Keesokan harinya saat mentari mulai menyapa pagi, aku sudah sibuk membuat sarapan di dapur. Sementara dengan pekerjaan rumah sudah ada Mba Parni membantu.Ada rasa yang mengganjal di dalam dada karena Rani masih juga tak bisa dihubungi. Memang sedikit lega karena Mas Fery sudah menyewakannya hotel. Namun, suasana pagi jadi terasa berkurang setelah pertengkaranku dengan anak gadisku.Dia anakku satu-satunya, tapi entah kenapa kini telah berubah jadi pembangkang. Apa benar kata Mas Fery kalau aku terlalu keras dalam mendidiknya? Tapi, itu semua aku lakukan semata-mata untuk kebaikan Rani agar disiplin dan bertanggung jawab.Tak lama, Mas Fery keluar dari kamar dan duduk di kursi makan. Isi meja yang sudah siap dengan sajian sarapan dan Mas Fery menyantapnya tanpa basa-basi. Mungkin suamiku itu masih saja marah padaku."Kamu masih marah sama aku?" Aku bertanya pelan. Setidaknya, kalau Mas Fery sedang acuh maka aku yang perlu bicara duluan. Aku tak pernah ragu untuk meminta maaf jika sala
"Bye! Nanti ketemu lagi ya."Suara Mas Fery terdengar mengakhiri percakapannya dengan seseorang, namun aku sama sekali tak mendengar suara lawan bicaranya.Siska kemudian melihat titik lokasi Mas Fery yang saat ini berada di sekolahan Rani, kemudian berlalu pergi."Mau kemana lagi, Mas Fery?" Aku bertanya-tanya sendiri dengan perasaan yang menggebu di dalam dada."Sudahlah, Mia. Kita selesaikan misi kita sekarang. Kita ikuti kemana mobil suamimu hari ini." Siska kembali fokus dengan setir mobilnya.Sementara aku, hanya bisa mengangguk pasrah. Apa mungkin aku telah mendapat penghianatan yang kedua kalinya dari seorang lelaki?Pasang manik ini kembali berkaca-kaca. Aku berusaha membendung semua kepedihan ini. Masih berharap semoga apa yang aku dengar tadi tak seperti yang aku bayangkan.Aku menyeka tetesan bulir bening yang berhasil jatuh. Tangan ini bahkan terasa bergetar saat menyentuh wajah. Mengapa aku merasa akan melewati masalah yang cukup besar. Ditambah lagi dengan Rani yang sam
Sayangnya tak ada percakapan apa-apa lagi yang aku dengar dalam alat penyadap itu. Mobil Mas Fery hanya mengantarkan Rani ke depan Mall kemudian ia pergi lagi sendirian.Penyelidikan aku dan Siska hari ini memang tidak gagal, hanya saja aku masih penasaran dengan wanita idaman lain yang Mas Fery miliki saat ini. Aku masih belum punya bukti untuk menegur suamiku. Bukan tidak mungkin, Mas Fery akan kembali mengelak lalu marah saat aku menuduh tanpa bukti.Dengan segera, Siska mengantarkan aku pulang ke rumah karena khawatir Mas Fery akan pulang duluan. Aku tidak mau suamiku curiga saat aku bersama Siska.Namun, yang dikhawatirkan ternyata terjadi. Mas Fery tiba di rumah saat Siska baru saja hendak mengeluarkan mobilnya dari pekarangan rumah.Beruntung aku sudah menaruh tas selempang yang aku bawa ke dalam kamar sehingga Mas Fery tak melihat kalau aku pun baru saja tiba.Siska tampak melebarkan senyuman pada Mas Fery dan suamiku membalasnya. Tanpa menyapa Siska lekas pergi melajukan ken
Aku merasa ada yang tidak beres. Ingin rasanya menelephone Siska detik ini juga untuk bertanya perihal kedatangan Mas Fery ke rumahnya.Aku menghentikan layar gps, kemudian menekan kontak bernama Siska pada layar ponselku.Benda pipih itu telah menempel di telingaku. Nomor yang aku tuju masih mengeluarkan bunyi aktiv. Akan tetapi, panggilanku tidak dijawab oleh teman dekatku itu.Aku hanya khawatir kalau Mas Fery akan bertanya mengenai kedatangan Siska tadi sore di rumahku. Jangan sampai Siska mengatakan yang sebenarnya. Tapi aku yakin sahabat baikku itu mampu mengunci mulut.Lagi, aku mengecek gps dan hasilnya masih sama. Mobil Mas Fery masih saja tertahan di ruman Siska."Sedang apa sih Mas Fery di sana?" Aku bertanya-tanya sendirian dengan perasaan resah campur aduk. Ditambah lagi Siska tak mau menjawab sambungan telephone dariku.Tak mau berlama-lama dalam keresahan. Aku lebih baik mengumpulkan berkas-berkas penting seperti surat rumah dan perhiasan milikku yang ada di dalam lema
Rani terkejut lagi dan lagi. Hari ini mungkin anak gadisku itu tak mampu lagi membuat alasan. Ia tampak gugup dengan suara napas yang memburu di dadanya.Aku menatap anakku dengan nanar. Sementara dia malah menunduk dan tak mampu membalas tatapanku saat ini."Katakan, Rani! Pria mana yang berhasil merusak masa depanmu? Pria mana yang berani kamu masukan ke dalam kamarmu? Katakan!" Bibirku bahkan terasa bergetar saat mengeluarkan pertanyaan itu kepada Rani. Ai mata kesedihan yang berusaha aku bendung nyatanya menetes begitu saja namun segera aku usap dengan jemari."Mengapa kamu tega menghancurkan masa depan hanya demi nafsu sesaat, Rani! Kamu tega melukai perasaan Mamah yang sudah belasan tahun membesarkanmu," sambungku dengan lirih. Sementara Rani masih diam. Aku yakin sedang mencari alasan lagi untuk mengelak. "Mamah hanya ingin tahu, siapa pria itu, Rani?" tegasku dengan bertanya lagi. Aku tak memalingkan tatapanku ke arah mana pun, hanya kepada Rani penuh selidik."Aku tidak tahu
Aku kini sendirian terduduk lesu di sofa ruang tengah. Aku merasa tak berdaya. Mas Fery telah berubah. Apalagi aku tak punya alasan untuk bertahan setelah mengetahui penghianatan suamiku.Aku merenung sendirian. Memijat pelipis yang terasa berat. Ingin rasanya teriak namun tak memiliki daya.Kemudian aku berjalan keluar rumah untuk sekedar menenangkan diri. Aku duduk di kursi kayu yang ada di taman dekat rumah dengan wajah sendu.Tiba-tiba ponselku berdering. Saat aku merogoh saku celana dan melihat pada layar ponsel, sang penelephone ternyata Siska gegas aku menjawabnya."Hallo, Sis!" sapaku saat benda pipih itu telah menempel ditelinga."Mia, apa kabar denganmu? Mengapa suara kamu terdengar lesu?" Siska segera mencerca pertanyaan setelah mendengar suaraku."Aku bertengkar lagi dengan, Rani," jawabku lesu."Anakmu sudah pulang?" Siska bertanya lagi."Sudah. Aku rasanya lelah, Sis. Aku dihadapkan dengan dua masalah sekaligus. Masalah antara Rani dan Mas Fery. Kedua masalah itu masih b
Setelah mengakhiri sambungan telephone bersama Mia, Siska kini tampak melamun. Ada yang mengganjal di dalam dadanya. Ia merasa bersalah pada sahabatnya."Maafkan aku, Mia. Bukannya aku tak mau jujur sama kamu. Aku hanya tidak mau terjadi ke salah pahaman antara kita." Siska nampak bergumam sendirian di ruang kamarnya.Malam kemarin saat Siska tengah merebahkan tubuhnya sendirian di kamar, tiba-tiba ia mendengar suara bell berbunyi di depan pintu. Ia bergegas keluar untuk memastikan tamunya hari ini.Betapa Siska terkejut begitu pintu dibuka. Fery berdiri di depannya seraya mengukir senyum.Kala itu Siska merasa aneh dengan kedatangan Fery yang mengejutkan. Ia lekas bertanya untuk sekedar basa-basi,"Ada apa ya, Fery?" Siska bertanya. Ia masih berdiri di depan pintu yang telah ia buka, pun dengan Fery."Apa tidak dipersilahkan masuk dulu tamu kamu, Sis?" Fery malah berbalik tanya. Lagi-lagi ia mengukir senyum membuat Siska muak melihatnya."Tidak, Fery. Saya tidak biasa membawa masuk t
Hari berlalu bergitu saja, sampai saat ini aku masih saja belum menemukan jawaban atas teka-teki yang terjadi pada selingkuhan Mas Fery, mau pun mengenai alat kontrasepsi di kamar Rani.Banyak sekali yang berubah setelah pertengkaran bersama Rani. Mulai deri sikap Mas Fery yang semakin acuh tak acuh kepadaku, juga sikap Rani yang sinis tak mau bertegur sapa denganku.Padahal Rani adalah anakku, tapi mengapa dia seolah tak merasakan kontak batin saat isi dada ini terasa sakit karena sikapnya. Mengapa Rani tak merasa bersalah dengan sikapnya yang tak pantas terhadap seorang Ibu.Aku memang telah gagal mendidik anakku, aku bukan Ibu yang baik.Kini aku hanya melihat keakraban yang justru tercipta antara Rani dan Ayah tirinya. Ya, Rani kini semakin dekat saja dengan Mas Fery. Bukan terlihat seperti Ayah tiri, melainkan seperti seorang kekasih yang tengah dimabuk asmara.Aku paham kalau Mas Fery memang amat menyayangi Rani layaknya anak kandung sendiri, namun pemandangan pagi ini terasa me