“Kamu baik-baik saja, Arum?” tanya Dokter Sandy. Arum hanya diam, seluruh tubuhnya bergetar, ia merasa sesak napas dan keringat berlebih sudah membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Dokter Sandy segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Arum hendak membimbingnya duduk. Namun, Arum gegas menolak. “JANGAN!!! JANGAN SENTUH!!!” “Apa yang terjadi? Bukankah sebelumnya kamu baik-baik saja, Arum?” Arum tidak menjawab hanya bergeming di tempatnya. Perlahan Arum menggeleng, tangannya masih gemeteran bahkan kini ditambah jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dokter Sandy hanya diam memperhatikan Arum melalui kacamata minusnya. Dokter Sandy adalah dokter yang menangani terapi Arum selama ini. Perkembangan Arum sudah membaik belakangan ini, bahkan ia sudah bisa berinteraksi dengan orang lain. Namun, mengapa pagi ini perilaku Arum berubah. “Kamu kenapa? Ceritakan padaku, Arum!!” Arum menggeleng, tidak menjawab kemudian sudah berurai air mata. Dokter Sandy makin bingung dibuatnya. Ia berdiri diam di depan Arum sambil mengamati perilaku pasiennya. Arum menutup wajah dengan kedua tangannya dan terus menangis. “Mas Danu selingkuh, Dok,” cicit Arum di sela tangisnya. Dokter Sandy terdiam hanya helaan napas panjang yang terdengar keluar dari bibirnya. “Apa kamu yakin, Arum?” Arum tidak menjawab hanya menganggukkan kepala. Dokter Sandy masih terdiam dan memperhatikan Arum dengan sudut matanya. “Artis itu selingkuhannya dan kini ia sedang mengandung anak Mas Danu,” imbuh Arum. Dokter Sandy semakin terkejut dengan ucapan Arum. Ia mengenal Danu meski tidak terlalu akrab. Suami Arum itu memang sering mengantar Arum terapi, tapi tidak pernah ikut masuk dan mengetahui proses terapi istrinya. Meski demikian, Dokter Sandy pernah membahas perkembangan Arum satu dua kali dengan Danu melalui telepon dan Danu meresponnya dengan baik. Perlahan Dokter Sandy berjalan mendekat kemudian dengan sangat hati-hati menyentuh tangan Arum. Meski awalnya menolak, Arum akhirnya terdiam saat dokter muda berkacamata itu sudah mengelus lembut tangannya seakan sedang berusaha menenangkan. “Sudah. Jangan menangis, aku yakin kalian hanya salah paham. Ada baiknya kamu bicarakan hal ini dengan Danu saat sudah tenang." Belum sempat Arum menjawab, tiba-tiba pintu ruang terapi terbuka lebar. Tampak Danu berdiri diam, menatap interaksi istri dan Dokter Sandy dengan mata berkilatan penuh amarah. “Jadi benar kamu ada affair dengan dokter terapimu!!?” sentak Danu. Arum terjingkat kaget apalagi Dokter Sandy. Ia buru-buru mengurai genggamannya ke Arum dan melihat ada suster berdiri di belakang Danu tampak serba salah. “Tuan ... Anda salah paham. Ini ---“ “CUKUP!!” Belum sempat Dokter Sandy memberi penjelasan, Danu sudah memotong lebih dulu ucapannya. “Itu sebabnya kamu minta cerai. Bahkan kamu tidak pernah mau saat aku menyentuhmu, ternyata kamu lebih memilih dia!!” Danu kembali bersuara sambil berjalan ke arah Arum. Arum hanya diam membisu, tapi netra hitamnya terus menatap tajam ke arah Danu. Banyak amarah yang mendera dadanya. Bahkan semua peristiwa kemarin, semalam dan tadi pagi kini melintas di benaknya, membuat dia semakin marah. “Lalu bagaimana dengan dirimu? Kamu selingkuh di belakangku, bahkan wanita itu sedang hamil anakmu, bukan?” Arum membalas tak kalah ketus. “Selingkuh? Siapa yang selingkuh? Memangnya siapa yang sedang hamil? Kamu jangan menuduhku yang tidak-tidak, Arum!!” Arum berdecak, memejamkan mata sambil menggelengkan kepala. Mereka berdua berdiri berhadapan saling dekat sementara Dokter Sandy memilih menjauh untuk memberi ruang bagi mereka berdua. “Cukup, Mas. Aku tahu, aku tahu pernikahan kita selama ini tidak akan berhasil. Kamu terpaksa melakukannya. Kamu hanya kasihan kepadaku. Bisa jadi kamu melakukannya hanya untuk mendapatkan hak warismu. Iya, kan?” Arum tahu kalau pernikahan mereka merupakan hasil perjodohan dan karena pernikahan ini juga Danu mendapat hak penuh atas warisan kakeknya. Jadi Arum rasa pernikahan ini sengaja dilakukan Danu untuk mewujudkan keinginannya. Dia hanya dijadikan alat oleh suaminya. “Ceraikan aku, Mas!! Ceraikan aku!! Aku janji tidak akan mengganggu hidupmu. Aku ikhlas melepasmu bersama dia.” Arum bersuara dengan lirih dan hampir tak terdengar. Suaranya sudah terinterupsi dengan isakan tangis. Wanita mana juga yang rela menyudahi pernikahannya yang masih berusia dini. Belum genap satu tahun menikah, sudah harus berakhir seperti ini. “Memangnya kau beri obat apa istriku, Dok? Hingga dia meracau seperti ini.”
Alih-alih menjawab permintaan Arum, Danu malah bersuara seperti itu. Arum tercengang mendengarnya. Ia menatap Danu dan gegas menggelengkan kepala. “Aku tidak meracau, Mas. Aku mau cerai!!! Aku mau cerai!!” “CUKUP!! Kita pulang sekarang dan jangan bahas lagi tentang perceraian!!” Tanpa menunggu jawaban Arum, Danu langsung menarik tangan Arum membawanya keluar ruangan. Bersikeras Arum menolak, tapi cekalan suaminya lebih erat. Hingga akhirnya Arum hanya duduk terdiam di dalam mobil bersebelahan dengan Danu. Danu pikir setelah Arum dibawa pulang, istrinya akan baik-baik saja dan melupakan permintaan cerainya. Namun, tanpa sepengetahuan Danu, Arum diam-diam mengurus sendiri perceraiannya. Pagi itu hampir tiga minggu usai permintaan cerai Arum, Danu tampak sibuk bersiap berdiri di depan cermin. Arum hanya diam sambil melirik suaminya lewat pantulan cermin. Sudah dua hari ini, dia tidak enak badan dan sengaja bangun lebih siang. Arum sengaja menulikan rungunya saat Nyonya Lani terus memanggil namanya sedari pagi. Dia lelah terus menuruti perintah mertuanya itu. Dia bosan menjadi penurut, toh apa yang dilakukannya sama sekali tak dihargai. “Hari ini aku gak pulang. Aku ada meeting di luar kota,” ucap Danu menginterupsi lamunan Arum. Arum hanya diam sambil menganggukkan kepala. Bisa jadi Danu mengatakan hal itu hanya sebagai alasan untuk berkencan dengan Nadia. Sesaat sebelumnya, Arum mendengar suaminya sibuk menelepon Nadia. Dia sengaja pura-pura tidur tadi dan bodohnya Danu tidak tahu. Arum masih tidur bersandar di kepala ranjang. Ia pura-pura memejamkan mata dan sama sekali tidak mau melihat ke arah Danu. Perasaan cinta dan hormat pada suaminya perlahan memudar sejak mengetahui perselingkuhannya. Padahal Arum berharap Danu mau berkata jujur dan menceraikannya, tapi hingga detik ini tidak terucap sepatah pun tentang hal itu. “Aku berangkat!” Arum gegas membuka mata dan melihat suami gantengnya itu sudah berjalan keluar kamar. Sekilas Arum melihat sebuah senyuman tersungging di wajah Danu. Dugaan Arum semakin kuat kalau suaminya bukan pergi untuk berbisnis, melainkan berkencan dengan Nadia. Bisa jadi juga mereka sedang merencanakan pernikahan. Bukankah sebelumnya Danu sudah melamar Nadia tanpa sepengetahuan Arum.
“Akh … .” Helaan napas panjang tanpa diminta menjejali dada Arum. Ia merasa sesak setiap mengingat hal itu.
Pukul sepuluh pagi, Arum bangkit dari atas kasur. Dia tampak sudah rapi dan bersiap. Arum memang sudah merencanakan pergi dari rumah hari ini. Kebetulan mertua dan adik iparnya sudah keluar rumah dua jam yang lalu. Jadi rasanya tidak akan ada yang mengetahui kepergiannya kali ini.
Sesaat sebelum Arum meninggalkan rumah, ia meletakkan sebuah amplop putih di atas meja kerja Danu dalam kamar. Arum tersenyum sambil menatap amplop putih itu, kemudian berlalu pergi tanpa penyesalan.
Tiga hari berselang, Danu pulang ke rumah. Dia datang sangat larut dan langsung masuk kamar. Inginnya dia langsung beristirahat malam itu. Namun, matanya sudah melihat sebuah amplop putih yang tergeletak di atas meja kerjanya. Danu menghampiri dan langsung membukanya.
Matanya langsung mengerjap saat membaca surat tersebut.
“Cerai. Ini surat gugatan cerai dari Arum?”
“ARUM!!!!” seru Danu.Ia langsung keluar kamar dan mencari Arum ke setiap sudut rumah. Jelas saja seluruh penghuni rumah terkejut dengan teriakan Danu kali ini. Beberapa asisten rumah tangga keluar dengan tergopoh menghampiri Danu.“Bi, Arum mana?” tanya Danu.Alih-alih menjawab pertanyaan Danu, asisten rumah tangga itu malah menundukkan kepala. Terang saja Danu kesal. Dia sudah lelah usai melakukan perjalanan bisnis dan pulang-pulang sudah menghadapi seperti ini.“Maaf, Tuan … Nyonya … Nyonya Arum —”“Dia kabur!!” sahut Nyonya Lani.Wanita paruh baya yang tak lain ibu tiri Danu itu sudah berdiri di belakang Danu sambil bersedekap. Danu menoleh dan mengernyitkan alis menatap Nyonya Lani.“Kabur?”“Iya. Apa namanya kalau pergi tanpa pamit? Kabur, bukan?” Nyonya Lani kembali bersuara.Danu menghela nafas panjang. Kemudian tanpa berkata apa-apa, langsung berjalan keluar rumah.“Danu!! Kamu mau ke mana? Ini sudah malam.” Nyonya Lani berteriak mencoba mencegah kepergian Danu. Namun, pria ta
“Maaf ... Anda salah orang, Tuan,” jawab Arum dengan gugup.Ia sudah berjalan mundur sambil menundukkan kepala. Sementara Danu hanya diam menatap tajam ke arah Arum. Sepertinya Danu tidak percaya dengan ucapan Arum dan terus memperhatikannya tanpa jeda.Dalam hati, Arum sibuk merutuki kebodohannya. Mengapa juga dia memutuskan ke balkon hingga akhirnya bertemu dengan mantan suaminya?“Nona, sudah saatnya!!” Tiba-tiba Lisa sudah berdiri menghampiri Arum. Sepertinya kehadiran Lisa merupakan kesempatan emas untuk melarikan diri dari Danu.“Iya.” Tanpa berpamitan Arum berlalu pergi begitu saja meninggalkan Danu yang bergeming di tempatnya.Danu menghela napas panjang sambil menatap punggung Arum yang telah menghilang. Ia memutuskan untuk kembali masuk ke dalam ruangan. Malam ini Danu memang sengaja menghadiri acara fashion show. Hampir lima tahun, Danu bergelut di bisnis hiburan. Karena menjanjikan, Danu memutuskan aktif berkecimpung di dalamnya.“Mas ... sebentar lagi sudah di akhir acara.
“Siapa? Danu Nagendra?” tanya Arum.Dia sangat terkejut saat Lisa menyebut nama mantan suaminya. Lisa tersenyum, menoleh ke arah Arum sambil menganggukkan kepala.“Iya, klien baru kita itu bernama Tuan Danu Nagendra. Katanya dia salah satu pemilik perusahaan terbesar di kota ini. Bahkan beliau juga sudah melebarkan sayapnya hingga ke manca negara. Rasanya tidak salah menjalin kerja sama dengannya, Nona.”Arum hanya membisu, tidak menjawab dan tanpa diminta kejadian beberapa jam tadi terulang di benaknya. Tadi saja Arum sudah mengubah penampilan, Danu mengenalinya. Bagaimana jika mereka bertatap muka besok?Arum menghela napas panjang sambil melirik Lisa.“Eng ... apa tidak bisa kamu tunda pertemuannya? Aku ... aku ada jadwal terapi, Lisa.”Lisa langsung tersenyum menoleh ke arah Arum. “Apa Nona lupa? Kalau Anda sudah tidak membutuhkan terapi lagi. Bukankah Dokter Sandy mengatakan kalau Anda sudah baik-baik saja, Nona.”Arum berdecak sambil menatap kesal ke arah Lisa. Mengapa juga asis
“Apa Nona Anjani memanggil saya?” tanya Arum.Belum sempat Lisa meneruskan kalimatnya, Arum sudah bertanya seperti itu. Terang saja Lisa terlihat bingung kali ini. Bahkan wanita muda berkacamata minus itu terlihat berulang memberi isyarat bertanya lewat matanya.Arum seakan tahu reaksi Lisa dan langsung tersenyum.“Nona Nadia membutuhkan baju untuk acara makan malamnya dan saya tidak bisa mencarikan baju yang tepat untuknya. Apa kamu bisa menolongnya?” Arum kembali bersuara dan kini ditujukan ke Lisa.Lisa hanya diam sambil menatap Arum dan Nadia bergantian. Namun, meski demikan Lisa sudah menganggukkan kepala.“Eng ... mari saya bantu, Nona.” Lisa mengambil alih, tapi sepertinya Nadia tidak berkenan.“Aku tidak mau kamu layani. Aku mau dia yang melayani aku!!!” Nadia berkata sambil menunjuk ke arah Arum.Lisa melotot dan reaksinya tidak bisa ditutupi begitu saja.“Tapi, Non
“Mati aku!! Kenapa juga Lisa memanggilku dengan nama itu?” gumam Arum.Arum pura-pura tidak mendengar, ia menundukkan kepala dan mempercepat jalannya. Tentu saja ulah Arum membuat Lisa bingung. Lisa gegas mengejar Arum. Sementara Danu hanya diam sambil menatap wanita yang dipanggil Anjani tadi. Sayang, saat Danu menoleh Arum sedang menunduk sehingga dia tidak melihat sosok Anjani sebenarnya.“Nona ... Tuan Danu sudah datang,” seru Lisa.Ia sudah berhasil mengejar Arum yang kini bersembunyi di salah satu ruang ganti. Arum diam membisu sambil menatap Lisa tajam. Tidak biasanya Lisa melihat reaksi Arum seperti ini. Memang ia tahu, Arum seorang introvert, tapi dia juga pebisnis yang handal. Bertemu dengan klien adalah hal yang paling wajib dia lakukan.“Nona ... .” Lisa menginterupsi lamunan Arum.Arum menghela napas panjang kemudian melirik ke arah Lisa. Ia melihat asistennya sedang menunggu titah darinya. Arum tahu
“Mas Danu ... ,” lirih Arum.Usai meminta Lisa menyuruh Danu dan Nadia masuk ke ruangannya, Arum meninggalkan kantor. Ia belum siap untuk bertemu dengan Danu dan memutuskan menghabiskan waktu di kafe. Tidak disangka saat dia ingin kembali ke kantor malah bertemu Danu di luar kafe.“Ma—maaf, Mas. Aku ... aku gak lihat tadi.” Seketika suara Arum berubah gugup bahkan kini dia terus menunduk.Danu hanya diam, kemudian merampas saputangan dari tangan Arum dan mengelap jasnya yang basah. Arum hanya membisu sambil sibuk meremas tangannya. Sedari dulu, dia selalu begitu jika gugup.“Kamu masih berada di kota ini rupanya.” Danu kembali bersuara.Arum hanya diam, menundukkan kepala sambil mengangguk. Danu menghela napas panjang kemudian mengulurkan sapu tangan Arum. Arum menerima dan menyimpannya. Untuk beberapa saat mata mereka bertemu dan entah mengapa Danu terus tertegun saat melihatnya.Memang penampilan A
“Nona dari mana? Tuan Danu baru saja pergi,” sapa Lisa.Asisten Arum itu langsung bersuara begitu melihat Arum datang. Arum hanya diam langsung duduk di kursi kerja dan mulai menyalakan laptop.“Besok Tuan Danu akan mengirimkan proposal kerja sama-nya. Sesuai yang Nona minta, saya sudah menjelaskan kalau kita akan menyetujuinya.”Arum hanya diam, tapi kepalanya tampak mengangguk berulang. Lisa hanya diam memperhatikan kemudian menarik kursi dan duduk di depan meja kerja Arum.“Nona ... apa Anda baik-baik saja?” Tiba-tiba Lisa bertanya dengan suara lirih. Entah mengapa Lisa serta merta bertanya seperti itu. Dari dulu asistennya ini memang paling tahu apa yang dirasakan Arum.Arum tersenyum mengangkat kepala sambil melihat ke arah Lisa.“Aku baik-baik saja, Lisa. Aku hanya sedang teringat sesuatu.”Kali ini Arum tidak berbohong. Kejadian hari ini memang menguras banyak emosinya. Tanpa dimi
“Eng ... apa maksud Anda, Tuan?” tanya Arum.Ia sudah meringsek mundur menjaga jarak dari Danu. Danu hanya tersenyum sambil bersedekap menatap Arum. Sekali lagi ulah mantan suaminya ini benar-benar membuat Arum kelimpungan. Ada banyak rasa yang berkecamuk di dadanya. Jengkel, marah, benci dan juga setitik rindu.Danu belum menjawab saat tiba-tiba sebuah tangan dengan manja bergelayut di lengan Danu. Danu menoleh dan melihat Nadia berdiri di samping dengan senyum manis menghias wajahnya. Arum buru-buru buang muka dan berbalik begitu saja meninggalkan mereka.Cukup saat menikah dulu, dia melihat interaksi mesra suami dan selingkuhannya itu. Tidak di saat ini, tidak di saat dia sudah perlahan move on.“Mas ... kamu kok ngilang, sih. Aku sampai kebingungan mencarimu,” cicit Nadia dengan suara manjanya.Danu hanya terdiam, menggerakkan jakunnya naik turun sambil melihat Nadia dengan sudut matanya. Entah apa yang dia rasa kali ini