Pov Kevin**Kepalaku terasa berdenyut nyeri saat aku melihat Ibu dan juga Tante Nania sedang bertengkar. Dan kesal sekali rasanya saat melihat Mbak Raya yang membiarkan mereka bertengkar. Aku berteriak dengan penuh rasa geram, meminta pada mereka agar menghentikan pertengkaran mereka. Ternyata Tante Nania datang ke sini untuk mengambil motor N-yamuk yang dulu Tante Nania belikan untuk Mbak Raya. Dan lagi-lagi Ibu membuat ulah. Ibu berusaha menahan motor itu agar tak jatuh ke tangan pemiliknya. Rasanya aku semakin jengah melihat tingkah Ibu yang semakin menjadi. Rasanya aku sudah benar-benar lelah dan malu pada Tante Nania. Aku pun memerintahkan Tante Nania dan Mbak Raya untuk segera mengambil motornya. "Dasar anak sialan! Lepaskan tanganku!"Aku pun melepaskan cekalan tanganku setelah motor yang dikendarai oleh Mbak Raya itu keluar dari halaman. Sempat Ibu berteriak histeris motor yang sempat menjadi kebanggaannya itu. "Sudahlah, Bu. Motor itu memang milik mereka," ucapku. C
Pov Author**Di sepanjang perjalan, Kevin terus menguatkan hati kalau langkahnya saat ini sudah tepat. Sebenarnya tak tega rasanya meninggalkan keluarga di saat dalam kondisi yang begitu terpuruk. Akan tetapi, kali ini Kevin sudah merasa benar-benar dibuat jengah. Kata balas budi yang dilontarkan oleh Sang ibu menjadi makanan sehari-hari, hingga membuat lelaki itu hidup dalam penuh penekanan. "Maafkan aku, Bu, bukan aku bermaksud melupakan jasamu padaku. Tapi aku sungguh sudah tak sanggup kalau terus-terusan ditekan seperti ini. Aku juga punya hati, Bu, aku juga ingin disayang dan dicinta layaknya mas David," batin Kevin. Lelaki itu pun mengusap wajahnya dengan kasar kala bayangan Ibu yang dalam kondisi menyedihkan terus melintas di pelupuk matanya. Kevin menyandarkan tubuhnya di sandaran jok mobil, hingga lambat laun kedua netra itu tertutup. Lelah jiwa dan raga Kevin karena masalah yang sedang menerpa keluarga tercinta. Sedangkan di tempat lain, Arita terus mengumpat. Sumpah s
Arita yang semakin dibuat kesal itu berjalan menuju ke arah almari, membukanya lalu meraih kotak perhiasan yang akan ia jual. Sebenarnya berat sekali untuk Arita menjual semua perhiasan miliknya. Akan tetapi, keadaan memaksanya untuk melakukan hal demikian. Semua demi kebebasan anak lelaki dan juga akan tergantikan dengan harta gono-gini yang akan ia dapatkan. Begitulah tekat dari seorang perempuan yang bergelar ibu. Arita mengeluarkan satu per satu perhiasan, berikut dengan surat-suratnya. Ia memasukkan benda berharga itu ke dalam salah satu kotak yang berbahan beludru berwarna merah. Setelah masuk semuanya, dimasukkannya ke dalam tas miliknya. Arita menggantungkan tas itu di lengan kanannya lalu berjalan menuju ke luar rumah untuk menghentikan taksi.Mobil berwarna biru itu melesat membelah jalan raya, berjalan menuju ke arah salah satu toko emas yang tadi sempat disebutkan Arita kepada Sang sopir. Arita menghembuskan napas berat lalu membuka pintu mobil setelah membayar tagihan
"Siap, Pa!" jawab Raya dan Nania lagi bebarengan. Bahkan kedua jempol milik sepasang ibu dan anak itu sama-sama terangkat dan mengarah ke arah Guntur. Raya dan Nania pun saling menatap, lalu pecahlah akhirnya tawa mereka.Setelah kepergian Guntur, Nania dan juga Raya bergegas menuju ke komplek di mana Arita tinggal. Setelah sebelumnya Arita menghubungi jasa alat berat untuk eksekusi nanti. Tentu saja mereka tidak mau gegabah karena takut nantinya akan jadi bumerang bagi mereka. "Ma, apa yakin kita mau melakukan ini?" tanya Raya pada Nania sebelum mobil yang mereka tumpangi beranjak. "Sangat yakin," ucap Nania mantap. "Kalau si nini-nini peot itu ngelaporin kita gimana secara dia yang punya surat tanahnya?" tanya Raya lagi. Meskipun tampak tenang di wajahnya tapi tetap tidak bisa dipubgkiri kalau Raya juga sedikit cemas akan hal itu. Sedikit banyaknya Raya juga mengerti soal hukum ia takut akan menjadi bumerang bagi dirinya dan sang mama. "Hahahaha," tawa Nania membahana mmbuat Ra
"Jdi rumah si pendukung zina itu mau dirobohkan ya, Pak?" tanya bu rt yang terjyata sejak tadi menguping pembicaraan sang suami dengan Nania dan raya. "Astaghfirullahaladzim, Bu, bikin kaget saja." Pak rt mengusap-usap dadanya lantaran terkejut dengan suara istrinya yang kinu tepat berada di sampingnya. "Hehehe, maaf, Pak, soalnya Ibu kepo sih." "Yah seperti yang Ibu dengar tadi. Mau dirobohkan katanya. Lagian itu memang hak mereka atas bangunan itu kan." "Iya, Pak, lagian biarin aja biar kapok. Ibunya merasa tertipu sama bentukannya si Arita terlihat alim dan paham agama rupanya topeng untuk menutupi kebusukannya ih amit-amit. Masa tahu anaknya zina sama istri adiknya dia diam saja. Kan sudah gak beres namanya. Ibu saja merasa tertipu apalagi mereka. Orang tua mana yang terima anaknya ditipu mentah-mentah begitu. Mana ternyata mereka pengeretan lagi hih amit-amit semoga kita besok gak punya besan yang begitu ya, Pak," cerocos istri pak rt panjang lebar. "Yah berdoa saja semoga a
Nania dan Raya hanya menonton pertunjukkan seru itu sembari mengunyah permen karet. Yah, selain Raya, ternyata Nania juga ikut-ikutan mengunyah permen karet karena ternyata dia ketagihan. "Ternyata enak ya mengunyah permen karet sambil menyaksikan pertunjukkan seru begini," seloroh Nania kepada Raya. "Enak dong, Mama sih telat taunya. Tapi hati-hati ntar tuh gigi copot lagi. Kan gak lucu kalau ada berita nanti begini misalnya. Diberitakan ada seorang Nenek yang copot giginya karena terlalu asyik mengunyah permen karet saat sedang menonton rumah besannya dihancurkan!" ucap Raya yang dibalas toyoran di kepala Raya oleh Nania. "Enak aja kalau ngomong. Nini-nini begini nih gigi masih ori tau, sekate-kate kalau cuap." "Hihihi, ya habis Mama suka banget ikut-ikutan gaya Raya. Raya masih muda sedang Mama sudah tuir," ucap Raya cekikikan. Kini suara cekikikan itu berubah menjadi kesakitan akibat telinganya dijewer oleh Nania. "Hayo berani ngeledekin Mama lagi? Tuh telinga putus nanti dua
"Seperti yang kamu lihat. Mama kan jagoan, kalau begini saja sih kecil," seloroh Nania sembari tersenyum pada Raya. Ia menyembunyikan rasa perih di kepalanya karena tidak mau membuat sang anak khawatir. Begitulah cinta kasih ibu kepada anak. Meski sang anak sudah berumah tangga dan sudah berusia dewasa tidak bisa menghilangkan rasa kasih dans sayangnya pda anak. Meskipun harus mempertaruhkan nyawanya sekalipun."Syukurlah kalau Mama baik-baik saja. Kita pulang aja yuk, Ma. Lihatlah, semakin ramai orang yang ada di sini," ucap Raya yang sebenarnya tak ingin ada lagi pertengkaran di antara mereka. Raya benar-benar khawatir terhadap sang Mama, meskipun Raya sendiri yakin kalau sang Mama bisa melindungi dirinya. "Kamu yakin mau pulang sekarang? Kamu nggak mau melihat rumah ini rata dengan tanah terlebih dahulu? Kamu nggak mau monster itu meluluhlantakkan bangunan ini agar rata dengan tanah, Raya?" Dengan cepat Raya menggelengkan kepalanya. "Baiklah, kita pulang sekarang," ucap Nania y
"Aku harus ke rumah Weni," lirih Arita setelah sedikit berhasil menenangkan gejolak batinnya. Bergegas Arita pun membawa tas miliknya yang berisi sisa uang pembayaran uang muka sewa pengacara, senilai dua juta dan ditambah uang pemberian dari Nania dua juta. Arita menghentikan laju taksi, bergegas ia masuk ke dalam mobil taksi setelah taksi itu berhenti. Arita pun menyebutkan salah satu alamat yang ditinggali oleh rekannya yang mengenalkan dirinya pada sang pengacara. Ya, Weni namanya. Perempuan yang masih terbilang muda, yang merupakan ketua arisan para ibu-ibu yang mengaku sosialita. Tak bisa dipungkiri, di sepanjang perjalanan, pikiran Arita terus merasa tak tenang. Sebab, di sepanjang perjalanan itu Arita terus berusaha menghubungi nomor sang pengacara. Akan tetapi, jangankan panggilan itu diangkat. Tersambung saja, tidak. Arita mencoba mengirimkan pesan untuk sang pengacara. [Selamat siang, Pak Hans. Apa kita bisa bertemu sekarang?] Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan o
Beberapa bulan kemudianSuara tangisan bayi itu menggema memenuhi ruangan kamar bersalin. Raya meraup udara dalam-dalam, napasnya tersengal-sengal setelah melakukan proses melahirkan secara normal. Ravi yang saat ini berada di samping Raya, menangis tersedu-sedu kala sang istri berhasil melahirkan keturunannya. Bahkan, kali ini Ravi sedang merengkuh kepala sang istri. Air mata mengalir dengan begitu derasnya di kedua manik mata sepasang suami istri itu. "Selamat ya, Bu Raya dan Pak Ravi, bayinya berjenis kelamin laki-laki." Ravi melepaskan rengkuhan pada sang istri, sejenak mereka saling berpandangan. Terpancar suatu kebahagiaan dengan jelas pada wajah Raya dan juga Ravi. "Terima kasih, Sayang ...." Ravi mengelus pucuk kepala sang istri. Tenang Raya yang sepenuhnya belum pulih itu hanya merespon Ravi dengan anggukan kepala. Seorang dokter yang menggendong bayi mungil itu mendekat ke arah keduanya. "Lihatlah, bayinya sangat tampan." Sang dokter menunjukkan wajah bayi mungil itu.
Bab 307Nora tersentak saat menyadari ada seseorang yang menangkap tubuhnya. Ia berusaha meronta-ronta, dan meminta untuk dilepaskan. "Lepas! Lepas, nggak!" Nora berteriak keras tatkala menyadari kalau tubuhnya ditarik oleh seseorang.Mata wanita itu membola saat membalikkan wajahnya untuk melihat siapa yang melakukannya itu. Ia terbelalak, dan seketika rasa panik menggelayuti hatinya. Dia melihat ada delapan orang pria yang sudah mengerubunginya. Bau alkohol yang sangat menyengat langsung terhidu di hidungnya. Ya, orang-orang itu sedang mabuk rupanya. Dan, saat ini Nora adalah mangsa empuk dan lezat bagi mereka.Nora tak bisa membayangkan kalau malam ini dia akan menjadi pemuas nafsu bagi para lelaki mabuk itu. Ia tak pernah membayangkan akan digangbang masal oleh mereka."Pergi! Pergi kalian dari sini!" Nora berteriak setelah cukup lama mengumpulkan keberaniannya. Namun, teriakannya itu sama sekali tak berpengaruh pada mereka. Mereka hanya tertawa saja menanggapi teriakan Nora ya
Bab 306Bryan melangkahkan kaki memasuki beranda rumahnya. Lelaki itu meletakkan kunci mobilnya pada meja hias yang terletak di bawah televisi kemudian melepaskan jaket kulitnya yang berwarna hitam.Kepalanya melihat ke arah lorong yang berjejer pintu-pintu kamar. “Nora,” panggilnya karena ingin segera melihat wajah wanita itu, lelaki itu merasa bosan seharian di luar dan dirinya ingin mendapat pelayanan dari Nora malam ini.Tak ada sahutan saat Bryan memanggil nama wanita itu. “Nora?” panggil Bryan lagi sambil berjalan menuju kamar wanita itu. “Nora? Kenapa dia tidak menjawab?” herannya mengetuk pintu kamar.Tok tok tok …Bryan mengetuk pintu itu sekali lagi dan memanggil-manggil nama wanita pemuas nafsunya itu. Karena lelaki itu tak kunjung mendapatkan sahutan, Bryan pun akhirnya membuka pintu kamar itu dengan paksa.Ketika pintu dibuka, Bryan mendapati ruangan kamar yang kosong tak ada orang. Barang-barang Nora tampak berceceran dan satu hal yang membuat kening Bryan mengkerut. “Pa
"Tetapi sebelum itu, mungkin aku harus membersihkan diri dulu," gumam Nora saat menyadari tubuhnya sudah terasa begitu lengket. Tak ingin semakin membuang waktu, wanita itu pun segera mengambil handuknya yang masih tergantung di balik pintu kamar untuk kemudian melenggang memasuki kamar mandi.Sejenak Nora mengeluarkan senandungnya. Lalu, netra wanita itu tampak berkaca menanti kebebasan yang mungkin sebentar lagi akan dia rasakan."Seharusnya aku melakukan ini sejak lama. Aku benar-benar menyesal karena telah menghabiskan waktu dengan hal penuh dosa ini. Ya Tuhan, masih berkenan kah Engkau memberikan maaf padaku?" gumam Nora yang kini tengah berdiri tepat di bawah guyuran air showernya. Nora benar-benar tak sabar untuk memulai hidup baru yang akan dia isi dengan banyak hal-hal positif.Selesai melakukan ritual mandinya, Nora pun segera bergegas menuju ranjang tidur kemudian pakaian bersihnya untuk kemudian dia kenakan. Nora menatap ke arah kamarnya sesaat. Ruang berukuran sedang ini
Nora tidak sadrakan diri karena apa yang di lakukan Bryan kepadanya. Karena di tidak tahan dengan perlakuan Bryan yang membabi buta kepada Nora, membuat wanita itu berontak, akibatnya kepalanya terbentung kepala ranjang.Bryan langsung meninggalkan Nora begitu saja dan menyuruh anak buahnya untuk memanggilkan tenaga medis untuk menangani Nora. Sedangkan Bryan sendiri pergi entah kemana. Setelah puas melampiaskan hasratnya kepada Nora, lelaki itu merasa fresh dan siap menjalankan aktivitasnya.Sebenarnya Bryan juga sedikit heran dengan dirinya sendiri, entah sejak kapan dia sangat menikmati rasa sakit Nora, apalagi ketika gadis itu berteriak-teriak meminta berhenti dan menyudari permainan mereka, Bryan malah merasa terpacu dan tidak ingin berhenti. Dia merasakan kenikmatan yang luar biasa.Keesokan harinya Nora siuman dalam keadaan tidak bisa berjalan, dia juga merasa tenaganya habis terkuras serasa habis berlari ratusan kilometer.“Aku di mana? Apa yang terjadi padaku?” batin Nora sem
Malam ini, Nora tampil cantik dengan pakaian ketat dan belahan dada rendah. Dia menggunakan lipstik merah merona yang melapisi bibirnya, kalung cantik yang berkilauan, dan sepatu hak tinggi kulit hitam yang membuat kakinya terlihat berjenjang luar biasa.Rambutnya yang gelap dan tebal jatuh hingga ke tengah punggungnya. Sebatang rokok tergantung bebas dari antara bibirnya, sementara dia berjalan dengan sedikit berlenggak-lenggok. Ketika Nora melangkah memenuhi panggilan Brian, pinggulnya bergoyang sangat menawan.Sang Germo itu memandangnya seolah Nora berjalan dalam gerakan lambat. Nora memanglah sangat cantik dan tidak ada yang akan tahu tentang fakta bahwa dia adalah seorang wanita penghibur yang sebenarnya, jika mereka tidak melihatnya di tempat prostitusi.Seorang pelanggan dengan ekspresi wajah terlalu sumringah datang."Selamat malam, Pak?" sapa Brian tak kalah cerianya.Tentu saja dia menyambut dengan ramah sosok pria yang sudah pasti akan menyumbangkan pundi-pundi yang cukup
Bab 302“Please, berhenti, Bryan.” Nora ngos-ngosan dan kesulitan mengambil napas karena sejak tadi Bryan meneruskan ritme goyangan pinggulnya hingga keperkasaan lelaki itu menusuk masuk ke dalam milik sang wanita.“Diamlah! Nikmati saja!” desah Bryan yang kian mempercepat temponya. Lelaki yang posisinya berada di atas itu menopang tubuhnya dengan kedua lengan kekar yang ada di kedua sisi bahu Nora. Bryan menatap wajah Nora dengan keringat yang mengalir di pelipisnya.“T-tapi, ini sudah ronde … ah entahlah, entah ronde keberapa dalam hari ini!” jerit Nora meremas bantal yang mengalasi kepalanya. Dia memicingkan mata menahan rasa perih yang mulai menjalar pada bagian miliknya. Barangkali miliknya akan lecet setelah pergerumulan ini.“Sudah aku bilang! Aku masih belum puas dan ingin terus kau puaskan,” tukas Bryan dengan nada baritonnya. Suaranya yang berat membuat Nora terpaksa menyerah dan membiarkan tubuhnya terus terlentang dengan Bryan yang mendominasinya.Sudah sejak tiga jam lalu
Bab 301“Iya, cuih!” Mira melepeh makanan yang dibuat Amanda setelah sang ibu memaki masakan wanita itu. Dia mengambil tisu dan mengelap sisa makanan di mulutnya.Mira juga mendorong piringnya agar menjauhi pandanganya hingga membuat perasaan Amanda sangat tersakiti dibuatnya.“Maaf, Kak, Mama.” Amanda menunduk masih dengan mengenakan celemek dapur yang melilit pingganya. Dia terduduk di bangku meja makan dan tak mampu mengangkat wajahnya sama sekali.Sang ibu juga jadi tidak selera makan. Sejujurnya dia kesal bukan perkara masakan yang dibuat Amanda, namun omongan tetangga yang tadi dia dengar ketika arisan di rumah salah satu keluarga kaya.“Ibu benar-benar tidak tau lagi bagaimana harus menghadapi kamu, Amanda,” ujar sang Ibu menghela napasnya dengan kasar. Dia memukul-mukul dadanya yang terasa seksak. “Kamu bisanya bikin ibu menderita saja!”Air mata Amanda kembali berlinang. Terserah bila kakak-kakaknya terdengar begitu membencinya, tapi kini ibunya juga ikut kecewa padanya dan m
Amanda memasang wajah sedihnya. Dia benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Tak punya tempat tinggal dan harta. Sama sekali tak pernah terbesit di pikiran jika pada akhirnya nasib yang dia alami akan sesial ini.Amanda menatap kedua saudaranya secara bergantian. Hal itu justru membuat Rudi dan Mira merasa semakin muak. "Ada apa lagi? Mau bicara apa lagi? Masih mau mengelak dan mengatakan kalau semua ini adalah milikmu? Iya!" sentak Mira seolah tak ingin memberikan kesempatan bagi Amanda untuk bicara.Dulu dia sangat menyukai adiknya ini, bagaimana pun Amanda adalah mesin uang yang mudah dimanfaatkan. Amanda selalu siap sedia kala saudaranya membutuhkan pinjaman. Bahkan Amanda tak segan memberikan uang secara cuma-cuma untuk sanak saudaranya yang kekurangan.Namun nyatanya semua kebaikan Amanda itu tak membuat kedua kakaknya merasa harus berbalas budi dan bersikap baik pada Amanda yang sekarang sepertinya telah jatuh miskin. Justru mereka merasa muak dan tak sudi berbaur de