Menjelang siang, Mia kembali pulang ke flatnya. Juan dengan senang hati mengantar gadis itu dengan mobil van yang sering ia gunakan untuk membeli keperluan kedai kopi, setelah memastikan ia mendapat persetujuan dari Papanya untuk meninggalkan café sementara waktu. Lagipula menjelang siang begini, café memang agak lengang, dan baru kembali dipadati saat istirahat makan siang.
Mia sama sekali tak menolak tawaran Juan dan langsung naik setelah Juan membukakan pintu untuknya. Ia menurunkan jendela kaca mobil dan sempat memandang sekilas pada beberapa gadis dari gerombolan mahasiswa yang nongkrong di café Zavala tadi. Bibir mereka yang berminyak setelah menikmati enchilada dimonyong- monyongkan ke arah van Juan, mata mereka berkedip- kedip.
Jelaslah bagi Mia siapa target operasi gadis- gadis genit itu. Ia menyipitkan mata, berusaha membuat gadis remaja yang baru memasuki usia dewasa muda itu tahu diri sedikit.
Tapi sepertinya mereka tidak tahu diri sama sekali. Salah satunya bahkan memberikan ciumán jauh via udara.
“Kuberitahu nanti pada pacar- pacar kalian!” sorak Mia impulsif.
“Hm? Kau bicara pada siapa, Mia?” tanya Juan bingung. Pemuda tampan itu tertegun saat hendak memasang sabuk pengamannya.
“Oh, no, no. Nada,” bantah Mia cepat- cepat. “Vamos, Juan. Kita berangkat sekarang.”
Juan mengangguk bingung, lalu ikut menurunkan kaca jendela di sampingnya. “Maaf, ya. Pendinginnya sedang rusak, jadi kita manfaatkan kesejukan alami dari luar saja.”
“Tidak kau perbaiki?”
“Tidak. Belum perlu,” sahut Juan. Tangannya yang kekar menggeser- geser persneling, lalu dengan lihai memutar roda setir. “Masih banyak keperluan lain yang lebih mendesak daripada memperbaiki pendingin ini. Lagipula tak banyak bedanya, bukan? Kau sendiri juga menurunkan jendela.”
“Benar juga,” Mia menyahut singkat. Mobil bergerak meninggalkan halaman café itu, dan sebelum mereka benar- benar menjauh, Mia memastikan ia melemparkan pandangan garang pada kelompok gadis genit tadi dengan senyum serigala yang menyatakan : Huh! Kalian kira kalian bisa mendapatkan pemuda di sampingku? Akulah wanita pujaan hatinya!
“Lagipula segala kekurangan van ini sudah dikompensasi oleh ketampananku,” kata Juan penuh percaya diri, tanpa mengetahui misi rahasia Mia. “Adalah kesempatan langka kau bisa duduk di mobil bersama orang sepertiku, Mia. Satu dari seribu.”
“Claro,” jawab Mia datar. Misinya berhasil, sebab lewat spion ia bisa melihat para gadis mahasiswa tadi cemberut.
“Claro?” Juan mengulang jawaban itu dengan kening berkerut. “Jadi kalau kau memang beranggapan begitu, apa itu tak cukup menggugah hatimu, Mia?”
Mia tampak puas dengan keberhasilan misinya, dan mengembalikan pikiran pada pembicaraannya bersama Juan yang terabaikan. “Perdón, Juan. Kau tadi bilang apa?”
Pemuda itu menelengkan kepala sedikit. “Kau tidak mendengarkan kata- kataku barusan?”
Mia mengerutkan wajah tak enak. “Ah, perdón. Aku sungguh minta maaf. Pikiranku berkeliaran entah kemana, dan—“
“Tidak apa- apa,” potong Juan. “Aku hanya menanyakan pertanyaan yang sama untuk yang kesekian kalinya padamu.”
“Apa itu?”
“Soal perasaanmu, tentunya. Apa kau sama sekali tidak memandangku sebagai seorang… pria? Bagimu?”
“Apa maksudmu,” gurau Mia berkilah. “Tentu saja kau pria.”
“Kau paham arti pertanyaanku Mia.”
Yang ditanya memandang ke jalan di depan mereka. Van Juan meluncur mulus dan teratur di atas aspal halus.
“Kita sudah saling mengenal sejak kecil, Juan. Hubungan keluarga kita sudah tak main- main lagi sejak bergenerasi- generasi yang lalu.”
“Ya, betul sekali.”
“Dan berada di dekatmu membuatku sudah terbiasa, dan…” Mia memijit- mijit jemari tangan kanannya, “… Dan aku sudah terbiasa denganmu seperti aku terbiasa dengan adik- adikmu, Papa dan Mamamu— bagiku, kau saudara laki- lakiku, Juan.”
Pelipis Juan berdenyut. Selama beberapa menit ia mengendarai mobil itu dalam diam, dan Mia yang tengah bergumul dengan rasa bersalah juga membisu di sampingnya.
“Siapa yang butuh menjadi saudara laki- lakimu, mi Señorita,” katanya setelah bermenit- menit berlalu. “Tidak pula aku. No soy tu hermano. Aku bukan saudaramu.”
Amelia melirik pada pemuda yang sibuk menyetir itu lewat sudut mata.
“Kau marah?”
“Tidak. Cuma kesal,” Juan menyahut acuh tak acuh. Ia mengerutkan hidungnya beberapa kali, yang tanpa ia sadari telah menjadi pusat perhatian Mia. Ingin benar rasanya gadis itu mencubit hidung Juan. Mia tak bisa menolak kenyataan bahwa tiap kali Juan merajuk seperti itu, ia sangat imut!
Tapi syaraf- syaraf di otak Mia mengendalikan kesadaran tangan gadis itu agar menahan geraknya menuju hidung mancung pemuda di sampingnya.
“Maafkan aku telah membuatmu kesal.”
“Bukan, bukan karenamu. Aku hanya berpikir kalau wajahku masih kurang gagah dibandingkan kriteria keinginanmu. Mungkin aku perlu menata ulang rambutku, atau pergi ke tempat pelatihan kebugaran dan menambah otot, atau…”
Mia tertawa. “Aku tak peduli dengan otot- ototmu, Juan. Kau yang sekarang adalah yang terbaik.”
Mendengar itu, Juan tak lagi mengerutkan hidung. Ia tersenyum lebar- lebar. “Tapi kau jangan khawatir. Aku cukup berotot, kok. Bila kita menikah nanti, aku takkan membuatmu malu di altar nanti saat kau memegang lenganku.”
Muka Mia memerah. Ingin sekali ia menabok wajah Juan yang sudah bagaikan Don Juan ini, tapi ia tak sanggup. Ia tahu betul kalau itu tak sekedar rayuan, karena Juan selalu bersungguh- sungguh. Rayuan itu bukanlah main- main bila keluar dari mulut Juannya ini.
Juannya. Ah, membayangkan Juan menjadi miliknya saja sudah cukup membuat hatinya riang.
Sesaat Mia melempar pandangan pada lengan Juan yang tertutup kaos panjang penuh rasa ingin tahu. Sayang, aksinya dipergoki Juan.
“Kau ingin tahu apa aku memang berotot atau tidak?” tebak Juan dengan senyum nakal. “Kau boleh periksa. Kau ingin aku singsingkan? Begini?”
Mia diam. Apa wajahnya memang setransparan itu seperti buku terbuka, sampai- sampai Juan pun bisa membaca isi hatinya?
“Tidak,” bantah Mia dengan suara nyaring yang aneh. Jelas sekali ia gelagapan. Percakapan ini telah membuatnya kikuk.
Dan Juan! Dia dengan sembarangan tertawa –sehingga gadis berambut hitam kecokelatan itu jadi mati gaya. Ia memandang ke jendela samping yang meniupi rambutnya dengan angin sepoi- sepoi –namun pemandangan pinggiran jalan kota Meksiko City tak ada yang cukup berhasil mengalihkan rasa malunya saat ini.
Untunglah, ponsel Mia berbunyi tepat pada waktunya. Cepat- cepat gadis itu mengobok- obok tasnya dengan bunyi gaduh.
Panggilan dari Mamanya.
“Bueno, Mamá!”sapa Mia dengan keceriaan berlebihan.
“Cómo estás, mi amor?”sahut Anastasia –Mama Mia –di ujung panggilan.
“Aku baik Mama. Mama dan yang lain di sana bagaimana?”
“Nah, itulah dia,” beliau menghembus napas di telepon.
“Por qué, Mamá? Kenapa, Mama? Apa yang terjadi? Apa semua baik- baik saja?”
“Tidak seperti yang kita harapkan, mi amor,” jawab Anastasia lagi. Suaranya memang terdengar serius. “Kau tak perlu terlalu khawatir begitu. Tapi ya, hanya saja—“
“Hanya saja?” desak Mia. Matanya memelototi jalan di dekat rumahnya sementara Juan menoleh padanya dengan penasaran. Mereka sudah hampir sampai di depan flat Mia.
“Kau tahu bukan, Mia, nenekmu sakit sejak lama? Apa itu namanya –Alhazel—“
“Alzheimer,” Mia membetulkan.
“Sí. Dokter mengatakan nenekmu perlu perawatan intensif, dan dengan segala peralatan dan fasilitas yang ada di desa, semua itu tidak memungkinkan.”
Mobil van Juan sudah berhenti tepat di depan flat yang dituju. Si pengendara mendengarkan percakapan telepon gadis di sampingnya itu tanpa malu- malu.
“Apa… begitu parah?” tanya Mia ragu- ragu.
“Mamá akan menjelaskannya nanti, mi amor. Tapi dokter telah menyarankan agar pengobatan nenek dilanjutkan di Meksiko City. Dan saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju flatmu.”
Mia kaget. Juan di sampingnya yang tak sabar terus berpantomim penuh tanya ‘ada apa, ada apa’ beberapa kali. Mia pun mengeraskan volume suara melalui speaker, sehingga suara Mamanya terpantul ke sudut- sudut van butut Juan.
“Sí, mi amor. Ada banyak penjelasan dari dokter kemarin, dan demensia nenekmu juga semakin memburuk. Mamá bahkan sama sekali tak yakin kalau… nenekmu akan mengenalimu nanti.”
Mulut Mia dan Juan ternganga.
“…Dan oleh sebab itulah dokter meminta agar pengobatan berlanjut ke Meksiko, agar beliau mendapat perawatan lebih baik, juga cambio de entorno. Perubahan suasana, mi amor, supaya demensianya semakin berkurang. Dokter juga berkata bahwa kehadiranmu sebagai cucunya mungkin akan membuat nenek senang. Jadi… kami mungkin akan tinggal di tempatmu untuk waktu cukup lama.”
Mia diam mendengar penuturan itu. “Kira- kira kapan Mamá dan nenek akan sampai?”
“Kami baru menaiki bus. Mungkin nanti sore, mi amor. Maafkan Mamá telah membuatmu repot begini. Kau pasti sangat terganggu, apalagi kau punya banyak pekerjaan di kota.”
Mia menggeleng, walaupun mamanya tak melihat gelengan itu. “No hay problema, Mamá. Kenapa harus minta maaf? Lagipula aku senang kalau Mamá dan nenek datang dan tinggal bersamaku di sini. Dan…” Mia menyambung dengan getir, “…kerjaanku tak sebanyak yang Mamá pikirkan. Oh, iya. Bagaimana dengan Papá? Papá akan sendirian di rumah.”
“Takkan seburuk itu,” kata Anastasia. “Papá-mu tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, namun ia berkata akan berkunjung sesekali ke Meksiko City. Tak apa- apa, ‘kan, Mia?”
“Mamá, Mamá. Kenapa terus meminta maaf? Aku sama sekali tidak apa- apa.”
“Kami akan menyusahkanmu selama di Meksiko, mi amor.”
“Tidak usah pikirkan hal itu, Mamá. Yang harus kita pikirkan sekarang adalah kesembuhan nenek. Aku malah sangat senang karena kita bisa berkumpul bersama- sama lagi. Meskipun bukan di desa kita.”
Diam di ujung panggilan, dan Mia bisa membayangkan mungkin saat ini mamanya tersenyum lega.
“Baiklah, Chiquita. Kami akan mengabarimu begitu kami hampir sampai.”
“Baik, Mamá. Jagalah diri Mamá dan nenek baik- baik selama di perjalanan.”
Setelah saling berbalas salam dan sayang, panggilan terputus. Mia menyimpan ponselnya kembali, dan mengangkat wajah yang risau.
“Sepertinya sakit nenekmu semakin parah?” tanya Juan bersimpati.
“Ya. Seperti yang sudah kau dengar.”
Juan mengangguk. Tangannya masih menempel di setir mobil. “Kau mencemaskan sesuatu, Mia?”
Mia menggigit bibirnya, lalu mengangguk. “Mamá berkali- kali minta maaf karena takut menyusahkanku selama di sini. Takut mengganggu pekerjaanku. Dan kau tahu sendiri bahwa aku baru saja keluar dari pekerjaanku pada psikolog itu. Meski aku masih menulis, aku hanya punya kontrak lepas –jadi bisa dikatakan aku ini penganggur terselubung.
Juan manggut- manggut. “Kau khawatir dengan anggapan orangtuamu nanti.”
Mia menatap kosong dashboard di depannya. “Aku takut, mereka nanti kecewa dengan keadaanku sekarang. Aku luntang- lantung. Penghasilan sebagai penulis di kolom koran tidaklah banyak. Juan, aku ingin membiayai kehidupan keluargaku selama mereka di sini, namun aku sendiri takut dengan masa depanku,” Mia berujar gelisah. “Aku takkan bisa membiayai sepenuhnya dengan penghasilan sekarang. Maksudku— aku sama sekali tidak keberatan dengan kehadiran mereka, malah aku sangat bahagia. Hanya saja aku belum mendapatkan pekerjaan tetap, dan bila aku mengungkapkan semuanya mungkin Mamá akan mengabari Papá-ku dan beliau akan mengirimiku uang.”
“Kau tak suka dikirimi uang?”
“Bukan begitu,” ujar Mia yang masih bergerak gelisah. “Aku ingin menunjukkan diriku yang mandiri pada mereka, yang bisa membahagiakan mereka. Mereka takkan pernah sungkan mengirimiku uang sampai kapanpun –tapi aku malu, Juan. Aku malu pada diriku sendiri.”
Pemuda Zavala itu menatap gadis di sampingnya dengan lembut. “Apa untuk saat ini kau punya uang?”
“Ya. Gaji terakhirku bisa dipakai untuk hidup bertiga selama satu setengah bulan. Aku juga punya tabungan, tapi tetap saja aku takut dengan apa yang terjadi nanti.”
“Jangan cemas. Kau juga bisa menggunakan uangku bila kau membutuhkannya. Ssst! Aku takkan bilang pada keluargamu atau pada keluargaku soal ini.”
Senyum Mia tersungging lebar. “Gracias, Juan. Muchas, muchas gracias.”
“Itulah gunanya teman,” sahut Juan santai. “Oh, iya, bila memang kau telah resmi mundur dari pekerjaanmu di tempat psikolog, maka kau takkan kemana- mana? Apa Mamamu takkan heran bila sampai di sini dan mendapati anaknya tidak mengerjakan apapun?”
“Ah,” erang Mia. Ia baru terpikirkan itu.
“Kurasa kau perlu mempertimbangkannya, Mia. Kau bisa tetap berangkat tiap pagi seperti biasa, namun kau bisa gunakan waktu itu untuk mencari pekerjaan.”
Mia mengangguk lemah. Ia tak bisa berbohong pada Mamanya.
Juan meraih tangan gadis yang ragu- ragu itu. “Dengar, Mia,” mulainya, “Aku selalu mendukung apapun keputusanmu. Kau bisa mengatakan keadaan yang sebenarnya dengan jujur pada mama dan nenekmu. Tapi kau sendiri tak ingin menyakiti mereka. Atau kau bisa melakukan hal lain untuk itu. Kau bisa ikut membantuku di café, misalnya. Itu pekerjaan juga bukan?”
“Tapi apa yang akan kukatakan pada Papamu?”
“Papa bisa menjaga rahasia,” kedip Juan. “Dengar. Apapun yang kauputuskan, ingatlah : aku selalu mendukungmu. Bila Señora Caras sampai sore nanti, kau masih punya waktu untuk berpikir, bukan?”
Mia mengangguk lagi, masih selemah tadi.
“Aku selalu bersamamu, Mia,” tegas Juan. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada jari- jemari Mia.
Memberi gadis itu kehangatan dan kekuatan.
***
Sesampainya di flat, Mia segera membereskan semua barang- barangnya yang berantakan. Butuh waktu hingga tiga jam lebh baginya untuk menata seluruh ruangan hingga kembali terlihat seperti ‘flat gadis lajang yang ideal’. Mia juga tak ingin digerecoki oleh sang mama soal isi kulkasnya yang kosong melompong –seperti hatinya kini setelah putus dengan Mario –sehingga gadis berambut hitam kecokelatan itu juga berbelanja ke minimarket terdekat untuk membeli sayur dan lauk mentah.
Setidaknya ia sudah memberikan representasi seorang anak gadis Mamanya yang baik –buena chiquita saat Anastasia datang nanti.
Setelah puas, Mia beristirahat sambil menjelajahi mesin pencarian di komputernya. Ia tahu benar apa yang ingin ia cari.
Jari- jemarinya lincah menari- nari di atas keyboard mengetikkan satu kata:
Alzheimer
Monitor menampilkan sehalaman penuh link, dan dengan serakah Mia membuka semuanya dalam tab baru. Ia hanya butuh waktu sekitar setengah jam untuk melahap habis semua bacaan tentang penyakit tua itu.
Alzheimer adalah penyakit yang banyak menyerang lansia di atas usia 65 tahun, dan banyak faktor penyebabnya, termasuk genetik dan cara hidup. Tak pernah benar- benar ada cara untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang urat- urat syaraf otak itu –hanya memperlambat perkembangannya saja agar tak semakin parah.
Mia menghembuskan napas seraya bersandar di kursi. Serbuan informasi yang menyesakkan itu membuatnya semakin merasa tak enak. Selama ini ia memang sudah tahu bahwa sang nenek mengidap Alzheimer, namun apa yang beliau alami masih berada di tahap awal sehingga belum menunjukkan tanda- tanda menuju berbahaya. Apalagi ia jarang sekali pulang ke desa semenjak berkuliah di UAM, dan waktu yang ia habiskan saat berlibur pun tak menjamin pertemuan dengan sang nenek. Neneknya lebih suka tinggal bersama Maria Cano –anak perempuannya yang bermukim tak jauh dari desa mereka sendiri.
Ia tak pernah benar- benar menjaga keluarganya selama ini, sebagaimana yang dilakukan Juan untuk keluarga Zavala. Ia terlalu sibuk dengan kehidupan pribadinya.
Mia tersenyum tipis untuk dirinya sendiri. Mungkin semua masalahnya –baik dalam percintaan dan pekerjaan –yang muncul di depan kedua bola matanya kini, hadir dengan tidak sia- sia.
Mungkin memang Tuhan ingin membuatnya kembali pada kehangatan keluarganya. Dan kedatangan Mamá dan abuela adalah rangkaian puzzle yang telah dicocokkan agar tujuan itu terwujud.
“Dios mío,” Mia bergumam lirih, “Dale fuerza a mi abuela. Berikanlah nenekku kekuatan. Amen.”
Sejak Mamanya menghubungi tadi, Mia sudah menelepon Anastasia balik beberapa kali. Begitu sang Mama dan nenek sampai di terminal bus, gadis itu menjemput keduanya dengan taksi. Anastasia –Mama Mia –adalah seorang wanita hampir paruh baya yang berperawakan sedang dengan rambut ikal yang hitam panjang. Nenek berada di sampingnya, dengan wajah heran setelah perjalanan panjang yang beliau tempuh. Rambutnya sudah memutih semua dan dipotong pendek, dan lemahnya gerak beliau menyebabkan nenek Mia harus sering- sering berada di atas kursi roda. Mia dan mamanya tak banyak bicara selama berada di terminal ataupun di bus, selain hanya berpeluk hangat karena saling merindukan. Namun begitu sampai di flat dan Mia membukakan pintunya, Anastasia mulai berceloteh. “Mi amor, betapa kurusnya kau, Anakku!” komentar Mamanya dengan cemas. Sementara itu tangannya dengan sigap mengurusi kursi roda nenek Mia, lalu mendudukkan beliau masih tampak linglung. Mendengar
“Sí, Mamá. Aku baik- baik saja. Kenapa?” “Nada,” geleng Anastasia. “Kau hanya terlihat menyembunyikan sebuah masalah. Atau mungkin beberapa masalah.” Mia hanya membalas dengan gumaman, berusaha berkonsentrasi pada supnya sebelum sang Mama menyela kembali. Cepat- cepat gadis itu mengganti topik. “Oh, iya. Bagaimana sebenarnya keadaan nenek, Mamá? Apa yang terjadi dengan penyakitnya? Apa memang begitu –parah?” “Mi amor, mi amor,” keluh Anastasia. “Begitulah. Nenekmu terkadang lupa cara melakukan hal- hal yang biasa ia lakukan. Ia lupa apa itu makan dan bagaimana cara makan. Atau tentang bagaimana caranya ke toilet. Dan seperti yang kau lihat tadi, nenek mulai melupakan orang- orang yang ada di sekitarnya. Ia lupa Ayahmu, aku –anaknya sendiri, dan kadang beranggapan kalau orang- orang di rumah adalah orang asing. Dan demensianya mungkin akan semakin memburuk.” Dengan cepat kepala Mia menoleh pada mamanya. “Sebe
Juan menyembur dalam gelaknya saat mendengar perkataan Mia. “Kau bilang apa tadi, Mia? Coba ulangi sekali lagi?” Gadis itu melirik Juan kesal, namun tetap menjawab. “Quarter- life crisis, Juan.” “Hahahahahahahah,” sekali lagi pemuda berlesung pipi itu tertawa terbahak- bahak –bahkan lebih parah dari sebelumnya. Beberapa orang karyawan café Zavala yang baru datang tampak menjauh saat melewati mereka –seakan Juan baru saja terkena penyakit gila sesaat yang menular. “Porqué?” tuntut Mia. “Kenapa kau ketawa- ketawa begitu? Ada yang lucu?” Juan masih memegangi perutnya dengan mata yang berair –yang cepat- cepat ia seka. “No, no. Aku hanya berpikir bahwa orang yang menciptakan istilah itu pasti sangat bangga.” Mia hanya memandang Juan dengan tatapan tak mengerti, dan memilih diam hingga gelak pemuda itu benar- benar reda. “Aku tidak bermaksud mencemooh orang yang menciptakan istilah itu, tidak,” lan
Aneh sekali rasanya bekerjasama dengan teman, di kedai teman, dan diarahkan pula oleh teman. Setidaknya keganjilan itulah yang terasa bagi Mia. Selama ini ia hanya menjadi pelanggan yang baik di kedai kopi Zavala –menikmati kebebasan dan waktu luangnya yang amat banyak sambil mengamati Juan bekerja. Kini ia menjadi bagian dari kedai ini –terjun langsung sebagai pekerja.Kesal? Tidak. Benci? Ah, tidak juga. Bekerja bersama Juan sebenarnya adalah hal yang paling disukai Mia. Namun ketika kita berada pada posisi yang berbeda, sudut pandang kita pun berubah.Dan sudut pandang Mia yang selama ini sempit –hanya terbatas sebagai pelanggan –kini meluas, membuatnya mengetahui banyak gosip dan desas- desus dalam satu hari bekerja.“Kau lihat anak muda yang terus- terusan memegang ponselnya di pojok sana, Juan?” bisik Mia suatu kali pada pemuda tampan itu.“Hmm- mm. Kenapa?” tanya Juan. Ia melihat sekilas pada orang ya
“Una. Mentira. Más,” ujar Juan Zavala seraya mengangkat jemarinya satu persatu, menekankan tiap kata yang ia ucapkan. “Satu kebohongan lagi. Mia. Sampai kapan kau akan tutup- tutupi semua ini dari Mamamu?”Mia cemberut. “Lo se, lo se. Aku tahu semua ini salah. Semakin lama kebohonganku akan semakin banyak, lo se! Tapi mengertilah, Juan. Tolong pahami keadaanku.”“Tentu aku paham Karena itulah aku membantumu, verdad? Tapi suatu hari kau harus mengatakan yang sebenarnya, Mia. Ini hanya akan membuat ibumu sedih bila kau terus berbohong padanya.”“Claro qué sí. Tapi aku butuh waktu. Dan kekuatan mental.”Juan tersenyum manis dengan lesung pipinya. “Jadi kau tetap ingin mengambil cuti besok?”“Ah, sí. Jika kau mengizinkan.”“Seguro. Sebagai bosmu aku mengizinkan kau cu
Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Juan berganti- ganti antara lalu lintas di depannya dengan gadis yang begitu diam di sampingnya. Untuk kesekian puluh kalinya pemuda itu menoleh pada Mia, setelah memastikan keadaan jalan di depan mobilnya.“Bagaimana perasaanmu, Mia?”Gadis berambut kecokelatan itu memandangi saputangan Juan yang ia pegang erat- erat di pangkuan sejak tadi. Ia pun lalu menoleh dan tersenyum. “Aku baik, Juan. Gracias.”“Kurasa kau menangis bukan karena bantuanku,” kata Juan sambil lalu. “Kurasa karena hal lain. Atau orang lain.”Ya, sahut Mia dalam hati.“Mario-kah?” tanya Juan coba- coba.Bukan, tapi karena kamu, Juan, ujar Mia lagi dalam hati. Aku cuma tak percaya bagaimana mungkin aku masih menyukai Mario secara buta, namun aku tak bisa menerima cintamu setelah bertahun- tahun ini kau ada di sampingku. Aku masih merasakan getar
Esok harinya, kira- kira pukul sembilan, Anastasia sudah pamit untuk pergi menemui Dokter Amezcua. “Mamá benar- benar bisa pergi sendiri?” Wanita paruh baya berambut ikal hitam nan panjang itu tampak menghembuskan napasnya keras- keras, seakan sedang berusaha menguatkan diri. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ia berkunjung ke tempat putrinya di Meksiko dan ia tidak tahu- menahu sedikit pun soal lalu lintas Meksiko. Desa mereka yang ada di dekat Rio Grande bukan apa- apa dibandingakn kota ini –desa mereka hanya mengenal becak- becak kecil dan motor. Lalu juga beberapa mobil pick up yang dimiliki pedagang. Alur transportasi tak pernah serumit kota Meksiko. Selain itu, perbincangannya dengan Dokter Amezcua sebelumnya juga hanya dijembatani dokter mereka di desa. Anastasia tak pernah berbincang langsung ataupun bertemu muka dengan sang dokter terkenal ini –sehingga ia sama sekali tidak yakin bagaimana pertemuan ini akan berlangsung. Anastasia benar- benar merasa asing dan buta arah.
Tik. Tok. Tik. Tok.Jarum panjang jam berdetak dalam keheningan sunyi flat. Tak ada bunyi lain –bahkan bunyi halus sedikitpun.Gadis yang berada di ruangan sama dengan jam dinding itu bahkan hampir tak bergerak saat matanya melahap semua kata- kata di kertas di hadapannya.Barulah ketika ia menggerakkan jemarinya menuju halaman baru, saat itu terdengar kerisikan amat halus yang sepertinya detak jam tadi masih mampu mengalahkan bunyinya.Amelia Caras telah tenggelam lalu dihanyutkan dalam pusaran arus bacaan di depan matanya. Di sisinya tergeletak setumpuk buku bergambar yang awalnya tersusun rapi di dalam koper.Broommmmm!!!Bunyi knalpot bising dan cepat dari arah jalanlah satu- satunya yang memecahkan keheningan flat itu –dan memecah konsentrasi Mia. Gadis itu memutar leher cepat ke arah jendela, lalu memutar leher lagi ke arah neneknya yang mulai bergerak- gerak gelisah dalam tidur karena ulah pengendara ugal- ugalan itu. Dengan cepat ia kembali menekurkan tengkuknya ke arah buku j
Tunggu, Miguele!” hadang Luis begitu mendapati kawannya sudah buru- buru berdiri sambil menyandang mesin di belakang punggung.Miguele menoleh dengan mata berbinar, masih dengan ketertarikan oleh berita dari Luis.“Hm? Kenapa?”“Apa kau yakin ayahmu akan mengizinkan? Maksudku apa beliau mendukung bila kau ada di dunia militer?”“Ah. Itu sama sekali belum kupikirkan.”“Dan artinya, belum kautanyakan?”Miguele menggeleng lesu, dan kembali duduk di samping Luis. “Maaf, aku tak berniat menjatuhkan semangatmu ini, kawan.”“Lo se. Aku tahu.”Luis merasa tak enak. “Bagaimanapun, bila kau mendaftar bersamaku nanti, kau harus tetap memberitahu keluargamu, verdad? Terlebih bila kau lolos. Kau akan ada di barak selama berbulan- bulan, bertahun- tahun.”Miguele menghembuskan napasnya. Mengeluh. “Kau benar.”“Jadi kau sama sekali belum pernah membahas tentang keinginanmu berada di militer selama ini? Pada anggota keluargamu?”“Tidak.”“Sungguh tidak satupun?”“Tidak.”“Pada ibumu?”“Juga tidak.”L
Miguele sangat familiar dengan suara itu, sehingga ia bergegas berdiri tanpa memperhatikan obeng- obeng kecil yang sedari tadi ada di pangkuannya.“Luis!!”Seorang pemuda lain namun dengan tubuh lebih besar dan bidang tampak celingukan, lalu menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.“Aha! Miguele! Kau di situu?” balasnya.Hening sejenak, sementara Luis datang mendekat dan Miguele membereskan peralatan yang terserak di sekitarnya. Lebih baik aku menyerah sajalah dan memberikan mesin ini pada Ayah, pikir pemuda langsing dalam hati. Setelah semuanya beres, Miguele Aguirre pun segera memanggul mesin di punggung sembari melangkahkan kakinya panjang- panjang ke pinggir ladang jagung.Luis sudah menantinya di situ.“Kau sedang apa, sampai harus bersembunyi di balik jagung begitu?” tanya Luis dengan nada menuduh dan kekeh penuh kesangsian. “Mengintip seseorang? Menulis surat cinta? Atau…”Tangan kecil kurus Miguele menepuk kepala Luis dari belakang dengan santai tanpa rasa sesal.“Enak sa
Brrmm! Krrkk! Ngiiiiing.Mesin yang cukup tua terdengar berdecit- decit di tengah ladang itu. Satu- satunya mesin yang ada di desa kecil itu, tak jauh dari The Rio Grande.Mesin semprotan pupuk.“Haaaah!” seorang pemuda penghujung remaja mengeluh keletihan. Mesin semprotan pupuk yang selalu dibangga- banggakan keluarganya, terutama sang ayah – Señor Aguirre—sebab tak satupun di antara petani di desa mereka yang memilikinya, akhirnya mencapai usia tua juga. Para petani di sana tak ingin membuang- buang uang mereka.Atau lebih tepatnya mereka tak punya uang untuk membeli barang mahal macam kepunyaan Señor Aguirre. Ada keinginan untuk menggunakan mesin semprotan pupuk sehingga mereka tak perlu menghabiskan waktu menebar- nebar pupuk dengan lengan mereka di ladang- ladang yang sudah begitu tinggi oleh tanaman. Selain melelahkan, juga butuh waktu lama. Tapi apa daya. Keberadaan satu- satunya mesin di desa kecil itu sangat mengundang decak kagum saat Señor Aguirre membeli untuk pertama kal
Juan hanya membelalak bingung.“Mencari Aguirre?” tanyanya dengan wajah polos. “Oh, karena kau harus mengembalikan foto itu? Kenapa terburu- buru begitu?”“Tidak cuma itu. Ini lebih dari yang kau bayangkan,” ujar Mia dengan wajah hangat –seakan- akan cahaya matahari baru saja bersinar tepat di wajahnya.“Que bonita,” celetuk Juan yang memerhatikan perubahan ekspresi gadis itu.“Perdon?”“Oh, nada, nada,” kata pemuda itu sambil mengangkat bahu.Mia memandang lelaki di depannya itu dengan wajah curiga ‘apa- yang- sedang- kau- sembunyikan- dariku’.“Tidak ada apa- apa, Mia,” kekeh Juan. “Nah, coba kau lanjutkan. Kenapa ini lebih dari sekedar mengembalikan foto dan lebih dari yang kubayangkan?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.Wajah Mia bersinar- sinar dengan mata berkedip- kedip saking antusia
Tik. Tok. Tik. Tok.Jarum panjang jam berdetak dalam keheningan sunyi flat. Tak ada bunyi lain –bahkan bunyi halus sedikitpun.Gadis yang berada di ruangan sama dengan jam dinding itu bahkan hampir tak bergerak saat matanya melahap semua kata- kata di kertas di hadapannya.Barulah ketika ia menggerakkan jemarinya menuju halaman baru, saat itu terdengar kerisikan amat halus yang sepertinya detak jam tadi masih mampu mengalahkan bunyinya.Amelia Caras telah tenggelam lalu dihanyutkan dalam pusaran arus bacaan di depan matanya. Di sisinya tergeletak setumpuk buku bergambar yang awalnya tersusun rapi di dalam koper.Broommmmm!!!Bunyi knalpot bising dan cepat dari arah jalanlah satu- satunya yang memecahkan keheningan flat itu –dan memecah konsentrasi Mia. Gadis itu memutar leher cepat ke arah jendela, lalu memutar leher lagi ke arah neneknya yang mulai bergerak- gerak gelisah dalam tidur karena ulah pengendara ugal- ugalan itu. Dengan cepat ia kembali menekurkan tengkuknya ke arah buku j
Esok harinya, kira- kira pukul sembilan, Anastasia sudah pamit untuk pergi menemui Dokter Amezcua. “Mamá benar- benar bisa pergi sendiri?” Wanita paruh baya berambut ikal hitam nan panjang itu tampak menghembuskan napasnya keras- keras, seakan sedang berusaha menguatkan diri. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ia berkunjung ke tempat putrinya di Meksiko dan ia tidak tahu- menahu sedikit pun soal lalu lintas Meksiko. Desa mereka yang ada di dekat Rio Grande bukan apa- apa dibandingakn kota ini –desa mereka hanya mengenal becak- becak kecil dan motor. Lalu juga beberapa mobil pick up yang dimiliki pedagang. Alur transportasi tak pernah serumit kota Meksiko. Selain itu, perbincangannya dengan Dokter Amezcua sebelumnya juga hanya dijembatani dokter mereka di desa. Anastasia tak pernah berbincang langsung ataupun bertemu muka dengan sang dokter terkenal ini –sehingga ia sama sekali tidak yakin bagaimana pertemuan ini akan berlangsung. Anastasia benar- benar merasa asing dan buta arah.
Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Juan berganti- ganti antara lalu lintas di depannya dengan gadis yang begitu diam di sampingnya. Untuk kesekian puluh kalinya pemuda itu menoleh pada Mia, setelah memastikan keadaan jalan di depan mobilnya.“Bagaimana perasaanmu, Mia?”Gadis berambut kecokelatan itu memandangi saputangan Juan yang ia pegang erat- erat di pangkuan sejak tadi. Ia pun lalu menoleh dan tersenyum. “Aku baik, Juan. Gracias.”“Kurasa kau menangis bukan karena bantuanku,” kata Juan sambil lalu. “Kurasa karena hal lain. Atau orang lain.”Ya, sahut Mia dalam hati.“Mario-kah?” tanya Juan coba- coba.Bukan, tapi karena kamu, Juan, ujar Mia lagi dalam hati. Aku cuma tak percaya bagaimana mungkin aku masih menyukai Mario secara buta, namun aku tak bisa menerima cintamu setelah bertahun- tahun ini kau ada di sampingku. Aku masih merasakan getar
“Una. Mentira. Más,” ujar Juan Zavala seraya mengangkat jemarinya satu persatu, menekankan tiap kata yang ia ucapkan. “Satu kebohongan lagi. Mia. Sampai kapan kau akan tutup- tutupi semua ini dari Mamamu?”Mia cemberut. “Lo se, lo se. Aku tahu semua ini salah. Semakin lama kebohonganku akan semakin banyak, lo se! Tapi mengertilah, Juan. Tolong pahami keadaanku.”“Tentu aku paham Karena itulah aku membantumu, verdad? Tapi suatu hari kau harus mengatakan yang sebenarnya, Mia. Ini hanya akan membuat ibumu sedih bila kau terus berbohong padanya.”“Claro qué sí. Tapi aku butuh waktu. Dan kekuatan mental.”Juan tersenyum manis dengan lesung pipinya. “Jadi kau tetap ingin mengambil cuti besok?”“Ah, sí. Jika kau mengizinkan.”“Seguro. Sebagai bosmu aku mengizinkan kau cu
Aneh sekali rasanya bekerjasama dengan teman, di kedai teman, dan diarahkan pula oleh teman. Setidaknya keganjilan itulah yang terasa bagi Mia. Selama ini ia hanya menjadi pelanggan yang baik di kedai kopi Zavala –menikmati kebebasan dan waktu luangnya yang amat banyak sambil mengamati Juan bekerja. Kini ia menjadi bagian dari kedai ini –terjun langsung sebagai pekerja.Kesal? Tidak. Benci? Ah, tidak juga. Bekerja bersama Juan sebenarnya adalah hal yang paling disukai Mia. Namun ketika kita berada pada posisi yang berbeda, sudut pandang kita pun berubah.Dan sudut pandang Mia yang selama ini sempit –hanya terbatas sebagai pelanggan –kini meluas, membuatnya mengetahui banyak gosip dan desas- desus dalam satu hari bekerja.“Kau lihat anak muda yang terus- terusan memegang ponselnya di pojok sana, Juan?” bisik Mia suatu kali pada pemuda tampan itu.“Hmm- mm. Kenapa?” tanya Juan. Ia melihat sekilas pada orang ya