Share

3 Memasang CCTV

Hari ini Rani belum pulang ke sekolah. Sengaja aku memasang CCTV di kamar anakku itu, termasuk di semua sudut rumahku. Aku hanya penasaran dengan lelaki yang merusak masa depan anakku. Selain itu, aku juga membutuhkan bukti agar Rani tak bisa mengelak.

Namun, belum sempat tukang pasang CCTV menyelesaikan pekerjaannya, telingaku mendengar suara deru mobil berhenti di depan rumah.

Aku segera melangkah dengan cepat guna memastikan siapa yang datang. Dadaku berdegup resah. Aku sepertinya kenal dengan suara mesin mobilnya.

Benar saja tebakanku, suara mobil itu ternyata dari mobil Mas Fery saat aku telah memastikan dari jendela depan rumah. Keresahan kian bertambah. Aku khawatir Rani menumpang dan pulang bersama Mas Fery. Bukan apa-apa, kalau Rani sampai tahu dengan CCTV itu maka rencanaku akan gagal.

Aku segera keluar membuka pintu utama yang ku tutup kembali. Aku berdiri di depan rumah dengan menatap ke arah pintu mobil Mas Fery. Namun yang keluar dari sedan hitam itu hanya Mas Fery sendiri. Dia berjalan mendekat ke arahku.

"Mas sudah pulang?" tanyaku basa-basi. Sedikit gugup. Aku masih khawatir ada Rani di dalam mobil suamiku.

"Iya. Hari ini pekerjaan selesai lebih awal," jawab Mas Fery dengan mengukir senyum tipis.

"Apa Rani bersama, Mas?" Aku segera bertanya lagi untuk memastikan.

Mas Fery menggelengkan kepala kemudian menjawab, "Tidak."

Aku menghela napas lega. Syukurlah kalau begitu. Aku mengusap dada dengan jemari tangan saat rencanaku ini masih aman dari anakku.

"Ada apa sih, Mia?" Mas Fery bertanya kemudian meluruskan jari telunjuknya pada mobil putih yang terparkir di depan rumah kami. "Itu mobil siapa?" imbuhnya bertanya lagi.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Mas Fery, tampak dua orang lelaki dengan seragam ala seles CCTV keluar dari rumahku.

"Permisi, Nyonya. Pekerjaan kami telah selesai," lapor dua lelaki yang telah memasang CCTV tadi saat telah keluar dari rumah dan masih berdiri di hadapanku juga Mas Fery.

Mas Fery tampak mengernyitkan dahi, mungkin merasa aneh. Aku yakin dia paham dengan seragam yang dipakai dua lelaki itu. Aku segera merogoh kocek lalu kuberikan pada salah satu dari seles yang memasang CCTV.

"Ini untuk uang sakunya. Terima kasih ya," ucapku pada dua lelaki itu yang dibalas anggukan kepala dan senyuman ramah. Mereka kemudian pergi dengan mobil serba putihnya.

Mas Fery masih dengan tatapannya kepadaku. Sorot matanya tajam seperti hendak marah namun aku yakin dia tak akan marah kok.

"Kamu pasang CCTV ya?!" Mas Fery bertanya lagi. Kali ini nada suaranya bahkan terdengar ketus. Aku tak mengerti. Mungkin karena tanpa sepengetahuannya.

"Kita bicara di dalam ya, Mas," ajakku seraya menarik tangan suamiku dengan lembut. Kami masuk ke kamar lalu duduk bersama di atas ranjang untuk berbicara.

"Kenapa sih?" Mas Fery bertanya lagi. Kedua alisnya bahkan terlihat naik ke atas.

"Iya, Mas. Aku memasang CCTV." Aku menjawab segera.

"Mengapa tak minta izin aku dulu?" Suara Mas Fery lagi-lagi terdengar ketus seperti tak suka dengan langkah yang sudah aku lakukan.

"Aku minta maaf, Mas. Aku tidak punya waktu banyak. Aku tergesa-gesa. Aku punya alasan," jawabku dengan alasan.

"Alasan apa?" Mas Fery mendengus kesal. Mungkin dia marah. Tapi aku yakin setelah aku jelaskan pasti marahnya akan hilang.

"Alasannya Rani, Mas," jawabku seraya tertunduk lesu. Aku terpaksa harus bercerita ini pada suamiku. Biar bagaimana pun dia suamiku. Dia harus tahu keluh kesah dan kegundahan yang tengah aku rasakan saat ini. Usia Mas Fery tak jauh denganku. Aku yang berusia tiga puluh enam tahun, sementara Mas Fery tiga puluh delapan. Kami masih belum terlalu tua dan masih bisa mengerti mengenai tingkah anak muda jaman sekarang.

"Kenapa dengan, Rani?" Mas Fery mendelik. Ia masih saja terlihat kesal kepadaku. Aku bisa melihat dari raut wajahnya dan hembusan napas yang dikeluarkannya dengan kasar.

Mataku mulai berkaca-kaca. Kesedihan kembali menyeruak di dalam dada tatkala harus mengingat kembali kecurigaanku terhadap anak tunggalku itu.

"Aku menemukan kondom di dalam kamar, Rani," jelasku terpaksa. Mas Fery tampak terkejut. Bola matanya membulat sempurna. Kali ini tak terlihat marah. Namun lebih terlihat kaget mendengar ungkapanku barusan.

"Maksud kamu, alat kontrasepsi pria dewasa?" Mas Fery memastikan. Aku segera mengangguk lesu.

"Tempo lalu saat kamu tak pulang, aku bahkan mendengar suara desahan di kamar, Rani. Aku mencurigai Rani tengah membawa laki-laki masuk ke rumah ini, Mas. Maka dari itu aku segera pasang CCTV sebelum Rani pulang sekolah," jelasku dengan sendu. Bagaimana tidak, aku benar-benar takut kalau Rani telah berbuat yang aneh-aneh

"Mungkin kamu salah, Mia. Bisa saja itu bukan milik, Rani." Mas Fery terdengar membela Rani. Mungkin lebih tepatnya berusaja bijaksana dalam menyikapi masalah. Tatapannya kini berubah. Tak terlihat marah. Namun lebih terlihat gelisah, sama seperti aku.

"Aku yakin itu milik, Rani. Aku mendapatkan kondom itu tepat di bawah selimut Rani. Kita semua tahu, Rani tak pernah membawa teman pria ke rumah ini, kecuali teman perempuannya, Lusi." Aku menekan kembali.

"Bisa jadi, Lusi. Dia memfitnah Rani, Mia." Mas Fery masih saja bersikukuh tak mau berpikiran buruk pada Rani.

Aku tahu, Mas Fery sudah menganggap Rani bagai anak kandungnya sehingga ia terus saja membela anak itu belakangan ini. Bahkan pernah beberapa bulan lalu saat Rani tak pulang dua hari dua malam, di situ aku marah besar. Namun tidak dengan Mas Fery, dia malah melindungi Rani dari kemarahanku. Dia yang sibuk bekerja dan sering lembur memang tak begitu mengetahui keseharian Rani semenjak duduk di bangku SMA.

"Tapi, Mas. Mba Parni bahkan sudah lebih dari tiga kali, menemukan kondom itu di tempat sampah kamar mandi. Lalu, apa aku harus diam saja? Aku tidak mau kalau sampai masa depan anakku hancur, Mas!" tekanku lagi pada Mas Fery.

Mas Fery kembali mendengus kesal. Ia tampak memijak pelipisnya. Mungkin isi kepalanya sudah berat dengan pekerjaan kantor dan malah ditambah lagi dengan masalah yang baru saja aku ceritakan.

"Ya sudah terserah kamu!" ucap Mas Fery seraya melonggarkan lilitan dasi yang mengikat lehernya. Wajahnya terlihat lelah.

"Maafkan aku ya, Mas," ucapku merasa bersalah. Aku salah karena selalu saja menambah beban pada suami yang baru saja dua tahun menikah denganku. Segera kupeluk tubuhnya dari samping. Aku sangat menyayangi suamiku dengan semua perhatiannya.

"Tak usah minta maaf. Apa pun yang terbaik untuk anak kita, aku akan selalu mendukung," kata Mas Fery. Terdengar datar. Ia terlihat mengukir senyum hambar. Namun, aku tetap berterima kasih atas semua kebaikan yang dia berikan kepasaku dan anakku.

Setelah CCTV terpasang, usahaku nihil. Tak pernah ada suara desahan bahkan penemuan kondom lagi. Tak ada yang mencurigakan lagi.

Sampai tiba di malam ini, aku sendiri dan kesepian saat Mas Fery ada tugas di Magelang selema dua hari. Sementara Rani meminta izin menginap di rumah Papah kandungnya dalam beberapa hari.

Suara bell yang berbunyi di depan rumah seketika membuyarkan lamunanku. Aku beranjak dari sofa ruang tengah lalu berjalan menuju pintu utama dan membukanya.

'Mantan suamiku! Ada apa dia datang ke rumahku?' batinku saat terkejut.

"Ada apa?" Aku segera bertanya pada Papah kandung Rani.

"Saya ingin bertemu, Rani," pintanya tanpa basa-basi.

Aku terkejut seraya menautkan kedua alisku. Bukankah Rani menginap di rumah dia?

Comments (14)
goodnovel comment avatar
Dian Silvi Karina
wah jangan jangan Rani main sama ayah tirinya
goodnovel comment avatar
Vya Kim
wah sama bapak tirinya ini
goodnovel comment avatar
Umah Afifah
wadduuuhh,, mas ferry yg nackal inimh.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status