"Ira?" ucap seorang pria itu.
Aku menatap dengan saksama wajah laki-laki itu. Seperti kenal, tetapi siapa aku tidak ingat. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapanku ini. "Oh, Rendi!" tebakku. Aku melihat bekas luka di dekat lesung pipinya. Dulu dia pernah aku pukul dengan kayu hingga mengenai pipinya. Ya, aku yakin dia Rendi.
"Yaps, aku Rendi," jawabnya.
Rendi adalah teman SMAku. Dulu kami sangat dekat hingga guru kami mengatakan kalau kami cocok menjadi pasangan suami istri. Aku tahu itu hanya sebuah candaan. Usia kami masih terbilang muda untuk memikirkan hal itu.
Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Saat kuliahlah aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Sedangkan Rendi, dia mendapatkan beasiswa full di Kairo. Semenjak saat itu, aku tidak mendengar kabar tentangnya."Sudah lama kita nggak ketemu, kamu apa kabar?" tanya Rendi kepadaku.
"Baik, alhamdulillah," jawabku sambil menunjukkan senyum padanya.
"Kamu tambah cantik, Ra. Pantas dulu banyak laki-laki yang suka sama kamu," goda Rendi.
"Bisa aja Ren, sama aja kayanya. Eh, kamu di sini belanja juga?""Ini tokoku Ra, kamu ambil apa aja yang kamu suka. Buat kamu geratis deh," ucap Rendi. Lesung pipinya menambah manis wajah tampannya. Ah, aku ini apaan sih. Udah punya suami juga. Tapi kalau boleh jujur, Rendi itu memang ganteng. Pasti dia sudah punya pacar atau istri mungkin. Aku menjawab dengan senyuman lalu mengucapkan terimakasih pada sahabat yang sudah lama tidak bersua. Hanya memakan waktu tiga puluh menit untuk aku berbelanja di toko milik Rendi. Aku pamit ingin melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Rendi menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang. Namun aku menolaknya, takut Mas Banu salah paham. Apalagi ada Lidya yang jadi kompor.***
"Yee, Bunda udah pulang!" ucap anak bungsuku. Sikap kekanak-kanaknya masih melekat dalam dirinya. Maklum, usianya masih 8 tahun. Sari melompat kegirangan ketika melihatku pulang membawa oleh-oleh di kedua tanganku.
"Sari, panggil Abang sama Mbakmu di kamar gih, Bunda ada oleh-oleh buat mereka juga."
"Siap Bunda!"
Bukannya memanggil ke kamar kakaknya, dia malah berteriak. Suara cemprengnya tidak hanya terdengar oleh ke empat kakaknya. Tapi juga Ayah dan Mama barunya. "Kakak! Bunda udah pulang! Bawa oleh-oleh banyak, cepet ke ruang tamu!" teriak Sari.
"Sayang, kok malah teriak-teriak sih? Kan Bunda nyuruh manggil ke kamar," ucapku sambil cemberut.
"Biar cepet Bunda, hehe. Jangan marah Bunda," rayu Sari padaku.
Sari tertawa sampai gigi ompongnya kelihatan. Dia cuma cengar-cengir ketika aku omelin.
"Kamu ini, kalau dibilangin," jawabku sambil mencubit pipi chubbynya.Tidak lama, anakku datang dari kamar masing-masing menuju ruang tamu. Tidak hanya itu, Mas Banu dan Lidya juga ikut serta.
"Norak banget sih! Cuma oleh-oleh segitu aja heboh!" cetus Lidya.
"Biarin norak, Tante. Penting punya keluarga. Nggak kaya Tante, udah numpang banyak bicara!" ucap Frendi.
Aku kaget dengan ucapan Frendi. Sedikit menatap tajam pada anak sulungku. Mau bagaimanapun sikap Lidya, dia tetap Mama untuk anakku. "Frendi, jangan seperti itu! Minta maaf gih, sama Mama Lidya!" perintahku.
"Mama? Bunda nggak salah? Dia udah rusak keluarga kita Bun, dia udah rebut Ayah!" jawab Frendi.
"Oh ini hasil didikan kamu, Ira?" ucap Lidya dengan tersenyum sinis.
"Jangan salahkan Bunda! Kamu itu tidak punya malu!" Frendi tetap saja menjawab pancingan dari Lidya.
Memang benar yang diucapkan anak sulungku. Lidya sudah merusak segalanya. Frendi bicara seperti ini semata-mata ingin membelaku dari madu tak tahu diri itu. Ke lima anakku sangat menyayangiku, tidak boleh satu orangpun yang bisa menyakitiku Terutama ayahnya sendiri. Sempat mereka uring-uringan dengan Mas Banu karna pernikahan keduanya. Tapi aku tidak boleh mengajari anakku untuk membenci orang lain. Apalagi keluarga sendiri. "Frendi!" sentakku.
"Maaf Bunda, Maafkan saya Mama Lidya ...." lirih Frendi.
Aku tersenyum pada Frendi. Lalu mengusap kepalanya dengan lembut. Dia hanya diam dan menundukkan kepala. "Maafkan Bunda, Nak. Bunda ingin kamu jangan membenci siapapun, terutama keluargamu sendiri," ucapku pelan di dekat telinga Frendi. Frendi menjawab ucapanku dengan anggukan paham. Aku bersyukur memiliki anak yang mudah diatur.Lidya memilih pergi meninggalkan ruang tamu dan menuju ke kamar. Dia lebih tertarik berkutat dengan ponsel pribadinya daripada mendapatkan hati kelima anakku. Dan Mas Banu mendampingiku membuka oleh-oleh yang tadi diberikan oleh Rendi.
"Ini buat Bang Frendi, Ini buat Mbak Shela .... " aku memberikan oleh-oleh satu persatu untuk anakku. Mereka sangat kegirangan mendapat oleh-oleh dariku. Ada makanan kesukaan Mas Banu juga. Bukannya menerima dengan senang hati, Mas Banu malah menatapku bingung.
"Ada apa Mas?" tanyaku menghentikan lamunan Mas Banu.
"Kamu belanja sebanyak ini? Uang dari mana?" ucapnya dengan curiga.
"Dari laki-laki tampan," ucapku menggoda suamiku. Terlihat sangat jelas perbedaan raut wajahnya. Aku yakin dia pasti cemburu mendengar jawabanku.
"Apa?" ucap Mas Banu. Dia kaget dengan jawabanku. Dia pasti berpikir yang tidak-tidak tentang diriku. Biarkan saja, aku suka wajahnya seperti ini. Aku masih menahan tawa melihat ekspresi Mas Banu. "Siapa dia? Sudah berapa lama?" sederet pertanyaan dari Mas Banu.
"Bunda, kami masuk dulu ya. Mau coba pake ini," pamit Shela padaku sambil membawa baju yang aku pilih tadi.
"Iya sayang, habis itu tidur ya. Udah malam. Tadi udah makan kan?"
"Udah Bunda, tadi Ayah udah masakin kita," jawab Shela. Kemudian anak-anakku menuju kamar masing-masing.
"Ra, dari siapa?" tanya Mas Banu lagi.
"Oh itu, ini dari Rendi. Dia sahabat aku waktu di panti. Tadi aku mampir ke toko oleh-oleh Jogja yang lagi viral itu, ternyata yang punya toko itu adalah Rendi. Dia memberi ini sebagai ucapan terimakasih karena dulu aku sering membantunya,"
"Kamu tidak ada hubungan lain kan?"
"Astaga, engga Mas. Kenapa sih curiga amat?"
"Aku takut kehilangan kamu, Ira!"
"Aku tidak akan meninggalkan kamu Mas," Aku berusaha meyakinkan Mas Banu. Apa pun yang terjadi aku akan selalu di sampingnya. Memberi semangat untuknya.
Aku teringat dengan niatku untuk bekerja. Aku hanya mencari kesibukan agar tidak terlalu larut dalam kesedihan. "Mas, kan anak kita udah pada besar nih. Boleh ngga kalau aku kerja lagi? Bentar lagi tahun ajaran baru. Frendi, Shela, dan Gauri pengen sekolah sambil mondok. Pasti biayanya lumayan banyak," ucapku pada Mas Banu."Ira, uangku tidak akan habis kalau untuk biaya anak-anak!" ucap Mas Banu.Aku tahu, suamiku kini telah mendapat posisi penting di kantornya. Bahkan jika dia mau, dia bisa memiliki empat orang istri sekaligus. Dia menjamin semuanya tidak akan kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi dia tidak melakukannya karena menjaga perasaanku. Aku tahu, dia menikah dengan Lidya karena hutang budi pada Rizal, temannya.Karena kecukupan dalam ekonomilah Mas Banu melarangku bekerja. Takut aku kelelahan ataupun khawatir kalau aku disukai teman kerja. Ada saja alasan darinya. Aku bisa maklum, dia memang sangat mencintaiku.Namun, bagaimanapun juga, aku harus bekerja. Dulu waktu aku masih sekolah menengah, aku sekolah sambil bekerja. Aku yakin kalau aku bisa kuat kerja. Dan aku tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya aku ingin bekerja. Takut jika dia semakin merasa bersalah."Bukan begitu Mas, aku sering kesepian kalau di rumah. Anak kita sibuk semua dengan
1. Madu atau Cerai?"Mas, mau kemana?" Aku bertanya pada suamiku, Mas Banu. Dia tampak sibuk memasukkan beberapa bajunya kedalam tas besar.Dia tidak menggubrisku. Memilih sibuk dengan tumpukan baju yang akan dipindahkan dalam tas besar. Sesekali dia mengecek barang yang sudah dimasukkan ke dalam tas itu untuk memastikan tidak ada baju yang tertinggal.Sikap Mas Banu aneh, untuk apa dia membawa baju sebanyak itu? Apakah ada urusan kantor yang mengharuskan dia menginap disuatu tempat? Akan tetapi, kenapa dia tidak memberitahuku dulu?Pandanganku ke sana ke mari melihat tingkah Mas Banu yang belum berhenti. Dia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Setelah dirasa cukup, kemudian Mas Banu duduk untuk mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar."Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?" tanyaku seraya meraih pergelangan tangan suamiku.
"Ya ampun Sari, kamu kenapa? Mata kamu jadi merah sayang." Aku meniup kedua mata putri bungsuku. Dia belum berhenti menangis."Bunda, tadi makanan Adek masuk mata," ucap Frendi, anak sulungku."Astaga sayang, sini Bunda kasih air biar ngga sakit lagi." Aku mengambil air di telapak tanganku, lalu mengusapkan pada Sari. Aku kembali meniup mata anakku, semoga bisa segera reda sakitnya.Sari itu agak manja. Kena apa sedikit bawaannya langsung menangis. Mungkin karena dia anak yang paling akhir dan merasa diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Akan tetapi, dia juga tahu batasannya, walau usianya masih terbilang kecil."Kamu gimana sih ngurus anak! Gitu aja ngga becus!" teriak wanita yang sekarang menjadi maduku.Kenapa tiba-tiba Lidya ada di ruang tengah? Bukannya tadi dia makan sama Mas Banu. Perlu apa dia ke sini? Ah bodo amat, apa urusannya denganku.Tangis Sari sudah tidak terdengar lagi. Dia kembali makan seper
Aku berlari kecil mendatangi Lidya. "Apa sih, teriak-teriak?" tanyaku pada Lidya."Makanan mana makanan?" tanya Lidya. Kedua tangannya disodorkan padaku seperti anak kecil yang merengek meminta permen."Kamu pikir aku pembantu kamu? Kalo lapar, masak aja sendiri!" ucapku dengan nada kesal. Bukannya pergi untuk masak atau cari makanan, Lidya malah tetap berdiri di tempat. Dia terus memandangiku. "Kenapa?" tanyaku."Gimana mau masak? Goreng telor aja gosong," ucap Lidya dengan santai."Ka-kamu ngga bisa masak?" tanyaku. Sedikit terkekeh karena wanita cantik yang di depanku tidak bisa masak. Padahal kalau dilihat dengan saksama dia terlihat seperti wanita sempurna yang tidak memiliki kekurangan apa pun."Jangan ngeledek! Cepetan bikinin makanan!" perintah Lidya padaku.Aku menatap wajah Lidya. Tidak mungkin aku menuruti ucapan madu tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyuruh aku untuk masak. "Ngg
"Ira, uangku tidak akan habis kalau untuk biaya anak-anak!" ucap Mas Banu.Aku tahu, suamiku kini telah mendapat posisi penting di kantornya. Bahkan jika dia mau, dia bisa memiliki empat orang istri sekaligus. Dia menjamin semuanya tidak akan kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi dia tidak melakukannya karena menjaga perasaanku. Aku tahu, dia menikah dengan Lidya karena hutang budi pada Rizal, temannya.Karena kecukupan dalam ekonomilah Mas Banu melarangku bekerja. Takut aku kelelahan ataupun khawatir kalau aku disukai teman kerja. Ada saja alasan darinya. Aku bisa maklum, dia memang sangat mencintaiku.Namun, bagaimanapun juga, aku harus bekerja. Dulu waktu aku masih sekolah menengah, aku sekolah sambil bekerja. Aku yakin kalau aku bisa kuat kerja. Dan aku tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya aku ingin bekerja. Takut jika dia semakin merasa bersalah."Bukan begitu Mas, aku sering kesepian kalau di rumah. Anak kita sibuk semua dengan
"Ira?" ucap seorang pria itu.Aku menatap dengan saksama wajah laki-laki itu. Seperti kenal, tetapi siapa aku tidak ingat. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapanku ini. "Oh, Rendi!" tebakku. Aku melihat bekas luka di dekat lesung pipinya. Dulu dia pernah aku pukul dengan kayu hingga mengenai pipinya. Ya, aku yakin dia Rendi."Yaps, aku Rendi," jawabnya.Rendi adalah teman SMAku. Dulu kami sangat dekat hingga guru kami mengatakan kalau kami cocok menjadi pasangan suami istri. Aku tahu itu hanya sebuah candaan. Usia kami masih terbilang muda untuk memikirkan hal itu.Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Saat kuliahlah aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Sedangkan Rendi, dia mendapatkan beasiswa full di Kairo. Semenjak saat itu, aku tidak mendengar kabar tentangnya."Sudah lama kita nggak ketemu, kamu apa kabar?" tanya Rendi
Aku berlari kecil mendatangi Lidya. "Apa sih, teriak-teriak?" tanyaku pada Lidya."Makanan mana makanan?" tanya Lidya. Kedua tangannya disodorkan padaku seperti anak kecil yang merengek meminta permen."Kamu pikir aku pembantu kamu? Kalo lapar, masak aja sendiri!" ucapku dengan nada kesal. Bukannya pergi untuk masak atau cari makanan, Lidya malah tetap berdiri di tempat. Dia terus memandangiku. "Kenapa?" tanyaku."Gimana mau masak? Goreng telor aja gosong," ucap Lidya dengan santai."Ka-kamu ngga bisa masak?" tanyaku. Sedikit terkekeh karena wanita cantik yang di depanku tidak bisa masak. Padahal kalau dilihat dengan saksama dia terlihat seperti wanita sempurna yang tidak memiliki kekurangan apa pun."Jangan ngeledek! Cepetan bikinin makanan!" perintah Lidya padaku.Aku menatap wajah Lidya. Tidak mungkin aku menuruti ucapan madu tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyuruh aku untuk masak. "Ngg
"Ya ampun Sari, kamu kenapa? Mata kamu jadi merah sayang." Aku meniup kedua mata putri bungsuku. Dia belum berhenti menangis."Bunda, tadi makanan Adek masuk mata," ucap Frendi, anak sulungku."Astaga sayang, sini Bunda kasih air biar ngga sakit lagi." Aku mengambil air di telapak tanganku, lalu mengusapkan pada Sari. Aku kembali meniup mata anakku, semoga bisa segera reda sakitnya.Sari itu agak manja. Kena apa sedikit bawaannya langsung menangis. Mungkin karena dia anak yang paling akhir dan merasa diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Akan tetapi, dia juga tahu batasannya, walau usianya masih terbilang kecil."Kamu gimana sih ngurus anak! Gitu aja ngga becus!" teriak wanita yang sekarang menjadi maduku.Kenapa tiba-tiba Lidya ada di ruang tengah? Bukannya tadi dia makan sama Mas Banu. Perlu apa dia ke sini? Ah bodo amat, apa urusannya denganku.Tangis Sari sudah tidak terdengar lagi. Dia kembali makan seper
1. Madu atau Cerai?"Mas, mau kemana?" Aku bertanya pada suamiku, Mas Banu. Dia tampak sibuk memasukkan beberapa bajunya kedalam tas besar.Dia tidak menggubrisku. Memilih sibuk dengan tumpukan baju yang akan dipindahkan dalam tas besar. Sesekali dia mengecek barang yang sudah dimasukkan ke dalam tas itu untuk memastikan tidak ada baju yang tertinggal.Sikap Mas Banu aneh, untuk apa dia membawa baju sebanyak itu? Apakah ada urusan kantor yang mengharuskan dia menginap disuatu tempat? Akan tetapi, kenapa dia tidak memberitahuku dulu?Pandanganku ke sana ke mari melihat tingkah Mas Banu yang belum berhenti. Dia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Setelah dirasa cukup, kemudian Mas Banu duduk untuk mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar."Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?" tanyaku seraya meraih pergelangan tangan suamiku.