"Kekasih?" Aku mengulangi ucapan Reyno.Kepala Reyno mengangguk seperti mengiyakan. "Kekasih siapa?" tanyaku."Bukankah pria yang tempo lalu datang adalah kekasih, Mba Mia?" Aku menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Reyno. "Bukan. Itu bos saya di kantor," jawabku dengan yakin."Oh begitu. Saya pikir kekasih, Mba Mia. Makanya saya langsung pergi," celoteh Reyno.Aku menggelengkan kepala lagi. Ada-ada saja memang. Aku juga langsung pamit pada Reyno, saat rasa kantuk tiba-tiba datang."Pak Reyno, mohon maaf sekali. Seprtinya rasa ngantuk sudah datang. Badan saya tiba-tiba lemas." Dengan hati-hati aku berucap."Oh iya, Mba Mia. Lagi pula saya juga memang harus pulang karena besok pagi-pagi ada pekerjaan," balas Reyno tampak tidak keberatan.Reyno beranjak dari tempat duduk kali ini dengan raut wajah yang terlihat berseri-seri. "Saya pamit pulang ya, Mba Mia," ucapnya."Iya, Pak Reyno. Oh iya ini martabaknya bawa." Aku mengangkat plastik putih yang Reyno letakan atas meja."Tidak, Mba
Aku membeliak ke arah Yusuf yang tengah menyetir mobil. Memang seperti aneh kelihatannya. Selama ini Yusuf memang selalu menyetir mobil sendiri karena enggan diantar supir. Padahal dia mampu membayar supir. Katanya dia lebih suka menyetir sendiri.Tapi bukan tentang itu yang membuatku heran. Aku hanya heran melihat wajah Yusuf yang nampak terkejut saat mendengar penuturanku tadi."Kenapa, Pak?" Gegas aku memberanikan diri bertanya sekedar basa-basi."Ah tidak apa-apa. Saya hanya gagal fokus saja," alasannya."Kok gagal fokus. Kenapa?" Aku bertanya lagi karena penasaran."Ah lupakan saja. Jangak banyak bertanya karena saya sedang menyetir mobil," pinta Yusuf. Aku langsung diam.Sesekali aku melirik ke arah Yusuf yang raut wajahnya nampak berubah. Padahal awalnya biasa saja. Ingin kubertanya tapi urung kulakukan. Yusuf sudah memintaku diam. Lagi pula jika itu yang dia inginkan, tandanya dia tak bisa menjelaskan.Setelah ucapanku tadi. Yusuf hanya diam saja sampai kami tiba di kantor. Di
Aku mengatur napas pelan. Rupanya kisah Yusuf sama halnya denganku. Sungguh memilukan. Aku memang sempat mendengar kabar burung mengenai kisah itu namun enggan mencari tahu. Kini aku sudah sudah tahu kisah sebenarnya dari Yusuf."Sabar ya, Pak." Hanya itulah kata yang mampu keluar dari mulutku. Tak ada kata lain yang seindah syair guna menenangkan perasaan Yusuf. Aku pernah berasa di posisi seperti dia sampai tak tahu harus berbuat apa kala itu."Beruntung rasa sabar memang masih tertanam di dalam hati. Meski sulit, saya tetap berusaha kuat. Sampai akhirnya Khaila juga merasakan pedihnya dikhianati. Batin saya sebagai seorang kakak kandung merasa hancur. Beruntung jiwanya masih bisa diselematkan. Khaila terlihat lebih baik dari sebelumnya," lanjut Yusuf masih dengan cerita sendunya.Aku paham, aku hanya bisa diam. Aku dan Khaila hanyalah korban dari satu nama wanita yang kini telah tiada."Saya sulit untuk bangkit. Merasa kalau di dunia ini memang nyaris tak mungkin ada kesetiaan dari
Malam ini memang hanya ada Yusuf dan aku. Sementara pengunjung yang lain, nampak berada di kejauhan. Lalu, apa yang dimaksud dengan ucapan Yusuf itu. Ceritanya semakin aneh. Namun dia tetap dalam keadaan santai. Mengulum senyum, menatap ke arahku tanpa sedikit pun memalingkan ke arah yang lain. Aku tak jadi benar-benar tidak nyaman dengan sikap Yusuf saat ini."Kamulah orangnya, Mia."Aku tercengang. Isi dadaku tiba-tiba bergemuruh. Yusuf menyebut namaku. Apa yang dia maksud, wanita itu adalah aku? Aku masih mematung. Bibirku merapat. Aku tak bisa bicara."Kok saya?" Hanya dua kata yang keluar dari mulut ini dengan wajah kaku. Aku masih bertanya. Aku berharap ada yang salah dengan pendengaran ini."Ya, kamulah wanita yang selalu mengganggu pikiran saya. Saya sampai tidak bisa tidur karena memikirkan kamu. Saya bagaikan orang gila yang sehari-hari melihat wajah kamu di pelupuk mata." Yusuf mengutarakan isi hatinya.Aku kembali diam. Perasaan sungguh tidak karuan. Tangan ini bahkan tera
Namun, harapanku pudar. Semuanya nyata dan bukan sekedar mimpi belaka. Yusuf mengantarkanku pulang. Sepenjang perjalanan aku hanya diam. Sempat Yusuf bertanya. Aku hanya bisa mengukir senyuman palsu. Senyuman yang tak terukir dari hati.Semenjak pernyataan Yusuf tadi, aku menjadi kaku. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku tak bebas bergerak seperti sebelumnya. Seperti ada dinding pembatas.Aku telah sampai rumah. Aku melambaikan tangan saat Yusuf hendak pergi. Aku masuk ke rumah lalu meluruhkan tubuh ini di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar.Sungguh malam ini adalah malam yang tak terlalu indah. Masih terngiang di telinga ini saat Yusuf mengutarakan isi hatinya tepat di hadapanku.Aku menggelengkan kepala. Harusnya Yusuf tak melakukan itu kepadaku. Aku tidak mau ada dinding pembatas diantara kita. Aku hanya ingin semuanya terlihat biasa saja sebagai mana biasanya. Aku hanya ingin bersahabat saja. Aku hanya ingin bekerja dengan baik agar Yusuf yang nota bene sebagai atasank
Aku sedikit dibuat kesal oleh Yusuf. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aku harus segera mandi dan siap-siap.Ini kan hari minggu, harusnya kan istirahat dan bersantai di rumah. Ini malah disuruh siap-siap dan akan dijemput.Setelah selesai dengan aktivitas mandi dan memakai baju, aku segera pergi ke dapur. Baru saja aku ingat kalau aku belum memiliki makanan untuk sarapan. Gegas aku mencari makanan ke depan komplek. Kutemukan abang tukang bubur yang masih berjualan di pinggir jalan.Aku membeli satu porsi bubur ayam dan dibawa pulang untuk sarapan. Satu porsi bubur ayam langsung kulahap di meja makan. Lumayan untuk menambah tenaga dalam memulai aktivitas.Tak lama, aku mendengar suara pintu nampak diketuk. Aku melihat pada jam di dinding rumah. Waktu masih menunjukan pukul setengah sebelas. Masih setengah jam lagi waktu Yusuf menjemput. Tapi mengapa dia malah datang lebih cepat.Aku menggelengkan kepala. Mengapa cepat sekali datangnya. Aku beranjak dari tempat duduk saat suara pint
Lega sekali rasanya setelah Fery berlalu pergi. Semoga saja dia tak akan datang lagi ke rumahku dengan tujuan basa-basi menganggu hari-hariku."Mau ngapain Fery datang ke sini?" Yusuf bertanya sekaligus membangunkan lamunan singkatku.Aku terkejut. Bisa-bisanya aku lupa kalau ada Yusuf di dekatku."Saya juga tidak tahu, Pak. Akhir-akhir ini dia selalu saja mengganggu saya. Dia menjadi sering datang ke rumah ini. Padahal saya tak pernah memberitahukan keberadaan rumah ini kepadanya," jelasku."Mungkin dia masih mencintai kamu, Mia." Yusuf malah menggodaku."Lupakan soal cinta, Pak. Pengkhianat seperti dia cintanya pada semua wanita," bantahku segera.Bisa dibilang saat ini, aku tak begitu yakin dengan namanya cinta dari seorang lelaki. Namun entah dengan esok. Tuhan yang maha membulak-balikan hati manusia, yang kapan saja bisa berubah."Fery benar-benar telah merusak perasaan kamu, Mia," celetuk Yusuf.Aku menurunkan tatapan. "Saya harap lelaki itu sadar dan tak mengganggu hidup saya l
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, kini kami telah tiba di sebuah taman wisata yang pemandangannya sangat indah dalam pandangan. Udara sejuk yang seketika menenangkan hati. Menusuk ke dalam tulang. Beruntung aku tak salah memakai pakaian. Aku memakai baju tebal dan hangat.Sebuah taman wisata yang terletak di kawasan puncak cisarua Bogor. Warna-warni bunga yang elok di pandang mata membuat siapa saja pasti akan merasa tenang saat berada di sini.Tak kusangka kalau Yusuf akan membawaku ke tempat seindah ini. Tempat yang dikelilingi perkebunan teh di sekelilingnya. Aku dan Yusuf duduk di kursi kayu yang terbuat dari bahan jati. Di atas meja sudah tersedia aneka makanan penghangat tubuh. Kami menikmati kesejukan suasana di kota Bogor. Sedikit melepaskan kepenatan dan panasnya suasana di Ibu kota."Kamu suka makanannya?" Yusuf bertanya dengan perhatiannya. Mungkin dia ingin memastikan makanan yang dipesannya karena dia yang pesan sendiri."Enak kok. Pedas, manis, gurih, dan pan
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe