“NADIA!! KAMU APA-APAAN?” seru Danu.
Nadia tidak menjawab hanya menatap dengan penuh kebencian ke arah wanita tersebut. Perlahan wanita di depan Danu itu menoleh dan mendongak menatap Nadia. Seketika Nadia terkejut. Matanya melotot dan bibirnya terbuka lebar.
“IBU FATMA??? Anda bukan Arum?”
Kini ganti Nadia yang tampak terkejut. Matanya terus melotot, jarinya bergetar usai melihat sosok yang baru ia siram dengan minuman itu ternyata bukan Arum.
“Iya, saya Bu Fatma, pemilik salah satu stasiun tv swasta. Apa Anda sudah tidak mengenali saya, Nona Nadia?” Wanita paruh baya yang rambut dan bajunya basah semua itu kini bersuara.
Nadia langsung menunduk dan terlihat sangat malu.
“Ma—maaf, Bu. Saya ... saya pikir tadi bukan Anda. Saya ---“
“CUKUP!! Pak Danu, rasanya saya batal memakai Nona Nadia di acara tv saya. Saya cari yang lain saja.”
Nadia langsung mengangkat
“Apa Nona Anjani memperlakukanmu dengan buruk hingga kamu berkata seperti itu?” tanya Danu.Arum terkejut dengan pertanyaan Danu. Dia lupa kehadirannya di sini bukan sebagai Anjani Maheswari yang berbicara dengan Danu tadi pagi. Pantas saja Danu bertanya seperti itu padanya. Arum gegas menggeleng sambil tersenyum.“Tidak. Malah sebaliknya, beliau sangat baik padaku. Itu sebabnya aku tidak bisa menolak permintaannya kali ini.”Danu hanya manggut-manggut sambil menatap Arum tanpa jeda. Tentu saja ulah mantan suaminya ini membuat Arum kesal. Padahal dia berpenampilan biasa saja kali ini. Sengaja dia hanya mengenakan riasan soft. Rambut hitam legamnya pun dia biarkan terurai ke belakang tanpa menatanya seindah mungkin saat menjadi sosok Anjani. Bahkan dia hanya mengenakan blazer dan celana kain seragam di rumah modenya.Arum memang tidak mau tampil mencolok di pertemuan ini. Namun, mengapa tatapan Danu terus menghujam tajam ke arahnya?
“Itu ... itu bukan mobilku,” ujar Arum.Ia benar-benar kebingungan saat Danu bertanya tentang kepemilikan mobil Rolls Royce. Danu hanya menganggapnya anak buah Anjani bahkan sebagai pramuniaga. Jadi mana mungkin dia bisa punya mobil sebagus dan semewah itu.“Aku tadi mengantar Nona Anjani dan beliau mengizinkan aku membawa mobilnya ke sini. Itu sebabnya aku tidak mau kamu antar. Aku harus menjemput Nona Anjani setelah ini.”Kali ini terpaksa Arum berbohong, sementara Danu hanya diam sambil menatap tajam ke arah Arum. Arum yakin kalau Danu masih terkejut dengan penjelasannya kali ini. Namun, dia tidak peduli. Dia ingin lekas pergi dari sini.“Sejak kapan kamu bisa mengendarai mobil, Arum?” Lagi-lagi Danu bertanya yang membuat Arum kerepotan menjawab.“Eng ... baru saja. Nona Anjani yang mengajariku.”Kembali Arum berbohong, padahal dia sudah terbiasa membawa mobil sejak bercerai dari Danu. Gara-
“Mati? Apanya yang mati? Mobilmu akinya mati?” seru Nadia dengan panik.Danu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. Ia melihat Nadia sedang mengawasinya di seberang sana.“Enggak. Gak papa, kok. Kamu masuk ke dalam dulu, nanti aku ke sana!!”Nadia menurut, menganggukkan kepala kemudian berjalan masuk kembali ke dalam restoran. Sementara Danu kembali berjalan menghampiri Arum. Ia mengetuk kaca jendela Arum hingga wanita cantik itu membukanya.“Ada apa?” tanya Arum.“Aku ... aku gak bisa ngantar kamu. Aku mendadak ada janji. Gak papa kamu sendiri?”Arum tersenyum masam. Padahal tanpa sepengetahuan Danu, Arum sudah melihat kalau ada Nadia di seberang jalan sedang asyik berteleponan dengan Danu. Arum sudah berasumsi jika yang menelepon Danu tadi adalah Nadia dan ternyata tebakannya tepat.“Iya, gak papa. Aku duluan, ya!! Aku gak mau membuat Nona Anjani menunggu.”
“Maaf ... Anda bicara apa, Nona?” tanya Bu Fatma.Sepertinya gumaman Arum terdengar jelas di telinga wanita paruh baya tersebut. Arum tersenyum sambil berulang menggelengkan kepala.“Eng ... bukan apa-apa, Bu.”Bu Fatma hanya diam sambil tersenyum kemudian melirik ke lantai satu. Arum melihat ada kekesalan di tatapan wanita paruh baya itu.“Itu orang yang sedang kita bicarakan, Nona. Tak lain dan tak bukan Nona Nadia Amalia.” Wanita paruh baya itu kembali bersuara. Arum hanya membisu sambil melirik sekilas ke lantai satu.“Suruh mereka tunggu sebentar, Mbak!!” Kini Bu Fatma sudah memberi perintah ke waitres yang sedang menunggu sedari tadi.Waitres itu gegas berlalu turun ke lantai satu, setelahnya Arum melihat Danu dan Nadia sudah duduk menunggu di salah satu sudut kafe.“Nona Nadia itu sombong. Baru juga jadi model, tapi gayanya sudah selangit.”Ucapan Bu Fatma mengi
“Nona Anjani?” tanya Nadia.Mata wanita cantik itu membola usai mendengar penjelasan Bu Fatma. Sementara Bu Fatma hanya tersenyum sambil mengangguk.“Iya. Nona Anjani bilang, beliau pernah menggunakan jasa Anda saat di Paris. Saat itu Anda bekerja sangat profesional, Nona.”Nadia terdiam, mengatupkan rapat bibirnya. Dia tidak menduga orang yang dia benci malah menolongnya kali ini. Perlahan Nadia mengangguk sambil mengulas senyum.“Iya, saya memang pernah bekerja dengannya setahun yang lalu. Saya tidak menduga Nona Anjani masih mengingatnya.” Nadia sudah berkomentar sendiri.Bu Fatma hanya tersenyum menanggapinya kemudian tampak asyik berbincang dengan Danu membahas kelanjutan kerja sama mereka kali ini. Selang beberapa saat kemudian, mereka sudah berpamitan pulang.“Mas ... kamu punya nomor telepon Nona Anjani, gak?” tanya Nadia tiba-tiba.Mereka sudah di dalam mobil perjalanan pulang.
“Kamu serius dengan ucapanmu, Mas?” tanya Nadia.Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Danu. Danu tidak menggubris pertanyaannya malah membuka lebih lebar pintu dan menyilakan Arum masuk. Arum hanya mengangguk dan berjalan masuk tanpa memperhatikan reaksi Nadia.“Aku akan mulai bicarakan deskripsi job-mu selama di sini, Arum.” Danu sudah menyilakan Arum duduk di sofa dan memulai pembicaraannya tanpa menghiraukan Nadia.Nadia terlihat kesal. Dia menghentakkan kakinya ke lantai dan tanpa pamit langsung keluar ruangan sambil membanting pintu. Arum memperhatikan Nadia sekilas. Arum masih belum tahu apa hubungan mantan suaminya dengan Nadia. Namun, Arum memaklumi jika Nadia cemburu padanya.“Kamu gak ngejar dia dulu?” Tiba-tiba Arum bersuara mengalihkan topik pembicaraan.Danu terdiam sesaat, jakunnya naik turun menelan saliva sambil menatap tajam ke arah Arum.“Memangnya kamu minta
“Apa maksud Mama?” tanya Arum.Ia sangat kesal, lagi-lagi Nyonya Lani dan Citra menuduhnya maling. Apa mereka tidak tahu kalau dia sudah berubah? Kehidupannya sudah berubah dan dia tidak butuh sepeser uang pun dari Danu.“Eh, pakai ngelak lagi? Memangnya kami tidak tahu keberadaanmu di sini? Kamu ingin menuntut hakmu, kan? Hak yang sengaja kamu rancang untuk merebut kekayaan kami. Namamu sebagai pemilik saham 40 persen di perusahaan ini.” Kini Citra yang bersuara. Dari dulu adik iparnya itu selalu pedas kalau bersuara dan Arum tidak terkejut mendengarnya.Arum tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala.“Kalian salah. Aku di sini bukan untuk itu. Kalau tidak percaya tanyakan saja Mas Danu.”“Omong kosong!! Tukang ngibul!! Orang gila memang selalu ngelantur kalau bicara. Aku heran kenapa dulu Kak Danu sampai menikahimu? Jangan-jangan kamu juga merayu Kakek Dipta agar masuk ke keluarga kami, kan?”
“Gak perlu minta maaf. Aku sudah baik-baik saja, kok,” ujar Arum.Arum tidak suka dengan keadaan canggung seperti ini. Bukankah dia sudah bertekad kalau kehadirannya di kantor Danu hanya berhubungan dengan kontrak kerja mereka. Kontrak kerja antara Danu dan Anjani.“Baiklah, kalau kamu tidak mau. Aku tidak akan memaksa. Namun, aku harap kamu segera berubah pikiran.”Arum tidak menjawab hanya mengangguk. Ia tahu maksud ucapan Danu kali ini. Tentu kehadirannya di meeting pemegang saham itu sangat dibutuhkan Danu. Apalagi usai Arum mendengar obrolan Danu dengan Nadia tadi. Dia tidak menduga sifat licik suaminya tidak hilang. Namun, kali ini Arum sudah bertekad tidak akan terbuai dengan ucapannya lagi. Dia tidak akan mau rujuk dengan Danu.Danu berlalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata lagi. Sama seperti yang sudah-sudah. Arum hanya melirik kepergiannya dengan sudut mata. Ia merasa tenang kini dan melanjutkan pekerjaannya yang tertun