Share

7 Klarifikasi

Mas Fery tampak membulatkan kedua bola matanya. Ia terkejut mendengar ucapanku. Aku tak bisa menunda-nunda lagi pertanyaan ini. Pertanyaan yang sedari kemarin menghujam pikiranku.

"Bicara apa kamu, Mia! Suami kamu ini baru saja pulang kerja. Tidak bisakah kamu menyodorkan pertanyaan yang enak didengar? Ini malah menuduhku yang tidak-tidak." Mas Fery mengelak lagi. Aku bisa melihat wajahnya yang sedikit gugup. Sebelah alisnya tampak naik. Aku yakin di dalam dadanya ada kecemasan.

"Aku tidak menuduh, Mas. Aku juga tidak mau berpikir yang buruk tentang kamu. Aku hanya ingin klarifikasi saja dari kamu." Aku segera mengambil ponsel pintarku yang berada di atas nakas. Kuusap layar ponsel lalu menekan galeri photo yang ada di dalamnya.

Aku menyodorkan layar ponselku pada Mas Fery. Layar ponsel yang menunjukan gambar mobil Mas Fery yang dibidik Siska kemarin di depan hotel.

Bola mata Mas Fery kian terbelalak. Pasti dia merasa terkejut karena tak akan bisa lagi mengelak dengan bukti gambar sedan hitamnya di depan hotel.

"Lancang sekali kamu, Mia! Kamu membuntuti langkahku?" Mas Fery bertanya dengan emosi kepadaku. Harusnya dia merasa bersalah, namun kini Mas Fery telah berubah. Tak ada lagi sikap lemah lembut yang biasanya ia tampilkan di hadapanku.

Ponsel pintarku segera aku masukan ke dalam kantong celana. Aku amankan. Kemudian aku menjawab pertanyaan suamiku dengan tenang, "Aku tidak membuntuti kamu, Mas. Hanya saja, semesta menuntunku ke arah mobil kamu berjalan."

"Duduk, Mas," pintaku. Mas Fery masih diam dengan napas emosi yang terlihat memburu. Sepertinya dia masih mencerna kata-kata untuk membuat alasan kepadaku.

"Aku ingin bicara baik-baik, Mas. Aku hanya ingin bertanya saja. Duduklah," pintaku sekali lagi saat Mas Fery masih saja bergeming.

Tanpa bisa mengelak lagi, Mas Fery duduk di sofa ruang tamu bersamaan denganku. Hari ini, aku merasa suamiku tak lagi seperti biasanya. Tatapannya terlihat banyak sekali menyimpan kebohongan, namun entahlah kebohongan apa yang tengah dilakukannya itu.

"Harus kamu tahu, Mia. Aku membawa Rani ke hotel karena kasihan. Dia luntang-lantung sendirian di tengah jalan. Kamu pikir aku hanyalah Ayah sambung yang tak perduli pada anak tirinya? Tidak, Mia. Aku sudah menganggap Rani bagaikan anak sendiri. Aku menyewakannya kamar hotel agar dia bisa istirahat dan menenangkan dirinya. Aku juga sudah memberikan saran yang baik agar dia lekas pulang ke rumah ini."

Tiba-tiba Mas Fery menjelaskan pertanyaanku tadi padahal aku belum melanjutkan pembicaraan. Tapi baguslah, Mas Fery mungkin paham. Nada suaranya kini lebih terdengar ramah, tak seperti tadi.

"Kenapa harus ke hotel? Rani masih punya Dodi sebagai papahnya." Aku menyanggah penjelasan Mas Fery. Pemandangan kemarin masih saja membuat otakku berpikir yang buruk pada suamiku. Berjalan bergandengan dengan Rani tentu saja membuat perasaanku panas saat melihatnya.

"Sudah aku tawarkan, Mia. Tapi Rani menolak. Dia tertekan dengan sikap kamu yang terlalu keras terhadapnya. Aki hanya mengantarkan Rani check in saja, setelah itu aku pergi." Mas Fery melanjutkan alasannya.

"Kamu pikir aku ngapain? Rani itu anakku. Hal yang wajar bukan kalau aku juga memperhatikannya," sambungnya lagi.

Aku bergeming. Sejenak aku memikirkan perkataan Mas Fery yang ada benarnya, walau pun di dalam dada tetap saja ada yang terluka seperti tak menerima sanggahan suamiku.

"Aku hanya ingin menjadi Ayah yang baik, Mia. Walau pun Rani hanya anak tiri, aku telah menyayanginya. Aku akan selalu melindunginya sebagai mana aku menyayangi kamu sebagai istriku." Mas Fery menegaskan kembali pembelaannya.

Aku menundukam wajah, sungguh merasa ada yang berat di dalam dada ini. Lalu, aku teringat dengan pertanyaan selanjutnya yang masih tersimpan di benakku.

"Oke, maafkan aku jika pertanyaanku tadi membuat Mas Fery tak nyaman. Tapi, aku masih memiliki pertanyaan selanjutnya," ucapku pada suamiku yang masih duduk dengan menghela napas lega setelah mendengar ucapanku.

"Apa lagi? Aku lelah, Mia. Aku ingin istirahat," pintanya dengan memelas. Tapi, aku tak perduli.

Aku beranjak dari tempat duduk kemudian berjalan masuk ke dalam kamar guna mengambil benda yang tak pernah dia pakai saat berhubungan badan denganku.

"Ini milik siapa, Mas?" Aku meletakan kondom di atas meja, yang telah aku temukan di dalam koper Mas Fery.

Bola mata Mas Fery lagi-lagi terbelalak. Aku lihat ia menepuk keningnya. Wajahnya terkejut sepertinya benda itu cukup mengagetkan.

"Dari mana ini, Mia?" Mas Fery malah berbalik tanya.

"Dari dalam koper kamu, Mas," jawabku segera. Aku berdiri di depan Mas Fery seraya menyilangkan ke dua tangan di depan dada. Alat sensitiv itu membuat aliran darah ini terasa panas.

"Ini milik temanku, Mia. Dia hanya menumpang saja di dalam koperku. Nanti akan aku kembalikan padanya," elak Mas Fery, lagi.

"Milik temanmu, siapa? Apa dia tak memiliki tempat untuk menyimpan benda sekecil itu sampai-sampai harus ikut menaruhnya di dalam kopermu? Benda itu masih bisa masuk ke dalam kantung celana, sehingga tak etis jika harus menumpang di koper orang." Aku berbicara sedikit emosi. Sungguh benda itu sangat menjijikan saat harus kubayangkan jika pemakainya adalah suamiku sendiri.

"Maafkan aku, Mia. Aku tidak bohong. Aku bersumpah kalau itu adalah milik temanku. Kalau kamu tidak percaya, aku bisa menelephone dia sekarang juga." Mas Fery beralasan lagi.

"Telephone sekarang lalu speacker. Aku ingin mendengarkan langsung sekarang juga," pintaku menantang Mas Fery. Aku tak mau menunggu lama. Masalah ini harus segera selesai agar tidak terjadi kesalah pahaman yang berlarut-larut.

"Oke!" Mas Fery mengiyakan tantanganku. Ia tampak merogoh saku jas hitam, mengambil ponsel pintar miliknya. Aku melihat dia menelephone seseorang bernama Jefri lalu mengeraskan suaranya agar aku bisa mendengar saat itu juga.

"Hallo, Fer!" Suara bariton menyapa di ujung sambungan telephone Mas Fery dengan santainya dan aku mendengar dengan jelas.

"Hallo, Jef. Sorry jika mengganggu. Ini istriku marah-marah saat menemukan kondom milikmu di dalam koperku. Bisakah kau segera mengambilnya agar kami tak salah paham." Mas Fery berbicara dengan lancarnya.

Namun, suara lelaki yang Mas Fery panggil Jefri itu agar gugup.

"Ko-kondom! Maksudnya?" Dia malah bertanya.

"Iya, Jef. Please jangan kaku begitu. Ini kondom yang kamu titipkan di dalam koperku tak sengaja ditemukan Mia dan dia jadi salah paham. Mia ada di dekatku dan menunggu penjelasan dari kamu sekarang," jelas Mas Fery lagi.

"Oh! So-sorry. Aku ingat. Iya besok aku akan ambil benda itu ya. Sorry jika membuat kalian salah paham," jawab Jefri dengan suara masih sedikit gugup.

"Oke besok ambil ya. Jangan sampai Mia marah dan salah paham lagi," tekan Mas Fery.

"Oke!"

Mas Fery segera mengakhiri sambungan telephone dengan teman kantornya itu. Ia kembali melayangkan tatapan sinis terhadapku merasa menang.

"Kamu sudah dengar kan jawaban Jefri tadi. Apa masih terus saja mencurigai suamimu ini?" Mas Fery tampak kesal.

Aku menurunkan tatapan lalu meminta maaf, "Maafkan aku. Aku hanya butuh kejelasan saja."

"Sekarang sudah jelas kan. Aku cape, aku mau istirahat." Mas Fery kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Dia masuk ke dalam kamar lalu menutup pintunya. Sepertinya dia kecewa padaku.

Tapi, mengapa isi dada ini masih saja terasa panas. Aku seolah tak yakin dengan penjelasan yang sudah Mas Fery ungkapkan. Ada apa dengan diriku ini?

Aku duduk sendirian di sofa ruang tamu menutup wajah ini dengan kedua telapak tangan.

"Ya Tuhan, semoga saja semuanya memang baik-bain saja," bisikku sendirian.

Komen (18)
goodnovel comment avatar
Yons Crew
bulol banget sih s mia
goodnovel comment avatar
sulikah
Seorang mia betul-betul goblok
goodnovel comment avatar
Bundanya Izam
terlalu bodoh jadi istri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status