Selamat malam teman-teman. Mohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan saya dalam publish bab baru. Bab yang saya up dengan nomor bab 182 itu sebenarnya isi milik naskah saya yang satunya yang berjudul "Kugadai Harta Suami yang Berselingkuh" dan saya salah up ke cerita "Suara Desahan Di Kamar Iparku". Saya lagi proses edit, tinggal menunggu persetujuan dari editor. Sekali lagi, saya minta maaf. Selamat malam dan selamat membaca....
"Mas David lihatin foto siapa itu?" Tubuh David tersentak kaget saat mendengar suara yang tak asing, suara yang tak lain dan tak bukan adalah milik Kevin. David terlalu fokus menatap wajah cantik milik Sintya dan membayangkan saat ia menyentuh tubuh yang selalu berbalut pakaian lebar itu, hingga David sama sekali tak menyadari kehadiran Kevin. Kevin melongokkan kepalanya, ingin melihat lembaran foto yang dibawa oleh David. Akan tetapi, David bergegas menyembunyikan foto itu di balik punggungnya. "Itu tadi foto siapa, Mas? Kok kayaknya nggak asing wajahnya?" tanya Kevin dengan rasa penasaran yang luar biasa, sebab, sekilas tadi kedua manik hitamnya menangkap wajah sang kekasih. "Bukan apa-apa. Nggak penting! Kamu ini kalau masuk kamar orang, bisa nggak sih ketok pintu dulu?" "Tadi Kevin udah ketuk pintu, Mas. Hanya saja tak kunjung ada jawaban. Ditambah tadi daun pintu sedikit terbuka, Kevin lihat Mas David sedang melihat sesuatu, makanya Kevin langsung masuk saja," jelas Kevin.
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 159"Sekarang aku tau, ternyata Amanda bekerja sama dengan Mas David untuk menghancurkan rencana pernikahan kami."Kevin menghembuskan napasnya perlahan. Sesak itu sangat menghimpit dada. Entah apa alasan David ingin sekali membuat hubungan dirinya dengan Sintia hancur. Yah, Kevin bukan lagi anak kemarin sore yang tidak tahu arti dari semua itu. Kevin sangat paham jika David sengaja melakukannya untuk menghancurkan Kevin dan Sintia. Dan yang lebih mengenaskan lagi nyatanya David bersekongkol dengan Amanda. "Jadi, peristiwa aku difitnah Amanda kemarin adalah ulah Mas David juga? Astaga, apa salahku padanya sehingga sebenci itu dia sama aku," gumam Kevin lirih. Ia melonggarkan sedikit ikatan dasi yang melilit di lehernya. Kevin meletakkan dasi itu di gantungan tepat di sebelah lemari pakaiannya. Perlahan ia membuka satu persatu kancing kemejanya dan ia melepaskan kemeja iru hingga hanya menyisakan celana kain dan kaos dalamnya saja. Kevin mendaratkan
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 160Tak bisakah kita mempercepat waktu pernikahan kita? Misalnya dengan ijab kabul terlebih dahulu. Dan resepsinya nanti sesuai dengan rencana kita di awal."Sintia nampak mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia masih terperangah dengan perkataan yang baru saja Kevin ucapkan. Apa katanya tadi? Mempercepat pernikahan? Bahagia sih, seneng sih, tapi secepat itukah? "Halo, Sintia? Kamu kenapa? Kok bengong?" tanya Kevin sembaro melambaikan tangannya di depan Sintia. Sintia menatap Kevin dengan kening berkerut dan tatapan penuh tanya. Namun, Kevin belum juga mengerti arti tatapan itu hingga hanya membuatnya tersenyum saja. "Kevin, apa yang kamu katakan ini apakah benar?""Yups, aku benar bidadariku. Apa kamu masih enggak percaya?""Bukan begitu tapi kenapa cepat sekali? Padahal pernikahan kita juga tinggal menghitung minggu saja."Kevin mendesah pelan, ia menghembuskan napasnya membuat penat yang akhir-akhir ini hinggap di dirinya. "Karena aku enggak mau k
Kali ini Kevin benar-benar bernapas lega, setidaknya jika acara ijab qabul itu dipercepat maka tak akan ada lagi celah untuk orang lain yang berniat merusak rencana pernikahannya. "Nanti malam aku mau ke rumahmu. Akan aku bicarakan soal ini pada Abah dan Umi."Sintya hanya menganggukkan kepala. Sebenarnya, ia sama sekali tak merasa terganggu dengan ulah yang dilakukan Amanda, sebab ia sudah percaya penuh dengan Kevin. Ditambah Amanda bersikap pasrah, andaikata Kevin adalah jodohnya, sekuat apapun godaan menerpa maka pasti akan bisa dilaluinya. ****"Kedatangan saya ke sini ingin meminta izin pada Abah dan Umi, agar acara ijab qabul bisa dipercepat." Kevin memulai pembicaraannya. "Loh, kenapa, Nak? Memangnya ada apa? Kenapa dimajukan, nggak sesuai dengan tanggal kesepakatan kemarin?" tanya sang ibu beruntun. Sesaat Kevin dan Sintya saling berpandangan, Kevin berpikir, tak mungkin ia menceritakan aib yang dilakukan oleh keluarganya sendiri. "Sintya?" Kali ini perempuan paruh baya i
"Jangan gila kamu, Manda?!" pekik David yang merasa tak percaya dengan ide yang diberikan oleh Amanda. "Kamu pengen Sintya jatuh ke tangan Kevin?" David terdiam, ia memikirkan ucapan yang dilontarkan oleh Amanda. Sungguh ... di dalam benak Amanda, ia sangatlah tidak rela jika perempuan sesempurna Sintya jatuh ke tangan adiknya. Ya, David merasa jika Sintya jauh lebih pantas berdampingan dengannya daripada dengan Kevin yang notabene-nya adalah anak seorang pelakor. "Jika kamu mau, lakukan malam ini," lanjut Amanda yang semakin berusaha meyakinkan David untuk melakukan segenap rencananya. David berpikir ulang, sebab ide yang dicetuskan oleh Amanda sangatlah beresiko. "Apa nggak ada cara lain?" tanya David terbata-bata. Amanda yang mendengar ucapan David pun lantas mendengkus lalu ia cebikkan bibirnya. "Halo ... kita nggak ada banyak waktu lagi, ya. Tinggal beberapa hari loh itu ijab qabul akan dilangsungkan. Kalau kamu punya ide yang jitu, coba katakan," ucap Amanda. "Nggak ad
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 189Kali ini, David merasa jika langkahnya sangatlah dipermudah dan di sinilah dia sekarang, berdiri di depan jendela kamar milik Sintya sembari bibir yang tersenyum. Lebih tepatnya di bawah jendela kamar Sintia karena letaknya berada di lantai dua sedangkan David masih di lantai satu. David masih setia memakai penutup kepala serta masker untuk menutupi wajahnya agar tidak terlihat oleh cctv. Yah, meskipun David tidak melihat cctv itu tapi David yakin kalau rumah Sintia terpasang cctv. Setelah dirasa cukup yakin, David segera berjalan sedikit mengendap sembari menoleh kembali ke kanan dan kekiri untuk melihat ke sekeliling rumah itu apakah masih ada orang ataukah tidak. Sekilas David melihat arloji di tangannya dan jam menunjukkan pukul 22.00 wib itu artinya sudah jam sepuluh malam dan komplek juga sudah terlihat sepi sebab malam itu memang bukan malam minggu jadi pastilah para pemilik rumah di sana sedang beristirahat untuk melakukan pekerjaan eso
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 190"Sintia, aku datang Sayang. Mari kita bersenang-senang."David mencoba membuka engsel pintu dengan tangan kanannya. Ia menurunkan engsel tersebut ke bawah, dan sepertinya memang keberuntungan sedang berada di pihak David. Pasalnya pintu itu terbuka dengan mudahnya. David memindai ke sekeliling kamar yang tampak temaram itu sebab Sintia mengganti lampu terangnya dengan lampu yang hanya sekitar lima watt saja. Sehingga membuat suasana kamar pribadinya terlihat remang. "Yess sepertinya dewi fortuna sedang berpihak padaku. Baiklah aku akan segera melancarkan aksiku ini. Aku sudah tidak sabar merengkuh tubuh yang indah itu. Kulitnya pasti sangatlah halus sehalus sutra," batin David sembari tersenyum menyeringai. Ia berjalan mendekati kasur di mana Sintia tengah tertidur di atasnya setelah ia menutup pintu kamar Sintia rapat dan tentunya dengan mengunci kamar tersebut hingga bersuara klik. David bersusah payah meneguk salivanya saat melihat tubuh Sint
David terdiam, kedua telinganya sayup-sayup mendengar suara kegaduhan dari kamar Sintya. Sejenak David menajamkan kedua telinganya hingga akhirnya ia mendengar kalimat yang membuat David untuk segera pergi. "Ada orang mau perkosa aku. Dia sekarang ada di dalam kamar mandi. Cepat susul dia keburu pergi!"David merangkak melewati lorong atas rumah. Ia merangkak dengan begitu hati-hati, sebab jika ia salah sedikit saja menapakkan lutut dan tangannya, maka dipastikan akan Tama riwayatnya. Beberapa kali David berhenti dan menolehkan kepala ke belekang. Memastikan tidak ada siapapun juga yang mengejarnya. David bernapas sedikit lega, sebab keadaannya saat ini aman. Akan tetapi ia juga khawatir kalau sang penghuni rumah menyadari jika David naik ke atap lalu mereka akan menunggunya di luar rumah. Sang Umi pun langsung memeluk tubuh Sintya yang terguncang. Air mata meleleh begitu saja dari sepasang mata jernih itu. Sang Umi mengeratkan pelukannya, sesekali ia mengusap kepala sang putri d