1. Madu atau Cerai?
"Mas, mau kemana?" Aku bertanya pada suamiku, Mas Banu. Dia tampak sibuk memasukkan beberapa bajunya kedalam tas besar.
Dia tidak menggubrisku. Memilih sibuk dengan tumpukan baju yang akan dipindahkan dalam tas besar. Sesekali dia mengecek barang yang sudah dimasukkan ke dalam tas itu untuk memastikan tidak ada baju yang tertinggal.
Sikap Mas Banu aneh, untuk apa dia membawa baju sebanyak itu? Apakah ada urusan kantor yang mengharuskan dia menginap disuatu tempat? Akan tetapi, kenapa dia tidak memberitahuku dulu?
Pandanganku ke sana ke mari melihat tingkah Mas Banu yang belum berhenti. Dia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Setelah dirasa cukup, kemudian Mas Banu duduk untuk mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar.
"Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?" tanyaku seraya meraih pergelangan tangan suamiku.
Mata kami saling bertemu. Aku membelai tangan suamiku dengan halus. Kemudian aku sandarkan kepalaku di dada bidangnya. Berharap ini bisa membuatnya jauh lebih tenang dan mau menceritakan hal yang sedang mengganjal dalam hatinya.
Namun, bukannya menjawab pertanyaan dariku, Mas Banu malah melepas genggamanku. Dia menggeser tempat duduknya. Dia juga memalingkan pandangan dariku. Kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan membawa tas yang sudah terisi baju.
"Mas, tolong jangan pergi!" Aku segera menarik lengan Mas Banu, berusaha menahan agar dia tidak meninggalkan aku.
"Humaira, lepasin!" Dengan cepat dia melepaskan genggamanku lagi, Mas Banu terlihat marah bercampur sedih.
Berbagai pertanyaan hinggap dalam hatiku. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mas Banu? Kenapa dia tiba-tiba berubah? "Ta-tapi Mas, kamu kenapa? Mau ke mana malam-malam begini Mas?"
Sejauh ini aku mengenal Mas Banu sebagai suami dan ayah yang baik. Dia selalu meluangkan waktu untuk keluarga. Setelah menikah denganku, dia sudah jarang nongkrong dengan teman-temannya. Mas Banu memilih mengisi waktu dengan keluarga kecilnya. Sesekali juga mengajak kami keluar kota untuk sekedar menghirup udara yang berbeda.
Dulu saat masih pacaran, Mas Banu memperlakukanku seperti seorang ratu. Bagaimana tidak, saat aku akan berangkat ke kampus, Mas Banu sudah siap di depan rumah untuk menjemputku. Begitu juga saat pulang, dia tidak pernah bolos untuk mengantar jemputku. Setiap seminggu sekali dia juga memberiku uang jatah sebesar satu juta rupiah. Aku yang menjadi pacarnya merasa sangat beruntung memiliki Mas Banu.
Hingga suatu ketika, Mas Banu sudah mantap dengan pilihannya untuk menikahiku. Orang tua kami sudah saling setuju, kami melangsungkan pernikahan dengan penuh bahagia. Waktu itu, aku masih menempuh kuliah semester enam dan Mas Banu sudah lulus S1. Hidupku terasa lengkap dengan kehadiran Mas Banu, dia selalu menuruti permintaanku. Dia selalu berkata lembut dan penuh cinta padaku, tidak sekalipun dia memarahiku atau membentakku. Mas Banu juga tidak pernah menuntutku untuk melakukan ini itu sebagai istrinya. Pekerjaan rumah selalu dikerjakan bersama-sama.
Namun, beberapa hari terakhir sikap Mas Banu berubah. Sering aku mencium wangi parfum wanita di baju kerjanya. Saat aku tanya, katanya karena kebanyakan pegawainya itu wanita. Jadi wajar saja. Dia juga sering pulang larut malam, dengan alasan lembur karna pekerjaan terlalu banyak. Akan tetapi apakah harus sampai dini hari?
Mungkinkah ada wanita lain yang hinggap di hatinya? Entahlah.
"Ira, aku harus pergi! " ucapan Mas Banu kini meninggi.
"Apa salahku Mas?" tanyaku bingung.
"Salahmu?" tanya Mas Banu. Dia diam sejenak. "Kamu tidak salah apa pun, sekarang biarkan aku pergi dulu," tambahnya.
"Nggak! Kamu mau ke mana dulu!" Aku sedikit membentak Mas Banu. Aku sudah tidak tahan lagi dengan teka-teki suamiku. Apa yang sedang dia sembunyikan. Mungkinkah ada seorang perempuan yang kini jauh menarik baginya? Akan tetapi siapa dia? Kenapa Mas Banu melakukan ini? Bukankah dia bilang, kalau aku ini adalah wanita tercantik setelah ibunya? Tapi coba lihat sekarang, dia sudah mulai berubah
"Mas, apakah ada perempuan lain?" Pertanyaan dariku membuat langkah kaki Mas Banu terhenti. Kemudian dia menoleh dan berjalan ke arahku.
"Apa maksudmu?"
"Mas, perempuan mana yang mencuri hatimu saat ini?"
"Ira, kamu jangan mikir macam-macam. Akan aku ceritakan setelah aku kembali," ucapnya seraya membelai rambutku berulang kali.
Kali ini wajah Mas Banu memerah. Ada genangan air di matanya. Namun, segera diusap kasar dengan tangan kanannya.
"Mas, kenapa? Kalau ada masalah, cerita sama aku. Jangan dipendam sendirian," tanyaku.
Mata kami saling menatap. Jelas ada kesedihan yang tersimpan di benak Mas Banu. Entah karena apa aku belum mengetahuinya. Apakah kebohongan yang sedang suamiku sembunyikan dariku?
Bukannya menjawab pertanyaan dariku, Mas Banu kembali menata ulang baju yang sudah dia masukan tadi. Dia tampak takut jika ada barang yang tertinggal. Dia juga membawa jas yang dikenakan saat kami ijab qobul dulu. Tak selang lama, Mas Banu mendekatiku. Jarak antara wajahku dan wajah Mas Banu sangat dekat. Hingga hembusan nafasnya mengenai wajahku dengan sempurna. Degup jantung yang berbunyi tak beraturan juga terdengar ditelingaku.
Suamiku menatap kedua bola mataku dengan berkaca-kaca. Dia meraih kedua tanganku lalu mengecupnya. Mas Banu memandangku begitu lama, lalu mengatakan sesuatu padaku. "Ira, kamu pilih cerai atau poligami?" tanya Mas Banu seraya menguatkan genggenggam tangannya.
Deg! Aku menunduk. Membiarkan Mas Banu menyelesaikan ucapannya. Badanku lemas seketika. Mataku tak kuasa menahan air mata. Ada sesuatu yang menusuk hatiku saat ini. Jantungku berdenyut lemas tak berdaya.
Mas Banu mencoba merengkuh tubuhku dengan lengan kekarnya. Namun aku menghindarinya. 'Mas, benarkah ini kamu? Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal ini? Apakah benar ada wanita lain?' batinku.
Bagai mimpi buruk dalam sebuah pernikahan. Seseorang yang sangat mencintai diriku tiba-tiba menanyakan hal yang tidak pernah aku duga. Bagaimana aku bisa menentukan pilihan seperti ini? Setetes bening meluncur di pipiku berulang kali. "A-aku, tidak pilih keduanya," jawabku dengan bibir masih bergetar.
"Kamu harus pilih Ra! Akan aku beri waktu."
Aku masih menundukkan kepala. Badanku aku sandarkan di samping ranjang. Tak kuasa menerima kenyataan yang baru saja aku dengar. Lalu Mas Banu meninggalkanku sendiri di kamar. Membiarkanku menangis seorang diri. Dia membawa beberapa pakaiannya. Entah akan pergi kemana dia malam-malam begini.
Aku masih menangis mengingat pertanyaan yang baru saja dikatakan oleh suamiku sendiri. Sungguh belum percaya dengan ucapan itu. Bagaimana bisa Mas Banu memberikan pilihan yang sangat sulit kepadaku.
***
Pagi ini matahari muncul lebih awal. Sinarnya muncul lewat celah jendela. Sudah hampir lima hari, Mas Banu tidak pulang. Aku tidak tahu dia tidur dimana, dengan siapa, tujuannya apa. Aku Sudah menelpon berkali-kali, tapi tidak diangkat sama sekali. Aku juga sudah tanya pada teman-temannya. Tapi hasilnya nihil. Mereka mengatakan tidak melihat Mas Banu juga. Karena Mas Banu juga tidak pergi ke kantor.
Aku sangat khawatir, apalagi dia pergi dalam keadaan sedih dan meninggalkan banyak tanya dalam benakku. Aku putuskan tidak terlalu larut dalam kesedihan. Ada anak-anakku yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Aku tidak boleh memikirkan yang tidak-tidak tentang suamiku sendiri.
Aku sedang mempersiapkan sarapan untuk anakku sebelum mereka pergi sekolah. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah, sambil memanggil-manggil namaku. Aku tidak asing dengan suara itu. Segera aku membukakan pintu.
"Silakan ma-," ucapanku terhenti ketika melihat Mas Banu pulang tidak sendiri. Ada wanita cantik di sampingnya. Mungkin umur wanita itu 5 tahun lebih muda dariku.
"Ira, ini Lidya, istri baruku." Wajah Mas Banu terlihat murung ketika memperkenalkan wanita itu padaku.
"A-apa? Ka-kalian sudah menikah? Kenapa kamu mengajak dia ke rumah? Apa yang akan kamu katakan pada anak-anak? Tega kamu, Mas!"
"Ya, aku akan mengatakan yang sebenarnya," jawabnya dengan gugup. Dia tidak memandangku ketika mengatakan hal itu.
"Udahlah, kamu masak sana! Bikinin makanan enak buat kami," ucap wanita yang sekarang menjadi maduku.
Aku sedikit menggeser tempatku berdiri. Membiarkan Mas Banu dan pelakor itu masuk ke dalam rumah. Aku tidak tau apa yang akan dia katakan jika anak-anakku bertanya tentang wanita itu.
"Ayah? Kapan pulang? Dia siapa?" sederet pertanyaan terlontar dari mulut Sari, anak bungsuku.
"Sari sayang, dia Mama Lidya. Mama baru kamu." Aku terus memandangi raut wajah anak bungsuku. Dia tampak masih berpikir dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Mas Banu.
"Adek ngga mau! Dia jelek!" ucap Sari dengan jari telunjuk menunjuk pada Lidya.
"APA?" ucap Lidya dengan kesal. Raut wajahnya menjadi merah. Matanya memandang tajam pada putriku.
"Udahlah Lidya, dia 'kan masih anak-anak, kamu maklumin aja," ujar Mas Banu, tangannya memegang pundak Lidya dengan lembut. Lidya berusaha meredam amarahnya.
Astaga! Baru gitu aja udah marah, gimana nanti kalo punya anak sendiri?
***
Sarapan untuk semua orang sudah siap, terutama untuk Lidya. Aku membuat nasi goreng, hanya itu yang bisa aku masak pagi ini. Ada piring khusus untuk pelakor itu, sengaja aku beri bumbu tabur pedas. Biar tambah melotot matanya.
Aku membayangkan wajah Lidya saat makan nasi goreng itu. Ah, pasti menyenangkan. Tak menunggu lama, aku langsung menata makanan di atas meja.
"Mas, makanan udah siap, ayo sarapan," ajakku. Aku sengaja memisahkan ruangan untuk sarapan antara Mas Banu dan kelima anakku. Takut akan menimbulkan perkelahian dipagi hari.
"Cerai atau poligami?" tanya Mas Banu saat aku masih menuangkan minuman untuk dia dan wanita itu.
Aku diam. Memandang dua orang yang tidak merasa berdosa itu. Aku menarik napas dan mengeluarkan dengan kasar. Dengan penuh keyakinan, aku mulai menjawab pertanyaan Mas Banu. "Mas, aku pilih ...." Ucapanku terhenti ketika mendengar Sari menangis dengan kencang.
"Ya ampun Sari, kamu kenapa? Mata kamu jadi merah sayang." Aku meniup kedua mata putri bungsuku. Dia belum berhenti menangis."Bunda, tadi makanan Adek masuk mata," ucap Frendi, anak sulungku."Astaga sayang, sini Bunda kasih air biar ngga sakit lagi." Aku mengambil air di telapak tanganku, lalu mengusapkan pada Sari. Aku kembali meniup mata anakku, semoga bisa segera reda sakitnya.Sari itu agak manja. Kena apa sedikit bawaannya langsung menangis. Mungkin karena dia anak yang paling akhir dan merasa diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Akan tetapi, dia juga tahu batasannya, walau usianya masih terbilang kecil."Kamu gimana sih ngurus anak! Gitu aja ngga becus!" teriak wanita yang sekarang menjadi maduku.Kenapa tiba-tiba Lidya ada di ruang tengah? Bukannya tadi dia makan sama Mas Banu. Perlu apa dia ke sini? Ah bodo amat, apa urusannya denganku.Tangis Sari sudah tidak terdengar lagi. Dia kembali makan seper
Aku berlari kecil mendatangi Lidya. "Apa sih, teriak-teriak?" tanyaku pada Lidya."Makanan mana makanan?" tanya Lidya. Kedua tangannya disodorkan padaku seperti anak kecil yang merengek meminta permen."Kamu pikir aku pembantu kamu? Kalo lapar, masak aja sendiri!" ucapku dengan nada kesal. Bukannya pergi untuk masak atau cari makanan, Lidya malah tetap berdiri di tempat. Dia terus memandangiku. "Kenapa?" tanyaku."Gimana mau masak? Goreng telor aja gosong," ucap Lidya dengan santai."Ka-kamu ngga bisa masak?" tanyaku. Sedikit terkekeh karena wanita cantik yang di depanku tidak bisa masak. Padahal kalau dilihat dengan saksama dia terlihat seperti wanita sempurna yang tidak memiliki kekurangan apa pun."Jangan ngeledek! Cepetan bikinin makanan!" perintah Lidya padaku.Aku menatap wajah Lidya. Tidak mungkin aku menuruti ucapan madu tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyuruh aku untuk masak. "Ngg
"Ira?" ucap seorang pria itu.Aku menatap dengan saksama wajah laki-laki itu. Seperti kenal, tetapi siapa aku tidak ingat. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapanku ini. "Oh, Rendi!" tebakku. Aku melihat bekas luka di dekat lesung pipinya. Dulu dia pernah aku pukul dengan kayu hingga mengenai pipinya. Ya, aku yakin dia Rendi."Yaps, aku Rendi," jawabnya.Rendi adalah teman SMAku. Dulu kami sangat dekat hingga guru kami mengatakan kalau kami cocok menjadi pasangan suami istri. Aku tahu itu hanya sebuah candaan. Usia kami masih terbilang muda untuk memikirkan hal itu.Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Saat kuliahlah aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Sedangkan Rendi, dia mendapatkan beasiswa full di Kairo. Semenjak saat itu, aku tidak mendengar kabar tentangnya."Sudah lama kita nggak ketemu, kamu apa kabar?" tanya Rendi
"Ira, uangku tidak akan habis kalau untuk biaya anak-anak!" ucap Mas Banu.Aku tahu, suamiku kini telah mendapat posisi penting di kantornya. Bahkan jika dia mau, dia bisa memiliki empat orang istri sekaligus. Dia menjamin semuanya tidak akan kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi dia tidak melakukannya karena menjaga perasaanku. Aku tahu, dia menikah dengan Lidya karena hutang budi pada Rizal, temannya.Karena kecukupan dalam ekonomilah Mas Banu melarangku bekerja. Takut aku kelelahan ataupun khawatir kalau aku disukai teman kerja. Ada saja alasan darinya. Aku bisa maklum, dia memang sangat mencintaiku.Namun, bagaimanapun juga, aku harus bekerja. Dulu waktu aku masih sekolah menengah, aku sekolah sambil bekerja. Aku yakin kalau aku bisa kuat kerja. Dan aku tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya aku ingin bekerja. Takut jika dia semakin merasa bersalah."Bukan begitu Mas, aku sering kesepian kalau di rumah. Anak kita sibuk semua dengan
"Ira, uangku tidak akan habis kalau untuk biaya anak-anak!" ucap Mas Banu.Aku tahu, suamiku kini telah mendapat posisi penting di kantornya. Bahkan jika dia mau, dia bisa memiliki empat orang istri sekaligus. Dia menjamin semuanya tidak akan kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi dia tidak melakukannya karena menjaga perasaanku. Aku tahu, dia menikah dengan Lidya karena hutang budi pada Rizal, temannya.Karena kecukupan dalam ekonomilah Mas Banu melarangku bekerja. Takut aku kelelahan ataupun khawatir kalau aku disukai teman kerja. Ada saja alasan darinya. Aku bisa maklum, dia memang sangat mencintaiku.Namun, bagaimanapun juga, aku harus bekerja. Dulu waktu aku masih sekolah menengah, aku sekolah sambil bekerja. Aku yakin kalau aku bisa kuat kerja. Dan aku tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya aku ingin bekerja. Takut jika dia semakin merasa bersalah."Bukan begitu Mas, aku sering kesepian kalau di rumah. Anak kita sibuk semua dengan
"Ira?" ucap seorang pria itu.Aku menatap dengan saksama wajah laki-laki itu. Seperti kenal, tetapi siapa aku tidak ingat. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapanku ini. "Oh, Rendi!" tebakku. Aku melihat bekas luka di dekat lesung pipinya. Dulu dia pernah aku pukul dengan kayu hingga mengenai pipinya. Ya, aku yakin dia Rendi."Yaps, aku Rendi," jawabnya.Rendi adalah teman SMAku. Dulu kami sangat dekat hingga guru kami mengatakan kalau kami cocok menjadi pasangan suami istri. Aku tahu itu hanya sebuah candaan. Usia kami masih terbilang muda untuk memikirkan hal itu.Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Saat kuliahlah aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Sedangkan Rendi, dia mendapatkan beasiswa full di Kairo. Semenjak saat itu, aku tidak mendengar kabar tentangnya."Sudah lama kita nggak ketemu, kamu apa kabar?" tanya Rendi
Aku berlari kecil mendatangi Lidya. "Apa sih, teriak-teriak?" tanyaku pada Lidya."Makanan mana makanan?" tanya Lidya. Kedua tangannya disodorkan padaku seperti anak kecil yang merengek meminta permen."Kamu pikir aku pembantu kamu? Kalo lapar, masak aja sendiri!" ucapku dengan nada kesal. Bukannya pergi untuk masak atau cari makanan, Lidya malah tetap berdiri di tempat. Dia terus memandangiku. "Kenapa?" tanyaku."Gimana mau masak? Goreng telor aja gosong," ucap Lidya dengan santai."Ka-kamu ngga bisa masak?" tanyaku. Sedikit terkekeh karena wanita cantik yang di depanku tidak bisa masak. Padahal kalau dilihat dengan saksama dia terlihat seperti wanita sempurna yang tidak memiliki kekurangan apa pun."Jangan ngeledek! Cepetan bikinin makanan!" perintah Lidya padaku.Aku menatap wajah Lidya. Tidak mungkin aku menuruti ucapan madu tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyuruh aku untuk masak. "Ngg
"Ya ampun Sari, kamu kenapa? Mata kamu jadi merah sayang." Aku meniup kedua mata putri bungsuku. Dia belum berhenti menangis."Bunda, tadi makanan Adek masuk mata," ucap Frendi, anak sulungku."Astaga sayang, sini Bunda kasih air biar ngga sakit lagi." Aku mengambil air di telapak tanganku, lalu mengusapkan pada Sari. Aku kembali meniup mata anakku, semoga bisa segera reda sakitnya.Sari itu agak manja. Kena apa sedikit bawaannya langsung menangis. Mungkin karena dia anak yang paling akhir dan merasa diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Akan tetapi, dia juga tahu batasannya, walau usianya masih terbilang kecil."Kamu gimana sih ngurus anak! Gitu aja ngga becus!" teriak wanita yang sekarang menjadi maduku.Kenapa tiba-tiba Lidya ada di ruang tengah? Bukannya tadi dia makan sama Mas Banu. Perlu apa dia ke sini? Ah bodo amat, apa urusannya denganku.Tangis Sari sudah tidak terdengar lagi. Dia kembali makan seper
1. Madu atau Cerai?"Mas, mau kemana?" Aku bertanya pada suamiku, Mas Banu. Dia tampak sibuk memasukkan beberapa bajunya kedalam tas besar.Dia tidak menggubrisku. Memilih sibuk dengan tumpukan baju yang akan dipindahkan dalam tas besar. Sesekali dia mengecek barang yang sudah dimasukkan ke dalam tas itu untuk memastikan tidak ada baju yang tertinggal.Sikap Mas Banu aneh, untuk apa dia membawa baju sebanyak itu? Apakah ada urusan kantor yang mengharuskan dia menginap disuatu tempat? Akan tetapi, kenapa dia tidak memberitahuku dulu?Pandanganku ke sana ke mari melihat tingkah Mas Banu yang belum berhenti. Dia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Setelah dirasa cukup, kemudian Mas Banu duduk untuk mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar."Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?" tanyaku seraya meraih pergelangan tangan suamiku.