“Mati? Apanya yang mati? Mobilmu akinya mati?” seru Nadia dengan panik.
Danu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. Ia melihat Nadia sedang mengawasinya di seberang sana.
“Enggak. Gak papa, kok. Kamu masuk ke dalam dulu, nanti aku ke sana!!”
Nadia menurut, menganggukkan kepala kemudian berjalan masuk kembali ke dalam restoran. Sementara Danu kembali berjalan menghampiri Arum. Ia mengetuk kaca jendela Arum hingga wanita cantik itu membukanya.
“Ada apa?” tanya Arum.
“Aku ... aku gak bisa ngantar kamu. Aku mendadak ada janji. Gak papa kamu sendiri?”
Arum tersenyum masam. Padahal tanpa sepengetahuan Danu, Arum sudah melihat kalau ada Nadia di seberang jalan sedang asyik berteleponan dengan Danu. Arum sudah berasumsi jika yang menelepon Danu tadi adalah Nadia dan ternyata tebakannya tepat.
“Iya, gak papa. Aku duluan, ya!! Aku gak mau membuat Nona Anjani menunggu.”
<“Maaf ... Anda bicara apa, Nona?” tanya Bu Fatma.Sepertinya gumaman Arum terdengar jelas di telinga wanita paruh baya tersebut. Arum tersenyum sambil berulang menggelengkan kepala.“Eng ... bukan apa-apa, Bu.”Bu Fatma hanya diam sambil tersenyum kemudian melirik ke lantai satu. Arum melihat ada kekesalan di tatapan wanita paruh baya itu.“Itu orang yang sedang kita bicarakan, Nona. Tak lain dan tak bukan Nona Nadia Amalia.” Wanita paruh baya itu kembali bersuara. Arum hanya membisu sambil melirik sekilas ke lantai satu.“Suruh mereka tunggu sebentar, Mbak!!” Kini Bu Fatma sudah memberi perintah ke waitres yang sedang menunggu sedari tadi.Waitres itu gegas berlalu turun ke lantai satu, setelahnya Arum melihat Danu dan Nadia sudah duduk menunggu di salah satu sudut kafe.“Nona Nadia itu sombong. Baru juga jadi model, tapi gayanya sudah selangit.”Ucapan Bu Fatma mengi
“Nona Anjani?” tanya Nadia.Mata wanita cantik itu membola usai mendengar penjelasan Bu Fatma. Sementara Bu Fatma hanya tersenyum sambil mengangguk.“Iya. Nona Anjani bilang, beliau pernah menggunakan jasa Anda saat di Paris. Saat itu Anda bekerja sangat profesional, Nona.”Nadia terdiam, mengatupkan rapat bibirnya. Dia tidak menduga orang yang dia benci malah menolongnya kali ini. Perlahan Nadia mengangguk sambil mengulas senyum.“Iya, saya memang pernah bekerja dengannya setahun yang lalu. Saya tidak menduga Nona Anjani masih mengingatnya.” Nadia sudah berkomentar sendiri.Bu Fatma hanya tersenyum menanggapinya kemudian tampak asyik berbincang dengan Danu membahas kelanjutan kerja sama mereka kali ini. Selang beberapa saat kemudian, mereka sudah berpamitan pulang.“Mas ... kamu punya nomor telepon Nona Anjani, gak?” tanya Nadia tiba-tiba.Mereka sudah di dalam mobil perjalanan pulang.
“Kamu serius dengan ucapanmu, Mas?” tanya Nadia.Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Danu. Danu tidak menggubris pertanyaannya malah membuka lebih lebar pintu dan menyilakan Arum masuk. Arum hanya mengangguk dan berjalan masuk tanpa memperhatikan reaksi Nadia.“Aku akan mulai bicarakan deskripsi job-mu selama di sini, Arum.” Danu sudah menyilakan Arum duduk di sofa dan memulai pembicaraannya tanpa menghiraukan Nadia.Nadia terlihat kesal. Dia menghentakkan kakinya ke lantai dan tanpa pamit langsung keluar ruangan sambil membanting pintu. Arum memperhatikan Nadia sekilas. Arum masih belum tahu apa hubungan mantan suaminya dengan Nadia. Namun, Arum memaklumi jika Nadia cemburu padanya.“Kamu gak ngejar dia dulu?” Tiba-tiba Arum bersuara mengalihkan topik pembicaraan.Danu terdiam sesaat, jakunnya naik turun menelan saliva sambil menatap tajam ke arah Arum.“Memangnya kamu minta
“Apa maksud Mama?” tanya Arum.Ia sangat kesal, lagi-lagi Nyonya Lani dan Citra menuduhnya maling. Apa mereka tidak tahu kalau dia sudah berubah? Kehidupannya sudah berubah dan dia tidak butuh sepeser uang pun dari Danu.“Eh, pakai ngelak lagi? Memangnya kami tidak tahu keberadaanmu di sini? Kamu ingin menuntut hakmu, kan? Hak yang sengaja kamu rancang untuk merebut kekayaan kami. Namamu sebagai pemilik saham 40 persen di perusahaan ini.” Kini Citra yang bersuara. Dari dulu adik iparnya itu selalu pedas kalau bersuara dan Arum tidak terkejut mendengarnya.Arum tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala.“Kalian salah. Aku di sini bukan untuk itu. Kalau tidak percaya tanyakan saja Mas Danu.”“Omong kosong!! Tukang ngibul!! Orang gila memang selalu ngelantur kalau bicara. Aku heran kenapa dulu Kak Danu sampai menikahimu? Jangan-jangan kamu juga merayu Kakek Dipta agar masuk ke keluarga kami, kan?”
“Gak perlu minta maaf. Aku sudah baik-baik saja, kok,” ujar Arum.Arum tidak suka dengan keadaan canggung seperti ini. Bukankah dia sudah bertekad kalau kehadirannya di kantor Danu hanya berhubungan dengan kontrak kerja mereka. Kontrak kerja antara Danu dan Anjani.“Baiklah, kalau kamu tidak mau. Aku tidak akan memaksa. Namun, aku harap kamu segera berubah pikiran.”Arum tidak menjawab hanya mengangguk. Ia tahu maksud ucapan Danu kali ini. Tentu kehadirannya di meeting pemegang saham itu sangat dibutuhkan Danu. Apalagi usai Arum mendengar obrolan Danu dengan Nadia tadi. Dia tidak menduga sifat licik suaminya tidak hilang. Namun, kali ini Arum sudah bertekad tidak akan terbuai dengan ucapannya lagi. Dia tidak akan mau rujuk dengan Danu.Danu berlalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata lagi. Sama seperti yang sudah-sudah. Arum hanya melirik kepergiannya dengan sudut mata. Ia merasa tenang kini dan melanjutkan pekerjaannya yang tertun
“Ngapain juga Mas Danu ada di sini,” gumam Arum.Ia buru-buru menundukkan kepala menghindar dari tatapan sosok tampan yang tak lain Danu, mantan suaminya itu. Tadi siang Danu memang mengirim pesan ke ponsel Anjani untuk menanyakan keberadaan Arum. Karena Arum dan Anjani orang yang sama, jelas saja Arum jawab kalau dia membutuhkan bantuannya. Namun, sekarang Arum tidak menduga kalau akan bertemu di sini.“Sudah menentukan pesananmu?” Dokter Sandy sudah kembali dari toilet dan langsung duduk di depan Arum.Arum mengangguk sambil tersenyum. Kemudian seorang waitres datang menghampiri mereka. Kini Arum tidak mempedulikan Danu. Ia sengaja terus mengobrol dengan Dokter Sandy meskipun obrolannya random ke sana ke mari sambil menikmati pesanan mereka.Obrolan mereka terjeda saat live musik di lantai bawah tiba-tiba menghentikan permainannya.“Mohon perhatiannya, ada yang mau nyumbang lagu, nih!!” seru salah satu personil
“Hentikan omong kosong ini, Mas. Memangnya aku tidak tahu apa yang terjadi antara kalian lima tahun lalu. Kenapa juga kamu malah menuduhku seperti itu?” sergah Arum dengan amarah.Danu tampak terkejut. Mata elangnya berkilatan menatap tajam ke arah Arum. Banyak tanya yang tersirat dari tatapan itu, tapi Arum mengabaikannya. Bisa jadi ini adalah muslihat yang sedang dilancarkan mantan suaminya.“Memangnya apa yang terjadi antara aku dan Nadia? APA!!!”Arum berdecak, tersenyum masam sambil menggelengkan kepala. Ia terdiam sesaat sambil berusaha memenuhi rongga dadanya dengan udara. Arum benar-benar muak dengan pria munafik di depannya ini.“CUKUP!!! Aku tidak mau membahas lagi. Aku sudah melupakannya. Jadi aku mohon, berhenti mengusikku. Urus saja pacar dan anakmu sana!! Aku rasa mereka lebih membutuhkanmu.”Usai berkata itu, Arum langsung melengos pergi berlalu meninggalkan Danu. Danu hanya diam di tempatnya denga
“Iya, aku akan menerimanya,” ujar Arum.Sesaat dia kebingungan harus bagaimana, tapi Arum berusaha tenang dan tidak ingin membuat Danu curiga. Arum langsung mereject panggilan Danu dan pura-pura menjawab panggilan telepon.“Iya, Pak. Ada yang bisa dibantu?” Arum sudah pura-pura menjawab panggilan.Sementara Danu hanya terdiam sambil memperhatikan ponselnya. Sesekali ia mengetukkan jari di dagu sambil menghela napas panjang.“Mungkin Nona Anjani sedang sibuk, makanya dia mereject panggilanku. Nanti saja aku hubungi lagi,” gumam Danu dalam hati.Arum menyudahi panggilannya dan sudah menonaktifkan ponselnya kali ini. Ia tidak mau mendapat situasi rumit seperti tadi. Kini Danu melihat ke arahnya dengan tatapan bertanya.“Siapa yang menelepon? Apa Nona Anjani?” tanya pria bermata elang itu.Arum menggeleng. “Bukan. Hanya customer.”Danu manggut-manggut sambil tersenyum, kem