Share

Termakan Jebakan

“Aku mau cerai!!” ujar Arum.

Arum sangat marah usai mendengar ucapan Nadia tadi. Ia langsung keluar dari kamar Nadia dan kembali ke kamarnya.  Hatinya terluka, tidak dia sangka pria yang hampir setahun dinikahinya bermain di belakang. Parahnya lagi ada benih miliknya yang tertanam di wanita lain.

Arum berdiri sambil menatap tajam ke arah Danu. Rahangnya menegang, wajah ayunya merah padam belum lagi suara gemelatuk yang keluar dari giginya. Amarah Arum sudah memuncak dan dia berusaha keras menahannya.

“MAS!!! Kamu dengar ucapanku, kan?” sentak Arum.

Suaranya terdengar bergetar dan keras. banyak luapan emosi yang sedang dia lontarkan lewat ucapannya. Namun, reaksi Danu berbanding terbalik dengan keadaan Arum. 

“Mas, aku mau cerai!! Sekarang juga!!” Sekali lagi Arum berseru dan Danu masih bergeming di tempatnya tanpa jawaban.

Arum menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Ia melihat suami gantengnya yang sedang bercermin dengan sudut matanya. Banyak kebencian serta merta muncul berjejalan di benaknya. Tidak hanya itu saja, bayangan kemesraan Danu dan Nadia sudah berputar di benak Arum. Pantas saja belakangan ini suaminya selalu jarang pulang. Ternyata dia sedang merajut kebahagiaan dengan wanita lain.

“MAS!!!”

Arum berseru lebih keras dari sebelumnya. Ini adalah pertama kali dia menaikkan suaranya beberapa oktaf lebih tinggi dari sebelumnya. Ini bukan dirinya, tapi Arum sudah lelah bersabar. Apalagi Danu tak kunjung mempedulikannya.

Danu menoleh, melihat ke arah Arum dengan datar. Sama sekali tidak terlihat kekhawatiran di ekspresi wajahnya. Arum tidak habis pikir, mengapa suaminya setenang ini? Apa memang Danu sengaja ingin menduakannya? Atau jangan-jangan Danu memang sudah berencana untuk memberinya madu? 

“Hentikan omong kosongmu!! Aku sibuk hari ini.”

Tiba-tiba Danu bersuara, kemudian tanpa berkata apa-apa ataupun membuat penyangkalan, dia sudah berjalan pergi meninggalkan Arum. Arum terdiam, perlahan tubuhnya merosot ke lantai. Dia tidak tahu mengapa Danu malah menganggap ucapannya main-main.

Sepertinya benar jika Danu ingin menduakannya. Bisa jadi juga Danu dan keluarganya sedang merencanakan sesuatu. Bukankah keberadaannya di sini hanya sebatas status di atas kertas. Memang sebuah kesalahan saat dia menerima perjodohan dengan Danu dulu. Dia yang masih muda berpikir hidupnya akan berubah drastis laksana cinderela di cerita. Namun, nyatanya dia hanya dijadikan upik abu di rumah suaminya.

Dia sama sekali tak dianggap, diabaikan. Bahkan saat meminta cerai saja, Danu tak mempedulikannya. Apa memang dirinya tak pernah diinginkan di keluarga ini bahkan keberadaannya tak pernah dianggap ada?  

Arum menghela napas sambil menyeka buliran bening yang terkumpul di sudut matanya. Ia tidak mau menangis. Sudah cukup dia bersabar menghadapi keluarga ini. Mungkin kini saatnya dia membalas balik.

Perlahan dia bangkit, berjalan menuju nakas lalu meraih ponselnya. Tak lama dia sudah sibuk melakukan panggilan dengan seseorang di seberang sana.

Sementara itu, di ruang makan sudah berkumpul keluarga Danu bersama Nadia. Mereka terlihat sibuk melakukan makan pagi. Sesekali gelak tawa Citra dan Nadia terdengar dari arah ruang makan. Bahkan ketidakhadiran Arum di sana, sama sekali tidak mereka cari tahu.

Hingga tiba-tiba Arum berjalan melintas dari ruang makan menuju ruang tamu. Nyonya Lani yang melihatnya langsung memanggil.

“Arum!! Kamu mau ke mana?”

Arum menghentikan langkahnya dan melihat ke arah meja makan. Nadia masih duduk di samping Danu sama seperti saat makan malam. Ada Tuan Prada duduk di kepala meja dan di seberang Danu ada Nyonya Lani serta Citra.

“Ke rumah sakit, Ma.”

“Ke rumah sakit lagi? Bukannya kamu kemarin sudah dari sana? Memangnya kamu terapi setiap hari?” Kini Citra yang menyahut. Arum tidak menjawab, tapi tatapannya terasa dingin kali ini. Hal yang sama juga diperlihatkan Danu. Suami gantengnya itu hanya diam sambil memperhatikan Arum dari jauh.

“Kamu boleh pergi setelah membereskan makan pagi ini. Lalu jangan lupa, belanja untuk keperluan bulanan. Mama sudah ---“

“Kenapa tidak minta tolong yang lain saja, Ma?” potong Arum.

Nyonya Lani, Citra, Tuan Prada bahkan Danu terkejut dengan jawaban Arum. Tidak biasanya Arum akan memotong dan menolak permintaan Nyonya Lani.

“Maaf ... saya sibuk hari ini. Permisi.”

Tanpa menunggu jawaban dari siapa pun, Arum gegas berlalu pergi. Danu hanya diam, melihat punggung Arum yang menjauh dengan mata elangnya yang menyipit.

“Tuh, lihat istrimu, Danu!! Sudah gila, aneh, tidak tahu sopan santun pula. Kalau tidak karena wasiat kakekmu, pasti tidak akan Mama izinkan kamu menikah dengannya.”

“Sudah, Ma. Jangan bawa-bawa nama papaku di sini,” sahut Tuan Prada.

Nyonya Lani hanya diam sambil memajukan bibirnya beberapa senti ke depan.

“Jangan-jangan Kak Arum punya pria lain di luar sana, Kak. Padahal kemarin dia baru saja ke rumah sakit, kenapa ke rumah sakit lagi sekarang?” Kini Citra ikut bersuara.

Danu masih diam dan sama sekali tidak menanggapi pembicaraan anggota keluarganya. Selama ini dia selalu mengantar Arum jika terapi ke rumah sakit. Memang dia hanya mengantar Arum sampai depan dan kadang menjemputnya saat sudah selesai. Namun, menurut Danu, Arum memang benar melakukan terapi.

“Memangnya apa yang dia lakukan di rumah sakit?” sahut Nadia.

“Dia itu gila, Kak, juga punya phobia yang aneh. Itu sebabnya dia melakukan terapi.”

“Ehmm ... aku kenal beberapa dokter terapis. Memang sih banyak dokter muda dan ganteng, mungkin itu juga yang membuat Arum betah di sana,” imbuh Nadia.

“Tuh, kan. Kataku juga apa, Kak. Pasti Kak Arum selingkuh di luar sana. Apa Kakak gak pernah curiga padanya? Bahkan aku pikir selama ini dia hanya pura-pura saja menjalani terapi. Bisa jadi dia sedang menemui dokter ganteng dan pacaran di luar sana tanpa sepengetahuan Kakak.” Citra semakin berapi-api memanasi Danu.

“Iya, benar. Arum juga selalu gembira setiap pulang dari rumah sakit. Bahkan tidak jarang pula, Mama pergoki dia menerima panggilan telepon secara diam-diam. Padahal kita tahu dia sudah tidak punya sanak saudara di sini.”

Danu hanya diam sama sekali tidak berkomentar, kemudian menyudahi makan paginya dan bangkit dari kursinya.

“Danu, kamu mau ke mana? Berangkat sekarang? Tidak bersama Nadia?” Nyonya Lani memanggil.

Danu tidak menjawab dan sudah berlalu pergi begitu saja. Tanpa diketahui Danu dan Tuan Prada, sebuah senyuman penuh seringai sudah terbit di wajah Citra, Nadia dan Nyonya Lani.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status