“Kamu senang hari ini?” tanya Danu.
Kali ini mereka sedang menghabiskan makan malam di sebuah resto ternama setelah sebelumnya menghabiskan sepanjang waktu bersama seharian tadi. Arum mengangguk sambil tersenyum, wajahnya tampak semringah dan ini adalah hari ulang tahun terbaik baginya.
“Sebenarnya aku ingin membuat pesta kejutan untuk kamu, tapi karena kamu tidak suka pesta. Jadi akhirnya kita habiskan saja seharian ini bersama.”
Danu kembali menambahkan. Arum tersenyum lagi, menyudahi makannya dan menggeser duduk mendekat ke Danu. Kali ini mereka memang sedang duduk bersebelahan.
“Terima kasih, Mas. Aku seneng banget seharian ini. Biasanya aku selalu menikmati hari ini sendirian dan baru kali ini menghabiskannya bersama kamu.”
Danu tersenyum, memeluk Arum, mendekatkan wajahnya sambil mengecup puncak kepala Arum.
“Ada satu lagi hadiah istimewa buatmu, tapi tidak di sini.” Danu menambahkan dan
“Apa maksud, Dokter?” tanya Arum.Dia sangat terkejut begitu tahu apa yang sedang dibawa Dokter Sandy kali ini. Arum tertegun menatap berkas yang sudah ia pegang di tangannya. Sementara Dokter Sandy hanya diam menatapnya. Selang beberapa saat, Dokter Sandy kembali membuka suara.“Selama ini, diam-diam aku menyelidikinya, Arum. Lalu hari ini aku sudah berhasil tahu siapa yang bertanggung jawab atas kematian Anjani.”Arum membisu, tapi dia sudah berulang kali menelan saliva sambil menatap Dokter Sandy dengan sendu. Dokter Sandy sebenarnya tidak tahu dengan jelas kejadian apa yang menimpa Anjani. Hanya saja Arum pernah bilang traumanya berhubungan dengan kematian Anjani yang tragis di masa lalu.“Aku ingin kamu sembuh seratus persen. Itulah tujuanku menyelidikinya selama ini.” Dokter Sandy menambahkan kalimatnya.“Terima kasih, Dok. Anda baik sekali.”Dokter Sandy tersenyum sambil berulang mengang
“Mas Danu!! Sejak kapan kamu berdiri di sana?” seru Arum.Danu tersenyum, berjalan mendekat ke Arum langsung merengkuh pinggul istrinya dan membawa Arum dalam pelukannya. Danu mendekatkan wajah sembari mengecup bibir Arum sekilas.“Barusan. Kebetulan, aku baru saja usai bertemu klien di sekitar sini. Jadi sekalian menjemputmu.”Arum tersenyum, terdiam dalam pelukan Danu. Lisa yang melihat interaksi mesra mereka hanya mengulum senyum.“Kalian belum menjawab pertanyaanku tadi.” Danu mengalihkan topik pembicaraan dan kini melonggarkan pelukannya sembari melirik Lisa yang berdiri tak jauh darinya.Lisa tersenyum meringis sambil melihat Arum dengan ekor matanya. Arum tahu jika Lisa sedang memberi isyarat padanya.“Bukan apa-apa, Mas. Hanya soal kerjaan saja, kok.”Danu tampak tak percaya dengan jawaban Arum dan kini menoleh ke arah Lisa. Lisa dengan tergesa menganggukkan kepala.&ldquo
“Kamu sudah tahu?” tanya Danu.Ia sangat terkejut saat Arum berkata seperti itu. Danu menghentikan makannya dan menatap penuh perhatian ke Arum. Arum tidak menjawab hanya menganggukkan kepala. Danu terlihat tegang, matanya belum pergi dari pandangan ke Arum. Ia benar-benar penasaran dengan ucapan Arum kali ini.“Siapa?” Akhirnya Danu kembali bertanya meski jantungnya terus berlompatan.Arum menghela napas panjang, meletakkan sendok dan garpu, menyeka bibirnya sambil melirik Danu yang duduk di depannya. Ia tersenyum sambil menatap Danu dengan mata teduhnya.“Besok saja aku kasih tahu. Usai makan, kita istirahat, yuk! Aku ngantuk banget.”Danu langsung mengatupkan rapat bibirnya. Jakunnya bergerak naik turun menelan saliva, tapi tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Ia masih penasaran siapa pelaku yang dimaksud Arum kali ini. Apa dia pelakunya? Apa Arum telah tahu?“Mas … .” Panggila
“Sayang … .” Kembali Danu berseru.Arum menoleh, ia melihat kamar mandi yang sudah kosong dan tanpa menjawab pertanyaan Danu langsung berlari masuk ke kamar mandi. Danu tampak bingung, tapi dia tidak mencegah ulah Arum. Bisa jadi, Arum memang belum selesai melakukan panggilan alamnya tadi.Beberapa menit kemudian, Arum keluar dari kamar mandi. Ia terlihat lebih segar daripada tadi. Sepertinya usai muntah tadi, Arum sekalian mandi. Danu hanya diam memperhatikannya. Arum berjalan mendekat kemudian duduk di sebelah Danu.“Kenapa, Mas? Kok ngelihatin aja?”Danu menghela napas panjang sambil memajukan bibirnya beberapa senti ke depan.“Kenapa mandi duluan? Padahal mau aku ajak bareng tadi.”Arum tertawa kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Danu. Danu langsung memeluk Arum dengan erat.“Ya udah … kita mandi aja lagi,” ucap Arum.Danu kini yang terkekeh dan menjentik gem
“Nona, apa Anda sudah lebih baik?” tiba-tiba Lisa menyeruak masuk ke ruangan Arum.Arum menoleh, melihat asistennya datang bersama seorang pria yang tak lain Budi. Arum langsung bangkit dan segera duduk di sofa.“Ada apa, Bud?” tanya Arum.Budi langsung masuk bersama Lisa. Di tangannya tampak sebuah paper bag dengan logo sebuah kafe.“Tuan meminta saya mengantar ini, Nyonya.”Arum terdiam, kemudian melirik ke Lisa. Ia berpikir kalau Lisa yang mengadu ke Danu sehingga Danu cemas dan mengirim makanan untuknya. Namun, Lisa segera menggelengkan kepala seakan memberi isyarat jika bukan dia pelakunya.“Sebenarnya tadi Tuan menghadiri peresmian sebuah kafe, lalu karena menu makanannya enak. Tuan memesan beberapa untuk Anda cicipi.” Budi menjelaskan seakan tahu kalau Arum bertanya.Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Iya, terima kasih, Budi.”Budi mengangguk men
“Mati aku,” gumam Arum dalam hati.Dia terdiam sesaat, mengambil obat di atas dashboard dan menyimpannya ke dalam tas. Danu hanya diam memperhatikan dan Arum berusaha sebisa mungkin bersikap biasa.“Ini obat titipan Lisa. Tadi dia minta dibelikan, jadi pas jenguk temanku tadi sekalian mampir ke apotik.” Lagi-lagi Arum berbohong.“Memang Lisa sakit? Sakit apa? Kata Budi, tadi Lisa ada di kantor dan terlihat baik-baik saja.”Arum terdiam. Ia lupa kalau asisten suaminya tadi siang ke kantornya dan bertemu Lisa. Malah dia yang terlihat tidak sehat tadi.“Hmm … itu vitamin, kok. Kebetulan belinya hanya ada di apotik, jadi tidak boleh beli sembarangan.”Danu hanya manggut-manggut dan percaya begitu saja dengan penjelasan Arum. Arum sedikit lega saat suaminya tidak bertanya banyak lagi padanya. Karena keadaan lalu lintas yang padat sepanjang sore dan malam itu, akhirnya Danu tiba di tempat pert
“Siapa dia, Mas?” cicit Arum.Arum tidak kenal dan bingung dengan maksud ucapan pria paruh baya ini. Ia melihat ke arah Danu berharap Danu memberinya jawaban. Namun, Danu tidak menjawab, hanya melirik Arum sekilas. Kemudian dia kembali membalas tatapan pria paruh baya itu.“Maaf, Tuan. Sudah malam, kami harus pulang,” jawab Danu.Pria paruh baya itu yang tak lain Tuan Rafael, ayah Nadia terlihat marah. Danu dan Arum bersiap pergi. Namun, Tuan Rafael sudah menyambar tangan Danu.“DENGAR!! AKU PUNYA BUKTI SEMUANYA!! Aku bisa melakukan apa saja padamu, DANU!!!”Danu menarik napas panjang sambil melepas cekalan tangan Tuan Rafael. Ia menatap tajam ke pria paruh baya itu.“Saya pikir Anda bijaksana dalam bersikap, tapi ternyata Anda sama dengan Nadia, Tuan.”Tuan Rafael tampak marah dan semakin menatap Danu dengan penuh kebencian.“Aku baru tahu kalau kamu orang yang tidak tahu t
“Obat asam lambung?” Kembali Danu bergumam.Ternyata dia penasaran dan membaca satu persatu obat yang ada di dalam kantong itu. Danu menarik napas panjang sambil menggelengkan kepala.“Kenapa dia tidak bilang kalau sakit?”Ia melirik ke arah pintu kamar mandi. Pintunya masih tertutup rapat dan suara gemericik air masih terdengar dari sana. Danu meletakkan kantong obat kembali ke tempatnya bersamaan dengan pintu kamar mandi yang terbuka.Arum keluar dari sana. Wajahnya terlihat segar, rambutnya setengah basah dan kini hanya mengenakan bathrobe saja. Arum tersenyum sambil berjalan menghampiri sofa tempat Danu berada. Arum langsung duduk di samping Danu.“Mas … gak mandi?” tanya Arum. Entah mengapa gestur tubuh Arum terlihat menggoda. Dia juga menggeser posisi duduknya mendekat ke Danu sambil bergelayut di lengannya.Danu tersenyum, meliriknya sekilas. “Iya, habis ini.”Arum manggut-
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak