Juan hanya membelalak bingung.
“Mencari Aguirre?” tanyanya dengan wajah polos. “Oh, karena kau harus mengembalikan foto itu? Kenapa terburu- buru begitu?”
“Tidak cuma itu. Ini lebih dari yang kau bayangkan,” ujar Mia dengan wajah hangat –seakan- akan cahaya matahari baru saja bersinar tepat di wajahnya.
“Que bonita,” celetuk Juan yang memerhatikan perubahan ekspresi gadis itu.
“Perdon?”
“Oh, nada, nada,” kata pemuda itu sambil mengangkat bahu.
Mia memandang lelaki di depannya itu dengan wajah curiga ‘apa- yang- sedang- kau- sembunyikan- dariku’.
“Tidak ada apa- apa, Mia,” kekeh Juan. “Nah, coba kau lanjutkan. Kenapa ini lebih dari sekedar mengembalikan foto dan lebih dari yang kubayangkan?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Wajah Mia bersinar- sinar dengan mata berkedip- kedip saking antusia
Brrmm! Krrkk! Ngiiiiing.Mesin yang cukup tua terdengar berdecit- decit di tengah ladang itu. Satu- satunya mesin yang ada di desa kecil itu, tak jauh dari The Rio Grande.Mesin semprotan pupuk.“Haaaah!” seorang pemuda penghujung remaja mengeluh keletihan. Mesin semprotan pupuk yang selalu dibangga- banggakan keluarganya, terutama sang ayah – Señor Aguirre—sebab tak satupun di antara petani di desa mereka yang memilikinya, akhirnya mencapai usia tua juga. Para petani di sana tak ingin membuang- buang uang mereka.Atau lebih tepatnya mereka tak punya uang untuk membeli barang mahal macam kepunyaan Señor Aguirre. Ada keinginan untuk menggunakan mesin semprotan pupuk sehingga mereka tak perlu menghabiskan waktu menebar- nebar pupuk dengan lengan mereka di ladang- ladang yang sudah begitu tinggi oleh tanaman. Selain melelahkan, juga butuh waktu lama. Tapi apa daya. Keberadaan satu- satunya mesin di desa kecil itu sangat mengundang decak kagum saat Señor Aguirre membeli untuk pertama kal
Miguele sangat familiar dengan suara itu, sehingga ia bergegas berdiri tanpa memperhatikan obeng- obeng kecil yang sedari tadi ada di pangkuannya.“Luis!!”Seorang pemuda lain namun dengan tubuh lebih besar dan bidang tampak celingukan, lalu menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.“Aha! Miguele! Kau di situu?” balasnya.Hening sejenak, sementara Luis datang mendekat dan Miguele membereskan peralatan yang terserak di sekitarnya. Lebih baik aku menyerah sajalah dan memberikan mesin ini pada Ayah, pikir pemuda langsing dalam hati. Setelah semuanya beres, Miguele Aguirre pun segera memanggul mesin di punggung sembari melangkahkan kakinya panjang- panjang ke pinggir ladang jagung.Luis sudah menantinya di situ.“Kau sedang apa, sampai harus bersembunyi di balik jagung begitu?” tanya Luis dengan nada menuduh dan kekeh penuh kesangsian. “Mengintip seseorang? Menulis surat cinta? Atau…”Tangan kecil kurus Miguele menepuk kepala Luis dari belakang dengan santai tanpa rasa sesal.“Enak sa
Tunggu, Miguele!” hadang Luis begitu mendapati kawannya sudah buru- buru berdiri sambil menyandang mesin di belakang punggung.Miguele menoleh dengan mata berbinar, masih dengan ketertarikan oleh berita dari Luis.“Hm? Kenapa?”“Apa kau yakin ayahmu akan mengizinkan? Maksudku apa beliau mendukung bila kau ada di dunia militer?”“Ah. Itu sama sekali belum kupikirkan.”“Dan artinya, belum kautanyakan?”Miguele menggeleng lesu, dan kembali duduk di samping Luis. “Maaf, aku tak berniat menjatuhkan semangatmu ini, kawan.”“Lo se. Aku tahu.”Luis merasa tak enak. “Bagaimanapun, bila kau mendaftar bersamaku nanti, kau harus tetap memberitahu keluargamu, verdad? Terlebih bila kau lolos. Kau akan ada di barak selama berbulan- bulan, bertahun- tahun.”Miguele menghembuskan napasnya. Mengeluh. “Kau benar.”“Jadi kau sama sekali belum pernah membahas tentang keinginanmu berada di militer selama ini? Pada anggota keluargamu?”“Tidak.”“Sungguh tidak satupun?”“Tidak.”“Pada ibumu?”“Juga tidak.”L
Bila seseorang selalu punya sekeping kecil dari hati yang tak pernah merasa asing dengan sesuatu, maka bagi Amelia Caras keping kecil itu adalah suasana lalu lintas di Jalan José María Izzaga yang kini dilaluinya.Gadis itu menggerai rambutnya yang hitam kecokelatan, membiarkan tiap helainya ditiup angin yang bercampur dengan residu buangan kendaraan yang hiruk pikuk di jalan. Meski wajahnya sudah memerah oleh sinar mentari dan napasnya tersengal, ia tetap mempercepat kakinya yang diselubungi sepatu lusuh menapaki blok- blok pejalan kaki yang lengang. Siapa saja tahu bahwa lalu lintas di Meksiko –terutama kota kapitalnya –adalah satu dari banyak kota di dunia yang paling ramai, tak teratur, dan hiruk. Jalan dua arah itu akan terasa sesak bagi orang yang menginginkan kedamaian, tapi Amelia merasakan sebaliknya.Ia menghirup udara pagi kuat- kuat –meski sudah bercampur dengan semilir karbon monoksida. Gas itu mungkin akan bertumpuk dan mul
Amelia Caras sebenarnya belum siap dengan pertanyaan ini –ia masih butuh waktu sendiri untuk bermenung- menung menyengsarakan suasana hatinya dan mengutuki hidupnya yang hambar. Ia masih ingin bersedih dan memilukan diri. Tapi entah apa yang menggerakkan tulang rahang bawahnya, Mia pun mengangguk pelan. Ia bahkan mengangkat tangan, mempersilakan.“Claro está, Señor. Tentu saja. Silakan duduk.”Señor Aguirre yang sempat jadi bahan pembicaraannya dengan Juan duduk dengan penuh kelegaan, tepat di depan Mia. Tongkat bantu tadi ia sandarkan di pinggir meja bundar yang mengilap.“Apakah Anda merasa terganggu dengan kehadiran saya, Señorita?” tanya lelaki itu dengan wajah melembut. “Apa Anda lebih suka sendiri?”Mia kaget dengan pertanyaan itu. Aguirre seperti baru saja menyisir otaknya dengan gelombang elektromagnetik, dan mendapatkan info kegelisahan dirinya. Mulut
Menjelang siang, Mia kembali pulang ke flatnya. Juan dengan senang hati mengantar gadis itu dengan mobil van yang sering ia gunakan untuk membeli keperluan kedai kopi, setelah memastikan ia mendapat persetujuan dari Papanya untuk meninggalkan café sementara waktu. Lagipula menjelang siang begini, café memang agak lengang, dan baru kembali dipadati saat istirahat makan siang. Mia sama sekali tak menolak tawaran Juan dan langsung naik setelah Juan membukakan pintu untuknya. Ia menurunkan jendela kaca mobil dan sempat memandang sekilas pada beberapa gadis dari gerombolan mahasiswa yang nongkrong di café Zavala tadi. Bibir mereka yang berminyak setelah menikmati enchilada dimonyong- monyongkan ke arah van Juan, mata mereka berkedip- kedip. Jelaslah bagi Mia siapa target operasi gadis- gadis genit itu. Ia menyipitkan mata, berusaha membuat gadis remaja yang baru memasuki usia dewasa muda itu tahu diri sedikit. Tapi sepertinya mereka tidak tahu diri sama sekali. Salah satunya bahkan memb
Sejak Mamanya menghubungi tadi, Mia sudah menelepon Anastasia balik beberapa kali. Begitu sang Mama dan nenek sampai di terminal bus, gadis itu menjemput keduanya dengan taksi. Anastasia –Mama Mia –adalah seorang wanita hampir paruh baya yang berperawakan sedang dengan rambut ikal yang hitam panjang. Nenek berada di sampingnya, dengan wajah heran setelah perjalanan panjang yang beliau tempuh. Rambutnya sudah memutih semua dan dipotong pendek, dan lemahnya gerak beliau menyebabkan nenek Mia harus sering- sering berada di atas kursi roda. Mia dan mamanya tak banyak bicara selama berada di terminal ataupun di bus, selain hanya berpeluk hangat karena saling merindukan. Namun begitu sampai di flat dan Mia membukakan pintunya, Anastasia mulai berceloteh. “Mi amor, betapa kurusnya kau, Anakku!” komentar Mamanya dengan cemas. Sementara itu tangannya dengan sigap mengurusi kursi roda nenek Mia, lalu mendudukkan beliau masih tampak linglung. Mendengar
“Sí, Mamá. Aku baik- baik saja. Kenapa?” “Nada,” geleng Anastasia. “Kau hanya terlihat menyembunyikan sebuah masalah. Atau mungkin beberapa masalah.” Mia hanya membalas dengan gumaman, berusaha berkonsentrasi pada supnya sebelum sang Mama menyela kembali. Cepat- cepat gadis itu mengganti topik. “Oh, iya. Bagaimana sebenarnya keadaan nenek, Mamá? Apa yang terjadi dengan penyakitnya? Apa memang begitu –parah?” “Mi amor, mi amor,” keluh Anastasia. “Begitulah. Nenekmu terkadang lupa cara melakukan hal- hal yang biasa ia lakukan. Ia lupa apa itu makan dan bagaimana cara makan. Atau tentang bagaimana caranya ke toilet. Dan seperti yang kau lihat tadi, nenek mulai melupakan orang- orang yang ada di sekitarnya. Ia lupa Ayahmu, aku –anaknya sendiri, dan kadang beranggapan kalau orang- orang di rumah adalah orang asing. Dan demensianya mungkin akan semakin memburuk.” Dengan cepat kepala Mia menoleh pada mamanya. “Sebe
Tunggu, Miguele!” hadang Luis begitu mendapati kawannya sudah buru- buru berdiri sambil menyandang mesin di belakang punggung.Miguele menoleh dengan mata berbinar, masih dengan ketertarikan oleh berita dari Luis.“Hm? Kenapa?”“Apa kau yakin ayahmu akan mengizinkan? Maksudku apa beliau mendukung bila kau ada di dunia militer?”“Ah. Itu sama sekali belum kupikirkan.”“Dan artinya, belum kautanyakan?”Miguele menggeleng lesu, dan kembali duduk di samping Luis. “Maaf, aku tak berniat menjatuhkan semangatmu ini, kawan.”“Lo se. Aku tahu.”Luis merasa tak enak. “Bagaimanapun, bila kau mendaftar bersamaku nanti, kau harus tetap memberitahu keluargamu, verdad? Terlebih bila kau lolos. Kau akan ada di barak selama berbulan- bulan, bertahun- tahun.”Miguele menghembuskan napasnya. Mengeluh. “Kau benar.”“Jadi kau sama sekali belum pernah membahas tentang keinginanmu berada di militer selama ini? Pada anggota keluargamu?”“Tidak.”“Sungguh tidak satupun?”“Tidak.”“Pada ibumu?”“Juga tidak.”L
Miguele sangat familiar dengan suara itu, sehingga ia bergegas berdiri tanpa memperhatikan obeng- obeng kecil yang sedari tadi ada di pangkuannya.“Luis!!”Seorang pemuda lain namun dengan tubuh lebih besar dan bidang tampak celingukan, lalu menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.“Aha! Miguele! Kau di situu?” balasnya.Hening sejenak, sementara Luis datang mendekat dan Miguele membereskan peralatan yang terserak di sekitarnya. Lebih baik aku menyerah sajalah dan memberikan mesin ini pada Ayah, pikir pemuda langsing dalam hati. Setelah semuanya beres, Miguele Aguirre pun segera memanggul mesin di punggung sembari melangkahkan kakinya panjang- panjang ke pinggir ladang jagung.Luis sudah menantinya di situ.“Kau sedang apa, sampai harus bersembunyi di balik jagung begitu?” tanya Luis dengan nada menuduh dan kekeh penuh kesangsian. “Mengintip seseorang? Menulis surat cinta? Atau…”Tangan kecil kurus Miguele menepuk kepala Luis dari belakang dengan santai tanpa rasa sesal.“Enak sa
Brrmm! Krrkk! Ngiiiiing.Mesin yang cukup tua terdengar berdecit- decit di tengah ladang itu. Satu- satunya mesin yang ada di desa kecil itu, tak jauh dari The Rio Grande.Mesin semprotan pupuk.“Haaaah!” seorang pemuda penghujung remaja mengeluh keletihan. Mesin semprotan pupuk yang selalu dibangga- banggakan keluarganya, terutama sang ayah – Señor Aguirre—sebab tak satupun di antara petani di desa mereka yang memilikinya, akhirnya mencapai usia tua juga. Para petani di sana tak ingin membuang- buang uang mereka.Atau lebih tepatnya mereka tak punya uang untuk membeli barang mahal macam kepunyaan Señor Aguirre. Ada keinginan untuk menggunakan mesin semprotan pupuk sehingga mereka tak perlu menghabiskan waktu menebar- nebar pupuk dengan lengan mereka di ladang- ladang yang sudah begitu tinggi oleh tanaman. Selain melelahkan, juga butuh waktu lama. Tapi apa daya. Keberadaan satu- satunya mesin di desa kecil itu sangat mengundang decak kagum saat Señor Aguirre membeli untuk pertama kal
Juan hanya membelalak bingung.“Mencari Aguirre?” tanyanya dengan wajah polos. “Oh, karena kau harus mengembalikan foto itu? Kenapa terburu- buru begitu?”“Tidak cuma itu. Ini lebih dari yang kau bayangkan,” ujar Mia dengan wajah hangat –seakan- akan cahaya matahari baru saja bersinar tepat di wajahnya.“Que bonita,” celetuk Juan yang memerhatikan perubahan ekspresi gadis itu.“Perdon?”“Oh, nada, nada,” kata pemuda itu sambil mengangkat bahu.Mia memandang lelaki di depannya itu dengan wajah curiga ‘apa- yang- sedang- kau- sembunyikan- dariku’.“Tidak ada apa- apa, Mia,” kekeh Juan. “Nah, coba kau lanjutkan. Kenapa ini lebih dari sekedar mengembalikan foto dan lebih dari yang kubayangkan?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.Wajah Mia bersinar- sinar dengan mata berkedip- kedip saking antusia
Tik. Tok. Tik. Tok.Jarum panjang jam berdetak dalam keheningan sunyi flat. Tak ada bunyi lain –bahkan bunyi halus sedikitpun.Gadis yang berada di ruangan sama dengan jam dinding itu bahkan hampir tak bergerak saat matanya melahap semua kata- kata di kertas di hadapannya.Barulah ketika ia menggerakkan jemarinya menuju halaman baru, saat itu terdengar kerisikan amat halus yang sepertinya detak jam tadi masih mampu mengalahkan bunyinya.Amelia Caras telah tenggelam lalu dihanyutkan dalam pusaran arus bacaan di depan matanya. Di sisinya tergeletak setumpuk buku bergambar yang awalnya tersusun rapi di dalam koper.Broommmmm!!!Bunyi knalpot bising dan cepat dari arah jalanlah satu- satunya yang memecahkan keheningan flat itu –dan memecah konsentrasi Mia. Gadis itu memutar leher cepat ke arah jendela, lalu memutar leher lagi ke arah neneknya yang mulai bergerak- gerak gelisah dalam tidur karena ulah pengendara ugal- ugalan itu. Dengan cepat ia kembali menekurkan tengkuknya ke arah buku j
Esok harinya, kira- kira pukul sembilan, Anastasia sudah pamit untuk pergi menemui Dokter Amezcua. “Mamá benar- benar bisa pergi sendiri?” Wanita paruh baya berambut ikal hitam nan panjang itu tampak menghembuskan napasnya keras- keras, seakan sedang berusaha menguatkan diri. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ia berkunjung ke tempat putrinya di Meksiko dan ia tidak tahu- menahu sedikit pun soal lalu lintas Meksiko. Desa mereka yang ada di dekat Rio Grande bukan apa- apa dibandingakn kota ini –desa mereka hanya mengenal becak- becak kecil dan motor. Lalu juga beberapa mobil pick up yang dimiliki pedagang. Alur transportasi tak pernah serumit kota Meksiko. Selain itu, perbincangannya dengan Dokter Amezcua sebelumnya juga hanya dijembatani dokter mereka di desa. Anastasia tak pernah berbincang langsung ataupun bertemu muka dengan sang dokter terkenal ini –sehingga ia sama sekali tidak yakin bagaimana pertemuan ini akan berlangsung. Anastasia benar- benar merasa asing dan buta arah.
Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Juan berganti- ganti antara lalu lintas di depannya dengan gadis yang begitu diam di sampingnya. Untuk kesekian puluh kalinya pemuda itu menoleh pada Mia, setelah memastikan keadaan jalan di depan mobilnya.“Bagaimana perasaanmu, Mia?”Gadis berambut kecokelatan itu memandangi saputangan Juan yang ia pegang erat- erat di pangkuan sejak tadi. Ia pun lalu menoleh dan tersenyum. “Aku baik, Juan. Gracias.”“Kurasa kau menangis bukan karena bantuanku,” kata Juan sambil lalu. “Kurasa karena hal lain. Atau orang lain.”Ya, sahut Mia dalam hati.“Mario-kah?” tanya Juan coba- coba.Bukan, tapi karena kamu, Juan, ujar Mia lagi dalam hati. Aku cuma tak percaya bagaimana mungkin aku masih menyukai Mario secara buta, namun aku tak bisa menerima cintamu setelah bertahun- tahun ini kau ada di sampingku. Aku masih merasakan getar
“Una. Mentira. Más,” ujar Juan Zavala seraya mengangkat jemarinya satu persatu, menekankan tiap kata yang ia ucapkan. “Satu kebohongan lagi. Mia. Sampai kapan kau akan tutup- tutupi semua ini dari Mamamu?”Mia cemberut. “Lo se, lo se. Aku tahu semua ini salah. Semakin lama kebohonganku akan semakin banyak, lo se! Tapi mengertilah, Juan. Tolong pahami keadaanku.”“Tentu aku paham Karena itulah aku membantumu, verdad? Tapi suatu hari kau harus mengatakan yang sebenarnya, Mia. Ini hanya akan membuat ibumu sedih bila kau terus berbohong padanya.”“Claro qué sí. Tapi aku butuh waktu. Dan kekuatan mental.”Juan tersenyum manis dengan lesung pipinya. “Jadi kau tetap ingin mengambil cuti besok?”“Ah, sí. Jika kau mengizinkan.”“Seguro. Sebagai bosmu aku mengizinkan kau cu
Aneh sekali rasanya bekerjasama dengan teman, di kedai teman, dan diarahkan pula oleh teman. Setidaknya keganjilan itulah yang terasa bagi Mia. Selama ini ia hanya menjadi pelanggan yang baik di kedai kopi Zavala –menikmati kebebasan dan waktu luangnya yang amat banyak sambil mengamati Juan bekerja. Kini ia menjadi bagian dari kedai ini –terjun langsung sebagai pekerja.Kesal? Tidak. Benci? Ah, tidak juga. Bekerja bersama Juan sebenarnya adalah hal yang paling disukai Mia. Namun ketika kita berada pada posisi yang berbeda, sudut pandang kita pun berubah.Dan sudut pandang Mia yang selama ini sempit –hanya terbatas sebagai pelanggan –kini meluas, membuatnya mengetahui banyak gosip dan desas- desus dalam satu hari bekerja.“Kau lihat anak muda yang terus- terusan memegang ponselnya di pojok sana, Juan?” bisik Mia suatu kali pada pemuda tampan itu.“Hmm- mm. Kenapa?” tanya Juan. Ia melihat sekilas pada orang ya