penting. Jangan tanya kenapa Baskara memenuhi permintaan Gala yang cukup absurs karena biasanya dia baru meninggalkan kantor setelah pukul enam sore. "Iya. Kenapa?" Gala mengenakan jaket jeans-nya. Sedikit bersungut karena dia bisa melupakan leather jacket favoritnya di apartemen Daniya. Walau dia sangat ingin untuk mengunjungi gadis itu tetapi dia menahan diri untuk tidak melakukan itu. Gala tidak cukup yakin kalau Daniya mengingatnya karena gadis itu cukup mabuk ketika mereka berkenalan. "Lo nyuruh gue pulang cepat buat dengar curhatan lo doang?" Gala mengangguk sambil terkekeh, "Sesekali gantian, Bas. Jangan cuma gue yang capek denger tentang Aruna." "Sialan," Baskara melempar kulist kacang yang baru dikupas. "Ngomong-ngomong Aruna, udah semingguan lo nggak ngocehin tentang dia. Ka
Daniya terbangun karena dering bel apartemen yang terus berbunyi. Masih setengah memejamkan mata, gadis itu keluar dari selimut tebal kemudian mencari ponsel untuk mengetahui ini sudah pukul berapa. Pukul enam. Masih terlalu pagi. Siapa? Dia beringsut turun dari tempat tidur dan tersuruk mencari sandal sebelum keluar dari kamar. Matanya masih terasa berat. Kepalanya sangat sakit. Pengar karena alkohol yang dinikmatinya sepanjang malam. "Sial," dia memijat pelipis sambil melihat interkom. Ada sosok kembarannya di depan pintu apartemen."Ngapain lo? Ayam juga kalah pagi sama lo," dia membuka pintu apartemennya. "Pagi, Daniya. Lo nggak bakalan ngomel karena gue bawakn croissant favorit lo. Gue bela-belain ngantre demi lo." "Croissant doang nggak cukup," Daniya menerima paperbag yang diulurkan kembarannya, "Lo ngapain ke sini?" "Bangunin lo. Semalam lo bilang ada meeting penting pagi ini. Tadi malam lo minum banyak. Gue takut lo telat bangun." "Perhatian banget," gadis itu ke pantry