Bab 236Ravi melangkahkan kakinya ke dapur untuk membuatkan susu untuk istrinya. Dengan hati yang berbunga-bunga, karena akhirnya dia ataupun Raya dapat mematahkan tuduhan David tentang Raya yang mandul.Sementara itu, Raya menurut dan hanya duduk manis saja di sofa menunggu Ravi yang tengah membuatkannya susu.Rasanya tak bisa digambarkan bagaimana perasaan Raya saat ini. Ia sangat bahagia saat ini, sampai-sampai tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.Raya tampak mengelus perutnya yang masih rata, dan berbicara dengan calon bayinya."Sayang, rasanya mama nggak sabar buat lihat kamu lahir ke dunia. Sehat-sehat ya di perut mama," ucap Raya sambil mengelus-elus perutnya.Sementara itu, Cahaya yang sedang memakan buah pisang di samping Raya, kebetulan juga mendengar ucapan ibu sambungnya yang sedang berbicara dengan calon adik bayi."Bunda lagi ngomong sama adik bayi, ya?" tanya Cahaya seraya menoleh ke arah Raya.Raya mengulas senyum termanisnya sambil mengusap rambut Cahaya penuh sa
Siang ini suasana rumah keluarga Nania terlihat lebih hangat. Di mana Nania sedang bermain dengan Cahaya di ruang tengah. Bermain dengan begitu riang dan juga penuh dengan gelak tawa.Tentu saja kedekatan antara Nania dan juga Cahaya itu adalah suatu hal yang baru. Seperti namanya, Cahaya benar-benar menjadi segudang cahaya untuk Nania.Wanita paruh baya itu sangat mencintai Cahaya seperti cucunya sendiri. Hal itu tentu juga dirasakan oleh semua orang yang ada di kediaman ini.Mereka semua ikut bahagia melihat nyonya besar di rumah ini juga sangat bahagia karena kehadiran Cahaya.Tetapi ....Tidak semua orang merasakan kebahagian itu. Setidaknya ada satu orang yang sangat tidak menyukai kebahagian, lebih tepatnya kedekatan, antara Nania dan juga Cahaya."Sri! Kenapa kamu melamun aja, sih?"Seketika bentakan yang tak terlalu keras itu, langsung membuyarkan lamunan Bik Sri. Bukan hanya melamun, tetapi Bik Sri sedang mengamati interaksi menyebalkan antara Nania dan juga Cahaya."Kamu itu
Cahaya langsung menerobos masuk ke kamar dan langsung memeluk sang ayah yang sedang duduk di tepi ranjang bersama Raya. "Ayah... Apa benar, kalau nanti adik lucu itu lahir, Ayah dan Bunda nggak akan sayang sama Cahaya lagi?"Mendengar pertanyaan itu, tentu membuat Raya dan Ravi berpandangan, dan setelahnya, pandangan mereka kembali tertuju ke arah gadis mungil itu. "Itu tidak benar sayang, mama dan papa tidak mungkin begitu, sampai kapanpun Cahaya adalah anak kesayangan Ayah dan Bunda," jawab Ravi."Bisakah adik kecil tidak usah dikeluarkan saja, Bunda?" tanya Cahaya dengan polosnya."He he he tidak bisa begitu sayang, masa Cahaya tidak sayang sama adiknya," jawab Raya berusaha memberikan pengertian kepada Cahaya."Tapi aku tidak suka, Bunda, aku tidak mau adik mengambil sayangnya Bunda dan Ayah," sahut Cahaya mengerucutkan bibirnya."Cahaya tidak boleh bilang begitu, tidak baik," seru Ravi.Dia merasa heran, kenapa bisa buah hatinya memiliki pemikiran seperti itu, untuk ukuran anak
Raya tampak sedih, tatapan matanya seakan-akan menyiratkan sebuah rasa kecewa bercampur kesal.Betapa tidak? Sudah beberapa masalah yang timbul dalam hidup Raya, kini ditambah dengan ucapan asisten rumah tangganya kepada anak gadis kesayangannya.Raya pun menyayangkan terkait hal itu, lalu tiba-tiba sebuah tangan kekar menyentuh dan mulai mengelus kepalanya.Wanita itupun mengerjap dan mendelikkan pandangannya kepada sang suami yang tengah mengelusnya dengan lembut."Mas ...," lirihnya dengan suara sedikit bergetar, lalu ia tersenyum simpul disertai helaan napas panjang.Ravi pun tahu betul dengan suasana hati yang tengah dirasakan oleh istrinya. Betapa pedihnya jika lelaki itu harus menyaksikan istrinya yang terlihat begitu sedih, terlebih jika hal tersebut menyangkut anak gadisnya."Sabar ya, Mas tahu kamu kuat. Semoga Cahaya juga percaya dengan penjelasan kita dan melupakan ucapan bi Sri," jelasnya berusaha meyakinkan."Semoga saja ...."Lalu Raya menundukkan kepalanya dengan terus
Bi Sri yang melihat Nania tiba-tiba membuka pintu kamarnya lebar sembari marah-marah pun sontak menolehkan tubuhnya ke arah majikannya itu. Pasalnya dia sendiri tadi sedang menghitung uang lembaran lima puluh ribu rupiah yang tadi sempat dia temukan sewaktu mencuci. Sebenarnya Bi Sri sendiri jelas mengetahui siapa pemilik uang tersebut karena dia menemukannya di salah satu kantong pakaian kotor yang dia tangani. Namun, menurutnya, uang yang telah berada di ranjang kotor atau di dalam pakaian yang telah kotor itu artinya uang tersebut telah dibuang. Dan, manusia yang mau menyia-nyiakan waktunya saat melihat uang terbuang? Sebodoh apa pun mereka pasti akan mengambilnya sembari bersyukur.Hal itu pola yang dilakukan oleh Bi Sri. Mendapatkan lembaran uang berwarna biru di saku pakaian sang majikan merupakan sebuah keberuntungan tersendiri untuknya. Ini jelas bukan pencurian. Ya, setidaknya begitu lah pemahaman yang Bi Sri tanamkan di dalam pikirannya selama ini. Dia bukan mencuri, hanya m
Kata-kata terakhir dari Nania itu hanya berdengung saja, tak ubahya lebah di telinga wanita paruh baya itu. Sehingga, sepeninggalan Nania, Bi Sri menggerutu, "Halah ... cucu sambung saja dituruti. Makin lama kalau dibiarkan saja, ya, makin menjadi semakin manja!""Ya elah ... perkara cuma dibilangi seperti itu saja langsung lapor ke semua orang. Tentu saja gara-gara dia, aku jadi kena omel oleh Bu Nania! Dasar keterlaluan, masa aku harus mengalah pada anak kecil, sih? Memangnya dia itu siapa?""Dulu tidak ada dia di rumah ini, aku jarang sekali kena tegur oleh Bu Nania dan Pak Guntur. Tapi, sejak kedatangan anak itu di rumah ini, malah anakku juga tidak dapat tempat di hati majikanku. Eh, sekarang ketambahan omelan!""Ternyata anak itu tidak bisa diabaikan. Lancang sekali dia mengadukanku, padahal biasanya anak kecil itu kalau dibilangi baik-baik, ya dia tidak berkata macam-macam. Apa memang didikannya dari ayahnya seperti itu, ya? Tidak bisa menyimpan rahasia! Pantas saja ayahnya jug
Prang ...!!!Tiba-tiba saja suara jatuhnya salah satu benda dapur, pun terdengar menggema di sepenjuru dapur. Tentu hal itu langsung menjadi pusat perhatian beberapa pelayan yang ada di sana."Astaga ... kenapa kau menabrakku, Sri?!" geram salah satu pekerja."Kenapa kau menyalahkanku? Justru kaulah yang menabrakku!" Tentu saja bik Sri tak tinggal diam. Dia juga merasa tak bersalah di sini. Oh, bahkan tak pernah merasa bersalah sedikitpun."Kau menghalangi jalan, Sri! Kenapa kau melamun di tengah-tengah jalan seperti ini?!" cerocos rekan kerja bik Sri lagi. "Lihatlah! Bahan-bahan untuk memasak makan malam sekarang berantakan di lantai!"Lantas mendapati tatapan tajam dari rekan kerjanya itu, pun semakin membuat bik Sri menggeram penuh amarah. Bahkan rasanya semua saraf-sarafnya sudah keluar dengan sangat jelas!"Apa? Kau berani membentakku?"
"Aakk!!" pekik Cahaya dengan sangat lantang memenuhi seisi ruang makan tersebut.Kedua mata Cahaya terbelalak dengan kening yang mengerut melihat semua tumpahan makanan yang berada tepat di hadapannya.Gadis kecil itu berpikir sejenak dengan terus memandangi raut wajah bi Sri yang tibatiba saja mengagetkannya dengan sikap yang demikian, bahkan tak terpikirkan olehnya.Ia merasa begitu heran dengan keadaan saat ini, betapa tidak? Anak kecil itu hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya bahkan belum satu sendokpun, bi Sri tiba-tiba mendekat dan menyenggol tangannya hingga semua makanan itu tumpah."Astaga, Non! Kenapa makanannya ditumpahin segala?" ujar bi Sri dengan suara yang sedikit menggelegar.Alih-alih membantu Cahaya membereskan makanannya, bi Sri justru mengumpat bahkan sedikit meneriaki Cahaya, anak kecil yang tak berdosa.Raut wajah bi Sri pun tampa