Bila seseorang selalu punya sekeping kecil dari hati yang tak pernah merasa asing dengan sesuatu, maka bagi Amelia Caras keping kecil itu adalah suasana lalu lintas di Jalan José María Izzaga yang kini dilaluinya.
Gadis itu menggerai rambutnya yang hitam kecokelatan, membiarkan tiap helainya ditiup angin yang bercampur dengan residu buangan kendaraan yang hiruk pikuk di jalan. Meski wajahnya sudah memerah oleh sinar mentari dan napasnya tersengal, ia tetap mempercepat kakinya yang diselubungi sepatu lusuh menapaki blok- blok pejalan kaki yang lengang. Siapa saja tahu bahwa lalu lintas di Meksiko –terutama kota kapitalnya –adalah satu dari banyak kota di dunia yang paling ramai, tak teratur, dan hiruk. Jalan dua arah itu akan terasa sesak bagi orang yang menginginkan kedamaian, tapi Amelia merasakan sebaliknya.
Ia menghirup udara pagi kuat- kuat –meski sudah bercampur dengan semilir karbon monoksida. Gas itu mungkin akan bertumpuk dan mulai meracuni paru- parunya saat ia tua, tapi Amelia tak peduli. Ia tahu kemana kaki membawa dirinya, dan setelah mengayun beberapa langkah, ia sampai di sebuah kedai kopi ‘Zavala’.
Dengan gaya seakan- akan bos, Amelia mengangkat tangan pada salah satu waiter, sambil melempar senyum manis. Ia memang sudah mengenali tempat itu sejak masih berkuliah di Universidad Autònoma Metropolitana (UAM). Bahkan ia sudah mengetahuinya jauh sebelum menjadi mahasiswa di sana. Bagi orang- orang yang jeli, tempat tongkrongan Amelia tak bisa dikatakan dekat dengan kampusnya, namun semua itu perkara sepele. Baginya keluarga Juan sudah seperti keluarganya sendiri, dan kedai kopi itu juga menyuguhkan aroma yang sama dengan wangi rumahnya, nan jauh dari pelupuk mata sejak ia merantau ke Meksiko City.
“Como vas, güey? (*Apa kabar, kawan?)” sapa pemuda waiter tadi dengan menunjukkan senyum hangatnya pada Amelia. Dia adalah Juan Zavala –penerus kedai kopi yang telah seratus tahun lebih dimiliki keluarganya. Pemuda itu berpostur sedang, memiliki kulit khas Hispanik dan senyum berlesung pipi, dengan rambut cokelat keriting kecil- kecil. Sebuah fitur yang memancanrkan daya tarik klasik nan kuat. Bila ia mengenakan jubah berat dan sepatu besi, orang- orang bisa saja salah mengira bahwa pemuda tampan itu keturunan keluarga bangsawan dan akan melukisnya untuk pajangan museum.
Sejak kecil, Juan dan Amelia tinggal di sebuah desa kecil di perbatasan Meksiko, dekat sungai the Rio Grande. Akan tetapi pamannya yang tertua yang mewarisi kedai kopi ini tiba- tiba jatuh sakit tujuh tahun lalu. Beliau meninggalkan dunia ini empat bulan kemudian, tanpa istri atau anak seorang pun. Otomatis kedai itu jatuh ke tangan ayah Juan, yang merupakan saudara kedua. Dan itu artinya, ia harus pindah ke Meksiko City untuk membantu usaha keluarga.
“Tidak usah b**a- basi,” desis Amelia galak, walau sebenarnya ia malu. Aura ketampanan klasik Juan yang mengalir dari darah pihak ayah bertahan hingga zaman modern, dan cukup untuk membuat pipi Amelia memerah. “Mana Champurrado-ku?” (Champurrado adalah minuman atole berperisa cokelat).
Juan tertawa, lagi- lagi dengan lesung pipi yang nyata. “Kau selalu begitu, Mia, menuntut minumanmu sebelum aku menunjukkan menu. Bahkan kata- katamu barusan cukup untuk menyengatku hingga terkejut.”
“Apa kau sekarang terkejut?”
“Wah!” sorak Juan penuh kepura- puraan ekpsresif. “Ya, Mia. Aku baru saja terkaget oleh kuatnya sengatan perkataanmu.”
“Ya, dan bila sengatannya cukup kuat, aku akan menyumbangkannya untuk penerangan café-mu, Juan.”
“Astaga, astaga. Café yang terlalu terang akan membuat pemikiran- pemikiran halus meninggalkan kepala semua orang yang mencari inspirasi di sini, Mia. Kau membuat filsuf generasi muda kehilangan kebijaksanaannya.”
Mia tersenyum horor, yang dibalas Juan dengan anggukan mengerti. “Baiklah, Señorita. Saya paham dengan keinginan Anda,” sahut Juan khidmat sembari mengangkat tangannya. “Setelah aku menyajikan minumanmu dan beberapa pelanggan lain, aku akan segera menemuimu di sini.”
Amelia Caras menaikkan alisnya penuh gaya, lalu mengangguk anggun. Selagi menunggu, ia memperhatikan furnitur kedai kopi berumur seratus tahun lebih itu dengan senang, seakan memberinya gagasan tentang negerinya yang bersahaja dan penuh warna. Ia tidak sedang membayangkan kota yang panas, bergulung asap kendaraan –melainkan sebuah hamparan daratan tropis diramaikan para pemusik yang memainkan akordion, dan beberapa wanita bergaun merah cerah menarikan La Conquista. Entah kenapa sebuah lagu menyusup ke otak Mia, membuat imajinasi wanita gemulai yang melambaikan rok bundar mereka semakin nyata di mata gadis itu.
Suara berisik monoton dan musik bervolume pelan membuat angan Mia makin melayang jauh, tanpa menyadari keributan di meja bar, tepatnya dekat pintu menuju dapur. Seorang lelaki tua berwajah riang karena paparan sinar matahari tampak berusaha menggeser tubuhnya yang gemuk di ruang yang sempit dan sesak dekat pintu dapur. Para pekerjanya menepi, memberi jalan bagi Señor Zavala yang begitu bersemangat tatkala anaknya memberitahu tentang kehadiran Amelia kecil di cafe tuanya. Bahkan sebelum dirinya benar- benar lepas dari persegi kecil yang penuh botol minuman, ia sudah berteriak lantang.
“Hola, Mia!” sorak pria tua itu senang. Senyumnya melebar begitu melihat gadis kecil yang sudah tumbuh dewasa itu beranjak menghampirinya. Mia memang bukan orang asing bagi Tuan Zavala. Keluarga keduanya sudah begitu akrab sejak tiga generasi yang lalu, seakan hubungan mereka sudah seperti pertalian darah gaib yang sangat kental. Papa Mia juga adalah kawan akrab Tuan Zavala –Papa Juan –dan umur mereka tidak berbeda jauh. Kakek Mia dan Juan pun juga hampir sebaya.
Kadang Mia berpikir kalau- kalau sejak dulu keluarganya dan Juan selalu membuat kesepakatan soal kapan mereka ingin punya anak.
“Buenos días, Señor! Selamat pagi, Pak!” sambut Mia. Ia memeluk pria yang sudah ia anggap ayah kandungnya sendiri itu, dan tak lupa mencium udara di pipi kiri- kanannya. Tuan Zavala juga melakukan hal yang sama.
“Cómo estás, mi chiquita? Bagaimana kabarmu, gadis kecilku?” tanya pria itu dengan hangat seraya memegang lengan Mia erat. “Juan memberitahuku bahwa kau datang kemari, dan kuharap kau tak lupa untuk memberi salam pada si tua ini, no?”
“Aku sangat baik, Señor. Tentu aku takkan pernah lupa. Dan tampaknya kota ini telah membuat Señior juga lebih bahagia?”
“Oh, tidak, Nak. Hidupku masih seperti itu juga sejak Veronica- ku yang malang meninggalkan dunia ini,” keluh Tuan Zavala. Matanya memandang plafon kayu, sambil mengenang almarhumah istri tercinta. “Hatiku sama remangnya dengan cafe ini, dan kedatanganmu kemari sungguh mencerahkan café ini, Mia! Illuminado!”
Amelia tak sanggup menahan senyumnya begitu melihat lelaki tua ini. Sekali lagi, perasaan rindu akan kampung halaman menyerbu hatinya yang rapuh.
“Nah, Señior. Tadi Juan berkata bahwa keberadaanku akan membuat para filsuf lari dari tempat ini, saking silaunya. Jadi mana yang benar?”
“Ah, chiquita, jangan dengarkan pemuda ingusan itu! Ia tidak tahu apa- apa soal filsuf dan malah membual yang tidak- tidak padamu. Kau lulusan perguruan tinggi, jangan terkecoh dengan rayuannya.”
“Tapi Juan cukup pintar, Señior. Ia rajin belajar saat sekolah dulu. Sekarang pun ia masih suka membaca.”
“Oh, ya. Rajin membaca berita bola. Pun ia tak menjadi atlet.”
“Aku mendengarkanmu, Papa,” kata Juan sambil lewat. Ia membawa nampan berisi pesanan Mia dengan cemilan cuma- cuma, sementara alisnya naik dengan jenaka. “Aku masih tertarik soal belajar, kok, dan kadang- kadang aku membaca kolom sains dan politik. Mari, Mia, kita berbincang- bincang di tempat yang lebih pribadi tanpa adanya Señor Zavala ini. Di mana mejamu?”
Tuan Zavala merentangkan jari- jarinya dengan wajah heran. “Kau mengambil tamuku, mi hijo!” celetuknya.
“Memang, Papá! Orang- orang harus berbincang dengan teman seumurannya. Tunggulah sampai teman Papa datang,” goda Juan pada ayahnya sambil terus berjalan mengikuti Mia menuju pojokan gadis itu tadi.
“Ya, ya. Terserah kau saja. Tapi kau harus membersihkan dapur sebelum pulang nanti, sebagai bayaran waktu yang kau habiskan untuk berceloteh.”
“Sí, Papá,” sahut Juan patuh. Tuan Zavala tampak senang, dan ia pun berbalik ke dapur. Juan memandang gadis sinis di depannya dengan tenang.
“Nah, sepertinya kau ingin ngomong sesuatu denganku?”
Sudut bibir Mia tertarik ke pinggir sedikit setelah menyesap Champurrado-nya. “Ya, begitulah. Tapi boleh aku bertanya sesuatu? Siapa teman Papámu yang kau maksud tadi?”
“Kau akan segera tahu nanti,” tukas Juan. “Beliau adalah pelanggan tetap di sini, dan jauh lebih tua dari Papá. Dan beliau berdua sering berbincang bersama, macam- macam topiknya. Kalau boleh kubilang, pelanggan di sini cukup beragam beberapa bulan terakhir. Ada beberapa orang tua hingga yang usianya delapan puluhan –jadi tak cuma remaja tanggung melulu. Jadi Papaku tak pernah kekurangan teman di sini dan selalu merasa terhibur.”
“Oh,” seru Mia, membuka mulutnya lebar. “Itu sebabnya Señor tampak lebih bahagia dari sebelumnya. Kenapa bisa begitu? Tiba- tiba ada segerombolan orang tua yang tertarik ngopi di café?”
Juan menggerak- gerakkan telunjuknya dengan sombong. “Hmm, kau tak mengerti faktanya, Mia! Memang café Zavala terlihat modern dari luar, dan itu sebabnya bertahun- tahun ini Paman dan Papa hanya bergantung pada pelanggan muda. Tapi sejak kedatangan teman Papa yang satu ini..,” katanya tersenyum menyeringai, “…Semuanya berubah. Orang semua usia datang ke sini, untuk bertukar cerita- cerita dan kenangan lama.”
Mia menyipitkan mata. “Aku jadi ingat kedai- kedai kopi di desa kita, Juan. Dipenuhi tetua, tapi kita tak pernah merasa canggung di sana.”
“Ya, ada sebuah perasaan yang sudah kita kenal yang menenangkan, una familiaridad yang kita sukai dan kita sendiri tak tahu apa. Tunggulah beberapa saat hingga kau akan merasa seakan berada di Rio Grande lagi.”
“Oke. Berapa lama aku akan bertemu dengan teman Papamu? Aku tak sabar.”
Juan mendecak. “Itulah! Itulah yang membuatmu menjadi seorang Mia. Ketidaksabaran dan temperamen yang berubah- ubah.”
“Jawab saja pertanyaanku!” pinta Mia ketus.
Juan mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan Mia untuk tetap tenang. “Usai makan siang, kukira. Jam dua atau jam tiga. Dios mío! Oh, Tuhanku! Mia, kurangilah kemarahanmu itu sedikit- sedikit. Bukannya kau bekerja dengan seorang psikiatris…?”
“Psikolog,” Mia membenarkan.
“Ah, baiklah. Pun, aku tak tahu bedanya apa –tapi tentu kau mendengar banyak tentang terapi dan cara mengendalikan mental atau emosi…”
“Aku hanya marah pada hal- hal yang mengangguku dan tidak efisien, Juan.”
“Tapi tetap saja kau membuang energimu pada emosi yang tak perlu. Ah, beliau datang lebih cepat!” seru Juan tiba- tiba ke arah pintu.
“Apa?” tanya Mia. Ia menolehkan kepala ke belakang, mengikuti arah pandangan Juan. Seorang lelaki tua berusia delapan puluh lebih –mungkin juga ia sudah sembilan puluh, tampak masuk ke dalam café dengan perlahan. Sebuah tongkat kayu yang ditumpu tangan kanannya menimbulkan bunyi ‘ketak- ketuk’. Ia tampak begitu bersemangat, meski jalannya pelan –dan bahkan fisiknya sangat bugar untuk seorang tua yang membutuhkan bantuan tongkat.
“Itu dia, teman Papá,” bisik Juan. “Dia pernah bekerja di militer, setahuku.”
“Sebagai?”
“Hmm,” Juan berpikir- pikir. “Aku tidak terlalu paham soal istilah militer dan pangkat- pangkat. Papá pernah memberitahuku tapi aku lupa.”
Mia manggut- manggut. “Perawakan beliau memang kelihatan lebih bugar dan tegap dibandingkan orang seusianya.”
“Betul, kan? Nah, Papá datang.”
Sebelum lelaki tua itu berjalan lebih jauh menuju meja- meja bundar, Tuan Zavala tiba- tiba saja muncul bagai sulap dan memapah lelaki tua, mendudukkannya di salah satu kursi. Tuan Zavala sendiri menarik kursi di samping dan mulai menyapa lelaki tua tadi dengan riang.
“Papamu kelihatan senang sekali,” celetuk Mia.
“Sí,” sahut Juan. “Beliau selalu berkata, kalau berbincang dengan orang yang lebih tua akan memberi banyak kebijaksanaan. Dan tampaknya Señor Aguirre juga senang bersama Papaku. Dan kukira sudah cukup membincangkan soal mereka –sekarang kita berganti pada masalahmu.”
“Masalah apa?”
“Tadi aku mengatakan kalau kau membuang emosi pada hal yang tak perlu.”
Mia tampak berpikir sejenak. “Ya, kuakui pernyataanmu itu memang benar.”
Juan mencibir, menggoda Mia. “Dan kurasa itu bukan tentang sesuatu yang tidak efisien, tapi karena kau masih belum dapat melupakan Mario, mantan pacarmu.”
Mia menghela napas, seakan- akan ia menghembuskan semua masalah yang mendekam dalam tubuhnya. Selintas telinganya mendengar pembicaraan Tuan Zavala bersama kawannya, dan dapat mendengar beberapa kata seperti ‘barak’, ‘pensiunan’, dan ‘Mayor’. Cepat- cepat gadis itu mengembalikan fokus. Ia tak ingin dikira menguping percakapan orang.
“Mungkin memang begitu, Juan. Aku sendiri heran. Sebagai orang yang melanjutkan studi di bidang Ilmu Sosial dan Humaniora, aku mempelajari manusia –tapi aku tak bisa mengerti diriku sendiri.”
Juan memamerkan senyum berlesung pipinya. “Semua orang seperti itu. Dan itulah gunanya teman, Mia. Aku di sini akan selalu membantumu. Dan kau juga bisa mulai melupakan Mario brengsék itu dengan mulai bergantung padaku. Tapi… kau berkali- kali menolak perasaanku. Kenapa?”
Mia menggelengkan kepalanya.
“Jadi apa yang menahanmu, Mia? Kau akan merasa lebih bebas menceritakan semua keluh- kesahmu. Jadikan aku sebagai corong perasaanmu bila kau mau, dan aku akan dengan senang hati mendengarkan semua tentang hidupmu.”
Mia diam, menatap Champurrado-nya yang tinggal setengah. Ia tak sanggup menatap pria di depannya ataupun berkata- kata, sebab bila ia melakukan salah satu di antaranya –mungkin perasaannya akan meledak seperti berondong jagung dalam microwave panas.
Sebab selama ini sebenarnya ia mencintai Juan melebihi segalanya. Ya, tapi apa yang menahannya? Ia sendiri tak tahu.
Juan menatap gadis keras kepala di depannya dengan lembut. “Baiklah, aku tak akan memaksamu. Tapi ceritakanlah semua yang mengganggu pikiranmu sekarang. Kau tidak bekerja pada psikolog itu lagi, bukan? Kau dipecat?”
Mia mengangkat kepala, matanya membulat. “Aku tidak dipecat, tapi…”
“Masih menulis untuk kolom sosial di koran lokal?” pemuda itu menyela lebih gesit.
“Ya,” sahut Mia tak sabar, “…Tapi bagaimana kau bisa tahu? Aku tidak bekerja lagi di tempat ahli psikologi itu?”
Mata Juan menyipit penuh rahasia. “Aku bisa mengetahui itu, Mia, tanpa kau menyadarinya. Sejak kapan? Dan kenapa?”
Mia mengerutkan bibirnya dengan sedih. “Aku mengundurkan diri seminggu yang lalu. Aku tak merasa cocok di situ. Entah kenapa perasaanku selalu buruk akhir- akhir ini.”
“Perasaanmu buruk bukan karena pekerjaan, tapi karena Mario sialan,” Juan menegaskan sambil mengangguk- anggukan kepala. “Dia berhasil membuat suasana hatimu saat bekerja juga terpengaruh.”
“Benarkah?” tanya Mia dengan pandangan mengiba. Apa yang terlihat seperti kebalikannya –seorang yang mempelajari humaniora bertanya soal manusia pada pekerja café.
“Ya,” tegas Juan. “Dan yang perlu kau lakukan adalah jalan denganku.”
Mia melotot.
“Tidak, tidak. Aku bercanda,” Juan mecegah letup kemarahan Mia dengan tawa jenaka. Sepertinya ia tahu persis bahwa sesuatu dalam tawanya selalu berhasil menenangkan gadis itu.
“Oke, ini serius. Kau perlu mencoba sesuatu yang baru. Mengerjakan hal di luar kebiasaanmu ketika bersama Mario dulu. Semacam… mengusir perasaan monoton. Romper la monotonía.”
“Hoo. Seperti apa?”
“Kau bisa pikirkan sendiri,” Juan bersandar di kursi sambil menyilangkan tangan di dada. “Kau pintar bukan? Itu yang selalu kau agung- agungkan padaku setiap hari. Aduh!”
“Hm? Kau kenapa?”
Juan cepat- cepat beranjak. “Perdón, Mia! Aku harus menemui pengunjung café yang baru datang,” kata Juan sambil mengedikkan kepala ke arah pintu. Beberapa pasangan muda- mudi –sepertinya mahasiswa –tampak masuk ke dalam kedai kopi Zavala.
“Baiklah. Kau harus menyelesaikan pekerjaanmu.”
“Kutinggal sebentar, ya. Aku akan kembali begitu aku selesai mengurusi mereka”
Mia mengangguk, matanya mengekori Juan yang tampak mempersilakan gerombolan mahasiswa itu untuk memilih meja dan menyuguhkan buku menu. Lewat bulu matanya yang panjang ia juga melihat sekilas ke arah Tuan Zavala yang sudah kembali ke dapur, meninggalkan lelaki tua tadi sendirian di mejanya. Memang, lelaki tua yang dipanggil Señor Aguirre itu datang terlalu pagi. Bapak- bapak umumnya lebih suka datang di jam tiga.
Pikiran Mia asyik sendiri memperhatikan muda- mudi yang mengambil tempat lumayan jauh darinya, sibuk mengamati label- label harga di buku menu dan berdebat apakah enchilada lebih cocok dengan saus merah pedas atau hijau. Mia hanya terkekeh geli, tanpa tahu bahwa lelaki tua yang berada dalam jarak semeja telah memperhatikannya pula dan memutuskan untuk berdiri dengan tongkat.
Lelaki tua itu berdiri di depan Mia, membuat gadis itu mengangkat wajah.
“Buenos días, Señor!” sapa Mia refleks.
Lelaki tua itu tersenyum, membuat kerut- kerut matanya tampak dua kali lipat lebih banyak.
“Buenos días, Señorita. Perdón, boleh… boleh saya duduk di depan Anda?”
Amelia Caras sebenarnya belum siap dengan pertanyaan ini –ia masih butuh waktu sendiri untuk bermenung- menung menyengsarakan suasana hatinya dan mengutuki hidupnya yang hambar. Ia masih ingin bersedih dan memilukan diri. Tapi entah apa yang menggerakkan tulang rahang bawahnya, Mia pun mengangguk pelan. Ia bahkan mengangkat tangan, mempersilakan.“Claro está, Señor. Tentu saja. Silakan duduk.”Señor Aguirre yang sempat jadi bahan pembicaraannya dengan Juan duduk dengan penuh kelegaan, tepat di depan Mia. Tongkat bantu tadi ia sandarkan di pinggir meja bundar yang mengilap.“Apakah Anda merasa terganggu dengan kehadiran saya, Señorita?” tanya lelaki itu dengan wajah melembut. “Apa Anda lebih suka sendiri?”Mia kaget dengan pertanyaan itu. Aguirre seperti baru saja menyisir otaknya dengan gelombang elektromagnetik, dan mendapatkan info kegelisahan dirinya. Mulut
Menjelang siang, Mia kembali pulang ke flatnya. Juan dengan senang hati mengantar gadis itu dengan mobil van yang sering ia gunakan untuk membeli keperluan kedai kopi, setelah memastikan ia mendapat persetujuan dari Papanya untuk meninggalkan café sementara waktu. Lagipula menjelang siang begini, café memang agak lengang, dan baru kembali dipadati saat istirahat makan siang. Mia sama sekali tak menolak tawaran Juan dan langsung naik setelah Juan membukakan pintu untuknya. Ia menurunkan jendela kaca mobil dan sempat memandang sekilas pada beberapa gadis dari gerombolan mahasiswa yang nongkrong di café Zavala tadi. Bibir mereka yang berminyak setelah menikmati enchilada dimonyong- monyongkan ke arah van Juan, mata mereka berkedip- kedip. Jelaslah bagi Mia siapa target operasi gadis- gadis genit itu. Ia menyipitkan mata, berusaha membuat gadis remaja yang baru memasuki usia dewasa muda itu tahu diri sedikit. Tapi sepertinya mereka tidak tahu diri sama sekali. Salah satunya bahkan memb
Sejak Mamanya menghubungi tadi, Mia sudah menelepon Anastasia balik beberapa kali. Begitu sang Mama dan nenek sampai di terminal bus, gadis itu menjemput keduanya dengan taksi. Anastasia –Mama Mia –adalah seorang wanita hampir paruh baya yang berperawakan sedang dengan rambut ikal yang hitam panjang. Nenek berada di sampingnya, dengan wajah heran setelah perjalanan panjang yang beliau tempuh. Rambutnya sudah memutih semua dan dipotong pendek, dan lemahnya gerak beliau menyebabkan nenek Mia harus sering- sering berada di atas kursi roda. Mia dan mamanya tak banyak bicara selama berada di terminal ataupun di bus, selain hanya berpeluk hangat karena saling merindukan. Namun begitu sampai di flat dan Mia membukakan pintunya, Anastasia mulai berceloteh. “Mi amor, betapa kurusnya kau, Anakku!” komentar Mamanya dengan cemas. Sementara itu tangannya dengan sigap mengurusi kursi roda nenek Mia, lalu mendudukkan beliau masih tampak linglung. Mendengar
“Sí, Mamá. Aku baik- baik saja. Kenapa?” “Nada,” geleng Anastasia. “Kau hanya terlihat menyembunyikan sebuah masalah. Atau mungkin beberapa masalah.” Mia hanya membalas dengan gumaman, berusaha berkonsentrasi pada supnya sebelum sang Mama menyela kembali. Cepat- cepat gadis itu mengganti topik. “Oh, iya. Bagaimana sebenarnya keadaan nenek, Mamá? Apa yang terjadi dengan penyakitnya? Apa memang begitu –parah?” “Mi amor, mi amor,” keluh Anastasia. “Begitulah. Nenekmu terkadang lupa cara melakukan hal- hal yang biasa ia lakukan. Ia lupa apa itu makan dan bagaimana cara makan. Atau tentang bagaimana caranya ke toilet. Dan seperti yang kau lihat tadi, nenek mulai melupakan orang- orang yang ada di sekitarnya. Ia lupa Ayahmu, aku –anaknya sendiri, dan kadang beranggapan kalau orang- orang di rumah adalah orang asing. Dan demensianya mungkin akan semakin memburuk.” Dengan cepat kepala Mia menoleh pada mamanya. “Sebe
Juan menyembur dalam gelaknya saat mendengar perkataan Mia. “Kau bilang apa tadi, Mia? Coba ulangi sekali lagi?” Gadis itu melirik Juan kesal, namun tetap menjawab. “Quarter- life crisis, Juan.” “Hahahahahahahah,” sekali lagi pemuda berlesung pipi itu tertawa terbahak- bahak –bahkan lebih parah dari sebelumnya. Beberapa orang karyawan café Zavala yang baru datang tampak menjauh saat melewati mereka –seakan Juan baru saja terkena penyakit gila sesaat yang menular. “Porqué?” tuntut Mia. “Kenapa kau ketawa- ketawa begitu? Ada yang lucu?” Juan masih memegangi perutnya dengan mata yang berair –yang cepat- cepat ia seka. “No, no. Aku hanya berpikir bahwa orang yang menciptakan istilah itu pasti sangat bangga.” Mia hanya memandang Juan dengan tatapan tak mengerti, dan memilih diam hingga gelak pemuda itu benar- benar reda. “Aku tidak bermaksud mencemooh orang yang menciptakan istilah itu, tidak,” lan
Aneh sekali rasanya bekerjasama dengan teman, di kedai teman, dan diarahkan pula oleh teman. Setidaknya keganjilan itulah yang terasa bagi Mia. Selama ini ia hanya menjadi pelanggan yang baik di kedai kopi Zavala –menikmati kebebasan dan waktu luangnya yang amat banyak sambil mengamati Juan bekerja. Kini ia menjadi bagian dari kedai ini –terjun langsung sebagai pekerja.Kesal? Tidak. Benci? Ah, tidak juga. Bekerja bersama Juan sebenarnya adalah hal yang paling disukai Mia. Namun ketika kita berada pada posisi yang berbeda, sudut pandang kita pun berubah.Dan sudut pandang Mia yang selama ini sempit –hanya terbatas sebagai pelanggan –kini meluas, membuatnya mengetahui banyak gosip dan desas- desus dalam satu hari bekerja.“Kau lihat anak muda yang terus- terusan memegang ponselnya di pojok sana, Juan?” bisik Mia suatu kali pada pemuda tampan itu.“Hmm- mm. Kenapa?” tanya Juan. Ia melihat sekilas pada orang ya
“Una. Mentira. Más,” ujar Juan Zavala seraya mengangkat jemarinya satu persatu, menekankan tiap kata yang ia ucapkan. “Satu kebohongan lagi. Mia. Sampai kapan kau akan tutup- tutupi semua ini dari Mamamu?”Mia cemberut. “Lo se, lo se. Aku tahu semua ini salah. Semakin lama kebohonganku akan semakin banyak, lo se! Tapi mengertilah, Juan. Tolong pahami keadaanku.”“Tentu aku paham Karena itulah aku membantumu, verdad? Tapi suatu hari kau harus mengatakan yang sebenarnya, Mia. Ini hanya akan membuat ibumu sedih bila kau terus berbohong padanya.”“Claro qué sí. Tapi aku butuh waktu. Dan kekuatan mental.”Juan tersenyum manis dengan lesung pipinya. “Jadi kau tetap ingin mengambil cuti besok?”“Ah, sí. Jika kau mengizinkan.”“Seguro. Sebagai bosmu aku mengizinkan kau cu
Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Juan berganti- ganti antara lalu lintas di depannya dengan gadis yang begitu diam di sampingnya. Untuk kesekian puluh kalinya pemuda itu menoleh pada Mia, setelah memastikan keadaan jalan di depan mobilnya.“Bagaimana perasaanmu, Mia?”Gadis berambut kecokelatan itu memandangi saputangan Juan yang ia pegang erat- erat di pangkuan sejak tadi. Ia pun lalu menoleh dan tersenyum. “Aku baik, Juan. Gracias.”“Kurasa kau menangis bukan karena bantuanku,” kata Juan sambil lalu. “Kurasa karena hal lain. Atau orang lain.”Ya, sahut Mia dalam hati.“Mario-kah?” tanya Juan coba- coba.Bukan, tapi karena kamu, Juan, ujar Mia lagi dalam hati. Aku cuma tak percaya bagaimana mungkin aku masih menyukai Mario secara buta, namun aku tak bisa menerima cintamu setelah bertahun- tahun ini kau ada di sampingku. Aku masih merasakan getar
Tunggu, Miguele!” hadang Luis begitu mendapati kawannya sudah buru- buru berdiri sambil menyandang mesin di belakang punggung.Miguele menoleh dengan mata berbinar, masih dengan ketertarikan oleh berita dari Luis.“Hm? Kenapa?”“Apa kau yakin ayahmu akan mengizinkan? Maksudku apa beliau mendukung bila kau ada di dunia militer?”“Ah. Itu sama sekali belum kupikirkan.”“Dan artinya, belum kautanyakan?”Miguele menggeleng lesu, dan kembali duduk di samping Luis. “Maaf, aku tak berniat menjatuhkan semangatmu ini, kawan.”“Lo se. Aku tahu.”Luis merasa tak enak. “Bagaimanapun, bila kau mendaftar bersamaku nanti, kau harus tetap memberitahu keluargamu, verdad? Terlebih bila kau lolos. Kau akan ada di barak selama berbulan- bulan, bertahun- tahun.”Miguele menghembuskan napasnya. Mengeluh. “Kau benar.”“Jadi kau sama sekali belum pernah membahas tentang keinginanmu berada di militer selama ini? Pada anggota keluargamu?”“Tidak.”“Sungguh tidak satupun?”“Tidak.”“Pada ibumu?”“Juga tidak.”L
Miguele sangat familiar dengan suara itu, sehingga ia bergegas berdiri tanpa memperhatikan obeng- obeng kecil yang sedari tadi ada di pangkuannya.“Luis!!”Seorang pemuda lain namun dengan tubuh lebih besar dan bidang tampak celingukan, lalu menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.“Aha! Miguele! Kau di situu?” balasnya.Hening sejenak, sementara Luis datang mendekat dan Miguele membereskan peralatan yang terserak di sekitarnya. Lebih baik aku menyerah sajalah dan memberikan mesin ini pada Ayah, pikir pemuda langsing dalam hati. Setelah semuanya beres, Miguele Aguirre pun segera memanggul mesin di punggung sembari melangkahkan kakinya panjang- panjang ke pinggir ladang jagung.Luis sudah menantinya di situ.“Kau sedang apa, sampai harus bersembunyi di balik jagung begitu?” tanya Luis dengan nada menuduh dan kekeh penuh kesangsian. “Mengintip seseorang? Menulis surat cinta? Atau…”Tangan kecil kurus Miguele menepuk kepala Luis dari belakang dengan santai tanpa rasa sesal.“Enak sa
Brrmm! Krrkk! Ngiiiiing.Mesin yang cukup tua terdengar berdecit- decit di tengah ladang itu. Satu- satunya mesin yang ada di desa kecil itu, tak jauh dari The Rio Grande.Mesin semprotan pupuk.“Haaaah!” seorang pemuda penghujung remaja mengeluh keletihan. Mesin semprotan pupuk yang selalu dibangga- banggakan keluarganya, terutama sang ayah – Señor Aguirre—sebab tak satupun di antara petani di desa mereka yang memilikinya, akhirnya mencapai usia tua juga. Para petani di sana tak ingin membuang- buang uang mereka.Atau lebih tepatnya mereka tak punya uang untuk membeli barang mahal macam kepunyaan Señor Aguirre. Ada keinginan untuk menggunakan mesin semprotan pupuk sehingga mereka tak perlu menghabiskan waktu menebar- nebar pupuk dengan lengan mereka di ladang- ladang yang sudah begitu tinggi oleh tanaman. Selain melelahkan, juga butuh waktu lama. Tapi apa daya. Keberadaan satu- satunya mesin di desa kecil itu sangat mengundang decak kagum saat Señor Aguirre membeli untuk pertama kal
Juan hanya membelalak bingung.“Mencari Aguirre?” tanyanya dengan wajah polos. “Oh, karena kau harus mengembalikan foto itu? Kenapa terburu- buru begitu?”“Tidak cuma itu. Ini lebih dari yang kau bayangkan,” ujar Mia dengan wajah hangat –seakan- akan cahaya matahari baru saja bersinar tepat di wajahnya.“Que bonita,” celetuk Juan yang memerhatikan perubahan ekspresi gadis itu.“Perdon?”“Oh, nada, nada,” kata pemuda itu sambil mengangkat bahu.Mia memandang lelaki di depannya itu dengan wajah curiga ‘apa- yang- sedang- kau- sembunyikan- dariku’.“Tidak ada apa- apa, Mia,” kekeh Juan. “Nah, coba kau lanjutkan. Kenapa ini lebih dari sekedar mengembalikan foto dan lebih dari yang kubayangkan?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.Wajah Mia bersinar- sinar dengan mata berkedip- kedip saking antusia
Tik. Tok. Tik. Tok.Jarum panjang jam berdetak dalam keheningan sunyi flat. Tak ada bunyi lain –bahkan bunyi halus sedikitpun.Gadis yang berada di ruangan sama dengan jam dinding itu bahkan hampir tak bergerak saat matanya melahap semua kata- kata di kertas di hadapannya.Barulah ketika ia menggerakkan jemarinya menuju halaman baru, saat itu terdengar kerisikan amat halus yang sepertinya detak jam tadi masih mampu mengalahkan bunyinya.Amelia Caras telah tenggelam lalu dihanyutkan dalam pusaran arus bacaan di depan matanya. Di sisinya tergeletak setumpuk buku bergambar yang awalnya tersusun rapi di dalam koper.Broommmmm!!!Bunyi knalpot bising dan cepat dari arah jalanlah satu- satunya yang memecahkan keheningan flat itu –dan memecah konsentrasi Mia. Gadis itu memutar leher cepat ke arah jendela, lalu memutar leher lagi ke arah neneknya yang mulai bergerak- gerak gelisah dalam tidur karena ulah pengendara ugal- ugalan itu. Dengan cepat ia kembali menekurkan tengkuknya ke arah buku j
Esok harinya, kira- kira pukul sembilan, Anastasia sudah pamit untuk pergi menemui Dokter Amezcua. “Mamá benar- benar bisa pergi sendiri?” Wanita paruh baya berambut ikal hitam nan panjang itu tampak menghembuskan napasnya keras- keras, seakan sedang berusaha menguatkan diri. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ia berkunjung ke tempat putrinya di Meksiko dan ia tidak tahu- menahu sedikit pun soal lalu lintas Meksiko. Desa mereka yang ada di dekat Rio Grande bukan apa- apa dibandingakn kota ini –desa mereka hanya mengenal becak- becak kecil dan motor. Lalu juga beberapa mobil pick up yang dimiliki pedagang. Alur transportasi tak pernah serumit kota Meksiko. Selain itu, perbincangannya dengan Dokter Amezcua sebelumnya juga hanya dijembatani dokter mereka di desa. Anastasia tak pernah berbincang langsung ataupun bertemu muka dengan sang dokter terkenal ini –sehingga ia sama sekali tidak yakin bagaimana pertemuan ini akan berlangsung. Anastasia benar- benar merasa asing dan buta arah.
Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Juan berganti- ganti antara lalu lintas di depannya dengan gadis yang begitu diam di sampingnya. Untuk kesekian puluh kalinya pemuda itu menoleh pada Mia, setelah memastikan keadaan jalan di depan mobilnya.“Bagaimana perasaanmu, Mia?”Gadis berambut kecokelatan itu memandangi saputangan Juan yang ia pegang erat- erat di pangkuan sejak tadi. Ia pun lalu menoleh dan tersenyum. “Aku baik, Juan. Gracias.”“Kurasa kau menangis bukan karena bantuanku,” kata Juan sambil lalu. “Kurasa karena hal lain. Atau orang lain.”Ya, sahut Mia dalam hati.“Mario-kah?” tanya Juan coba- coba.Bukan, tapi karena kamu, Juan, ujar Mia lagi dalam hati. Aku cuma tak percaya bagaimana mungkin aku masih menyukai Mario secara buta, namun aku tak bisa menerima cintamu setelah bertahun- tahun ini kau ada di sampingku. Aku masih merasakan getar
“Una. Mentira. Más,” ujar Juan Zavala seraya mengangkat jemarinya satu persatu, menekankan tiap kata yang ia ucapkan. “Satu kebohongan lagi. Mia. Sampai kapan kau akan tutup- tutupi semua ini dari Mamamu?”Mia cemberut. “Lo se, lo se. Aku tahu semua ini salah. Semakin lama kebohonganku akan semakin banyak, lo se! Tapi mengertilah, Juan. Tolong pahami keadaanku.”“Tentu aku paham Karena itulah aku membantumu, verdad? Tapi suatu hari kau harus mengatakan yang sebenarnya, Mia. Ini hanya akan membuat ibumu sedih bila kau terus berbohong padanya.”“Claro qué sí. Tapi aku butuh waktu. Dan kekuatan mental.”Juan tersenyum manis dengan lesung pipinya. “Jadi kau tetap ingin mengambil cuti besok?”“Ah, sí. Jika kau mengizinkan.”“Seguro. Sebagai bosmu aku mengizinkan kau cu
Aneh sekali rasanya bekerjasama dengan teman, di kedai teman, dan diarahkan pula oleh teman. Setidaknya keganjilan itulah yang terasa bagi Mia. Selama ini ia hanya menjadi pelanggan yang baik di kedai kopi Zavala –menikmati kebebasan dan waktu luangnya yang amat banyak sambil mengamati Juan bekerja. Kini ia menjadi bagian dari kedai ini –terjun langsung sebagai pekerja.Kesal? Tidak. Benci? Ah, tidak juga. Bekerja bersama Juan sebenarnya adalah hal yang paling disukai Mia. Namun ketika kita berada pada posisi yang berbeda, sudut pandang kita pun berubah.Dan sudut pandang Mia yang selama ini sempit –hanya terbatas sebagai pelanggan –kini meluas, membuatnya mengetahui banyak gosip dan desas- desus dalam satu hari bekerja.“Kau lihat anak muda yang terus- terusan memegang ponselnya di pojok sana, Juan?” bisik Mia suatu kali pada pemuda tampan itu.“Hmm- mm. Kenapa?” tanya Juan. Ia melihat sekilas pada orang ya