“Apa maksud, Dokter?” tanya Arum.
Dia sangat terkejut begitu tahu apa yang sedang dibawa Dokter Sandy kali ini. Arum tertegun menatap berkas yang sudah ia pegang di tangannya. Sementara Dokter Sandy hanya diam menatapnya. Selang beberapa saat, Dokter Sandy kembali membuka suara.
“Selama ini, diam-diam aku menyelidikinya, Arum. Lalu hari ini aku sudah berhasil tahu siapa yang bertanggung jawab atas kematian Anjani.”
Arum membisu, tapi dia sudah berulang kali menelan saliva sambil menatap Dokter Sandy dengan sendu. Dokter Sandy sebenarnya tidak tahu dengan jelas kejadian apa yang menimpa Anjani. Hanya saja Arum pernah bilang traumanya berhubungan dengan kematian Anjani yang tragis di masa lalu.
“Aku ingin kamu sembuh seratus persen. Itulah tujuanku menyelidikinya selama ini.” Dokter Sandy menambahkan kalimatnya.
“Terima kasih, Dok. Anda baik sekali.”
Dokter Sandy tersenyum sambil berulang mengang
“Mas Danu!! Sejak kapan kamu berdiri di sana?” seru Arum.Danu tersenyum, berjalan mendekat ke Arum langsung merengkuh pinggul istrinya dan membawa Arum dalam pelukannya. Danu mendekatkan wajah sembari mengecup bibir Arum sekilas.“Barusan. Kebetulan, aku baru saja usai bertemu klien di sekitar sini. Jadi sekalian menjemputmu.”Arum tersenyum, terdiam dalam pelukan Danu. Lisa yang melihat interaksi mesra mereka hanya mengulum senyum.“Kalian belum menjawab pertanyaanku tadi.” Danu mengalihkan topik pembicaraan dan kini melonggarkan pelukannya sembari melirik Lisa yang berdiri tak jauh darinya.Lisa tersenyum meringis sambil melihat Arum dengan ekor matanya. Arum tahu jika Lisa sedang memberi isyarat padanya.“Bukan apa-apa, Mas. Hanya soal kerjaan saja, kok.”Danu tampak tak percaya dengan jawaban Arum dan kini menoleh ke arah Lisa. Lisa dengan tergesa menganggukkan kepala.&ldquo
“Kamu sudah tahu?” tanya Danu.Ia sangat terkejut saat Arum berkata seperti itu. Danu menghentikan makannya dan menatap penuh perhatian ke Arum. Arum tidak menjawab hanya menganggukkan kepala. Danu terlihat tegang, matanya belum pergi dari pandangan ke Arum. Ia benar-benar penasaran dengan ucapan Arum kali ini.“Siapa?” Akhirnya Danu kembali bertanya meski jantungnya terus berlompatan.Arum menghela napas panjang, meletakkan sendok dan garpu, menyeka bibirnya sambil melirik Danu yang duduk di depannya. Ia tersenyum sambil menatap Danu dengan mata teduhnya.“Besok saja aku kasih tahu. Usai makan, kita istirahat, yuk! Aku ngantuk banget.”Danu langsung mengatupkan rapat bibirnya. Jakunnya bergerak naik turun menelan saliva, tapi tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Ia masih penasaran siapa pelaku yang dimaksud Arum kali ini. Apa dia pelakunya? Apa Arum telah tahu?“Mas … .” Panggila
“Sayang … .” Kembali Danu berseru.Arum menoleh, ia melihat kamar mandi yang sudah kosong dan tanpa menjawab pertanyaan Danu langsung berlari masuk ke kamar mandi. Danu tampak bingung, tapi dia tidak mencegah ulah Arum. Bisa jadi, Arum memang belum selesai melakukan panggilan alamnya tadi.Beberapa menit kemudian, Arum keluar dari kamar mandi. Ia terlihat lebih segar daripada tadi. Sepertinya usai muntah tadi, Arum sekalian mandi. Danu hanya diam memperhatikannya. Arum berjalan mendekat kemudian duduk di sebelah Danu.“Kenapa, Mas? Kok ngelihatin aja?”Danu menghela napas panjang sambil memajukan bibirnya beberapa senti ke depan.“Kenapa mandi duluan? Padahal mau aku ajak bareng tadi.”Arum tertawa kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Danu. Danu langsung memeluk Arum dengan erat.“Ya udah … kita mandi aja lagi,” ucap Arum.Danu kini yang terkekeh dan menjentik gem
“Nona, apa Anda sudah lebih baik?” tiba-tiba Lisa menyeruak masuk ke ruangan Arum.Arum menoleh, melihat asistennya datang bersama seorang pria yang tak lain Budi. Arum langsung bangkit dan segera duduk di sofa.“Ada apa, Bud?” tanya Arum.Budi langsung masuk bersama Lisa. Di tangannya tampak sebuah paper bag dengan logo sebuah kafe.“Tuan meminta saya mengantar ini, Nyonya.”Arum terdiam, kemudian melirik ke Lisa. Ia berpikir kalau Lisa yang mengadu ke Danu sehingga Danu cemas dan mengirim makanan untuknya. Namun, Lisa segera menggelengkan kepala seakan memberi isyarat jika bukan dia pelakunya.“Sebenarnya tadi Tuan menghadiri peresmian sebuah kafe, lalu karena menu makanannya enak. Tuan memesan beberapa untuk Anda cicipi.” Budi menjelaskan seakan tahu kalau Arum bertanya.Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Iya, terima kasih, Budi.”Budi mengangguk men
“Mati aku,” gumam Arum dalam hati.Dia terdiam sesaat, mengambil obat di atas dashboard dan menyimpannya ke dalam tas. Danu hanya diam memperhatikan dan Arum berusaha sebisa mungkin bersikap biasa.“Ini obat titipan Lisa. Tadi dia minta dibelikan, jadi pas jenguk temanku tadi sekalian mampir ke apotik.” Lagi-lagi Arum berbohong.“Memang Lisa sakit? Sakit apa? Kata Budi, tadi Lisa ada di kantor dan terlihat baik-baik saja.”Arum terdiam. Ia lupa kalau asisten suaminya tadi siang ke kantornya dan bertemu Lisa. Malah dia yang terlihat tidak sehat tadi.“Hmm … itu vitamin, kok. Kebetulan belinya hanya ada di apotik, jadi tidak boleh beli sembarangan.”Danu hanya manggut-manggut dan percaya begitu saja dengan penjelasan Arum. Arum sedikit lega saat suaminya tidak bertanya banyak lagi padanya. Karena keadaan lalu lintas yang padat sepanjang sore dan malam itu, akhirnya Danu tiba di tempat pert
“Siapa dia, Mas?” cicit Arum.Arum tidak kenal dan bingung dengan maksud ucapan pria paruh baya ini. Ia melihat ke arah Danu berharap Danu memberinya jawaban. Namun, Danu tidak menjawab, hanya melirik Arum sekilas. Kemudian dia kembali membalas tatapan pria paruh baya itu.“Maaf, Tuan. Sudah malam, kami harus pulang,” jawab Danu.Pria paruh baya itu yang tak lain Tuan Rafael, ayah Nadia terlihat marah. Danu dan Arum bersiap pergi. Namun, Tuan Rafael sudah menyambar tangan Danu.“DENGAR!! AKU PUNYA BUKTI SEMUANYA!! Aku bisa melakukan apa saja padamu, DANU!!!”Danu menarik napas panjang sambil melepas cekalan tangan Tuan Rafael. Ia menatap tajam ke pria paruh baya itu.“Saya pikir Anda bijaksana dalam bersikap, tapi ternyata Anda sama dengan Nadia, Tuan.”Tuan Rafael tampak marah dan semakin menatap Danu dengan penuh kebencian.“Aku baru tahu kalau kamu orang yang tidak tahu t
“Obat asam lambung?” Kembali Danu bergumam.Ternyata dia penasaran dan membaca satu persatu obat yang ada di dalam kantong itu. Danu menarik napas panjang sambil menggelengkan kepala.“Kenapa dia tidak bilang kalau sakit?”Ia melirik ke arah pintu kamar mandi. Pintunya masih tertutup rapat dan suara gemericik air masih terdengar dari sana. Danu meletakkan kantong obat kembali ke tempatnya bersamaan dengan pintu kamar mandi yang terbuka.Arum keluar dari sana. Wajahnya terlihat segar, rambutnya setengah basah dan kini hanya mengenakan bathrobe saja. Arum tersenyum sambil berjalan menghampiri sofa tempat Danu berada. Arum langsung duduk di samping Danu.“Mas … gak mandi?” tanya Arum. Entah mengapa gestur tubuh Arum terlihat menggoda. Dia juga menggeser posisi duduknya mendekat ke Danu sambil bergelayut di lengannya.Danu tersenyum, meliriknya sekilas. “Iya, habis ini.”Arum manggut-
“Apa? Nasi Padang? Malam-malam begini?” seru Danu.Danu terkejut usai mendengar permintaan aneh Arum. Ia menatap Arum tanpa kedip, sementara Arum hanya diam tak bersuara. Kemudian Danu tiba-tiba tersenyum.“Apa gara-gara sakit asam lambung, jadi sekarang kamu kelaparan?”Arum berdecak sambil mengendikkan bahu. “Gak tahu, Mas. Namun, yang pasti aku laper banget pengen makan nasi Padang.”Danu kini yang diam dan menatapnya dengan aneh.“Emang harus nasi Padang? Gak mau yang lain? Yang ada di rumah atau masakan bibi misalnya?”Arum diam dan menggeleng. “Maaf, Mas. Takutnya aku nanti malah muntah kalau gak makan sesuai yang aku inginkan.”Danu menghela napas panjang, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian tak lama ia sudah bangkit dari kasur. Danu mengambil ponsel dan tampak sedang melakukan panggilan. Samar, Arum mendengar Danu meminta salah satu asisten rumah tangganya