Aku membeliak ke arah Yusuf yang tengah menyetir mobil. Memang seperti aneh kelihatannya. Selama ini Yusuf memang selalu menyetir mobil sendiri karena enggan diantar supir. Padahal dia mampu membayar supir. Katanya dia lebih suka menyetir sendiri.Tapi bukan tentang itu yang membuatku heran. Aku hanya heran melihat wajah Yusuf yang nampak terkejut saat mendengar penuturanku tadi."Kenapa, Pak?" Gegas aku memberanikan diri bertanya sekedar basa-basi."Ah tidak apa-apa. Saya hanya gagal fokus saja," alasannya."Kok gagal fokus. Kenapa?" Aku bertanya lagi karena penasaran."Ah lupakan saja. Jangak banyak bertanya karena saya sedang menyetir mobil," pinta Yusuf. Aku langsung diam.Sesekali aku melirik ke arah Yusuf yang raut wajahnya nampak berubah. Padahal awalnya biasa saja. Ingin kubertanya tapi urung kulakukan. Yusuf sudah memintaku diam. Lagi pula jika itu yang dia inginkan, tandanya dia tak bisa menjelaskan.Setelah ucapanku tadi. Yusuf hanya diam saja sampai kami tiba di kantor. Di
Aku mengatur napas pelan. Rupanya kisah Yusuf sama halnya denganku. Sungguh memilukan. Aku memang sempat mendengar kabar burung mengenai kisah itu namun enggan mencari tahu. Kini aku sudah sudah tahu kisah sebenarnya dari Yusuf."Sabar ya, Pak." Hanya itulah kata yang mampu keluar dari mulutku. Tak ada kata lain yang seindah syair guna menenangkan perasaan Yusuf. Aku pernah berasa di posisi seperti dia sampai tak tahu harus berbuat apa kala itu."Beruntung rasa sabar memang masih tertanam di dalam hati. Meski sulit, saya tetap berusaha kuat. Sampai akhirnya Khaila juga merasakan pedihnya dikhianati. Batin saya sebagai seorang kakak kandung merasa hancur. Beruntung jiwanya masih bisa diselematkan. Khaila terlihat lebih baik dari sebelumnya," lanjut Yusuf masih dengan cerita sendunya.Aku paham, aku hanya bisa diam. Aku dan Khaila hanyalah korban dari satu nama wanita yang kini telah tiada."Saya sulit untuk bangkit. Merasa kalau di dunia ini memang nyaris tak mungkin ada kesetiaan dari
Malam ini memang hanya ada Yusuf dan aku. Sementara pengunjung yang lain, nampak berada di kejauhan. Lalu, apa yang dimaksud dengan ucapan Yusuf itu. Ceritanya semakin aneh. Namun dia tetap dalam keadaan santai. Mengulum senyum, menatap ke arahku tanpa sedikit pun memalingkan ke arah yang lain. Aku tak jadi benar-benar tidak nyaman dengan sikap Yusuf saat ini."Kamulah orangnya, Mia."Aku tercengang. Isi dadaku tiba-tiba bergemuruh. Yusuf menyebut namaku. Apa yang dia maksud, wanita itu adalah aku? Aku masih mematung. Bibirku merapat. Aku tak bisa bicara."Kok saya?" Hanya dua kata yang keluar dari mulut ini dengan wajah kaku. Aku masih bertanya. Aku berharap ada yang salah dengan pendengaran ini."Ya, kamulah wanita yang selalu mengganggu pikiran saya. Saya sampai tidak bisa tidur karena memikirkan kamu. Saya bagaikan orang gila yang sehari-hari melihat wajah kamu di pelupuk mata." Yusuf mengutarakan isi hatinya.Aku kembali diam. Perasaan sungguh tidak karuan. Tangan ini bahkan tera
Namun, harapanku pudar. Semuanya nyata dan bukan sekedar mimpi belaka. Yusuf mengantarkanku pulang. Sepenjang perjalanan aku hanya diam. Sempat Yusuf bertanya. Aku hanya bisa mengukir senyuman palsu. Senyuman yang tak terukir dari hati.Semenjak pernyataan Yusuf tadi, aku menjadi kaku. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku tak bebas bergerak seperti sebelumnya. Seperti ada dinding pembatas.Aku telah sampai rumah. Aku melambaikan tangan saat Yusuf hendak pergi. Aku masuk ke rumah lalu meluruhkan tubuh ini di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar.Sungguh malam ini adalah malam yang tak terlalu indah. Masih terngiang di telinga ini saat Yusuf mengutarakan isi hatinya tepat di hadapanku.Aku menggelengkan kepala. Harusnya Yusuf tak melakukan itu kepadaku. Aku tidak mau ada dinding pembatas diantara kita. Aku hanya ingin semuanya terlihat biasa saja sebagai mana biasanya. Aku hanya ingin bersahabat saja. Aku hanya ingin bekerja dengan baik agar Yusuf yang nota bene sebagai atasank
Aku sedikit dibuat kesal oleh Yusuf. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aku harus segera mandi dan siap-siap.Ini kan hari minggu, harusnya kan istirahat dan bersantai di rumah. Ini malah disuruh siap-siap dan akan dijemput.Setelah selesai dengan aktivitas mandi dan memakai baju, aku segera pergi ke dapur. Baru saja aku ingat kalau aku belum memiliki makanan untuk sarapan. Gegas aku mencari makanan ke depan komplek. Kutemukan abang tukang bubur yang masih berjualan di pinggir jalan.Aku membeli satu porsi bubur ayam dan dibawa pulang untuk sarapan. Satu porsi bubur ayam langsung kulahap di meja makan. Lumayan untuk menambah tenaga dalam memulai aktivitas.Tak lama, aku mendengar suara pintu nampak diketuk. Aku melihat pada jam di dinding rumah. Waktu masih menunjukan pukul setengah sebelas. Masih setengah jam lagi waktu Yusuf menjemput. Tapi mengapa dia malah datang lebih cepat.Aku menggelengkan kepala. Mengapa cepat sekali datangnya. Aku beranjak dari tempat duduk saat suara pint
Lega sekali rasanya setelah Fery berlalu pergi. Semoga saja dia tak akan datang lagi ke rumahku dengan tujuan basa-basi menganggu hari-hariku."Mau ngapain Fery datang ke sini?" Yusuf bertanya sekaligus membangunkan lamunan singkatku.Aku terkejut. Bisa-bisanya aku lupa kalau ada Yusuf di dekatku."Saya juga tidak tahu, Pak. Akhir-akhir ini dia selalu saja mengganggu saya. Dia menjadi sering datang ke rumah ini. Padahal saya tak pernah memberitahukan keberadaan rumah ini kepadanya," jelasku."Mungkin dia masih mencintai kamu, Mia." Yusuf malah menggodaku."Lupakan soal cinta, Pak. Pengkhianat seperti dia cintanya pada semua wanita," bantahku segera.Bisa dibilang saat ini, aku tak begitu yakin dengan namanya cinta dari seorang lelaki. Namun entah dengan esok. Tuhan yang maha membulak-balikan hati manusia, yang kapan saja bisa berubah."Fery benar-benar telah merusak perasaan kamu, Mia," celetuk Yusuf.Aku menurunkan tatapan. "Saya harap lelaki itu sadar dan tak mengganggu hidup saya l
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, kini kami telah tiba di sebuah taman wisata yang pemandangannya sangat indah dalam pandangan. Udara sejuk yang seketika menenangkan hati. Menusuk ke dalam tulang. Beruntung aku tak salah memakai pakaian. Aku memakai baju tebal dan hangat.Sebuah taman wisata yang terletak di kawasan puncak cisarua Bogor. Warna-warni bunga yang elok di pandang mata membuat siapa saja pasti akan merasa tenang saat berada di sini.Tak kusangka kalau Yusuf akan membawaku ke tempat seindah ini. Tempat yang dikelilingi perkebunan teh di sekelilingnya. Aku dan Yusuf duduk di kursi kayu yang terbuat dari bahan jati. Di atas meja sudah tersedia aneka makanan penghangat tubuh. Kami menikmati kesejukan suasana di kota Bogor. Sedikit melepaskan kepenatan dan panasnya suasana di Ibu kota."Kamu suka makanannya?" Yusuf bertanya dengan perhatiannya. Mungkin dia ingin memastikan makanan yang dipesannya karena dia yang pesan sendiri."Enak kok. Pedas, manis, gurih, dan pan
Tak terasa aku sudah sampai di sebuah tempat yang jauh dari Yusuf. Aku melihat ke belakang, tak nampak lagi wajah Yusuf dalam pandanganku.Gemuruh di dalam dada masih terasa. Jantung ini berdegup masih dengan kencangna. Aku sudah berada di tepi jalan. Jalan pintu keluar. Sepertinya aku tak bisa bertemu Yusuf untuk saat ini. Sungguh aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri saat ini.Aku bergegas memesan taksi online pada aplikasi di dalam ponselku. Sambil menunggu, aku melihat ke belakang. Melihat ke arah kiri dan kanan memastikan kalau Yusuf tak ada di dekatku.Tiga menit menunggu, aku melihat pesanan mobil online telah tiba. Gegas aku masuk."Jalan, Pak," titahku pada driver taksi online.Mobil online segera melaju meninggalkan area taman wisata yang indah itu. Perasaan ini tidak karuan. Sungguh aku tak bisa memahami apa yang sedang aku rasakan saat ini.Aku memegang bibir yang masih terasa hangat. Kumis tipis yang tajam masih terasa menggelitik permukaan kulitku. Aku menggelengkan