“Iya, aku akan menerimanya,” ujar Arum.
Sesaat dia kebingungan harus bagaimana, tapi Arum berusaha tenang dan tidak ingin membuat Danu curiga. Arum langsung mereject panggilan Danu dan pura-pura menjawab panggilan telepon.
“Iya, Pak. Ada yang bisa dibantu?” Arum sudah pura-pura menjawab panggilan.
Sementara Danu hanya terdiam sambil memperhatikan ponselnya. Sesekali ia mengetukkan jari di dagu sambil menghela napas panjang.
“Mungkin Nona Anjani sedang sibuk, makanya dia mereject panggilanku. Nanti saja aku hubungi lagi,” gumam Danu dalam hati.
Arum menyudahi panggilannya dan sudah menonaktifkan ponselnya kali ini. Ia tidak mau mendapat situasi rumit seperti tadi. Kini Danu melihat ke arahnya dengan tatapan bertanya.
“Siapa yang menelepon? Apa Nona Anjani?” tanya pria bermata elang itu.
Arum menggeleng. “Bukan. Hanya customer.”
Danu manggut-manggut sambil tersenyum, kem
“Apa katamu??? RUJUK??” seru Arum.Danu tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tentu saja ulah dan ucapan Danu benar-benar membuatnya terkejut. Kenapa juga Arum jadi ingat dengan pembicaraan Danu dan Nadia tempo hari?Arum memutar tubuhnya dengan cepat dan memalingkan wajah dari Danu. Semua kebencian tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam dadanya. Sepertinya Danu memang sudah merencanakan semua dengan baik. Sekali lagi sifat licik mantan suaminya selalu yang membuat Arum kesal.Danu selalu bisa mewujudkan apa yang dia inginkan dengan mudah. Bisa jadi mantan suaminya ini memang sudah merencanakan semuanya dari awal. Pilihan yang dihadapi Arum kali ini bagai buah simalakama dan dia menjadi kesal sendiri.“Aku akan meminta Budi mengurus secepatnya. Tidak lama, kok. Paling hanya butuh beberapa hari saja, setelah itu kita akan melangsungkan pernikahan dan resmi sebagai suami istri lagi.” Danu kembali bersuara dengan sa
“DANU!!! Apa maksudmu?” tanya Tuan Prada.Pria paruh baya yang wajahnya masih terlihat tampan itu tertegun menatap tajam ke arah Danu. Sementara Danu hanya mengulum senyum sambil membalas tatapan papanya.“Papa tahu kamu bukan anak kecil lagi, tapi setidaknya kamu jangan mempermainkan hati wanita. Kamu sudah mengenal Nadia sejak kecil, bahkan kalian tumbuh bersama. Kamu tahu baik buruknya Nadia, jadi tidak salah jika kamu melegalkan hubunganmu dengannya sekarang. Lagipula kalian berdua sama-sama masih single, kan?”Danu tidak menjawab, hanya helaan napas panjang pendek yang keluar masuk dari bibir tipisnya. Tuan Prada terdiam, memperhatikan putra semata wayangnya dengan seksama. Kemudian setelah beberapa saat, pria paruh baya itu kembali bersuara.“Jangan bilang kalau kamu ingin rujuk dengan Arum, Danu?”Danu tidak bereaksi hanya mendongak ke arah Tuan Prada. Untuk beberapa saat dua pasang mata ayah dan anak itu
“Kenapa harus ketemu dia lagi, sih?” gumam Arum.Perlahan tangan Arum terulur dan langsung menekan salah satu tombol di dalam lift membuat lift itu tertutup sempurna. Arum mengabaikan tatapan wanita paruh baya yang berdiri di sebelahnya. Ia tidak mengenalnya dan apa yang baru saja dilakukannya ini adalah salah satu cara menyelamatkan diri dari Danu.Sementara itu Danu menghentikan langkahnya saat melihat lift tersebut sudah menutup. Decak kekesalan keluar spontan dari bibirnya.“Huh!! Sial!!” umpat Danu.Dia baru saja menemui Tuan Arya yang kebetulan menginap di apartemen yang sama dengan tempat Arum tinggal. Karena terlalu asyik berbincang, Danu tidak ingat waktu. Dia baru saja keluar dari kabin apartemen Tuan Arya dan hampir saja bertemu Arum tadi.Selang beberapa saat, Danu sudah berada di parkiran. Ia ingin langsung pulang saja setelah ini. Danu berjalan menuju mobilnya, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti di depan sebuah
“Oke, gak masalah. Aku malah senang jika keluar dari sini,” jawab Arum dengan entengnya.Citra tersenyum menyeringai dengan mata menyipit menatap kesal ke arah Arum. Sementara itu Septa berjalan mendekat ke arah Citra dan berbisik di telinganya.“Cit, aku gak yakin dia bisa melakukannya. Buruan kamu hubungi Mas Danu supaya bisa menyelesaikan masalahku ini. Aku gak mau datang terlambat.”Citra manggut-manggut mendengar ucapan Septa. “Iya, tenang saja. Aku akan minta tolong Kak Danu. Kalau dia, memang dari dulu aku tidak suka dengannya. Aku berencana mengusirnya dari sini.”Septa kembali menganggukkan kepala sambil tersenyum menyeringai.“Oke, Arum, aku tunggu kabarnya sampai jam sembilan. Kalau belum ada kabar, lebih baik kamu hengkang dari sini.” Citra kembali menambahkan.Arum hanya menganggukkan kepala, kemudian sudah berjalan sedikit menjauh dari Citra dan Septa. Sementara itu Citra tampak m
“Iya, benar. Anak baru itu yang namanya Arum. Dia bekerja di PH milik Tuan Danu yang baru sebagai fashion desainer,” tutur karyawan tersebut.Seketika mata Citra terbelalak kaget mendengar penuturan gadis di depannya ini. Ia tahu kalau Arum bekerja di PH milik Danu yang baru. Namun, dia tidak menduga Arum akan berada di posisi tersebut.“Kamu gak salah ngomong, kan?” sergah Citra.Gadis berusia 25 tahun itu tampak ketakutan melihat reaksi Citra. Dia tidak habis pikir, mengapa hari ini harus mengalami kesialan menghadapi orang-orang yang penuh amarah?Wajah Citra menegang menahan amarah, bibirnya sudah komat kamit siap memuntahkan ribuan makian. Ia masih berdiri di area lobby sambil mengawasi kamar ganti menunggu Arum keluar bersama Septa. Namun, hingga beberapa lama tidak terlihat Arum keluar dari sana malah Septa yang kini berjalan menghampirinya.“Hai, Cit!! Kamu masih di sini?” sapa Septa dengan senyum terkemb
“Memangnya kamu sudah buat janji dengan Nona Anjani?” tanya Arum.Arum merasa tidak ada janji bertemu dengan Danu hari ini bahkan Lisa tidak memberitahunya tadi. Kenapa Danu tiba-tiba berkata ingin bertemu dengan Anjani?Danu menoleh ke arah Arum dan menggelengkan kepala.“Belum. Aku belum ada janji dengannya, tapi karena aku mengantarmu. Aku pikir dia mau menemuiku nanti.”Arum berdecak sambil melipat tangan ke depan dada. “Dia sangat sibuk, mana mau bertemu orang sebelum janjian.” Arum mengatakannya dengan ketus kali ini.Danu melihatnya dengan alis mengernyit. “Aku rasa Nona Anjani tidak seperti itu. Dia orang yang ramah dan baik. Jadi aku rasa dia akan mau menemuiku apalagi kami membicarakan bisnis kali ini.”Arum menarik napas panjang sambil melihat Danu dengan sudut matanya. Danu mengulurkan tangan menekan tombol lift di depannya. Pintu lift terbuka lagi. Danu masuk lebih dulu sementara A
“Kamu apa-apaan sih, Mas!!” sergah Arum marah.Ia langsung mengibaskan tangan Danu hingga lepas dari cekalannya. Untung saja mereka sudah di dalam ruangan Danu sehingga Nadia dan Citra tidak melihat reaksi Arum ini. Danu menghela napas panjang kemudian berjalan menuju meja, membuka laci lalu mengeluarkan sebuah hand sanitizer semprot.“Aku tadi udah cuci tangan sebelum memegangmu, tapi kalau kamu gak percaya. Nih, pakai!!” Danu mengulurkan hand sanitizer itu ke arah Arum.Arum terdiam beberapa saat. Sepertinya Danu masih ingat dengan phobianya sehingga langsung memberikan hand sanitizer padanya. Perlahan Arum menerima hand sanitizer tersebut. Mungkin lima tahun yang lalu, Arum akan gugup, ketakutan dan bisa saja kejadian tadi memicu jantungnya berdetak lebih cepat.Namun, kini dia sudah baik-baik saja. Arum sudah melalui fase tersebut dengan cukup baik. Meski kadang dia belum bisa berinteraksi dekat dengan orang lain, tapi entah me
“CUKUP!!!” seru Arum.Tangannya kini menangkap tangan Nadia yang melayang di udara hendak menamparnya. Nadia terkesima melihat ulah Arum. Dia tidak menduga Arum akan melakukan hal ini. Padahal setahu Nadia, Arum yang dulu penakut, introvert dan tak berani membalas.“Jangan pernah berani menamparku, kalau tidak ... aku akan membalasnya balik, Nadia.”Nadia mendengus kesal sambil menarik tangannya dari cekalan Arum.“Coba saja kalau berani. Memang kamu pikir kamu siapa. Mas Danu pasti lebih percaya padaku daripada kamu.”Arum mengangguk mengiyakan ucapan Nadia. “Ya, Mas Danu mungkin percaya dengan ucapanmu. Namun, apa dia akan menyangkal jika CCTV melihat hal yang lain. Kamu lupa banyak CCTV di kantor ini?”Nadia terkejut dan terlihat semakin dongkol. Wajahnya merah padam dengan rahang menegang dan gigi yang saling gemelatuk menahan amarah.“Kamu memang sialan, Arum. Penipu ulung. Ak
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak