Share

6 Dibuat Terkejut

Dengan bola mata terbelalak aku dan Siska dibuat terkejut. Saat tubuh Mas Fery dan Rani semakin menghilang dan masuk ke dalam hotel, aku dan Siska bergegas keluar dari mobil. Kami berdua berjalan dengan cepat. Namun, terlambat. Kedua bola mata ini tak bisa lagi mendapati penampakan suami dan anakku.

"Sial! Cepat sekali langkah mereka!" kesalku. Aku berkacak pinggang dengan wajah menahan emosi. Aliran darahku kian terasa mendidih saja kala setiap sudut pandangan nyaris tak mampu lagi menemukan keberadaan Mas Fery dan Rani.

"Kita tanya resepsionis," saran Siska.

Kemudian aku berjalan mengikuti langkah Siska menuju resepsionis. Kami berdua bertanya mengenai tamu atas nama Fery Haryadi atau pun Rani Adinda Putri.

Namun, aku dan Siska tak mendapatkan informasi apa-apa. Peraturan di hotel yang kami datangi sangat menjaga privacy pengunjung. Kami berdua bahkan tak bisa mencari ke setiap sudut kamar yang ada di hotel itu karena petugas pasti akan melarangnya.

Langkah ini dengan berat perlahan keluar dari hotel lalu masuk kembali ke mobil Siska. Aku memijat pelipis yang kian terasa pusing. Rasa penasaran ini kian memuncak dan masih tak menemukan jawabannya.

"Untuk apa Mas Fery dan Rani check in di hotel ini?" Pertanyaan yang masih saja bersarang di benakku. Sungguh aku penasaran dan tak bisa menerka jawabannya.

"Coba kamu hubungi nomor telephone suamimu. Tanya, dimana dia sekarang." Siska kembali dengan sarannya. Sebelah tangan kirinya terasa mengelus pundakku. Siska pun pasti merasakan keresahan dalam hati ini.

Aku segera merogoh tas selempangku guna mengambil ponsel pintar yang ada di dalamnya. Kuusap layar benda pipih itu lalu menekan kontak bernama Mas Fery pada layar.

Terdengar bunyi dari dalam benda pipih yang kini telah menempel di telingaku. Bunyi yang menandakan kalau nomor ponsel Mas Fery sedang aktip, hanya saja sambungan telephone dari aku tak dijawab olehnya.

Tiga kali aku berusaha menghubungi Mas Fery, akan tetapi hasilnya tetap saja sama. Mas Fery tak mau menjawab sambungan telephone dariku.

"Tidak diangkat," kesalku. Ini seolah semakin memperjelas pemandangan tadi. Sedang apa Mas Fery dan Rani di dalam hotel itu sampai-sampai tak mau menjawab sambungan telephone dariku.

"Kita tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk saat ini. Kamu bisa mempotret mobil suamimu itu untuk menyodorkan pertanyaan kepadanya nanti."

Siska mengambil ponselku saat aku masih saja diam. Dia kemudian membidik mobil Mas Fery dengan kamera ponselku untuk digunakan sebagai bukti nantinya.

Setelah itu, Siska mengantarkanku pulang ke rumah. Disepanjang perjalanan aku hanya diam. Aku enggan untuk membahas pemandangan mengejutkan hari ini. Bibirku terasa kaku. Isi dada melemas tak bertenaga. Aku masih saja trauma dengan masa lalu, masa lalu perselingkuhan mantan suami yang menyisakan luka mendalam di hati. Berat rasanya menerima pemandangan tadi. Mana mungkin Mas Fery bersama Rani. Aku cukup mengenal suamiku. Aku menggelengkan kepala berusaha menepis pikiran buruk yang tiba-tiba merasuki isi kepala.

"Mampir dulu, Sis!" Aku menawarkan Siska mampir saat mobilnya telah menepi di depan rumah baruku.

Siska menggeleng dengan ramah kemudian menjawab, "Aku harus cepat pulang karena ada urusan lagi. Kabari aku jika kamu butuh bantuan ya."

Aku mengangguk dan berkata dengan lesu, "Terima kasih untuk hari ini."

Senyum tipis penuh keresahan yang kini bisa aku tampilkan pada sahabatku. Aku yakin Siska paham dengan kondisiku saat ini.

Aku kemudian keluar dari mobil Siska, berjalan menguatkan diri lalu masuk ke dalam rumah, meluruhkan tubuh ini di atas sofa empuk berwarna abu-abu yang berada di ruang tengah.

"Ya Tuhan, ada apa dengan semua ini? Berikan aku petunjuk-Mu," lirihku sendirian. Aku mengusap kasar wajah ini yang tampak lusuh. Merasa tak bertenaga seperti telah lari maraton sepuluh kilo meter saja. Aku berusaha bangkit menguatkan diri. Aku masih butuh pembuktian untuk semua teka-teki ini.

Hingga sampai malam tiba, Mas Fery tak kunjung memberikan kabar. Tanpa terasa, kelopak mata ini terlelap begitu saja di sofa ruang tamu saat tengah menanti kepulangan sang suami. Ini bukan tentang rindu atau pun menanti raga Mas Fery. Aku hanya menginginkan penjelasan dari penampakan yang aku lihat tadi siang.

Tiba-tiba aku terbangun saat sinar mentari berhasil menerobos masuk melewati jendela berwarna putih lalu menepuk pipi ini dengan hangat.

Perlahan aku membuka kepolak mata saat sadar kalau aku telah tertidur di sofa sampai pagi. Aku menatap pintu yang masih saja tertutup. Aku sadar kalau Mas Fery tak pulang malam ini. Aku mengusap dadaku. Mengapa isi dada ini rasanya sakit sekali. Sakit yang tak tahu penyebabnya. Padahal ini bukanlah kali pertama Mas Fery tak pulang, tapi semenjak keberadaannya di hotel kemarin membuat pikiran menjadi kacau.

Saat jarum pada benda bundar di dinding ruangan menunjukan pukul sepuluh siang, aku mendengar deru mobil berhenti di depan rumah. Aku bergegas keluar dari kamar saat yakin kalau suara deru mobilnya milik suamiku.

Benar saja dugaanku. Mas Fery keluar dari mobil saat aku telah membuka pintu utama. Dia datang sendirian lalu masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa menyapaku yang dari semalam telah menunggunya.

Wajah Mas Fery amat lusuh seperti telah begadang semalam. Aku segera menghampiri dan menghentikan langkahnya.

"Tunggu, Mas!"

Mas Fery menghentikan langkah lalu menoleh ke arahku dengan tatapan nyalang. Aku melihat suamiku telah berubah hari ini. Amat jauh berbeda dari sebelumnya.

"Ada apa? Aku lelah, aku mau istirahat!" ketusnya. Tak ada lagi sikap ramah yang biasa ditampilkan. Kemana wajah dan sikap baiknya selama ini? Apa itu hanya topeng?

"Dari mana kamu, Mas? Sampai-sampai kamu tak pulang semalaman," tanyaku. Tentu bahasaku masih lembut. Aku masih berusaha tenang dengan nada bicara yang sopan. Aku juga menampilkan wajah biasa. Aku tahan emosiku sekuat mungkin.

"Mengapa kamu masih saja bertanya kemana atau dari mana? Aku ini lelaki sibuk. Banyak sekali pekerjaan. Mengapa kamu tak paham juga mengenai itu hah!" jelas Mas Fery dengan nada suara tinggi. Padahal aku bertanya dengan ramah.

"Memangnya pekerjaan apa yang dilakukan kamu saat hari libur?" Aku bertanya dengan nafas memburu di dalam dada. Rasanya ingin marah, tapi masih berusaha aku bendung.

Mas Fery membuang muka. Ia gelagapan. Sepertinya dia baru sadar kalau kemarin itu hari libur kerja.

"Pekerjaanku bukan sekedar di kantor, Mia. Masih banyak yang harus aku urus. Aku cape dan aku mau istirahat. Jangan ganggu!" tegas Mes Fery yang masih saja mengelak kemudian melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

Lagi, aku kembali menghentikan langkahnya dengan cepat. Bahkan kali ini aku menghadangnya yang hendak masuk ke kamar.

"Kamu bohong, Mas! Aku tahu kamu tak bekerja. Kamu check in di hotel bersama, Rani!"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Umah Afifah
ah mas ferry mh kudu di gantung inimah
goodnovel comment avatar
Indah Syi
hemm ketahuan kan kamu Ferry
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status