Aku berlari kecil mendatangi Lidya. "Apa sih, teriak-teriak?" tanyaku pada Lidya.
"Makanan mana makanan?" tanya Lidya. Kedua tangannya disodorkan padaku seperti anak kecil yang merengek meminta permen.
"Kamu pikir aku pembantu kamu? Kalo lapar, masak aja sendiri!" ucapku dengan nada kesal. Bukannya pergi untuk masak atau cari makanan, Lidya malah tetap berdiri di tempat. Dia terus memandangiku. "Kenapa?" tanyaku.
"Gimana mau masak? Goreng telor aja gosong," ucap Lidya dengan santai.
"Ka-kamu ngga bisa masak?" tanyaku. Sedikit terkekeh karena wanita cantik yang di depanku tidak bisa masak. Padahal kalau dilihat dengan saksama dia terlihat seperti wanita sempurna yang tidak memiliki kekurangan apa pun.
"Jangan ngeledek! Cepetan bikinin makanan!" perintah Lidya padaku.
Aku menatap wajah Lidya. Tidak mungkin aku menuruti ucapan madu tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyuruh aku untuk masak. "Nggak mau! Beli aja di luar." Aku melangkah menjauhi wanita itu.
"Cih, kenapa sih orang-orang di rumah ini nggak peduli padaku?" ucap Lidya.
Aku tidak memperdulikan omelan Lidya. Memilih pergi dari hadapannya dan masuk ke kamar lagi.Hari demi hari aku lalui dengan anggota keluarga yang baru. Ada rasa marah bercampur sedih ketika bersama Lidya.
***
Sudah lama sekali aku tidak bermain ke rumah mertuaku. Hari ini, aku berencana untuk mengunjunginya. Tapi aku seorang diri. Tidak mengajak Mas Banu ataupun anak-anak. Aku perlu waktu untuk sendiri. Bercerita kepada orang tua Mas Banu. Bukan untuk mengadu domba, tapi aku ingin meminta saran mereka. Karena semenjak kematian orang tua kandungku, hanya mereka yang bisa memahami perasaanku. Sedih rasanya kalau teringat ayah dan ibuku meninggal.Waktu itu, Ayah dan Ibu hendak berkunjung ke rumah Mas Banu untuk menjengukku yang sedang hamil besar. Ditengah perjalanan pulang, sebuah truk mengangkut pasir datang dari arah yang berbeda. Rem dari truk itu tidak berfungsi dan hingga akhirnya tanpa orang tuaku sadari truk itu menabarak mereka.
Darah bercucuran di mana-mana, aku syok mendengar berita itu. Hendak dibawa ke rumah sakit agar segera ditangani, namun terlambat. Orang tuaku telah menghembuskan nafas ditempat kejadian.
Tak henti-hentinya aku menangis di hadapan jasat mereka. Air mataku jatuh berulang kali. Mas Banu berusaha menengangkan diriku kala itu. Dia merawatku dengan baik, karena setelah pemakamam orang tuaku aku sakit dan harus di rawat di rumah sakit.
Perlahan waktu mampu mengobati rasa sedihku. Suami dan anakku selalu ada di sampingku. Mereka saling memberi semangat satu sama lain.
"Aku harus bergegas," ucapku memecah lamunanku sendiri. Aku akan pergi ke rumah ibu mertua. Sebelum itu, aku sudah berpamitan pada Mas Banu. Anakku tidak ada yang ikut, karena akan ada pengajian di sore hari. Awalnya Mas Banu juga ingin ikut denganku. Tapi jika Mas Banu ikut, nanti anak-anak ku akan bersama nenek lampir yang jahat itu. Aku khawatir dia akan mencelakai anakku.
Aku mengemudikan motor matikku dengan kecepatan sedang. Sambil menikmati cuaca yang menyengat. Untung persediaan sunblock masih aman. Jadi aku bisa memakainya.
Jarak antara rumahku dengan rumah mertua sedikit jauh. Memakan waktu 2 jam, jika perjalanannya lancar. Sesekali aku tersenyum kala memandang sawah yang menemani perjalananku. Mendengarkan musik indie kesukaanku dengan pelan. Udara sejuk siang hari di temani angin yang berhembus, membuatku sedikit melupakan masalah yang ada.
Aku telah sampai dengan selamat. Kedua mertuaku sudah menungguku di depan rumah. Mereka tampak merindukan diriku. Ada binar di bola mata mereka ketika aku datang. Tapi, ibu mertua tampak berkaca-kaca saat aku menyalami punggung tangannya. "Mama, ada apa?" tanyaku pada Mama Santi, ibu mertuaku.
"Kamu wanita kuat, Nak. Mama dan Papa bangga sama kamu. Maafin Banu ya .... "
Aku terdiam. Menatap kedua mertuaku yang mulai renta. Mereka sudah tahu mengenai pernikahan kedua anaknya. Ibu mertua mengelus pundaku dengan penuh kasih sayang. Kedua orang tua Mas Banu sangat sayang padaku. Padahal aku hanya menantu, tidak kaya ataupun cantik.
Aku sangat bersyukur masih dikelilingi orang-orang yang sangat sayang padaku. "Emm ... Pa, Ma, Ira ngga papa kok. Ini demi anak-anak, doakan saja biar Ira bisa menghadapi ini semua,"
"Pasti, Mama sama Papa akan selalu dukung kamu. Biar bagaimanapun, kamu sudah kami anggap putri sendiri Ira. Jangan sungkan jika mau bercerita," kata Candra, bapak mertuaku.
"Oh iya, sampai lupa. Ayo masuk dulu Ira, Mama udah masakin makanan kesukaan kamu. Mumpung anakmu ngga ikut kesini, kamu bisa makan sepuasnya," goda ibu mertua.
"Hahha, nanti kalo aku gendutan gimana dong Ma?" tanyaku sambil terkekeh.
"Ya biarin, itu tandanya kamu sehat Ira."
Mendengar jawaban dari Mama, kami bertiga langsung tertawa bersama. Aku makan cukup banyak hari ini, di rumah mertuaku aku menjadi seperti wanita yang dimanja orang tuanya. Bagaimana tidak? Mama memaksaku untuk makan dari tangannya. Dia memaksa aku untuk makan dari suapannya. Apa dia tidak sadar kalau usiaku sudah tidak muda lagi.
Ah, aku sangat bahagia di rumah ini. Rasanya tidak ingin kembali kerumah. Karna ada wanita yang tidak tahu terimakasih. Tapi bagaimana nanti kalau anakku mencari?
Setelah puas dengan obrolan manis hari ini, aku bermaksud untuk pamit pulang. Karna hari juga sudah mulai sore. Takut kemalaman sampai di tujuan. Aku berpamitan pada Mama dan Papa. Mereka juga memberiku beberapa bahan makanan dan sejumlah uang. Katanya, agar kami tidak kekurangan karna ada anggota keluarga baru yang menjengkelkan.
Sebelum tiba di rumah, aku berniat membeli buah tangan untuk kelima anakku. Setengah perjalanan pulang, aku menemukan pusat oleh-oleh yang ramai diperbincangkan di sosial media. Tanpa berpikir panjang aku langsung memarkirkan motorku di samping toko itu. Lalu masuk untuk membeli oleh-oleh.
Saat aku sedang memilih makanan, ada seseorang yang menyapaku dengan bahasa yang enak didengar. "Selamat sore Kak, ada yang bisa saya bantu? Mungkin sedang mencari oleh-oleh untuk keluarga? Saya ada rekomendasi untuk anda," ucapnya dengan ramah.
Aku masih melihat-lihat makanan yang dipajang. Sedikit terganggu dengan kehadiran laki-laki ini. Aku tidak suka kalau sedang belanja ada karyawan yang memperhatikan apalagi menawarkan produk ini itu. Dikira aku mau nyuri kali. "Oh iya Mas, ini baru lihat-lihat dulu," jawabku sambil mengarahkan pandangan pada raga yang bersuara tadi.
"Lhoh? Ka-kamu? Kamu kan .... " Aku terkejut saat menatap wajah seorang pria yang menyapaku tadi. Begitu juga dengan dia.
"Ira?" ucap seorang pria itu.Aku menatap dengan saksama wajah laki-laki itu. Seperti kenal, tetapi siapa aku tidak ingat. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapanku ini. "Oh, Rendi!" tebakku. Aku melihat bekas luka di dekat lesung pipinya. Dulu dia pernah aku pukul dengan kayu hingga mengenai pipinya. Ya, aku yakin dia Rendi."Yaps, aku Rendi," jawabnya.Rendi adalah teman SMAku. Dulu kami sangat dekat hingga guru kami mengatakan kalau kami cocok menjadi pasangan suami istri. Aku tahu itu hanya sebuah candaan. Usia kami masih terbilang muda untuk memikirkan hal itu.Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Saat kuliahlah aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Sedangkan Rendi, dia mendapatkan beasiswa full di Kairo. Semenjak saat itu, aku tidak mendengar kabar tentangnya."Sudah lama kita nggak ketemu, kamu apa kabar?" tanya Rendi
"Ira, uangku tidak akan habis kalau untuk biaya anak-anak!" ucap Mas Banu.Aku tahu, suamiku kini telah mendapat posisi penting di kantornya. Bahkan jika dia mau, dia bisa memiliki empat orang istri sekaligus. Dia menjamin semuanya tidak akan kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi dia tidak melakukannya karena menjaga perasaanku. Aku tahu, dia menikah dengan Lidya karena hutang budi pada Rizal, temannya.Karena kecukupan dalam ekonomilah Mas Banu melarangku bekerja. Takut aku kelelahan ataupun khawatir kalau aku disukai teman kerja. Ada saja alasan darinya. Aku bisa maklum, dia memang sangat mencintaiku.Namun, bagaimanapun juga, aku harus bekerja. Dulu waktu aku masih sekolah menengah, aku sekolah sambil bekerja. Aku yakin kalau aku bisa kuat kerja. Dan aku tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya aku ingin bekerja. Takut jika dia semakin merasa bersalah."Bukan begitu Mas, aku sering kesepian kalau di rumah. Anak kita sibuk semua dengan
1. Madu atau Cerai?"Mas, mau kemana?" Aku bertanya pada suamiku, Mas Banu. Dia tampak sibuk memasukkan beberapa bajunya kedalam tas besar.Dia tidak menggubrisku. Memilih sibuk dengan tumpukan baju yang akan dipindahkan dalam tas besar. Sesekali dia mengecek barang yang sudah dimasukkan ke dalam tas itu untuk memastikan tidak ada baju yang tertinggal.Sikap Mas Banu aneh, untuk apa dia membawa baju sebanyak itu? Apakah ada urusan kantor yang mengharuskan dia menginap disuatu tempat? Akan tetapi, kenapa dia tidak memberitahuku dulu?Pandanganku ke sana ke mari melihat tingkah Mas Banu yang belum berhenti. Dia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Setelah dirasa cukup, kemudian Mas Banu duduk untuk mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar."Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?" tanyaku seraya meraih pergelangan tangan suamiku.
"Ya ampun Sari, kamu kenapa? Mata kamu jadi merah sayang." Aku meniup kedua mata putri bungsuku. Dia belum berhenti menangis."Bunda, tadi makanan Adek masuk mata," ucap Frendi, anak sulungku."Astaga sayang, sini Bunda kasih air biar ngga sakit lagi." Aku mengambil air di telapak tanganku, lalu mengusapkan pada Sari. Aku kembali meniup mata anakku, semoga bisa segera reda sakitnya.Sari itu agak manja. Kena apa sedikit bawaannya langsung menangis. Mungkin karena dia anak yang paling akhir dan merasa diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Akan tetapi, dia juga tahu batasannya, walau usianya masih terbilang kecil."Kamu gimana sih ngurus anak! Gitu aja ngga becus!" teriak wanita yang sekarang menjadi maduku.Kenapa tiba-tiba Lidya ada di ruang tengah? Bukannya tadi dia makan sama Mas Banu. Perlu apa dia ke sini? Ah bodo amat, apa urusannya denganku.Tangis Sari sudah tidak terdengar lagi. Dia kembali makan seper
"Ira, uangku tidak akan habis kalau untuk biaya anak-anak!" ucap Mas Banu.Aku tahu, suamiku kini telah mendapat posisi penting di kantornya. Bahkan jika dia mau, dia bisa memiliki empat orang istri sekaligus. Dia menjamin semuanya tidak akan kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi dia tidak melakukannya karena menjaga perasaanku. Aku tahu, dia menikah dengan Lidya karena hutang budi pada Rizal, temannya.Karena kecukupan dalam ekonomilah Mas Banu melarangku bekerja. Takut aku kelelahan ataupun khawatir kalau aku disukai teman kerja. Ada saja alasan darinya. Aku bisa maklum, dia memang sangat mencintaiku.Namun, bagaimanapun juga, aku harus bekerja. Dulu waktu aku masih sekolah menengah, aku sekolah sambil bekerja. Aku yakin kalau aku bisa kuat kerja. Dan aku tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya aku ingin bekerja. Takut jika dia semakin merasa bersalah."Bukan begitu Mas, aku sering kesepian kalau di rumah. Anak kita sibuk semua dengan
"Ira?" ucap seorang pria itu.Aku menatap dengan saksama wajah laki-laki itu. Seperti kenal, tetapi siapa aku tidak ingat. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapanku ini. "Oh, Rendi!" tebakku. Aku melihat bekas luka di dekat lesung pipinya. Dulu dia pernah aku pukul dengan kayu hingga mengenai pipinya. Ya, aku yakin dia Rendi."Yaps, aku Rendi," jawabnya.Rendi adalah teman SMAku. Dulu kami sangat dekat hingga guru kami mengatakan kalau kami cocok menjadi pasangan suami istri. Aku tahu itu hanya sebuah candaan. Usia kami masih terbilang muda untuk memikirkan hal itu.Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Saat kuliahlah aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Sedangkan Rendi, dia mendapatkan beasiswa full di Kairo. Semenjak saat itu, aku tidak mendengar kabar tentangnya."Sudah lama kita nggak ketemu, kamu apa kabar?" tanya Rendi
Aku berlari kecil mendatangi Lidya. "Apa sih, teriak-teriak?" tanyaku pada Lidya."Makanan mana makanan?" tanya Lidya. Kedua tangannya disodorkan padaku seperti anak kecil yang merengek meminta permen."Kamu pikir aku pembantu kamu? Kalo lapar, masak aja sendiri!" ucapku dengan nada kesal. Bukannya pergi untuk masak atau cari makanan, Lidya malah tetap berdiri di tempat. Dia terus memandangiku. "Kenapa?" tanyaku."Gimana mau masak? Goreng telor aja gosong," ucap Lidya dengan santai."Ka-kamu ngga bisa masak?" tanyaku. Sedikit terkekeh karena wanita cantik yang di depanku tidak bisa masak. Padahal kalau dilihat dengan saksama dia terlihat seperti wanita sempurna yang tidak memiliki kekurangan apa pun."Jangan ngeledek! Cepetan bikinin makanan!" perintah Lidya padaku.Aku menatap wajah Lidya. Tidak mungkin aku menuruti ucapan madu tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyuruh aku untuk masak. "Ngg
"Ya ampun Sari, kamu kenapa? Mata kamu jadi merah sayang." Aku meniup kedua mata putri bungsuku. Dia belum berhenti menangis."Bunda, tadi makanan Adek masuk mata," ucap Frendi, anak sulungku."Astaga sayang, sini Bunda kasih air biar ngga sakit lagi." Aku mengambil air di telapak tanganku, lalu mengusapkan pada Sari. Aku kembali meniup mata anakku, semoga bisa segera reda sakitnya.Sari itu agak manja. Kena apa sedikit bawaannya langsung menangis. Mungkin karena dia anak yang paling akhir dan merasa diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Akan tetapi, dia juga tahu batasannya, walau usianya masih terbilang kecil."Kamu gimana sih ngurus anak! Gitu aja ngga becus!" teriak wanita yang sekarang menjadi maduku.Kenapa tiba-tiba Lidya ada di ruang tengah? Bukannya tadi dia makan sama Mas Banu. Perlu apa dia ke sini? Ah bodo amat, apa urusannya denganku.Tangis Sari sudah tidak terdengar lagi. Dia kembali makan seper
1. Madu atau Cerai?"Mas, mau kemana?" Aku bertanya pada suamiku, Mas Banu. Dia tampak sibuk memasukkan beberapa bajunya kedalam tas besar.Dia tidak menggubrisku. Memilih sibuk dengan tumpukan baju yang akan dipindahkan dalam tas besar. Sesekali dia mengecek barang yang sudah dimasukkan ke dalam tas itu untuk memastikan tidak ada baju yang tertinggal.Sikap Mas Banu aneh, untuk apa dia membawa baju sebanyak itu? Apakah ada urusan kantor yang mengharuskan dia menginap disuatu tempat? Akan tetapi, kenapa dia tidak memberitahuku dulu?Pandanganku ke sana ke mari melihat tingkah Mas Banu yang belum berhenti. Dia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Setelah dirasa cukup, kemudian Mas Banu duduk untuk mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar."Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?" tanyaku seraya meraih pergelangan tangan suamiku.