"Mengapa kamu bertanya soal, Rani? Anak itu sudah dua hari tak pulang. Dia berkata akan menginap di rumah kamu," jelasku pada mantan suamiku yang juga Papah kandung Rani. Aku bicara dengan nada suara datar. Aku tak bisa ramah pada mantanku itu. Apalagi mempersilahkan masuk ke dalam rumah, tentu tak akan mungkin kulakukan.Isi dadaku merasa cemas. Kalau mantanku itu mencari ke sini, lantas Rani ke mana? Bola mataku memutar ke arah kiri dan kanan saat benak ini berpikir."Saya sudah beberapa bulan tak bertemu, Rani. Maka dari itu ingin bertemu dan mencarinya ke sini." Mantan suamiku tampak ketus."Kamu jangan pura-pura, Mia. Jangan halang-halangi saya untuk bertemu, Rani. Dia anak saya dan jangan pernah kamu memberi jarak antara Ayah kandung dan anak!" imbuhnya dengan tegas bernada keras sedikit mengancam.Aku tak lagi terkejut. Mantan suamiku memang arogan. Aku bahkan bisa lebih tegas lagi darinya."Rani tidak ada di rumah. Saya tidak bohong kok. Satu hal yang harus kamu tahu ya, saya
Aku tersentak mendengar ucapan Rani. Kali ini bicaranya sudah melampaui batas. Aku menggelengkan kepala. Merasa tak percaya."Kamu berani melawan Mamah, Rani! Kamu tidak sadar, semua yang Mamah lakukan hanya demi kebaikan kamu!" tegasku kepada Rani."Tidak! Yang ada dalam pikiran Mamah hanya mementingkan urusan pribadi saja. Uang jajanku bahkan diatur. Kehidupanku pun seperti di dalam pernjara. Banyak peraturan. Lebih baik aku pergi. Aku cape dengan, Mamah!" Rani tampak menarik menggendong tasnya. Ia akan segera pergi. Namun langkahnya segera aku tahan dengan menarik pergelangan tangannya.Kali ini, Mas Fery hanya diam dan menjadi penonton. Padahal biasanya, dia selalu melerai saat terjadi pertengkaran diantara kami. Dia seperti mendukung kepergian anakku kali ini."Tunggu, Rani!" tahanku. Sebagai seorang Ibu, tentu aku tak akan membiarkan Rani pergi tanpa tujuan."Lepas!" Rani menghempaskan genggaman tanganku."Aku tidak mau lagi tinggal bersama, Mamah. Jangan cari aku karena aku sud
Dengan bola mata terbelalak aku dan Siska dibuat terkejut. Saat tubuh Mas Fery dan Rani semakin menghilang dan masuk ke dalam hotel, aku dan Siska bergegas keluar dari mobil. Kami berdua berjalan dengan cepat. Namun, terlambat. Kedua bola mata ini tak bisa lagi mendapati penampakan suami dan anakku."Sial! Cepat sekali langkah mereka!" kesalku. Aku berkacak pinggang dengan wajah menahan emosi. Aliran darahku kian terasa mendidih saja kala setiap sudut pandangan nyaris tak mampu lagi menemukan keberadaan Mas Fery dan Rani."Kita tanya resepsionis," saran Siska.Kemudian aku berjalan mengikuti langkah Siska menuju resepsionis. Kami berdua bertanya mengenai tamu atas nama Fery Haryadi atau pun Rani Adinda Putri.Namun, aku dan Siska tak mendapatkan informasi apa-apa. Peraturan di hotel yang kami datangi sangat menjaga privacy pengunjung. Kami berdua bahkan tak bisa mencari ke setiap sudut kamar yang ada di hotel itu karena petugas pasti akan melarangnya.Langkah ini dengan berat perlahan
Mas Fery tampak membulatkan kedua bola matanya. Ia terkejut mendengar ucapanku. Aku tak bisa menunda-nunda lagi pertanyaan ini. Pertanyaan yang sedari kemarin menghujam pikiranku."Bicara apa kamu, Mia! Suami kamu ini baru saja pulang kerja. Tidak bisakah kamu menyodorkan pertanyaan yang enak didengar? Ini malah menuduhku yang tidak-tidak." Mas Fery mengelak lagi. Aku bisa melihat wajahnya yang sedikit gugup. Sebelah alisnya tampak naik. Aku yakin di dalam dadanya ada kecemasan."Aku tidak menuduh, Mas. Aku juga tidak mau berpikir yang buruk tentang kamu. Aku hanya ingin klarifikasi saja dari kamu." Aku segera mengambil ponsel pintarku yang berada di atas nakas. Kuusap layar ponsel lalu menekan galeri photo yang ada di dalamnya.Aku menyodorkan layar ponselku pada Mas Fery. Layar ponsel yang menunjukan gambar mobil Mas Fery yang dibidik Siska kemarin di depan hotel.Bola mata Mas Fery kian terbelalak. Pasti dia merasa terkejut karena tak akan bisa lagi mengelak dengan bukti gambar se
Keesokan harinya saat mentari mulai menyapa pagi, aku sudah sibuk membuat sarapan di dapur. Sementara dengan pekerjaan rumah sudah ada Mba Parni membantu.Ada rasa yang mengganjal di dalam dada karena Rani masih juga tak bisa dihubungi. Memang sedikit lega karena Mas Fery sudah menyewakannya hotel. Namun, suasana pagi jadi terasa berkurang setelah pertengkaranku dengan anak gadisku.Dia anakku satu-satunya, tapi entah kenapa kini telah berubah jadi pembangkang. Apa benar kata Mas Fery kalau aku terlalu keras dalam mendidiknya? Tapi, itu semua aku lakukan semata-mata untuk kebaikan Rani agar disiplin dan bertanggung jawab.Tak lama, Mas Fery keluar dari kamar dan duduk di kursi makan. Isi meja yang sudah siap dengan sajian sarapan dan Mas Fery menyantapnya tanpa basa-basi. Mungkin suamiku itu masih saja marah padaku."Kamu masih marah sama aku?" Aku bertanya pelan. Setidaknya, kalau Mas Fery sedang acuh maka aku yang perlu bicara duluan. Aku tak pernah ragu untuk meminta maaf jika sala
"Bye! Nanti ketemu lagi ya."Suara Mas Fery terdengar mengakhiri percakapannya dengan seseorang, namun aku sama sekali tak mendengar suara lawan bicaranya.Siska kemudian melihat titik lokasi Mas Fery yang saat ini berada di sekolahan Rani, kemudian berlalu pergi."Mau kemana lagi, Mas Fery?" Aku bertanya-tanya sendiri dengan perasaan yang menggebu di dalam dada."Sudahlah, Mia. Kita selesaikan misi kita sekarang. Kita ikuti kemana mobil suamimu hari ini." Siska kembali fokus dengan setir mobilnya.Sementara aku, hanya bisa mengangguk pasrah. Apa mungkin aku telah mendapat penghianatan yang kedua kalinya dari seorang lelaki?Pasang manik ini kembali berkaca-kaca. Aku berusaha membendung semua kepedihan ini. Masih berharap semoga apa yang aku dengar tadi tak seperti yang aku bayangkan.Aku menyeka tetesan bulir bening yang berhasil jatuh. Tangan ini bahkan terasa bergetar saat menyentuh wajah. Mengapa aku merasa akan melewati masalah yang cukup besar. Ditambah lagi dengan Rani yang sam
Sayangnya tak ada percakapan apa-apa lagi yang aku dengar dalam alat penyadap itu. Mobil Mas Fery hanya mengantarkan Rani ke depan Mall kemudian ia pergi lagi sendirian.Penyelidikan aku dan Siska hari ini memang tidak gagal, hanya saja aku masih penasaran dengan wanita idaman lain yang Mas Fery miliki saat ini. Aku masih belum punya bukti untuk menegur suamiku. Bukan tidak mungkin, Mas Fery akan kembali mengelak lalu marah saat aku menuduh tanpa bukti.Dengan segera, Siska mengantarkan aku pulang ke rumah karena khawatir Mas Fery akan pulang duluan. Aku tidak mau suamiku curiga saat aku bersama Siska.Namun, yang dikhawatirkan ternyata terjadi. Mas Fery tiba di rumah saat Siska baru saja hendak mengeluarkan mobilnya dari pekarangan rumah.Beruntung aku sudah menaruh tas selempang yang aku bawa ke dalam kamar sehingga Mas Fery tak melihat kalau aku pun baru saja tiba.Siska tampak melebarkan senyuman pada Mas Fery dan suamiku membalasnya. Tanpa menyapa Siska lekas pergi melajukan ken
Aku merasa ada yang tidak beres. Ingin rasanya menelephone Siska detik ini juga untuk bertanya perihal kedatangan Mas Fery ke rumahnya.Aku menghentikan layar gps, kemudian menekan kontak bernama Siska pada layar ponselku.Benda pipih itu telah menempel di telingaku. Nomor yang aku tuju masih mengeluarkan bunyi aktiv. Akan tetapi, panggilanku tidak dijawab oleh teman dekatku itu.Aku hanya khawatir kalau Mas Fery akan bertanya mengenai kedatangan Siska tadi sore di rumahku. Jangan sampai Siska mengatakan yang sebenarnya. Tapi aku yakin sahabat baikku itu mampu mengunci mulut.Lagi, aku mengecek gps dan hasilnya masih sama. Mobil Mas Fery masih saja tertahan di ruman Siska."Sedang apa sih Mas Fery di sana?" Aku bertanya-tanya sendirian dengan perasaan resah campur aduk. Ditambah lagi Siska tak mau menjawab sambungan telephone dariku.Tak mau berlama-lama dalam keresahan. Aku lebih baik mengumpulkan berkas-berkas penting seperti surat rumah dan perhiasan milikku yang ada di dalam lema