Begitu sampai di kantor tempatnya bekerja, bergegas Kevin melangkah ke ruangannya. Setelahnya ia mendudukkan tubuhnya di kursi singgasananya setelah meletakkan tas kerjanya di atas meja. Bergegas Kevin membuka tas hitam itu lalu merogoh benda pipih miliknya. Kevin menekan tombol power, hingga layar yang semula gelap kini menyala dan terlihatlah foto dirinya dan sang istri tercinta terpampang di layar ponsel. Kevin mengusap layar datar itu lalu membuka aplikasi bergambar gagang telepon berwarna hijau, setelahnya ia mencari nomor salah satu temannya yang bekerja di bidang kesehatan. Begitu menemukan nomor tersebut, Kevin menekan menu panggil. Berdering. "Halo, Assalamualaikum," sapa seseorang dari seberang sana begitu panggilan diangkat setelah dering kedua. "Waalaikumsalam, Rey." "Sepertinya ada yang penting ini hingga membuat seorang Kevin seorang petinggi di perusahaan batubara sampai menghubungi di pagi ini," celetuk Reyhan, teman yang dikenal oleh Kevin saat ia mulai meranta
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 209Kevin ingat betul, saat ia masuk ke rumah ini, Kevin telah membersihkan semuanya. Termasuk tiap kamar dan kolong ranjang. "Mas, gimana? Udah tau itu tadi obat apa?" tanya Sintya begitu ia melihat Kevin telah kembali. Sintia mendaratkan tubuhnya di kursi yang ada di ruangan kerja pribadi milik Kevin. Yah, jabatan Kevin membuat dirinya bekerja memiliki ruangan sendiri tanpa campur dengan yang lainnya. "Hei, Sayang, kamu sudah makan siang?" Bukannya menjawab pertanyaan Sintia, Kevin malah menanyakan perihal lain pada wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu. "Hei ditanyain malah balii nanya. Aku sudah makan kok Sayang. Kamu sendiri sudah?""Sudah tadi bareng sekalian sama Reyhan. Oh ya kamu nanya apa tadi?""Itu, kamu udah tau belum itu obat apa? Buruan kasih tau kan aku kepo.""Itu obat bius." Sintia menutup mulutnya yang hampir saja menganga karena ucapan Kevin. "O-obat bius? Tapi untuk apa kakak kamu pake begituan?" Kevin mengedikkan bahunya
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 210Entah kalau besok. Hahaha, ups." Sintia pun pergi sembari menggenggam tangan Kevin meninggalkan Amanda dengan sejuta kekesalan di hatinya. "Sintia sialan! Awas aja kamu akan aku buat kamu menangis darah karena Kevin lebih memilihku. Dan pada akhirnya hanya ratu sesungguhnya lah yang menang." Amanda bergumam sembari menatap penuh kebencian pada Sintia yang tampak menggenggam erat tangan Kevin. Begitu terlihat mesra sekali dua orang yang baru saja menyandang status suami dan istri itu. Beberapa rencana sedang Amanda pikirkan untuk menghancurkan hubungan Sintia juga Kevin. Tidak peduli jika Kevin dan Sintia telah menikah karena rasa cinta dan obsesinya terhadap Kevin kian menggebu. Entahlah rasanya ada yang kurang jika apa yang diinginkannya tidak terkabul.Amanda sudah terbiasa sejak kecil selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Sayangnya dulu usaha orang tuanya kolaps jadi mau gak mau hidup Amanda harus berhemat. Beruntung dirinya sudah memilik
Suara adzan subuh berkumandang, membuat tubuh Sintya yang berada dalam rengkuhan sang suami menggeliat pelan. Setelahnya Sintia berusaha membuka kedua kelopak matanya yang sepertinya masih ingin sekali tidur terlelap. Bukan tanpa sebab, sepasang pengantin baru itu telah menghabiskan waktu hingga larut malam untuk sekedar bercerita sembari menyesap teh hangat beraroma melati di teras rumah. Pelan Sintya menyinkirikan lengan sang suami yang melingkar di atas pinggangnya, setelah itu Sintya menyibak selimut putih nan tebal yang bertengger di atas tubuhnya. Pelan Sintya beringsut dari ranjang, setelahnya ia berjalan menuju ke arah kamar mandi. Belasan menit kemudian Sintya telah keluar dari kamar mandi mengenakan pakaian lengkap. Bergegas Sintya membangunkan sang suami. Tentu untuk melakukan shalat subuh secara berjamaah. Sembari menunggu Sang suami selesai mandi dan mengambil air wudhu, Sinta mengenakan dahulu mukena miliknya, meraih kitab suci yang ada di tempatnya. Setelah itu Sin
"Apa itu, Mas?" Sintya melangkah mendekat ke arah sang suami. "Topeng ...," ucap Kevin sembari menunjukkan benda yang ia pegang tepat di depan Sintya. "Loh?!" Sintya terkejut luar biasa saat melihat benda itu. Bibirnya melongo sempurna, karena saking terkejutnya, Sintya sampai tak bisa berkata-kata. Tenggorokannya seperti tercekat, hingga membuat suaranya seperti berhenti di tenggorokan miliknya. Seketika pandangan Sintya menjadi nanar. Kedua bola mata itu mulai berkaca-kaca. Semakin "Kamu mengenali topeng ini?" Cepat Sintya membekap mulutnya sendiri kala ia sudah sedikit tersadar. Tadi, tubuh Sintya seperti mati rasa. Jangankan untuk bergerak, sekedar bernapas pun terasa begitu sesak. "Kamu mengenalinya, Sintya?" Sintya mengangguk patah-patah. Cairan bening yang semula menggenang, kini sudah menjadi gumpalan yang bersarang di kedua sudut matanya, hingga sekali kedip saja, air mata itu meleleh begitu saja. Menyadari ekspresi yang ditunjukkan oleh Sang Istri. Cepat Kevin memelu
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 213"Kan lain waktu bisa dilanjut lagi. Tak apalah, yang terpenting dua kali sudah aku mencicipi tubuh Sintya meskipun hanya sedikit sekali. Ha ha ha ....""Tapi aku yakin suatu saat nanti aku akan benar-benar berhasil menyetubuhi wanita yang menjadi adik iparku itu. Dan di saat itulah aku berharap kalau Kevin dan istrinya bercerai biar nanti aku yang akan masuk ke dalam kehidupan Sintia dan menghapus air matanya yang menganak sungai. Sedangkan kamu juga bisa memiliki kesempatan untuk mendekati Kevin bukan?"(....) "Apa? Kalau aku ditangkap polisi? Menurut kamu apa yang akan kamu lakukan jika dirimu sudah diperkosa. Apakah kamu masih punya keinginan untuk melanjutkan hidup? Kurasa tidak. Begitu juga dengan Sintia. Dia pasti sangat merasa hidupnya hancur berantakan. Apalagi kalau Kevin sampai meninggalkannya karena jijik istrinya yang alim dan solehah telah benar-benar ternodai."(....) "Itu bisa dipikirkan nanti. Bisa juga kita bikin rencana jebak K
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 214"Aku juga gak tau, Ibu gak ada ngasih tau soal apa-apanya. Hanya menyuruh kita pulang karena ada sesuatu yang sangat penting dan itu menyangkut soal aku, kamu, dan juga Mas David.""Soal aku? Maksudnya? Ada apa memangnya? Apa mungkin …?" Sintia dan Kevin lantas saling berpandangan. Sepertinya apa yang ada di dalam pikiran mereka itu sama. Semua itu ada kaitannya dengan topeng dan bius yang ditemukan di kamar yang dipakai David. "Kamu memiliki pemikiran yang sama dengan aku, Sayang?" tanya Kevin pada Sintia. Sintia pu mengangguk dengan yakin sembari menatap wajah Kevin. "Lalu? Apa kita mau pulang? Sepertinya ini semua ada sangkut pautnya dengan masalah yang menimpa kita akhir-akhir ini." "Hemmm aku sih sangat mau kalau memang itu untuk urusan memberi pelajaran sama Kakak kamu. Ditambah lagi akan bertemu Ibuku yah anggap saja kita sedang berkunjung.""Terus orang tua kamu gimana?""Memangnya kenapa sama orang tua aku, Mas?""Ya entar dibolehin g
Pov David**"Raya?" lirihku saat melihat sosok perempuan yang pernah singgah di hatiku. "Apa itu suaminya?" lirihku bertanya pada diri sendiri sembari menatap ke arah mereka. "Lalu siapa anak kecil itu?" Pandangan yang semula beralih pada sosok anak kecil itu kembali tertuju pada lelaki yang duduk di depan Raya. Sosok yang sepertinya sangat tak asing bagiku. Aku mencoba semakin menelisik wajah yang menurutku lumayan tampan itu. Tapi masih jauh lebih tampan aku. Aku melempar ingatanku ke masa lalu. Seketika aku teringat jika sosok itu adalah pengacara yang dulu mengurus perceraianku dengan Raya di masa lalu. "Mau pesan apa, Pak?" Tiba-tiba suara itu membuatku mengalihkan pandanganku dari wanita masa laluku. Aku mendengkus kesal. "Mbak pergi saja, nanti aku panggil kalau emang pesan," celetukku dengan sedikit ketus. "Baik, Pak." Pelayan itu sedikit membungkukkan tubuhnya dan berlalu pergi. Dadaku semakin terasa berdenyut saat melihat Raya dan juga lelaki itu saling melempar s