“ARUM!!!! ARUM!!!” seru Nyonya Lani.
Hari masih pagi, tapi Arum sudah disibukkan dengan aktivitas rumah tangga. Semalam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Hatinya masih sibuk bertanya dan ingin meminta kejelasan dari sang Suami, tapi Danu malah menghindar darinya. Apa memang benar kalau suaminya terlibat affair dengan artis cantik itu?
“Iya, Ma,” jawab Arum.
Ia tergopoh datang dengan wajah lesu menghampiri Nyonya Lani yang sedang berdiri di depan kamar.
“Kamu ke mana saja? Dari tadi dipanggil tidak menyahut.”
Arum membisu sambil menundukkan kepala. Sejak tadi pagi, dia sudah sibuk di dapur, banyak hal yang harus ia kerjakan termasuk memasak untuk tamu wanita keluarga ini.
“Saya memasak di dapur, Ma. Bukannya Mama yang meminta aneka menu pagi ini.”
“Pintar saja kamu menjawab. Sudah, cepat bantu Nadia di kamarnya!!”
Arum menghela napas panjang. Padahal jelas-jelas banyak asisten rumah tangga yang menganggur, mengapa mertuanya malah meminta dia yang membantu wanita asing itu. Namun, anehnya Arum tidak menolak dan hanya mengangguk.
Perlahan Arum mengetuk pintu kamar tempat Nadia beristirahat. Setelah mendengar sahutan, ia membuka pintu. Arum melihat wanita cantik itu masih berbaring di atas kasur menatap Arum dengan senyum yang manis.
“Hai, selamat pagi!! Kamu mau membantuku bersiap, bukan?” sapa Nadia.
Arum tersenyum sambil mengangguk. Ia sedikit lega saat melihat sikap Nadia yang ramah. Mungkin dia akan bertanya ke Nadia saja mengenai hubungannya dengan Danu.
“Apa kamu mau mandi?” tawar Arum.
“Iya, bisa minta tolong siapkan semuanya!!”
Arum mengangguk kemudian sudah berjalan ke kamar mandi. Ia menyalakan kran air, mengisi bathtube dengan air hangat. Arum juga menyiapkan handuk dan baju ganti. Perannya kali ini benar-benar seperti asisten rumah tangga saja. Tanpa Arum sadari, Nadia sedang tersenyum mengejek sambil melihatnya.
Sepertinya Arum tahu jika dia menjadi perhatian Nadia. Penampilannya kali ini memang tidak menunjukkan kalau dia adalah nyonya di rumah ini. Bajunya sederhana dengan beberapa noda angus di sana, belum lagi wajahnya yang polos tanpa riasan dengan rambut hitam legamnya yang terurai berantakan. Visualnya kali ini memang sebelas dua belas mirip dengan asisten rumah tangga di rumah ini.
Arum menghela napas panjang sambil menata gemuruh di dadanya. Sungguh, dia juga tidak ingin seperti ini. Namun, entah mengapa dia tidak bisa berontak atau menolak. Arum menganggap semua yang ia lakukan selama ini adalah bentuk pengabdiannya sebagai seorang istri dan menantu di rumah ini. Dia berharap apa yang dia lakukan bisa membuat Danu melirik ke arahnya, meskipun hanya sekejap.
“Bisa minta tolong ambilkan cincin di nakas itu, Arum!!" pinta Nadia tiba-tiba menginterupsi lamunan Arum. Nadia sudah selesai mandi dan kini sedang duduk di kursi rodanya sambil bercermin.
Arum mengangguk berjalan dengan pelan kemudian mengambil benda yang diminta Nadia. Nadia tersenyum, menerima dan langsung mengenakan cincin tersebut.
"Cantik bukan cincinnya?" Nadia bertanya sambil menunjukkan cincin itu ke Arum.
"Iya, cantik," jawab Arum sambil menganggukkan kepala.
Nadia mengulum senyum sambil melihat Arum dengan sudut matanya.
"Asal kau tahu cincin ini pemberian dari Mas Danu. Kemarin dia melamarku."
Seketika Arum terperangah kaget mendengar ucapan Nadia. “Me—melamarmu?” ulang Arum bertanya.
Nadia tersenyum dan senyumannya terlihat jelas di pantulan cermin.
“Iya, dua hari yang lalu, Mas Danu melamarku. Kami menghabiskan waktu semalaman di hotel bintang lima. Ia bahkan menyewa resto bintang lima itu hanya untuk merayakan momen indah berdua denganku. Aku senang sekali.”
Nadia meneruskan ceritanya seakan tidak peduli dengan perasaan Arum. Arum sendiri tidak tahu, apa memang Nadia tidak tahu posisinya di rumah ini? Atau memang dia sudah tahu, hanya sengaja sedang memanasi Arum?
“Me—memangnya kalian akan menikah?” Arum memberanikan diri bertanya.
Nadia langsung membalikkan badan dengan cepat dan melihat Arum dengan tatapan menyidik.
“Kamu pikir apa yang akan dilakukan dua orang yang sudah bertunangan, Arum?”
Arum membisu menatap Nadia dengan bingung. Sementara Nadia hanya tersenyum menatap kebingungan Arum.
“Aku tahu kamu istri Mas Danu, tapi sayangnya pernikahan kalian terjadi karena sebuah perjodohan, bukan? Mas Danu tidak pernah mencintaimu dan asal kamu tahu, aku sudah pacaran dengannya sejak kami kuliah. Aku seharusnya yang menjadi istrinya, bukan kamu!!!”
Seketika ada sesak mendera di dada Arum. Kepalanya tiba-tiba pening dan entah mengapa seluruh anggota tubuhnya terasa lemas. Ia tak kuasa menopang berat tubuhnya dengan kedua kaki. Untung saja di dekat Arum ada kursi, sehingga ia berpegangan di sana.
Arum terdiam sambil mengolah udara di dadanya. Sementara Nadia tiba-tiba bangkit dari kursi roda dan berdiri dengan tegak lalu berjalan ke arahnya. Arum semakin tercengang saat melihat wanita cantik itu bisa berjalan layaknya orang biasa.
“Ka—kakimu ---“
Arum tidak meneruskan kalimatnya, karena Nadia sudah tersenyum menyeringai ke arahnya.
“Kakiku baik-baik saja. Aku hanya ingin tahu seberapa besar perhatian Mas Danu padaku dan ternyata dugaanku tepat. Dia masih mencintaiku sama seperti dulu.”
Ada sakit yang tiba-tiba menghujam tajam ke dada Arum. Wanita itu terdiam sambil menunduk di posisinya. Ia tidak tahu bagaimana rasa hatinya saat ini. Memang selama ini pernikahannya baik-baik saja. Hanya saja sampai detik ini, dia belum melakukan tugasnya sebagai seorang istri seutuhnya. Ia bahkan belum melakukan malam pertama dengan Danu.
Arum menderita mysophobia (ketakutan berlebih terhadap kontaminasi kuman) itu sebabnya dia kesulitan untuk berinteraksi lebih dekat dengan orang lain. Meski sekarang phobianya sedikit berkurang karena terapi, tapi tetap saja hal Itu masih membatasi hubungannya dengan Danu. Awalnya Danu tidak keberatan. Namun, setelah penjelasan Nadia rasanya Arum bagai mendapat tamparan saja.
“Oh ya ... satu lagi. Mungkin delapan bulan dari sekarang aku akan memberikan sesuatu yang dinantikan Mas Danu selama ini.” Kembali Nadia bersuara dan kini sambil mengelus perutnya.
Arum terdiam, menatap Nadia dengan alis mengernyit. Nadia tersenyum melihat reaksi Arum. Perlahan dia berjalan mendekat hingga berdiri sejajar di depan Arum. Setelah cukup dekat, Nadia mencondongkan tubuh dan berbisik di telinga Arum.
“Aku sedang mengandung anak Mas Danu.”
“Aku mau cerai!!” ujar Arum.Arum sangat marah usai mendengar ucapan Nadia tadi. Ia langsung keluar dari kamar Nadia dan kembali ke kamarnya. Hatinya terluka, tidak dia sangka pria yang hampir setahun dinikahinya bermain di belakang. Parahnya lagi ada benih miliknya yang tertanam di wanita lain.Arum berdiri sambil menatap tajam ke arah Danu. Rahangnya menegang, wajah ayunya merah padam belum lagi suara gemelatuk yang keluar dari giginya. Amarah Arum sudah memuncak dan dia berusaha keras menahannya.“MAS!!! Kamu dengar ucapanku, kan?” sentak Arum.Suaranya terdengar bergetar dan keras. banyak luapan emosi yang sedang dia lontarkan lewat ucapannya. Namun, reaksi Danu berbanding terbalik dengan keadaan Arum. “Mas, aku mau cerai!! Sekarang juga!!” Sekali lagi Arum berseru dan Danu masih bergeming di tempatnya tanpa jawaban.Arum menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Ia melihat suami gantengnya yang sedang bercermin dengan sudut matanya. Banyak kebencian serta merta
“Kamu baik-baik saja, Arum?” tanya Dokter Sandy. Arum hanya diam, seluruh tubuhnya bergetar, ia merasa sesak napas dan keringat berlebih sudah membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Dokter Sandy segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Arum hendak membimbingnya duduk. Namun, Arum gegas menolak. “JANGAN!!! JANGAN SENTUH!!!” “Apa yang terjadi? Bukankah sebelumnya kamu baik-baik saja, Arum?” Arum tidak menjawab hanya bergeming di tempatnya. Perlahan Arum menggeleng, tangannya masih gemeteran bahkan kini ditambah jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dokter Sandy hanya diam memperhatikan Arum melalui kacamata minusnya. Dokter Sandy adalah dokter yang menangani terapi Arum selama ini. Perkembangan Arum sudah membaik belakangan ini, bahkan ia sudah bisa berinteraksi dengan orang lain. Namun, mengapa pagi ini perilaku Arum berubah. “Kamu kenapa? Ceritakan padaku, Arum!!” Arum menggeleng, tidak menjawab kemudian sudah berurai air mata. Dokter Sandy makin bingung dibua
“ARUM!!!!” seru Danu.Ia langsung keluar kamar dan mencari Arum ke setiap sudut rumah. Jelas saja seluruh penghuni rumah terkejut dengan teriakan Danu kali ini. Beberapa asisten rumah tangga keluar dengan tergopoh menghampiri Danu.“Bi, Arum mana?” tanya Danu.Alih-alih menjawab pertanyaan Danu, asisten rumah tangga itu malah menundukkan kepala. Terang saja Danu kesal. Dia sudah lelah usai melakukan perjalanan bisnis dan pulang-pulang sudah menghadapi seperti ini.“Maaf, Tuan … Nyonya … Nyonya Arum —”“Dia kabur!!” sahut Nyonya Lani.Wanita paruh baya yang tak lain ibu tiri Danu itu sudah berdiri di belakang Danu sambil bersedekap. Danu menoleh dan mengernyitkan alis menatap Nyonya Lani.“Kabur?”“Iya. Apa namanya kalau pergi tanpa pamit? Kabur, bukan?” Nyonya Lani kembali bersuara.Danu menghela nafas panjang. Kemudian tanpa berkata apa-apa, langsung berjalan keluar rumah.“Danu!! Kamu mau ke mana? Ini sudah malam.” Nyonya Lani berteriak mencoba mencegah kepergian Danu. Namun, pria ta
“Maaf ... Anda salah orang, Tuan,” jawab Arum dengan gugup.Ia sudah berjalan mundur sambil menundukkan kepala. Sementara Danu hanya diam menatap tajam ke arah Arum. Sepertinya Danu tidak percaya dengan ucapan Arum dan terus memperhatikannya tanpa jeda.Dalam hati, Arum sibuk merutuki kebodohannya. Mengapa juga dia memutuskan ke balkon hingga akhirnya bertemu dengan mantan suaminya?“Nona, sudah saatnya!!” Tiba-tiba Lisa sudah berdiri menghampiri Arum. Sepertinya kehadiran Lisa merupakan kesempatan emas untuk melarikan diri dari Danu.“Iya.” Tanpa berpamitan Arum berlalu pergi begitu saja meninggalkan Danu yang bergeming di tempatnya.Danu menghela napas panjang sambil menatap punggung Arum yang telah menghilang. Ia memutuskan untuk kembali masuk ke dalam ruangan. Malam ini Danu memang sengaja menghadiri acara fashion show. Hampir lima tahun, Danu bergelut di bisnis hiburan. Karena menjanjikan, Danu memutuskan aktif berkecimpung di dalamnya.“Mas ... sebentar lagi sudah di akhir acara.
“Siapa? Danu Nagendra?” tanya Arum.Dia sangat terkejut saat Lisa menyebut nama mantan suaminya. Lisa tersenyum, menoleh ke arah Arum sambil menganggukkan kepala.“Iya, klien baru kita itu bernama Tuan Danu Nagendra. Katanya dia salah satu pemilik perusahaan terbesar di kota ini. Bahkan beliau juga sudah melebarkan sayapnya hingga ke manca negara. Rasanya tidak salah menjalin kerja sama dengannya, Nona.”Arum hanya membisu, tidak menjawab dan tanpa diminta kejadian beberapa jam tadi terulang di benaknya. Tadi saja Arum sudah mengubah penampilan, Danu mengenalinya. Bagaimana jika mereka bertatap muka besok?Arum menghela napas panjang sambil melirik Lisa.“Eng ... apa tidak bisa kamu tunda pertemuannya? Aku ... aku ada jadwal terapi, Lisa.”Lisa langsung tersenyum menoleh ke arah Arum. “Apa Nona lupa? Kalau Anda sudah tidak membutuhkan terapi lagi. Bukankah Dokter Sandy mengatakan kalau Anda sudah baik-baik saja, Nona.”Arum berdecak sambil menatap kesal ke arah Lisa. Mengapa juga asis
“Apa Nona Anjani memanggil saya?” tanya Arum.Belum sempat Lisa meneruskan kalimatnya, Arum sudah bertanya seperti itu. Terang saja Lisa terlihat bingung kali ini. Bahkan wanita muda berkacamata minus itu terlihat berulang memberi isyarat bertanya lewat matanya.Arum seakan tahu reaksi Lisa dan langsung tersenyum.“Nona Nadia membutuhkan baju untuk acara makan malamnya dan saya tidak bisa mencarikan baju yang tepat untuknya. Apa kamu bisa menolongnya?” Arum kembali bersuara dan kini ditujukan ke Lisa.Lisa hanya diam sambil menatap Arum dan Nadia bergantian. Namun, meski demikan Lisa sudah menganggukkan kepala.“Eng ... mari saya bantu, Nona.” Lisa mengambil alih, tapi sepertinya Nadia tidak berkenan.“Aku tidak mau kamu layani. Aku mau dia yang melayani aku!!!” Nadia berkata sambil menunjuk ke arah Arum.Lisa melotot dan reaksinya tidak bisa ditutupi begitu saja.“Tapi, Non
“Mati aku!! Kenapa juga Lisa memanggilku dengan nama itu?” gumam Arum.Arum pura-pura tidak mendengar, ia menundukkan kepala dan mempercepat jalannya. Tentu saja ulah Arum membuat Lisa bingung. Lisa gegas mengejar Arum. Sementara Danu hanya diam sambil menatap wanita yang dipanggil Anjani tadi. Sayang, saat Danu menoleh Arum sedang menunduk sehingga dia tidak melihat sosok Anjani sebenarnya.“Nona ... Tuan Danu sudah datang,” seru Lisa.Ia sudah berhasil mengejar Arum yang kini bersembunyi di salah satu ruang ganti. Arum diam membisu sambil menatap Lisa tajam. Tidak biasanya Lisa melihat reaksi Arum seperti ini. Memang ia tahu, Arum seorang introvert, tapi dia juga pebisnis yang handal. Bertemu dengan klien adalah hal yang paling wajib dia lakukan.“Nona ... .” Lisa menginterupsi lamunan Arum.Arum menghela napas panjang kemudian melirik ke arah Lisa. Ia melihat asistennya sedang menunggu titah darinya. Arum tahu
“Mas Danu ... ,” lirih Arum.Usai meminta Lisa menyuruh Danu dan Nadia masuk ke ruangannya, Arum meninggalkan kantor. Ia belum siap untuk bertemu dengan Danu dan memutuskan menghabiskan waktu di kafe. Tidak disangka saat dia ingin kembali ke kantor malah bertemu Danu di luar kafe.“Ma—maaf, Mas. Aku ... aku gak lihat tadi.” Seketika suara Arum berubah gugup bahkan kini dia terus menunduk.Danu hanya diam, kemudian merampas saputangan dari tangan Arum dan mengelap jasnya yang basah. Arum hanya membisu sambil sibuk meremas tangannya. Sedari dulu, dia selalu begitu jika gugup.“Kamu masih berada di kota ini rupanya.” Danu kembali bersuara.Arum hanya diam, menundukkan kepala sambil mengangguk. Danu menghela napas panjang kemudian mengulurkan sapu tangan Arum. Arum menerima dan menyimpannya. Untuk beberapa saat mata mereka bertemu dan entah mengapa Danu terus tertegun saat melihatnya.Memang penampilan A