“Apa maksud Mama?” tanya Arum.
Ia sangat kesal, lagi-lagi Nyonya Lani dan Citra menuduhnya maling. Apa mereka tidak tahu kalau dia sudah berubah? Kehidupannya sudah berubah dan dia tidak butuh sepeser uang pun dari Danu.
“Eh, pakai ngelak lagi? Memangnya kami tidak tahu keberadaanmu di sini? Kamu ingin menuntut hakmu, kan? Hak yang sengaja kamu rancang untuk merebut kekayaan kami. Namamu sebagai pemilik saham 40 persen di perusahaan ini.” Kini Citra yang bersuara. Dari dulu adik iparnya itu selalu pedas kalau bersuara dan Arum tidak terkejut mendengarnya.
Arum tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala.
“Kalian salah. Aku di sini bukan untuk itu. Kalau tidak percaya tanyakan saja Mas Danu.”
“Omong kosong!! Tukang ngibul!! Orang gila memang selalu ngelantur kalau bicara. Aku heran kenapa dulu Kak Danu sampai menikahimu? Jangan-jangan kamu juga merayu Kakek Dipta agar masuk ke keluarga kami, kan?”
“Gak perlu minta maaf. Aku sudah baik-baik saja, kok,” ujar Arum.Arum tidak suka dengan keadaan canggung seperti ini. Bukankah dia sudah bertekad kalau kehadirannya di kantor Danu hanya berhubungan dengan kontrak kerja mereka. Kontrak kerja antara Danu dan Anjani.“Baiklah, kalau kamu tidak mau. Aku tidak akan memaksa. Namun, aku harap kamu segera berubah pikiran.”Arum tidak menjawab hanya mengangguk. Ia tahu maksud ucapan Danu kali ini. Tentu kehadirannya di meeting pemegang saham itu sangat dibutuhkan Danu. Apalagi usai Arum mendengar obrolan Danu dengan Nadia tadi. Dia tidak menduga sifat licik suaminya tidak hilang. Namun, kali ini Arum sudah bertekad tidak akan terbuai dengan ucapannya lagi. Dia tidak akan mau rujuk dengan Danu.Danu berlalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata lagi. Sama seperti yang sudah-sudah. Arum hanya melirik kepergiannya dengan sudut mata. Ia merasa tenang kini dan melanjutkan pekerjaannya yang tertun
“Ngapain juga Mas Danu ada di sini,” gumam Arum.Ia buru-buru menundukkan kepala menghindar dari tatapan sosok tampan yang tak lain Danu, mantan suaminya itu. Tadi siang Danu memang mengirim pesan ke ponsel Anjani untuk menanyakan keberadaan Arum. Karena Arum dan Anjani orang yang sama, jelas saja Arum jawab kalau dia membutuhkan bantuannya. Namun, sekarang Arum tidak menduga kalau akan bertemu di sini.“Sudah menentukan pesananmu?” Dokter Sandy sudah kembali dari toilet dan langsung duduk di depan Arum.Arum mengangguk sambil tersenyum. Kemudian seorang waitres datang menghampiri mereka. Kini Arum tidak mempedulikan Danu. Ia sengaja terus mengobrol dengan Dokter Sandy meskipun obrolannya random ke sana ke mari sambil menikmati pesanan mereka.Obrolan mereka terjeda saat live musik di lantai bawah tiba-tiba menghentikan permainannya.“Mohon perhatiannya, ada yang mau nyumbang lagu, nih!!” seru salah satu personil
“Hentikan omong kosong ini, Mas. Memangnya aku tidak tahu apa yang terjadi antara kalian lima tahun lalu. Kenapa juga kamu malah menuduhku seperti itu?” sergah Arum dengan amarah.Danu tampak terkejut. Mata elangnya berkilatan menatap tajam ke arah Arum. Banyak tanya yang tersirat dari tatapan itu, tapi Arum mengabaikannya. Bisa jadi ini adalah muslihat yang sedang dilancarkan mantan suaminya.“Memangnya apa yang terjadi antara aku dan Nadia? APA!!!”Arum berdecak, tersenyum masam sambil menggelengkan kepala. Ia terdiam sesaat sambil berusaha memenuhi rongga dadanya dengan udara. Arum benar-benar muak dengan pria munafik di depannya ini.“CUKUP!!! Aku tidak mau membahas lagi. Aku sudah melupakannya. Jadi aku mohon, berhenti mengusikku. Urus saja pacar dan anakmu sana!! Aku rasa mereka lebih membutuhkanmu.”Usai berkata itu, Arum langsung melengos pergi berlalu meninggalkan Danu. Danu hanya diam di tempatnya denga
“Iya, aku akan menerimanya,” ujar Arum.Sesaat dia kebingungan harus bagaimana, tapi Arum berusaha tenang dan tidak ingin membuat Danu curiga. Arum langsung mereject panggilan Danu dan pura-pura menjawab panggilan telepon.“Iya, Pak. Ada yang bisa dibantu?” Arum sudah pura-pura menjawab panggilan.Sementara Danu hanya terdiam sambil memperhatikan ponselnya. Sesekali ia mengetukkan jari di dagu sambil menghela napas panjang.“Mungkin Nona Anjani sedang sibuk, makanya dia mereject panggilanku. Nanti saja aku hubungi lagi,” gumam Danu dalam hati.Arum menyudahi panggilannya dan sudah menonaktifkan ponselnya kali ini. Ia tidak mau mendapat situasi rumit seperti tadi. Kini Danu melihat ke arahnya dengan tatapan bertanya.“Siapa yang menelepon? Apa Nona Anjani?” tanya pria bermata elang itu.Arum menggeleng. “Bukan. Hanya customer.”Danu manggut-manggut sambil tersenyum, kem
“Apa katamu??? RUJUK??” seru Arum.Danu tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tentu saja ulah dan ucapan Danu benar-benar membuatnya terkejut. Kenapa juga Arum jadi ingat dengan pembicaraan Danu dan Nadia tempo hari?Arum memutar tubuhnya dengan cepat dan memalingkan wajah dari Danu. Semua kebencian tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam dadanya. Sepertinya Danu memang sudah merencanakan semua dengan baik. Sekali lagi sifat licik mantan suaminya selalu yang membuat Arum kesal.Danu selalu bisa mewujudkan apa yang dia inginkan dengan mudah. Bisa jadi mantan suaminya ini memang sudah merencanakan semuanya dari awal. Pilihan yang dihadapi Arum kali ini bagai buah simalakama dan dia menjadi kesal sendiri.“Aku akan meminta Budi mengurus secepatnya. Tidak lama, kok. Paling hanya butuh beberapa hari saja, setelah itu kita akan melangsungkan pernikahan dan resmi sebagai suami istri lagi.” Danu kembali bersuara dengan sa
“DANU!!! Apa maksudmu?” tanya Tuan Prada.Pria paruh baya yang wajahnya masih terlihat tampan itu tertegun menatap tajam ke arah Danu. Sementara Danu hanya mengulum senyum sambil membalas tatapan papanya.“Papa tahu kamu bukan anak kecil lagi, tapi setidaknya kamu jangan mempermainkan hati wanita. Kamu sudah mengenal Nadia sejak kecil, bahkan kalian tumbuh bersama. Kamu tahu baik buruknya Nadia, jadi tidak salah jika kamu melegalkan hubunganmu dengannya sekarang. Lagipula kalian berdua sama-sama masih single, kan?”Danu tidak menjawab, hanya helaan napas panjang pendek yang keluar masuk dari bibir tipisnya. Tuan Prada terdiam, memperhatikan putra semata wayangnya dengan seksama. Kemudian setelah beberapa saat, pria paruh baya itu kembali bersuara.“Jangan bilang kalau kamu ingin rujuk dengan Arum, Danu?”Danu tidak bereaksi hanya mendongak ke arah Tuan Prada. Untuk beberapa saat dua pasang mata ayah dan anak itu
“Kenapa harus ketemu dia lagi, sih?” gumam Arum.Perlahan tangan Arum terulur dan langsung menekan salah satu tombol di dalam lift membuat lift itu tertutup sempurna. Arum mengabaikan tatapan wanita paruh baya yang berdiri di sebelahnya. Ia tidak mengenalnya dan apa yang baru saja dilakukannya ini adalah salah satu cara menyelamatkan diri dari Danu.Sementara itu Danu menghentikan langkahnya saat melihat lift tersebut sudah menutup. Decak kekesalan keluar spontan dari bibirnya.“Huh!! Sial!!” umpat Danu.Dia baru saja menemui Tuan Arya yang kebetulan menginap di apartemen yang sama dengan tempat Arum tinggal. Karena terlalu asyik berbincang, Danu tidak ingat waktu. Dia baru saja keluar dari kabin apartemen Tuan Arya dan hampir saja bertemu Arum tadi.Selang beberapa saat, Danu sudah berada di parkiran. Ia ingin langsung pulang saja setelah ini. Danu berjalan menuju mobilnya, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti di depan sebuah
“Oke, gak masalah. Aku malah senang jika keluar dari sini,” jawab Arum dengan entengnya.Citra tersenyum menyeringai dengan mata menyipit menatap kesal ke arah Arum. Sementara itu Septa berjalan mendekat ke arah Citra dan berbisik di telinganya.“Cit, aku gak yakin dia bisa melakukannya. Buruan kamu hubungi Mas Danu supaya bisa menyelesaikan masalahku ini. Aku gak mau datang terlambat.”Citra manggut-manggut mendengar ucapan Septa. “Iya, tenang saja. Aku akan minta tolong Kak Danu. Kalau dia, memang dari dulu aku tidak suka dengannya. Aku berencana mengusirnya dari sini.”Septa kembali menganggukkan kepala sambil tersenyum menyeringai.“Oke, Arum, aku tunggu kabarnya sampai jam sembilan. Kalau belum ada kabar, lebih baik kamu hengkang dari sini.” Citra kembali menambahkan.Arum hanya menganggukkan kepala, kemudian sudah berjalan sedikit menjauh dari Citra dan Septa. Sementara itu Citra tampak m
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak