Amelia Caras sebenarnya belum siap dengan pertanyaan ini –ia masih butuh waktu sendiri untuk bermenung- menung menyengsarakan suasana hatinya dan mengutuki hidupnya yang hambar. Ia masih ingin bersedih dan memilukan diri. Tapi entah apa yang menggerakkan tulang rahang bawahnya, Mia pun mengangguk pelan. Ia bahkan mengangkat tangan, mempersilakan.
“Claro está, Señor. Tentu saja. Silakan duduk.”
Señor Aguirre yang sempat jadi bahan pembicaraannya dengan Juan duduk dengan penuh kelegaan, tepat di depan Mia. Tongkat bantu tadi ia sandarkan di pinggir meja bundar yang mengilap.
“Apakah Anda merasa terganggu dengan kehadiran saya, Señorita?” tanya lelaki itu dengan wajah melembut. “Apa Anda lebih suka sendiri?”
Mia kaget dengan pertanyaan itu. Aguirre seperti baru saja menyisir otaknya dengan gelombang elektromagnetik, dan mendapatkan info kegelisahan dirinya. Mulut Mia membuka bagai ikan yang kehabisan air –tanpa ia sadari.
“Saya bisa kembali ke meja saya, Señorita,” tambah Aguirre lagi, seakan kepandaiannya menerawang mimik Mia tadi belum cukup. “Saya hanya berpikir bahwa keresahan baiknya dibincangkan dengan seseorang. Dan seperti Señorita lihat, saya juga datang terlalu cepat dan hanya menatap udara kosong.”
Señor Aguirre tampak bersiap- siap mengangkat lagi bokongnya bersamaan dengan tumpuannya pada tongkat yang semakin menguat. Namun sesuatu yang hangat dan aneh –yang baru saja dialami Mia –membuatnya angkat suara.
“Jangan, Señor,” sergah Mia dengan lantang. “Anda sama sekali tak mengganggu saya, dan saya senang dengan kehadiran Anda di sini.”
Mia tertegun sesaat dengan kata- kata yang baru saja meluncur dari bibirnya. Ada yang mengendalikan dirinya secara tak sadar –suatu hal yang tak menginginkan kehangatan dan keanehan dalam dadánya pergi begitu saja.
Aguirre dan Mia saling memandang, mengukur kedalaman diri lawan bicara masing- masing. Setelah benar- benar memperhatikan, Mia baru menyadari bahwa sesungguhnya Señor Aguirre adalah gambaran seorang pria tua militer yang menyenangkan. Wajahnya memang sudah mengerut dimakan usia, tapi kilau optimis dari mata coklatnya yang berbinar membisikkan Mia bahwa lelaki di depannya itu telah menjalani hidup tak hanya dengan keberanian, namun juga dengan kebaikan.
“Apa ada sesuatu di wajah saya, Señorita?” tanya Aguirre.
Mia menggeleng dengan keterkejutan. “Oh, perdón! Tidak sama sekali, Señor. Maafkan kelancangan saya.”
“Dan maafkan kelancangan saya pula karena juga telah memerhatikan Anda beberapa waktu sebelumnya,” sambut Aguirre. “Dan dapat saya katakan, karena sesuatu dalam wajah Anda-lah yang membuat saya ingin mengobrol dengan Anda, Señorita.”
Kedua alis Mia naik sementara otaknya berpikir. Bila saja yang mengatakan semua ini adalah seorang pria muda, Mia mungkin akan segera beranjak dari café itu dan menganggap semua omong kosong itu adalah godaan akibat hormon. Namun di depan matanya kini adalah seorang laki- laki tua, yang tak akan mungkin mengajaknya keluar sebagaimana orang muda.
“Sesuatu… dalam wajah saya?” tanya Mia.
“Ya,” tandas Aguirre. “Nah, sebelum kita bercakap- cakap lagi, saya Aguirre, Señorita. Miguele Aguirre.”
Aguirre mengulurkan tangan, yang dijabat hangat Mia. “Amelia Caras, Señor. Senang berkenalan dengan Anda.”
Begitu mendengar nama Mia, Aguirre tertegun bagai patung. Bahkan bagi lelaki tua itu, bunyi musik café juga berhenti di telinganya, bersamaan dengan waktu yang menahan dirinya dan melemparnya kembali ke masa lalu.
“Amelia?” ulang Aguirre. “Luar biasa! Maravilloso!”
Mia berusaha mengurai kabut ketidakmengertiannya. “Perdón?”
“Señorita Amelia, bukankah saya menyampaikan padamu tadi, bahwa sesuatu pada wajahmulah yang membuatku bergabung ke mejamu?”
“Sí?”
“Dan sesuatu itu adalah kemiripanmu dengan seseorang yang telah kukenal bertahun- tahun lalu,” ujar Aguirre berseri- seri. Wajahnya tampak berpuluh tahun lebih muda. “Dan, Dios mío! Bahkan nama kalian pun sama!”
***
Mia jelas tampak bingung, namun demi kesopanan ia lebih mendahulukan memesankan minuman untuk Aguirre. Ia memanggil salah seorang waiter yang bekerja di café Juan, menanyakan pilihan Aguirre, dan menunggu hingga minuman itu terhidang di atas meja. Aguirre sempat menolak, namun Mia bersikeras. Sementara ia tampak mencari tahu dalam pikirannya sendiri apa maksud perkataan Aguirre, lelaki tua itu –Miguele Aguirre tak berkurang senyumnya semenjak mengetahui nama Mia.
“Jadi, Señor—“
“Tidak apa –apa, Señorita. Anda bisa memanggil saya dengan Aguirre saja. Tak boleh ada formalitas di antara teman mengobrol, apalagi yang telah membelikannya minuman.”
Mia tergelak. “Baiklah,” kata gadis itu, “Dan kalau begitu, Anda juga cukup memanggil saya dengan Mia saja.”
Aguirre mengangguk sopan.
“Jadi, Aguirre, boleh aku tahu tentang kemiripan yang aku miliki? Dengan temanmu itu?”
“Claro que sí, Mia. Semua ini sebenarnya adalah tentang seorang gadis pujaan hatiku ketika masih seumuranmu. No, mungkin lebih muda.”
Mia mencondongkan tubuhnya ke depan, penuh rasa tertarik dengan cerita kenangan itu.
“Seperti apa rupanya?”
Aguirre menerawang ke plafon café, menghadirkan kembali gadis yang ia maksud dalam ingatan.
“Matanya, Mia, bentuk rahang serta bibirnya begitu mirip denganmu. Namanya pun juga Amelia, tapi dengan panggilan berbeda. Mila.”
“Mila, Mila,” bisik Mia mengulang- ulang. “Entah kenapa aku merasa gadis pujaanmu pasti sangat cantik.”
“Absolutamente. Dia memang sangat cantik, sama sepertimu. Tapi tetap saja dia adalah gadis terbaik bagiku di seluruh dunia.”
Mia tertawa sepenuh hati. Memang tak ada ruginya ia datang ke sini untuk mengubah suasana hati yang seratus persen berbeda bila dibandingkan dengan pagi tadi. Atau kemarin malam.
“Tentu, Aguirre. Dia pastilah orang tercantik di dunia ini untukmu.”
“Kau ingin melihat wajahnya, Mia?”
Mia mengangkat bahu. “Bila memang bisa..?”
“Ya, kau bisa.” Aguirre menggeser ruang duduknya dan mengeluarkan sebuah dompet lusuh dari kantong belakang celana. Ia menatap dompet itu penuh kasih, lalu dengan hati- hati meletakkannya di atas meja.
Mia yang penasaran, memperhatikan saja apa yang diperbuat Señor Miguele Aguirre. Beliau membuka dompet itu dan memperlihatkan bagian dalamnya yang telah diselipi foto.
“Ini dia, gadis yang selalu mengisi hatiku,” kata Aguirre dengan suara bergetar lembut. Tangannya mengangsurkan beberapa foto hitam- putih ke hadapan Mia, yang disambut gadis itu dengan rasa ingin tahu.
Di foto terdepan ada seorang pemuda di sana dengan jas sederhana, memegang kedua lengan gadis yang ada di hadapannya. Gadis itu mengenakan gaun mewah nan indah –Mia bisa melihat kemewahan itu walau hanya dalam gambar hitam- putih –dan keduanya saling memandang bahagia begitu foto itu diambil. Di foto lainnya –masih diambil di tempat yang sama –keduanya bersulang dengan minuman masing- masing di tangan. Dua foto lainnya disertai beberapa pria dan wanita lain. Mungkin prajurit serekan Aguirre dan teman- teman sang gadis.
“Dia sangat cantik, Aguirre,” puji Mia setulus hati. Ia perhatikan wajah sayu gadis di foto, yang begitu menenteramkan dan penuh misteri. Wajah yang juga menarik bagi Mia, dan membuatnya teringat akan sesuatu.
Tapi ia tak tahu itu apa.
“Ia tahu benar kau mencintainya, Aguirre. Aku bisa melihat pandangan matanya.”
“Ya,” gumam Aguirre lirih. Ia masih tampak sibuk mengenang di kejauhan. “Dan aku juga tahu benar bahwa Mila mencintaiku sama besarnya dengan cintaku padanya.”
“Kalian menjadi sepasang kekasih?” tanya Mia tertarik.
“Ya, begitulah.”
“Oh, sungguh membahagiakan! Dimana dia sekarang? Berapa orang anak kalian?” Mia menanyai lelaki tua itu bertubi- tubi. “Kau sangat beruntung bisa menghabiskan hari bersamanya hingga tua!”
Aguirre tersenyum getir. “Sayangnya, Mia, aku tak pernah bisa menghabiskan masa tuaku dengan Mila.”
Mia kaget. Sebersit rasa bersalah menghinggapinya karena terlalu senang sebelum Aguirre menceritakan kisahnya. “Me…ngapa?”
Wajah berseri Aguirre kembali mengkerut seperti semula. “Foto ini diambil di lantai dansa, saat kami terakhir kali menari bersama. Dan tak lama sesudah itu, aku tak lagi bisa bertemu dengannya.”
Mia menatap lelaki tua di depannya lekat- lekat. Keduanya sama- sama resah untuk alasan yang berbeda.
“Perdón, Aguirre, tapi mengapa saat itu kalian berpisah? Apa yang terjadi?”
Aguirre menghembuskan napas seraya mengelus- elus kepala tongkatnya. “Ada banyak hal yang terjadi, Anakku. Kala itu aku masih hidup dalam pergolakan politik, perang, kemiskinan, pengkhianatan –“ Kata- katanya tercekat di tenggorokan sampai di situ, dan sebuah genangan terbentuk di mata coklatnya yang tak lagi berbinar.
Sebelum Aguirre melanjutkan, Mia sudah menggenggam tangan kanan si lelaki tua.
“Aguirre, aku sungguh tak ingin membuatmu bersedih. Jika semuanya sangat menyakitkan untuk diceritakan, lupakan semua pertanyaanku. Ini pasti sangat berat bagimu, dan aku malah membuatmu mengingat semua masa- masa sulit itu.”
Aguirre menggeleng. “Tiada mengapa, Anakku, malah sebaliknya. Kau tahu, kehadiranmu di sini dan melihat wajahmu, seakan membawakan kembali bayangan indahku tentangnya. Seakan aku duduk bersamanya sekarang, walau kenyataannya kau adalah orang yang lain di masa yang berbeda.”
Mia tersenyum penuh kasih. “Kau pasti sangat merindukannya.”
“Memang,” lelaki tua kembali menghembuskan napas. “Entah dimana keberadaannya sekarang, entah ia memiliki usia yang cukup panjang sepertiku atau tidak. Apakah ia selama ini memiliki keluarga yang bahagia bersama suaminya lalu memiliki anak cucu –atau tidak. Aku ingin tahu semua itu, semuanya.”
Aguirre memutar- mutar tongkatnya. “Tapi aku sudah menerima semua itu dengan lapang dada. Mengharapkan agar dapat bertemu kembali dengannya sepertinya sangat muluk.”
“Tapi bukan berarti tak dapat kaulakukan, Aguirre.”
“Aku sudah sangat tua, Nak,” kata Aguirre. Dengan perlahan ia mulai mengemasi foto- foto yang telah disusun rapi Mia. “Aku sudah bersyukur tentang banyak hal menyenangkan yang sempat kualami dalam hidup, dan kini aku hanya berharap semoga Tuhan mengambil nyawaku di masa paling bahagiaku. Suatu saat nanti.”
“Apa saat ini kau merasa… tidak bahagia?”
“Sangat bahagia. Namun bukan yang ‘paling’. Mungkin saja Tuhan akan memberikan kemurahan agar memberiku beberapa keajaiban sebelum aku mati, bukan? Seperti menang undian, atau tiba- tiba Presiden ingin bertemu denganku –“
Mia mengerutkan bibir. “Kau membahas kematian semudah itu, Aguirre. Seperti akan pergi bertamasya saja.”
Aguirre tersenyum. “Suatu saat nanti kau juga akan sampai pada tahap itu dalam hidupmu, Nak. Bahwa kau tak akan lagi menginginkan apapun lagi dalam hidupmu dan hanya ingin kedamaian.”
“Begitukah?”
“Ya. Dan kau nantinya bisa merasakan kegelisahan atau kesenangan seseorang hanya dari gerak- geriknya. Aku cukup yakin tadi saat pertama melihatmu,” sambung Aguirre, “Bahwa kau telah berbisik- bisik dengan putra Zavala dan telah mengetahui bahwa hidupku banyak dihabiskan dalam peperangan, bukan? Mungkin kalian juga telah menebak- nebak pangkat apa yang kumiliki.”
Amelia merasa malu sekaligus terkejut. “Kau… mendengarkan kami tadi, Aguirre?”
Lelaki tua itu terbahak. “Nak, telingaku sudah bebal dengan suara mesin dan senjata perang, hingga akhirnya aku tuli lebih awal dari yang kuduga. Tapi itu tak seburuk yang kaukira –aku tetap menikmati usia empat puluh tahunku dengan baik. Jadi kini, aku menggunakan alat bantu dengar,” ujarnya seraya menyentuh sebentuk alat kecil berwarna putih yang disangkutkan di bagian telinga atas. “Tidak, tidak. Aku sama sekali tak mendengar percakapan kalian –tapi aku bisa melihat tatapanmu yang mengarah sesekali padaku saat kalian berbisik. Juan pun begitu, tapi ia tidak melakukannya seterang dirimu, Mia.”
Untuk kesekian kalinya Mia merasakan malu yang amat sangat –plus rasa segan. “Maafkan kami, Aguirre. Kami tidak berniat menggosipkanmu seperti itu.”
“Tidak apa- apa,” Aguirre menjawab dengan wajah tenang. “Aku yakin benar gosip kalian tidaklah buruk benar.”
Mia terkekeh, dan sebelum ia berucap lagi Aguirre sudah mengambil alih. “Orang- orang yang hidup di masa sekarang seperti buku yang terbuka –mudah sekali untuk membaca perasaan mereka, apalagi anak- anak muda. Benar- benar transparan.”
“Termasuk aku?”
“Ya, termasuk kau. Generasi di masaku dan sebelumku lebih suka menahan semua perasaan –sedih ataupun senang. Aku tak mengatakan bahwa memiliki perasaan terbuka itu tak baik –malah sebaliknya. Tak perlu banyak kata untuk menyampaikan isi hatimu. Dan dapat kukatakan, menebak- nebak perasaan orang lain tidaklah mudah. Kini kau tak perlu lagi melakukan hal itu. Tapi tetap saja, orang muda selalu membuat segala sesuatunya menjadi lebih rumit.”
Mia tampak berpikir- pikir. “Seperti apa, misalnya?”
“Seperti pengabaian apa yang sudah jelas- jelas ada di depan mata,” jawab Aguirre santai. “Kau tahu apa yang bisa kulihat dari percakapanmu bersama putra Zavala tadi?”
“Qué?”
Wajah berbinar Aguirre sudah kembali. “Bahwa kau sebenarnya menaruh perasaan untuk pemuda itu, dan begitu pula sebaliknya.”
Kepala Mia tertunduk sedikit. Sebuah daya tarik aneh telah membuatnya mengobrol dengan si tua Aguirre, dan kini ia merasa ganjil karena merasa seperti sedang dirontgen.
Bukan tulangnya. Tapi hati dan pikirannya. Lelaki tua itu memindai semua tentang Mia hanya dengan pandangan sekilas yang menyenangkan dan gampang diremehkan.
“Begitu jelaskah?”
“Bagiku, ya,” sahut Aguirre jujur. “Tapi aku mengatakan ini sebagai orang yang jauh lebih tua darimu, Mia, yang telah merasai hidup dengan berbagai kemelutnya. Jangan khawatir, aku cukup yakin orang lain tak cukup pandai membaca itu. Bagi orang zaman sekarang, kalian hanya terlihat melakukan perbincangan biasa. Dan mungkin karena perbedaan zamanmu dan zamanku itu pula, dan perbedaan cara menunjukkan perasaan, yang membuatku bisa mengetahuinya.”
“Ah.”
“Bueno,” ujar Aguirre sambil mengangkat dirinya dengan tumpuan tongkat, “Senang berbicara denganmu, Señorita Amelia Caras. Oh, maksudku Mia.”
“Aku juga senang berbicang denganmu, Señor Miguele Aguirre. Oh, maksudku Aguirre,” sambut Mia tertawa. “Kau akan pergi sekarang?”
“Ya. Pundakku mulai mendenyut sakit lagi, dan kurasa aku butuh istirahat secepat mungkin.”
“Cepat sembuh, Aguirre,” tukas Mia dengan raut cemas.
Lelaki itu tertawa. “Tidak usah khawatir begitu. Ini hanya penyakit tua.”
Ia menjabat tangan gadis itu yang juga buru- buru berdiri. “Aku berharap kita bisa berjumpa lagi suatu saat nanti.”
Mia tersenyum senang. “Bila kau datang lagi ke cafe ini besok, kau pasti bisa menemukanku.”
Aguirre ikut tersenyum, lalu mengangkat tangannya agak lama ke arah Mia –yang dibalas gadis itu dengan lambaian. Perhatian Mia terus tertuju pada lelaki tua Aguirre yang berjalan lambat- lambat, melewati meja remaja yang asyik berswafoto dengan enchilada mereka.
Begitu Aguirre lenyap di balik tembok café, Mia duduk kembali namun dengan perasaan yang jauh lebih senang. Sesuatu dalam pembicaraan bersama lelaki tua itu telah memberi ketenteraman dalam dirinya, dan Mia sudah tak sabar ingin bertemu dengannya lagi esok.
“Senang dengan teman Papa?” goda Juan yang datang mendekat. Pemuda itu sebenarnya sudah menyelesaikan pekerjaannya sejak tadi, dan belum ada pelanggan lain yang datang lagi. Juan ingin kembali ke meja Mia, tapi begitu melihat gadis itu tampak asyik mengobrol dengan Aguirre, ia mengurungkan niat dan memilih untuk mengamati keduanya dari meja bar hingga Aguirre pulang.
“Sí,” kata Mia riang.
Alis Juan naik. “Wow. Sepertinya suasana hatimu langsung berubah usai bersamanya. Señor Aguirre pasti memiliki kelebihan dibandingkan diriku.”
Gadis berambut hitam kecokelatan itu terkekeh. “Kau cemburu?”
“Kurasa begitu,” kata Juan mengerucutkan bibir. “Kalian mengobrol apa saja tadi?”
“Tak banyak. Sebenarnya lebih banyak tentang Aguirre. Ia mengenang masa mudanya.”
“Hanya itu?”
“Eh—ya,” sahut Mia agak ragu. Ia tahu benar kalau tadi sempat membahas tentang dirinya dan Juan yang saling menyukai, tapi ia tak ingin mengatakan semua itu pada Juan sekarang. Setidaknya belum.
“Begitu,” Juan manggut- manggut. Ia mengubah posisi duduknya sedikit, kemudian menurunkan pandangan ke bawah meja.
“Kau tahu, Juan?” kata Mia antusias, “Aguirre tadi menceritakan tentang kekasihnya padaku, dan menurutnya aku dan dia sangat mirip! Begitu pula nama –ada apa, Juan?” Mia tiba- tiba berhenti berceloteh tatkala melihat Juan membungkuk ke bawah meja.
“Sepertinya aku baru saja menginjak sesuatu.”
“Apa?”
Juan memang tampak berusaha meraih- raih di lantai kemudian kembali menegakkan punggungnya. “Foto,” gumam pemuda itu sambil mengamat- amati.
“Mia!” seru Juan tiba- tiba. Matanya masih tertuju pada foto itu. “Kau berdansa dengan siapa? Astaga pakaianmu kuno sekali! Dan siapa laki- laki ini?”
Mia masih berusaha menghubungkan maksud rentetan pertanyaan Juan, hingga akhirnya ia paham.
“Itu bukan fotoku, Juan! Itu pasti milik Aguirre. Yang kaulihat itu pasti kekasihnya,” Mia menarik lengan Juan sehingga ia dapat melihat foto itu dengan jelas. Sementara itu Juan masih tampak bingung.
“Ahh, benar. Ini foto Aguirre dengan kekasihnya.”
“Maksudmu, laki- laki di foto ini adalah Aguirre? Dan gadis yang bersamanya bukan… kau? Sama sekali?”
“Sí. Aguirre bilang namanya juga Amelia.”
“Tapi kalian berdua memang begitu mirip!” seru Juan yang masih terpukau. Pandangannya terus berpindah- pindah pada Mia dan gadis di foto itu.
“Benarkah?”
“Ya. Apa kau merasa tak punya hubungan apapun dengan kekasih Aguirre ini?”
“Bagaimana mungkin? Kenal pun tidak.”
“Tapi kemiripan kalian berdua sungguh luar biasa! Seperti saudara kembar!”
Mia diam sejenak, lalu mengerutkan dahi.“Aku tidak merasa seperti itu.”
“Ya, memang biasanya begitu. Seseorang tak akan menyadari kemiripannya dengan seorang yang lain, tapi orang di sekitar mereka tahu itu.”
Mia manggut- manggut. “Tapi aku memang tidak kenal dengan gadis ini –maksudku, ia tentu saja sudah tua sekarang.”
“Ya, sudahlah. Lupakan saja,” kata Juan mengangkat bahu. “Kebetulan seperti ini memang kadang- kadang terjadi. Tapi kurasa Aguirre tidak membuang foto ini, ‘kan?”
“Tidak. Pasti ketinggalan,” sahut Mia. “Dia tadi menunjukkan banyak foto padaku. Yang ini pasti jatuh ke lantai dan Aguirre tidak memperhatikannya.”
“Benar. Kalau begitu biar kusimpan dulu,” kata Juan. “Dia mungkin akan kembali nanti atau besok untuk mengambilnya.”
“Juan,” sergah Mia tiba- tiba, sembari menahan lengan Juan yang akan memasukkan foto ke dalam kantong celana. “Bisakah… aku saja yang mengembalikannya pada Aguirre?”
Juan diam sesaat sebelum memamerkan senyum. “Dia pasti lawan bicara yang menarik bagimu, ya?”
“Ehmm—“
Pemuda itu tak menunggu jawaban Mia, melainkan langsung mengambil foto itu lagi dari sakunya.
“Nah, ini,” kata Juan. “Setidaknya sudah dapat dipastikan bahwa besok aku akan bertemu lagi denganmu, Mia. Aku sungguh senang.”
Menjelang siang, Mia kembali pulang ke flatnya. Juan dengan senang hati mengantar gadis itu dengan mobil van yang sering ia gunakan untuk membeli keperluan kedai kopi, setelah memastikan ia mendapat persetujuan dari Papanya untuk meninggalkan café sementara waktu. Lagipula menjelang siang begini, café memang agak lengang, dan baru kembali dipadati saat istirahat makan siang. Mia sama sekali tak menolak tawaran Juan dan langsung naik setelah Juan membukakan pintu untuknya. Ia menurunkan jendela kaca mobil dan sempat memandang sekilas pada beberapa gadis dari gerombolan mahasiswa yang nongkrong di café Zavala tadi. Bibir mereka yang berminyak setelah menikmati enchilada dimonyong- monyongkan ke arah van Juan, mata mereka berkedip- kedip. Jelaslah bagi Mia siapa target operasi gadis- gadis genit itu. Ia menyipitkan mata, berusaha membuat gadis remaja yang baru memasuki usia dewasa muda itu tahu diri sedikit. Tapi sepertinya mereka tidak tahu diri sama sekali. Salah satunya bahkan memb
Sejak Mamanya menghubungi tadi, Mia sudah menelepon Anastasia balik beberapa kali. Begitu sang Mama dan nenek sampai di terminal bus, gadis itu menjemput keduanya dengan taksi. Anastasia –Mama Mia –adalah seorang wanita hampir paruh baya yang berperawakan sedang dengan rambut ikal yang hitam panjang. Nenek berada di sampingnya, dengan wajah heran setelah perjalanan panjang yang beliau tempuh. Rambutnya sudah memutih semua dan dipotong pendek, dan lemahnya gerak beliau menyebabkan nenek Mia harus sering- sering berada di atas kursi roda. Mia dan mamanya tak banyak bicara selama berada di terminal ataupun di bus, selain hanya berpeluk hangat karena saling merindukan. Namun begitu sampai di flat dan Mia membukakan pintunya, Anastasia mulai berceloteh. “Mi amor, betapa kurusnya kau, Anakku!” komentar Mamanya dengan cemas. Sementara itu tangannya dengan sigap mengurusi kursi roda nenek Mia, lalu mendudukkan beliau masih tampak linglung. Mendengar
“Sí, Mamá. Aku baik- baik saja. Kenapa?” “Nada,” geleng Anastasia. “Kau hanya terlihat menyembunyikan sebuah masalah. Atau mungkin beberapa masalah.” Mia hanya membalas dengan gumaman, berusaha berkonsentrasi pada supnya sebelum sang Mama menyela kembali. Cepat- cepat gadis itu mengganti topik. “Oh, iya. Bagaimana sebenarnya keadaan nenek, Mamá? Apa yang terjadi dengan penyakitnya? Apa memang begitu –parah?” “Mi amor, mi amor,” keluh Anastasia. “Begitulah. Nenekmu terkadang lupa cara melakukan hal- hal yang biasa ia lakukan. Ia lupa apa itu makan dan bagaimana cara makan. Atau tentang bagaimana caranya ke toilet. Dan seperti yang kau lihat tadi, nenek mulai melupakan orang- orang yang ada di sekitarnya. Ia lupa Ayahmu, aku –anaknya sendiri, dan kadang beranggapan kalau orang- orang di rumah adalah orang asing. Dan demensianya mungkin akan semakin memburuk.” Dengan cepat kepala Mia menoleh pada mamanya. “Sebe
Juan menyembur dalam gelaknya saat mendengar perkataan Mia. “Kau bilang apa tadi, Mia? Coba ulangi sekali lagi?” Gadis itu melirik Juan kesal, namun tetap menjawab. “Quarter- life crisis, Juan.” “Hahahahahahahah,” sekali lagi pemuda berlesung pipi itu tertawa terbahak- bahak –bahkan lebih parah dari sebelumnya. Beberapa orang karyawan café Zavala yang baru datang tampak menjauh saat melewati mereka –seakan Juan baru saja terkena penyakit gila sesaat yang menular. “Porqué?” tuntut Mia. “Kenapa kau ketawa- ketawa begitu? Ada yang lucu?” Juan masih memegangi perutnya dengan mata yang berair –yang cepat- cepat ia seka. “No, no. Aku hanya berpikir bahwa orang yang menciptakan istilah itu pasti sangat bangga.” Mia hanya memandang Juan dengan tatapan tak mengerti, dan memilih diam hingga gelak pemuda itu benar- benar reda. “Aku tidak bermaksud mencemooh orang yang menciptakan istilah itu, tidak,” lan
Aneh sekali rasanya bekerjasama dengan teman, di kedai teman, dan diarahkan pula oleh teman. Setidaknya keganjilan itulah yang terasa bagi Mia. Selama ini ia hanya menjadi pelanggan yang baik di kedai kopi Zavala –menikmati kebebasan dan waktu luangnya yang amat banyak sambil mengamati Juan bekerja. Kini ia menjadi bagian dari kedai ini –terjun langsung sebagai pekerja.Kesal? Tidak. Benci? Ah, tidak juga. Bekerja bersama Juan sebenarnya adalah hal yang paling disukai Mia. Namun ketika kita berada pada posisi yang berbeda, sudut pandang kita pun berubah.Dan sudut pandang Mia yang selama ini sempit –hanya terbatas sebagai pelanggan –kini meluas, membuatnya mengetahui banyak gosip dan desas- desus dalam satu hari bekerja.“Kau lihat anak muda yang terus- terusan memegang ponselnya di pojok sana, Juan?” bisik Mia suatu kali pada pemuda tampan itu.“Hmm- mm. Kenapa?” tanya Juan. Ia melihat sekilas pada orang ya
“Una. Mentira. Más,” ujar Juan Zavala seraya mengangkat jemarinya satu persatu, menekankan tiap kata yang ia ucapkan. “Satu kebohongan lagi. Mia. Sampai kapan kau akan tutup- tutupi semua ini dari Mamamu?”Mia cemberut. “Lo se, lo se. Aku tahu semua ini salah. Semakin lama kebohonganku akan semakin banyak, lo se! Tapi mengertilah, Juan. Tolong pahami keadaanku.”“Tentu aku paham Karena itulah aku membantumu, verdad? Tapi suatu hari kau harus mengatakan yang sebenarnya, Mia. Ini hanya akan membuat ibumu sedih bila kau terus berbohong padanya.”“Claro qué sí. Tapi aku butuh waktu. Dan kekuatan mental.”Juan tersenyum manis dengan lesung pipinya. “Jadi kau tetap ingin mengambil cuti besok?”“Ah, sí. Jika kau mengizinkan.”“Seguro. Sebagai bosmu aku mengizinkan kau cu
Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Juan berganti- ganti antara lalu lintas di depannya dengan gadis yang begitu diam di sampingnya. Untuk kesekian puluh kalinya pemuda itu menoleh pada Mia, setelah memastikan keadaan jalan di depan mobilnya.“Bagaimana perasaanmu, Mia?”Gadis berambut kecokelatan itu memandangi saputangan Juan yang ia pegang erat- erat di pangkuan sejak tadi. Ia pun lalu menoleh dan tersenyum. “Aku baik, Juan. Gracias.”“Kurasa kau menangis bukan karena bantuanku,” kata Juan sambil lalu. “Kurasa karena hal lain. Atau orang lain.”Ya, sahut Mia dalam hati.“Mario-kah?” tanya Juan coba- coba.Bukan, tapi karena kamu, Juan, ujar Mia lagi dalam hati. Aku cuma tak percaya bagaimana mungkin aku masih menyukai Mario secara buta, namun aku tak bisa menerima cintamu setelah bertahun- tahun ini kau ada di sampingku. Aku masih merasakan getar
Esok harinya, kira- kira pukul sembilan, Anastasia sudah pamit untuk pergi menemui Dokter Amezcua. “Mamá benar- benar bisa pergi sendiri?” Wanita paruh baya berambut ikal hitam nan panjang itu tampak menghembuskan napasnya keras- keras, seakan sedang berusaha menguatkan diri. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ia berkunjung ke tempat putrinya di Meksiko dan ia tidak tahu- menahu sedikit pun soal lalu lintas Meksiko. Desa mereka yang ada di dekat Rio Grande bukan apa- apa dibandingakn kota ini –desa mereka hanya mengenal becak- becak kecil dan motor. Lalu juga beberapa mobil pick up yang dimiliki pedagang. Alur transportasi tak pernah serumit kota Meksiko. Selain itu, perbincangannya dengan Dokter Amezcua sebelumnya juga hanya dijembatani dokter mereka di desa. Anastasia tak pernah berbincang langsung ataupun bertemu muka dengan sang dokter terkenal ini –sehingga ia sama sekali tidak yakin bagaimana pertemuan ini akan berlangsung. Anastasia benar- benar merasa asing dan buta arah.
Tunggu, Miguele!” hadang Luis begitu mendapati kawannya sudah buru- buru berdiri sambil menyandang mesin di belakang punggung.Miguele menoleh dengan mata berbinar, masih dengan ketertarikan oleh berita dari Luis.“Hm? Kenapa?”“Apa kau yakin ayahmu akan mengizinkan? Maksudku apa beliau mendukung bila kau ada di dunia militer?”“Ah. Itu sama sekali belum kupikirkan.”“Dan artinya, belum kautanyakan?”Miguele menggeleng lesu, dan kembali duduk di samping Luis. “Maaf, aku tak berniat menjatuhkan semangatmu ini, kawan.”“Lo se. Aku tahu.”Luis merasa tak enak. “Bagaimanapun, bila kau mendaftar bersamaku nanti, kau harus tetap memberitahu keluargamu, verdad? Terlebih bila kau lolos. Kau akan ada di barak selama berbulan- bulan, bertahun- tahun.”Miguele menghembuskan napasnya. Mengeluh. “Kau benar.”“Jadi kau sama sekali belum pernah membahas tentang keinginanmu berada di militer selama ini? Pada anggota keluargamu?”“Tidak.”“Sungguh tidak satupun?”“Tidak.”“Pada ibumu?”“Juga tidak.”L
Miguele sangat familiar dengan suara itu, sehingga ia bergegas berdiri tanpa memperhatikan obeng- obeng kecil yang sedari tadi ada di pangkuannya.“Luis!!”Seorang pemuda lain namun dengan tubuh lebih besar dan bidang tampak celingukan, lalu menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.“Aha! Miguele! Kau di situu?” balasnya.Hening sejenak, sementara Luis datang mendekat dan Miguele membereskan peralatan yang terserak di sekitarnya. Lebih baik aku menyerah sajalah dan memberikan mesin ini pada Ayah, pikir pemuda langsing dalam hati. Setelah semuanya beres, Miguele Aguirre pun segera memanggul mesin di punggung sembari melangkahkan kakinya panjang- panjang ke pinggir ladang jagung.Luis sudah menantinya di situ.“Kau sedang apa, sampai harus bersembunyi di balik jagung begitu?” tanya Luis dengan nada menuduh dan kekeh penuh kesangsian. “Mengintip seseorang? Menulis surat cinta? Atau…”Tangan kecil kurus Miguele menepuk kepala Luis dari belakang dengan santai tanpa rasa sesal.“Enak sa
Brrmm! Krrkk! Ngiiiiing.Mesin yang cukup tua terdengar berdecit- decit di tengah ladang itu. Satu- satunya mesin yang ada di desa kecil itu, tak jauh dari The Rio Grande.Mesin semprotan pupuk.“Haaaah!” seorang pemuda penghujung remaja mengeluh keletihan. Mesin semprotan pupuk yang selalu dibangga- banggakan keluarganya, terutama sang ayah – Señor Aguirre—sebab tak satupun di antara petani di desa mereka yang memilikinya, akhirnya mencapai usia tua juga. Para petani di sana tak ingin membuang- buang uang mereka.Atau lebih tepatnya mereka tak punya uang untuk membeli barang mahal macam kepunyaan Señor Aguirre. Ada keinginan untuk menggunakan mesin semprotan pupuk sehingga mereka tak perlu menghabiskan waktu menebar- nebar pupuk dengan lengan mereka di ladang- ladang yang sudah begitu tinggi oleh tanaman. Selain melelahkan, juga butuh waktu lama. Tapi apa daya. Keberadaan satu- satunya mesin di desa kecil itu sangat mengundang decak kagum saat Señor Aguirre membeli untuk pertama kal
Juan hanya membelalak bingung.“Mencari Aguirre?” tanyanya dengan wajah polos. “Oh, karena kau harus mengembalikan foto itu? Kenapa terburu- buru begitu?”“Tidak cuma itu. Ini lebih dari yang kau bayangkan,” ujar Mia dengan wajah hangat –seakan- akan cahaya matahari baru saja bersinar tepat di wajahnya.“Que bonita,” celetuk Juan yang memerhatikan perubahan ekspresi gadis itu.“Perdon?”“Oh, nada, nada,” kata pemuda itu sambil mengangkat bahu.Mia memandang lelaki di depannya itu dengan wajah curiga ‘apa- yang- sedang- kau- sembunyikan- dariku’.“Tidak ada apa- apa, Mia,” kekeh Juan. “Nah, coba kau lanjutkan. Kenapa ini lebih dari sekedar mengembalikan foto dan lebih dari yang kubayangkan?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.Wajah Mia bersinar- sinar dengan mata berkedip- kedip saking antusia
Tik. Tok. Tik. Tok.Jarum panjang jam berdetak dalam keheningan sunyi flat. Tak ada bunyi lain –bahkan bunyi halus sedikitpun.Gadis yang berada di ruangan sama dengan jam dinding itu bahkan hampir tak bergerak saat matanya melahap semua kata- kata di kertas di hadapannya.Barulah ketika ia menggerakkan jemarinya menuju halaman baru, saat itu terdengar kerisikan amat halus yang sepertinya detak jam tadi masih mampu mengalahkan bunyinya.Amelia Caras telah tenggelam lalu dihanyutkan dalam pusaran arus bacaan di depan matanya. Di sisinya tergeletak setumpuk buku bergambar yang awalnya tersusun rapi di dalam koper.Broommmmm!!!Bunyi knalpot bising dan cepat dari arah jalanlah satu- satunya yang memecahkan keheningan flat itu –dan memecah konsentrasi Mia. Gadis itu memutar leher cepat ke arah jendela, lalu memutar leher lagi ke arah neneknya yang mulai bergerak- gerak gelisah dalam tidur karena ulah pengendara ugal- ugalan itu. Dengan cepat ia kembali menekurkan tengkuknya ke arah buku j
Esok harinya, kira- kira pukul sembilan, Anastasia sudah pamit untuk pergi menemui Dokter Amezcua. “Mamá benar- benar bisa pergi sendiri?” Wanita paruh baya berambut ikal hitam nan panjang itu tampak menghembuskan napasnya keras- keras, seakan sedang berusaha menguatkan diri. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ia berkunjung ke tempat putrinya di Meksiko dan ia tidak tahu- menahu sedikit pun soal lalu lintas Meksiko. Desa mereka yang ada di dekat Rio Grande bukan apa- apa dibandingakn kota ini –desa mereka hanya mengenal becak- becak kecil dan motor. Lalu juga beberapa mobil pick up yang dimiliki pedagang. Alur transportasi tak pernah serumit kota Meksiko. Selain itu, perbincangannya dengan Dokter Amezcua sebelumnya juga hanya dijembatani dokter mereka di desa. Anastasia tak pernah berbincang langsung ataupun bertemu muka dengan sang dokter terkenal ini –sehingga ia sama sekali tidak yakin bagaimana pertemuan ini akan berlangsung. Anastasia benar- benar merasa asing dan buta arah.
Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Juan berganti- ganti antara lalu lintas di depannya dengan gadis yang begitu diam di sampingnya. Untuk kesekian puluh kalinya pemuda itu menoleh pada Mia, setelah memastikan keadaan jalan di depan mobilnya.“Bagaimana perasaanmu, Mia?”Gadis berambut kecokelatan itu memandangi saputangan Juan yang ia pegang erat- erat di pangkuan sejak tadi. Ia pun lalu menoleh dan tersenyum. “Aku baik, Juan. Gracias.”“Kurasa kau menangis bukan karena bantuanku,” kata Juan sambil lalu. “Kurasa karena hal lain. Atau orang lain.”Ya, sahut Mia dalam hati.“Mario-kah?” tanya Juan coba- coba.Bukan, tapi karena kamu, Juan, ujar Mia lagi dalam hati. Aku cuma tak percaya bagaimana mungkin aku masih menyukai Mario secara buta, namun aku tak bisa menerima cintamu setelah bertahun- tahun ini kau ada di sampingku. Aku masih merasakan getar
“Una. Mentira. Más,” ujar Juan Zavala seraya mengangkat jemarinya satu persatu, menekankan tiap kata yang ia ucapkan. “Satu kebohongan lagi. Mia. Sampai kapan kau akan tutup- tutupi semua ini dari Mamamu?”Mia cemberut. “Lo se, lo se. Aku tahu semua ini salah. Semakin lama kebohonganku akan semakin banyak, lo se! Tapi mengertilah, Juan. Tolong pahami keadaanku.”“Tentu aku paham Karena itulah aku membantumu, verdad? Tapi suatu hari kau harus mengatakan yang sebenarnya, Mia. Ini hanya akan membuat ibumu sedih bila kau terus berbohong padanya.”“Claro qué sí. Tapi aku butuh waktu. Dan kekuatan mental.”Juan tersenyum manis dengan lesung pipinya. “Jadi kau tetap ingin mengambil cuti besok?”“Ah, sí. Jika kau mengizinkan.”“Seguro. Sebagai bosmu aku mengizinkan kau cu
Aneh sekali rasanya bekerjasama dengan teman, di kedai teman, dan diarahkan pula oleh teman. Setidaknya keganjilan itulah yang terasa bagi Mia. Selama ini ia hanya menjadi pelanggan yang baik di kedai kopi Zavala –menikmati kebebasan dan waktu luangnya yang amat banyak sambil mengamati Juan bekerja. Kini ia menjadi bagian dari kedai ini –terjun langsung sebagai pekerja.Kesal? Tidak. Benci? Ah, tidak juga. Bekerja bersama Juan sebenarnya adalah hal yang paling disukai Mia. Namun ketika kita berada pada posisi yang berbeda, sudut pandang kita pun berubah.Dan sudut pandang Mia yang selama ini sempit –hanya terbatas sebagai pelanggan –kini meluas, membuatnya mengetahui banyak gosip dan desas- desus dalam satu hari bekerja.“Kau lihat anak muda yang terus- terusan memegang ponselnya di pojok sana, Juan?” bisik Mia suatu kali pada pemuda tampan itu.“Hmm- mm. Kenapa?” tanya Juan. Ia melihat sekilas pada orang ya