Share

Inikah kamu?

Penulis: Karunia Rishii
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-17 11:22:27

"Ira, uangku tidak akan habis kalau untuk biaya anak-anak!" ucap Mas Banu. 

Aku tahu, suamiku kini telah mendapat posisi penting di kantornya. Bahkan jika dia mau, dia bisa memiliki empat orang istri sekaligus. Dia menjamin semuanya tidak akan kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi dia tidak melakukannya karena menjaga perasaanku. Aku tahu, dia menikah dengan Lidya karena hutang budi pada Rizal, temannya. 

Karena kecukupan dalam ekonomilah Mas Banu melarangku bekerja. Takut aku kelelahan ataupun khawatir kalau aku disukai teman kerja. Ada saja alasan darinya. Aku bisa maklum, dia memang sangat mencintaiku. 

Namun, bagaimanapun juga, aku harus bekerja. Dulu waktu aku masih sekolah menengah, aku sekolah sambil bekerja. Aku yakin kalau aku bisa kuat kerja. Dan aku tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya aku ingin bekerja. Takut jika dia semakin merasa bersalah. 

"Bukan begitu Mas, aku sering kesepian kalau di rumah. Anak kita sibuk semua dengan sekolah dan kegiatan masjid. Aku butuh kegiatan Mas," ucapku berbohong. 

Mas Banu terdiam entah apa yang sedang dia pikirkan. Aku berharap dia mengijinkanku bekerja supaya aku tidak larut dalam kesedihan. Dia memandangku cukup dekat. Tak sekalipun dia berkedip ketika menatapku. Aku sedikit risih dengan tatapan Mas Banu. Akan tetapi, aku diam saja. 

Aku masih menunggu jawaban dari Mas Banu. Waktu terus berjalan, tapi dia belum juga membuka bicara. Ada rasa khawatir jika suamiku tidak mengizinkan aku kerja. 

"Aku izinkan kamu kerja. Tapi dengan satu syarat. Kamu tidak boleh terlalu lelah," icap Mas Banu sambil membelai kepalaku. 

"Alhamdulillah, makasih ya Mas. Iya, aku janji. Kalau aku ngelakuinnya dengan senang hati, pasti nggak capek," ucapku girang. Kedua tanganku meraih tubuh suami. Aku sangat senang dengan ucapannya barusan. Tak henti-hentinya aku memeluk tubuh suamiku. Sesekali aku juga mencium pipinya. Aku bahagia, sangat bahagia. 

Seolah diberikan emas ratusan gram. Aku bersyukur Mas Banu mengizinkan aku bekerja. Dengan begitu, perlahan aku bisa melupakan sakit hatiku ini. Aku melepas rangkulan itu dan beralih memegang jemari suamiku. "Mas, udah malam. Tidur yuk!" ajakku pada Mas Banu. 

"Iya, Ra. Kamu duluan aja. Malam ini aku tidur dengan Lidya ya?" jawabnya. 

Aku terkejut dengan ucapan Mas Banu. Kenapa tiba-tiba dia ingin bersama Lidya? Padahal biasanya dia tidak mau kalau di dekat Lidya. Tapi sekarang malah mau sekamar sama dia. Aneh. 

Aku lihat Mas Banu asyik dengan ponselnya, sesekali dia tersenyum di depan layar ponsel. Seperti sedang bertukar pesan dengan seseorang. Aku mengerutkan dahi. Siapa yang sedang dia hubungi malam-malam begini? Apakah dengan Lidya? Tapi bukankah dia tidak menyukainya? Untuk apa juga dia mengirimkan pesan padanya, padahal dalam satu rumah. 'Mungkin itu rekan kerjanya, mana mungkin dia chattingan sama nenek lampir itu,' batinku. 

Aku selalu mengingatkan diriku sendiri kalau Mas Banu menikah dengan Lidya itu terpaksa. Jadi dia tidak mungkin menyukainya. Tapi jika itu betul terjadi bagaimana? "Ya sudah Mas, aku ke kamar dulu."Pamitku lalu berjalan menjauhi Mas Banu. 

Dia tidak menjawabku, malah tertawa di hadapan layar ponselnya. Sebenarnya siapa yang sedang dihubungi hingga tidak mendengar ucapanku. "Mas!" bentakku. 

"I-iya? Ada apa Ra?" tanya Mas Banu. Dia tampak kaget dengan panggilanku. Ponselnya tiba-tiba diletakkan di atas sofa dengan keadaan terbalik ketika menyadari aku berjalan kearahnya. 

"Chatting dengan siapa?" tanyaku penasaran. 

"Bu-bukan siapa-siapa, udah kamu tidur sana!" ucap Mas Banu sedikit gugup. Dia memalingkan badan dan kembali mengambil ponselnya. Aku semakin curiga dengan sikapnya. Tapi aku tidak boleh gegabah. Bisa saja yang dihubungi itu atasannya atau rekan kerjanya. 

"Iya Mas," ucapku lalu berjalan menjauhi tempat duduk Mas Banu. 

Aku meraih ponsel yang ada di saku baju. Mencari nomor yang aku dapatkan tadi sore. Siapa lagi kalau bukan Rendi. Tadi aku sudah bilang kalau aku mau kerja sama dia, kerja apa aja yang aku bisa. Aku tidak mau terus-terusan bergantung pada Mas Banu. Setidaknya ijazah sarjana ku berguna. 

[Ren, aku jadi kerja sama kamu. Kapan kamu buka cabang di dekat rumahku?] Kukirim pesan untuk sahabat SMAku. 

Aku mengamati layar ponsel yang masih membuka aplikasi berwarna hijau itu. Tampilannya masih belum centang biru dan statusnya terakhir dilihat. 'Masa iya, si Rendi jam segini udah tidur?' batinku. Mataku masih menatap layar ponsel. 

Sepuluh menit berlalu, tidak ada balasan  dari Rendi. Aku masukkan ponselku ke saku lagi dan beranjak dari dapur. Tadi aku tidak langsung ke kamar karena tenggorokanku terasa kering, jadi aku memutuskan untuk ke dapur dulu. 

"Mas, pokoknya aku ngga mau tau ya. Kamu harus cepet-cepet ceraikan Ira. Aku udah mu*k lihat muka dia!" seru Lidya dengan keras. 

"Sayang kamu jangan keras-keras dong ngomongnya, nanti kalau yang lain dengar gimana?" sahut Mas Banu dengan suara seraknya. 

Kakiku semakin mendekat ke arah kamar Lidya. Hati ini tidak percaya dengan panggilan Mas Banu pada Lidya. Apa tadi, 'sayang?' Bukankah Mas Banu sangat membenci Lidya? Tapi kenapa di belakangku mereka sayang-sayangan? Apa Suamiku memiliki kepribadian ganda yang tidak aku ketahui sebelumnya? 

"Rumah ini dan semua asetnya masih atas nama Ira, nanti kalau aku ceraikan dia. Yang ada kita malah jadi gelandangan," kata Mas Banu. 

"Kita harus cari cara, kamu udah janji 'kan. Kalau kita udah berhasil bun*h Rizal, aku akan jadi istri kamu satu-satunya," seru Lidya. 

Apa? Jadi merekalah yang membunuh Rizal? Dan ternyata Rizal meninggal bukan karena kecelakaan! Sungguh, mereka tidak memiliki hati nurani!

"Ternyata inilah sifat aslimu Mas! Demi harta kamu menghalalkan segala cara. Kamu juga mengorbankan rumah tangga kita. Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu dan Lidya," batinku. 

Aku membalikkan badan dan segera meninggalkan kamar Lidya. Tanpa sengaja aku menyenggol vas bunga dan akhirnya pecah. Menimbulkan suara yang mengejutkan. 

"Siapa itu?" teriak Lidya. 

Hentakan kaki Lidya dan Mas Banu terdengar semakin dekat. Keringatku mulai bercucuran. Bingung apa yang harus aku lakukan. Tangan dan kakiku tiba-tiba terasa dingin. 

Bab terkait

  • Suamiku Terpaksa Mendua   Madu atau cerai

    1. Madu atau Cerai?"Mas, mau kemana?" Aku bertanya pada suamiku, Mas Banu. Dia tampak sibuk memasukkan beberapa bajunya kedalam tas besar.Dia tidak menggubrisku. Memilih sibuk dengan tumpukan baju yang akan dipindahkan dalam tas besar. Sesekali dia mengecek barang yang sudah dimasukkan ke dalam tas itu untuk memastikan tidak ada baju yang tertinggal.Sikap Mas Banu aneh, untuk apa dia membawa baju sebanyak itu? Apakah ada urusan kantor yang mengharuskan dia menginap disuatu tempat? Akan tetapi, kenapa dia tidak memberitahuku dulu?Pandanganku ke sana ke mari melihat tingkah Mas Banu yang belum berhenti. Dia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Setelah dirasa cukup, kemudian Mas Banu duduk untuk mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar."Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?" tanyaku seraya meraih pergelangan tangan suamiku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Suamiku Terpaksa Mendua   Madu Pahit

    "Ya ampun Sari, kamu kenapa? Mata kamu jadi merah sayang." Aku meniup kedua mata putri bungsuku. Dia belum berhenti menangis."Bunda, tadi makanan Adek masuk mata," ucap Frendi, anak sulungku."Astaga sayang, sini Bunda kasih air biar ngga sakit lagi." Aku mengambil air di telapak tanganku, lalu mengusapkan pada Sari. Aku kembali meniup mata anakku, semoga bisa segera reda sakitnya.Sari itu agak manja. Kena apa sedikit bawaannya langsung menangis. Mungkin karena dia anak yang paling akhir dan merasa diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Akan tetapi, dia juga tahu batasannya, walau usianya masih terbilang kecil."Kamu gimana sih ngurus anak! Gitu aja ngga becus!" teriak wanita yang sekarang menjadi maduku.Kenapa tiba-tiba Lidya ada di ruang tengah? Bukannya tadi dia makan sama Mas Banu. Perlu apa dia ke sini? Ah bodo amat, apa urusannya denganku.Tangis Sari sudah tidak terdengar lagi. Dia kembali makan seper

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • Suamiku Terpaksa Mendua   Rumah Mertua

    Aku berlari kecil mendatangi Lidya. "Apa sih, teriak-teriak?" tanyaku pada Lidya."Makanan mana makanan?" tanya Lidya. Kedua tangannya disodorkan padaku seperti anak kecil yang merengek meminta permen."Kamu pikir aku pembantu kamu? Kalo lapar, masak aja sendiri!" ucapku dengan nada kesal. Bukannya pergi untuk masak atau cari makanan, Lidya malah tetap berdiri di tempat. Dia terus memandangiku. "Kenapa?" tanyaku."Gimana mau masak? Goreng telor aja gosong," ucap Lidya dengan santai."Ka-kamu ngga bisa masak?" tanyaku. Sedikit terkekeh karena wanita cantik yang di depanku tidak bisa masak. Padahal kalau dilihat dengan saksama dia terlihat seperti wanita sempurna yang tidak memiliki kekurangan apa pun."Jangan ngeledek! Cepetan bikinin makanan!" perintah Lidya padaku.Aku menatap wajah Lidya. Tidak mungkin aku menuruti ucapan madu tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyuruh aku untuk masak. "Ngg

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-14
  • Suamiku Terpaksa Mendua   Awal Yang Baru

    "Ira?" ucap seorang pria itu.Aku menatap dengan saksama wajah laki-laki itu. Seperti kenal, tetapi siapa aku tidak ingat. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapanku ini. "Oh, Rendi!" tebakku. Aku melihat bekas luka di dekat lesung pipinya. Dulu dia pernah aku pukul dengan kayu hingga mengenai pipinya. Ya, aku yakin dia Rendi."Yaps, aku Rendi," jawabnya.Rendi adalah teman SMAku. Dulu kami sangat dekat hingga guru kami mengatakan kalau kami cocok menjadi pasangan suami istri. Aku tahu itu hanya sebuah candaan. Usia kami masih terbilang muda untuk memikirkan hal itu.Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Saat kuliahlah aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Sedangkan Rendi, dia mendapatkan beasiswa full di Kairo. Semenjak saat itu, aku tidak mendengar kabar tentangnya."Sudah lama kita nggak ketemu, kamu apa kabar?" tanya Rendi

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-14

Bab terbaru

  • Suamiku Terpaksa Mendua   Inikah kamu?

    "Ira, uangku tidak akan habis kalau untuk biaya anak-anak!" ucap Mas Banu.Aku tahu, suamiku kini telah mendapat posisi penting di kantornya. Bahkan jika dia mau, dia bisa memiliki empat orang istri sekaligus. Dia menjamin semuanya tidak akan kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi dia tidak melakukannya karena menjaga perasaanku. Aku tahu, dia menikah dengan Lidya karena hutang budi pada Rizal, temannya.Karena kecukupan dalam ekonomilah Mas Banu melarangku bekerja. Takut aku kelelahan ataupun khawatir kalau aku disukai teman kerja. Ada saja alasan darinya. Aku bisa maklum, dia memang sangat mencintaiku.Namun, bagaimanapun juga, aku harus bekerja. Dulu waktu aku masih sekolah menengah, aku sekolah sambil bekerja. Aku yakin kalau aku bisa kuat kerja. Dan aku tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya aku ingin bekerja. Takut jika dia semakin merasa bersalah."Bukan begitu Mas, aku sering kesepian kalau di rumah. Anak kita sibuk semua dengan

  • Suamiku Terpaksa Mendua   Awal Yang Baru

    "Ira?" ucap seorang pria itu.Aku menatap dengan saksama wajah laki-laki itu. Seperti kenal, tetapi siapa aku tidak ingat. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapanku ini. "Oh, Rendi!" tebakku. Aku melihat bekas luka di dekat lesung pipinya. Dulu dia pernah aku pukul dengan kayu hingga mengenai pipinya. Ya, aku yakin dia Rendi."Yaps, aku Rendi," jawabnya.Rendi adalah teman SMAku. Dulu kami sangat dekat hingga guru kami mengatakan kalau kami cocok menjadi pasangan suami istri. Aku tahu itu hanya sebuah candaan. Usia kami masih terbilang muda untuk memikirkan hal itu.Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Saat kuliahlah aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Sedangkan Rendi, dia mendapatkan beasiswa full di Kairo. Semenjak saat itu, aku tidak mendengar kabar tentangnya."Sudah lama kita nggak ketemu, kamu apa kabar?" tanya Rendi

  • Suamiku Terpaksa Mendua   Rumah Mertua

    Aku berlari kecil mendatangi Lidya. "Apa sih, teriak-teriak?" tanyaku pada Lidya."Makanan mana makanan?" tanya Lidya. Kedua tangannya disodorkan padaku seperti anak kecil yang merengek meminta permen."Kamu pikir aku pembantu kamu? Kalo lapar, masak aja sendiri!" ucapku dengan nada kesal. Bukannya pergi untuk masak atau cari makanan, Lidya malah tetap berdiri di tempat. Dia terus memandangiku. "Kenapa?" tanyaku."Gimana mau masak? Goreng telor aja gosong," ucap Lidya dengan santai."Ka-kamu ngga bisa masak?" tanyaku. Sedikit terkekeh karena wanita cantik yang di depanku tidak bisa masak. Padahal kalau dilihat dengan saksama dia terlihat seperti wanita sempurna yang tidak memiliki kekurangan apa pun."Jangan ngeledek! Cepetan bikinin makanan!" perintah Lidya padaku.Aku menatap wajah Lidya. Tidak mungkin aku menuruti ucapan madu tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyuruh aku untuk masak. "Ngg

  • Suamiku Terpaksa Mendua   Madu Pahit

    "Ya ampun Sari, kamu kenapa? Mata kamu jadi merah sayang." Aku meniup kedua mata putri bungsuku. Dia belum berhenti menangis."Bunda, tadi makanan Adek masuk mata," ucap Frendi, anak sulungku."Astaga sayang, sini Bunda kasih air biar ngga sakit lagi." Aku mengambil air di telapak tanganku, lalu mengusapkan pada Sari. Aku kembali meniup mata anakku, semoga bisa segera reda sakitnya.Sari itu agak manja. Kena apa sedikit bawaannya langsung menangis. Mungkin karena dia anak yang paling akhir dan merasa diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Akan tetapi, dia juga tahu batasannya, walau usianya masih terbilang kecil."Kamu gimana sih ngurus anak! Gitu aja ngga becus!" teriak wanita yang sekarang menjadi maduku.Kenapa tiba-tiba Lidya ada di ruang tengah? Bukannya tadi dia makan sama Mas Banu. Perlu apa dia ke sini? Ah bodo amat, apa urusannya denganku.Tangis Sari sudah tidak terdengar lagi. Dia kembali makan seper

  • Suamiku Terpaksa Mendua   Madu atau cerai

    1. Madu atau Cerai?"Mas, mau kemana?" Aku bertanya pada suamiku, Mas Banu. Dia tampak sibuk memasukkan beberapa bajunya kedalam tas besar.Dia tidak menggubrisku. Memilih sibuk dengan tumpukan baju yang akan dipindahkan dalam tas besar. Sesekali dia mengecek barang yang sudah dimasukkan ke dalam tas itu untuk memastikan tidak ada baju yang tertinggal.Sikap Mas Banu aneh, untuk apa dia membawa baju sebanyak itu? Apakah ada urusan kantor yang mengharuskan dia menginap disuatu tempat? Akan tetapi, kenapa dia tidak memberitahuku dulu?Pandanganku ke sana ke mari melihat tingkah Mas Banu yang belum berhenti. Dia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Setelah dirasa cukup, kemudian Mas Banu duduk untuk mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar."Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?" tanyaku seraya meraih pergelangan tangan suamiku.

DMCA.com Protection Status