Share

2 Alat Kontrasepsi

"Apa-apaan ini! Milik siapa ini?"

Aku bertanya-tanya sendirian di dalam kamar Rani. Tak sudi aku menyentuh benda menjijikan itu. Dadaku kembali bergemuruh resah. Aku semakin curiga saja dengan anakku. Sepertinya ada yang tengah di sembunyikan oleh Rani.

Lututku gemetar. Kemudian aku terduduk di atas tempat tidur Rani yang setiap hari terlihat acak-acakan. Setiap hari memang hanya aku yang selalu merapihkan kamar anak gadisku, tapi sebelum-sebelumnya tak pernah kutemukan benda aneh di situ.

Aku mengusap dadaku yang terasa lemah. Pikiranku melayang tak tentu arah. Antara marah dan khawatir berkecamuk di dalam dada. Apa memang Rani telah lancang membawa lawan jenisnya ke dalam kamar? Mengapa aku bisa kecolongan begini.

"Awas kamu, Rani! Tega sekali kamu mengecewakan, Mamah!" ancamku yang masih saja duduk di atas tempat tidur Rani.

Hari ini aku benar-benar tak berselera untuk bekerja. Aku bahkan meminta Mba Parni saja untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Mba Parni, wanita berusia empat puluh lima tahun adalah tetangga di belakang rumah yang memang selalu membantuku meringankan pekerjaan rumah.

"Bu Mia terlihat pucat. Ibu istirahat saja ya. Biarkan Mba saja yang membereskan semuanya," kata Mba Parni dengan perhatiannya.

Aku mengangguk dengan keadaan tubuh yang benar-benar terasa lesu. Aku sudah tidak sabar menunggu Rani pulang. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ingin aku sodorkan kepada anakku itu.

Namun, hari ini waktu bergulir terasa lama. Bahkan menunggu pulang sekolah Rani saja serasa satu minggu. Aku tak nafsu makan. Sungguh alirah darah di dalam tubuhku terasa panas. Aku memijat pelipis sampai suara Mba Parni membuyarkan lamunanku.

"Bu Mia, ini saya sudah buatkan sarapan. Ibu makan dulu ya. Jangan sampai sakit, Bu," kata Mba Parni seraya menyodorkan nampan yang berisi nasi beserta lauk-pauknya di atas meja.

Aku menghela napas pendek. Saat ini aku merasa bingung. Saat Mba Parni hendak berlalu, aku pun segera menahannya.

"Tunggu, Mba Parni!" panggilku pada tetangga yang juga selalu membantu urusan pekerjaan di rumahku.

"Iya. Kenapa, Bu." Mba Parni mengurungkan niat. Lalu ia menghampiriku dan duduk di sampingku.

"Saya ingin bertanya pada, Mba Parni. Tolong jawab jujur," pintaku sebelum memulai percakapan.

"Ada apa ini, Bu? Saya jadi deg-degan," balas Mba Parni dengan tegang.

"Selama ini yang membuang sampah selalu, Mba Parni. Menyapu halaman belakang juga, Mba Parni. Bahkan mencuci pakaian pun selalu, Mba Parni. Apakah Mba Parni-" Belum selesai aku mengeluarkan isi kepalaku, akan tetapi Mba Parni segera memotongnya

"Maksudnya apa, Bu? Saya tidak pernah mengambil barang apa pun di sini," potong Mba Parni begitu lirih. Rupanya Mba Parni salah sangka.

"Mba, dengarkan saya dulu. Bukan seperti itu maksud saya," pintaku yang segera dibalas anggukan kepala oleh Mba Parni.

Mba Parni tampak tegang, padahal ini bukan tentang dirinya. Aku pun segera melanjutkan pertanyaanku kepada Mba Parni.

"Apakah Mba Parni pernah menemukan benda aneh pada tempat sampah di rumah ini?" tanyaku segera. Aku menatap wajah Mba Parni dengan tatapan cemas. Kuusap kening ini yang terasa pusing. Semoga saja Mba Parni mengetahui sesuatu.

"Benda aneh? Seperti apa itu, Bu?" Sambil mengernyitkan dahi, Mba Parni malah berbalik tanya kepadaku.

"Ya benda aneh apa saja, Mba. Misalkan seperti alat kontrasepsi pria atau wanita. Atau apalah yang aneh-aneh. Sebab saya tak pernah menyimpan barang aneh di rumah ini," ujarku.

Mba Parni terlihat berpikir. Bola matanya memutar ke kanan dan ke kiri. Sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu.

"Kalau menurut saya, alat kontrasepsi bukan benda yang aneh kan, Bu?" Mba Parni lagi-lagi berbalik tanya kepadaku.

"Memangnya Mba Parni pernah menemukan benda itu?" Tentu saja aku bertanya lagi dengan penasaran. Mengingat, aku dan Mas Fery tak menggunakan alat kontrasepsi karena kami sedang melakukan program kehamilan. Lagi pula usiaku masih tiga puluh enam tahun dan masih bisa memiliki anak lagi.

"Pernah, Bu," jawab Mba Parni yang tentu saja sekaligus menghancurkan perasaanku.

"Serius, Mba! Dimana? Berapa kali?" Aku kembali mencerca Mba Parni dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin membuatnya merasa aneh.

"Saya pikir itu milik, Bu Mia. Saya rasa biasa saja. Saya melihat beberapa kali di tempat sampah dekat kamar mandi. Terlihat seperti alat kontrasepsi pria. Saya membuangnya begitu saja. Saya pikir mungkin milik, Bapak," jelas Mba Parni tampak biasa saja.

Aku menggelengkan kepala. Menutup mulutku yang menganga karena terkejut. Aku dan Mas Fery tak menggunakan alat itu. Lalu, siapa pemilik alat kontrasepsi pria itu? Rani benar-benar mencurigakan. Aku menjadi semakin yakin anak gadisku itu telah berbuat nakal di kamarnya. Tapi, pria mana yang telah merenggut kesuciannya?

Air mataku seketika luruh di pipi. Aku tak dapat lagi membendungnya. Sebagai seorang Ibu, tentu saja aku merasa kecewa. Rani adalah anakku satu-satunya. Aku berharap penuh kepadanya. Aku menggantungkan harapan kepadanya untuk sebuah kata kebahagiaan. Aku harus menyelidiki lelaki yang telah lancang masuk ke rumahku dan menghancurkan masa depan Rani.

"Ibu kenapa menangis?" Mba Parni bertanya saat melihat air mata ini mengalir deras di pipi. Pasti Mba Parni khawatir karena aku bisa melihat dari tatapannya.

"Alat kontrasepsi itu bukan punya saya, Mba. Saya dan Mas Fery tak pernah menggunakan itu. Saya khawatir, Mba. Saya khawatir kalau itu benar milik Rani," lirihku dengan sendu mengeluarkan rasa sedih dan kecewa di dalam dadaku. Bisa-bisanya aku kecolongan. Mba Parni bahkan sudah beberapa kali menemukan benda menjijikan itu. Kemana saja aku selama ini yang sekali pun tak pernah mencurigai Rani.

"Sudah, Bu. Tenang ya." Mba Parni mengusap bahuku. Dia berusaha menenangkan kegundahanku.

"Siapa laki-laki yang menghancurkan masa depan, Rani?" Aku kembali bertanya-tanya. Sementara tangisan ini tetap saja tak mau berhenti.

Mba Parni menggelengkan kepalanya. "Saya tidak pernah melihat lelaki mana pun masuk ke rumah ini, Bu," tuturnya.

"Iya, Mba. Saya benar-benar kecolongan," balasku.

Aku segera mengusap wajah ini yang telah basah oleh air mata. Ku hela napas begitu dalam lalu ku keluarkan dengan perlahan. Aku hanya berusaha menenangkan perasaanku yang kini terasa hancur karena telah gagal sebagai orang tua.

"Saya harus memiliki bukti, Mba. Apa yang harus saya lakukan. Saya yakin Rani akan mengelak." Aku berbicara lagi pada Mba Parni sekedar mengharap masukan. Aku yakin kalau Rani akan kembali mengelak dan marah saat aku bertanya tanpa bukti, seperti suara desahan di kamar Rani malam lalu.

"Bagaimana kalau Ibu Mia pasang CCTV saja, Bu. Bukankah kita akan tahu siapa saja yang masuk ke rumah ini walau pun tengah malam," celetuk Mba Parni memberikan saran yang bagus.

Aku menyeringai. Aku bahkan tak kepikiran soal itu. Rumah ini memang belum memasang CCTV karena masih baru kami tempati.

"Mba Parni benar. Saya akan pasang CCTV. Saya harap tak ada yang tahu mengenai pembicaraan kita saat ini. Cukup kita berdua yang tahu ya, Mba. Ini sangat rahasia," pintaku dengan sangat pada Mba Parni.

Tentu saja Mba Parni segera mengangguk. Tetangga yang sekaligus selalu membantu pekerjaanku itu memang baik dan menganggapku sebagai saudaranya. Maka dari itu aku tak segan-segan memberikan lembaran uang kertas berwarna merah kepadanya.

Comments (10)
goodnovel comment avatar
Umah Afifah
curiga sama mas fery thor kece ku......
goodnovel comment avatar
faizal zal
km mau seperti itu ga hehehe
goodnovel comment avatar
Ai Siti Rahmayati
ya. si Rani ada main sama suaminya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status