"Ya ampun Sari, kamu kenapa? Mata kamu jadi merah sayang." Aku meniup kedua mata putri bungsuku. Dia belum berhenti menangis.
"Bunda, tadi makanan Adek masuk mata," ucap Frendi, anak sulungku.
"Astaga sayang, sini Bunda kasih air biar ngga sakit lagi." Aku mengambil air di telapak tanganku, lalu mengusapkan pada Sari. Aku kembali meniup mata anakku, semoga bisa segera reda sakitnya.
Sari itu agak manja. Kena apa sedikit bawaannya langsung menangis. Mungkin karena dia anak yang paling akhir dan merasa diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Akan tetapi, dia juga tahu batasannya, walau usianya masih terbilang kecil.
"Kamu gimana sih ngurus anak! Gitu aja ngga becus!" teriak wanita yang sekarang menjadi maduku.
Kenapa tiba-tiba Lidya ada di ruang tengah? Bukannya tadi dia makan sama Mas Banu. Perlu apa dia ke sini? Ah bodo amat, apa urusannya denganku.
Tangis Sari sudah tidak terdengar lagi. Dia kembali makan seperti tadi bersama saudaranya yang lain. Lidya terlihat masih berdiri di tempat semula. Dia melihatku dengan tatapan sinis. "Kenapa?" tanyaku.
"Ira! Kamu bisa masak nggak sih? Masak nasi goreng rasa cabe gini! Kamu sengaja kasih bubuk pedas biar aku diare?" jawab Lidya dengan berteriak-teriak. Jari telunjuknya mengarah pada wajahku. Memaki-maki diriku kalau aku tidak becus menjadi seorang istri. "Pantas saja, Banu tidak betah denganmu!" ucapnya lagi.
Aku terdiam mendengar ucapan terakhir Lidya. Apakah benar Mas Banu tidak betah dengan sikapku hingga dia memutuskan menikah lagi dengan nenek lampir itu? "Maaf Lidya, aku tidak tahu kalau kamu tidak suka bubuk tabur," lirihku lalu berjalan meninggalkan Lidya.
"Maaf, maaf, bisanya cuma maaf aja! Kalau aku sampai masuk rumah sakit gimana? Kamu punya duit buat bayar?" teriaknya lagi.
"Lidya! Cukup! Kamu sudah melewati batas. Sekarang kamu ke kamar. Minum obat diare, terus istirahat," bentak Mas Banu pada istri keduanya itu. "Kamarmu di sana, ini kuncinya," tambahnya. Dia menyerahkan satu kunci yang memiliki gantungan kupu-kupu.
"Iya Mas." Lidya hanya menurut. Segera dia berjalan menuju kamar yang dimaksud suamiku.
***
Aku sedang membereskan piring yang digunakan sarapan tadi. Sesekali air mataku jatuh ketika teringat ucapan Lidya tadi. Niat untuk membuatnya sakit, malah aku sendiri yang sakit hati. Sungguh, aku merasa dihantui dengan ucapan maduku. Benarkah Mas Banu tidak tahan dengan sikapku.
"Humaira, aku mau bicara," Ucap Mas Banu padaku. Aku tidak mempedulikannya, masih marah karena keputusan yang dia buat.
"Ya Mas, bilang aja," jawabku singkat menyimpan segala sakit di hatiku.
"Tidak di sini," ucapnya lagi.
"Kenapa? Biar tidak terdengar istri barumu itu, hah?" Sejujurnya, aku masih tidak menerima Mas Banu pulang membawa perempuan lain yang dia sebut sebagai istri.
"Ayolah sayang," rengeknya. Tanpa aba-aba, Mas Banu mendekatiku. Kedua tangan Mas Banu kini memeluk tubuhku dari belakang. Napasku berhembus dengan cepat. Kepala Mas Banu ditaruh di samping wajahku. Dia masih memeluk tubuhku dengan lembut. Ini menghentikan aktivitasku mencuci piring. Ingin aku membalasnya dengan cinta. Tapi seketika ingat pengkhianatan dia, ini membuatku jijik.
"Mas, lepasin!" Kedua tanganku berusaha melepaskan pelukan dari Mas Banu. Namun tetap saja, dekapan Mas Banu jauh lebih kuat. Aku tidak bisa melepaakan rangkulan hangatnya.
"Kenapa? Apa kamu tidak mencintaiku lagi?" tanya Mas Banu. "Biarkan seperti ini dulu, aku merindukanmu Ira," tambah Mas Banu yang semakin erat memeluk tubuhku.
Aku tidak tahan lagi dengan semua ini. Semakin erat dia memelukku semakin hatiku merasa sakit. Bagaimana aku bisa menerima keputusan Mas Banu tanpa mengetahui alasannya. "Lepasin Mas! Apakah kamu tidak memperdulikan perasaanku ketika memutuskan untuk menikah lagi? Bahkan, kamu bilang akan memberiku waktu untuk pilihan itu!" bentakku. Aku berbalik arah, menghadap tubuh yang perkasa itu. Kedua bola mataku menatap dengan tajam pada wajah suamiku.
"Maafkan aku, Ira ..." lirih Mas Banu. Kepalanya kini tertunduk. Matanya tidak lagi menatapku.
"Kamu jahat Mas!" sergapku masih dengan dada panas.
"Ira, berikan aku waktu untuk menjelaskan ini semua," pintanya memelas.
"Baik," jawabku singkat.
Kemudian Mas Banu mengajakku ke kamar untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Awalnya aku memang tidak mau, tapi apa salahnya jika mendengarkan tipu daya dari suami sendiri?
"Ira, kamu kenal Rizal?"
"Ya, dia teman SMA kamu," jawabku dengan malas.
"Lidya itu istri Rizal."
"Apa hubungannya denganku?"
"Rizal meninggal karena kecelakaan 8 hari yang lalu. Aku harus membantu mengurus pemakaman dia, karena keluarga Rizal sudah banyak membantu orang tuaku."
"Kenapa kamu menikahi istrinya?"
"Itu dia, yang ingin aku katakan kepadamu Ira."
"Ya, lanjutkan Mas," ujarku. Sekarang aku menjadi makin penasaran dengan perkataan Mas Banu.
"Sebelum meninggal, Rizal memberiku amanah untuk menjaga istrinya. Kata dia, hanya aku yang bisa dipercaya untuk menghadapi istrinya yang manja," jelas Mas Banu.
"Apakah tidak ada cara lain selain menikahi perempuan jahat seperti dia? Harusnya kamu bilang sama aku, Mas!"
"Maafkan aku, Ira. Aku salah, saat itu kondisinya sangat mendesak."
"Aku pilih berpisah denganmu!" Tiba-tiba aku mengatakan demikian. Mengatakan dengan bahasa yang jelas. Tidak ada grogi sedikit pun saat itu. Mata Mas Banu kini menatapku, entah apa arti tatapan itu. Seakan menanyakan tentang keputusan yang aku ambil.
"Jujur saja, aku tidak ikhlas jika berpisah denganmu Ira. Aku sangat mencintaimu. Pikirkan baik-baik, jika bukan untuk diriku. Setidaknya untuk anak-anak kita. Bagaimana mereka nanti jika tahu kalau orang tuanya berpisah?" lanjut Mas Banu.
Aku diam. Mencoba berpikir berulang kali lagi. Mematangkan keputusan yang akan aku buat.
Benar kata Mas Banu! Apa yang akan aku katakan sama kelima anakku? Mereka pasti akan sangat terpukul dengan keputusan yang aku buat. Akan tetapi, aku juga tidak akan sanggup dimadu. Apalagi maduku itu sangat manja dan jahat. Ya Allah, berikan jalan untuk ini semua. "Mas, apakah kamu bisa adil dengan kedua istrimu?" tanyaku dengan ragu."Bimbing aku, Ira. Aku sangat membutuhkan dirimu." Kedua tangan Mas Banu kini memegang telapak tanganku. Sorot matanya menunjukkan ketulusan cintanya.
"Baik Mas, kita sama-sama berusaha untuk mendapatkan surga. Semoga anak kita bisa menerima ini semua. Nanti aku akan coba bicara."
"Makasih sayang." Mas Banu memeluk tubuhku. Aku berusaha untuk tetap ikhlas, demi anakku. Semoga Allah memberikan pundak terkuat bagi makhluk yang bersabar.
"Mas, minggu ini kamu tidur dengan Lidya ya ...."
"Kenapa? Kamu kan istriku juga? Kenapa harus menunggu minggu depan?" protes Mas Banu.
"Ini keputusan terbaik, Mas." Aku berusaha untuk tidak menangis di depan Mas Banu. Aku harus kuat. Meski kenyataannya memang berat jika harus berbagi suami.
"Sayang, apakah kamu benar-benar ikhlas dengan keputusanmu? Kenapa tidak menatapku saat kamu mengatakan itu?" Mas Banu kembali menatapku iba.
Deg! Pertanyaan Mas Banu membuatku semakin rapuh. Butiran air mulai membasahi pipi. Aku tidak bisa menahannya walaupun aku sudah berusaha. Tangisku semakin menjadi ketika Mas Banu mengelus pundakku.
"Maafkan aku, Ira. Maaf ..." ucap Mas Banu berulang kali. Aku tidak bisa menjawabnya. Hatiku masih terluka begitu dalam. Di depan cinta pertamaku, aku menangis sejadinya. Memikirkan yang akan terjadi dihari berikutnya. Tanpa sadar, ternyata aku tertidur dipangkuan suamiku. Aku berusaha tidak mempedulikan apa pun saat ini.
***
"Ira! Makan siangnya udah siap belum? Aku lapar!" teriakan Lidya terdengar sampai kamarku. Aku menatap jam yang sudah lama bertengger di dalam kamar. Ternyata masih pukul sepuluh. Kenapa dia menanyakan makan siang? Oh iya, aku lupa. Maduku 'kan tadi belum sempat sarapan karena sarapannya tidak jadi dimakan.
Aku berlari kecil mendatangi Lidya. "Apa sih, teriak-teriak?" tanyaku pada Lidya."Makanan mana makanan?" tanya Lidya. Kedua tangannya disodorkan padaku seperti anak kecil yang merengek meminta permen."Kamu pikir aku pembantu kamu? Kalo lapar, masak aja sendiri!" ucapku dengan nada kesal. Bukannya pergi untuk masak atau cari makanan, Lidya malah tetap berdiri di tempat. Dia terus memandangiku. "Kenapa?" tanyaku."Gimana mau masak? Goreng telor aja gosong," ucap Lidya dengan santai."Ka-kamu ngga bisa masak?" tanyaku. Sedikit terkekeh karena wanita cantik yang di depanku tidak bisa masak. Padahal kalau dilihat dengan saksama dia terlihat seperti wanita sempurna yang tidak memiliki kekurangan apa pun."Jangan ngeledek! Cepetan bikinin makanan!" perintah Lidya padaku.Aku menatap wajah Lidya. Tidak mungkin aku menuruti ucapan madu tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyuruh aku untuk masak. "Ngg
"Ira?" ucap seorang pria itu.Aku menatap dengan saksama wajah laki-laki itu. Seperti kenal, tetapi siapa aku tidak ingat. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapanku ini. "Oh, Rendi!" tebakku. Aku melihat bekas luka di dekat lesung pipinya. Dulu dia pernah aku pukul dengan kayu hingga mengenai pipinya. Ya, aku yakin dia Rendi."Yaps, aku Rendi," jawabnya.Rendi adalah teman SMAku. Dulu kami sangat dekat hingga guru kami mengatakan kalau kami cocok menjadi pasangan suami istri. Aku tahu itu hanya sebuah candaan. Usia kami masih terbilang muda untuk memikirkan hal itu.Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Saat kuliahlah aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Sedangkan Rendi, dia mendapatkan beasiswa full di Kairo. Semenjak saat itu, aku tidak mendengar kabar tentangnya."Sudah lama kita nggak ketemu, kamu apa kabar?" tanya Rendi
"Ira, uangku tidak akan habis kalau untuk biaya anak-anak!" ucap Mas Banu.Aku tahu, suamiku kini telah mendapat posisi penting di kantornya. Bahkan jika dia mau, dia bisa memiliki empat orang istri sekaligus. Dia menjamin semuanya tidak akan kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi dia tidak melakukannya karena menjaga perasaanku. Aku tahu, dia menikah dengan Lidya karena hutang budi pada Rizal, temannya.Karena kecukupan dalam ekonomilah Mas Banu melarangku bekerja. Takut aku kelelahan ataupun khawatir kalau aku disukai teman kerja. Ada saja alasan darinya. Aku bisa maklum, dia memang sangat mencintaiku.Namun, bagaimanapun juga, aku harus bekerja. Dulu waktu aku masih sekolah menengah, aku sekolah sambil bekerja. Aku yakin kalau aku bisa kuat kerja. Dan aku tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya aku ingin bekerja. Takut jika dia semakin merasa bersalah."Bukan begitu Mas, aku sering kesepian kalau di rumah. Anak kita sibuk semua dengan
1. Madu atau Cerai?"Mas, mau kemana?" Aku bertanya pada suamiku, Mas Banu. Dia tampak sibuk memasukkan beberapa bajunya kedalam tas besar.Dia tidak menggubrisku. Memilih sibuk dengan tumpukan baju yang akan dipindahkan dalam tas besar. Sesekali dia mengecek barang yang sudah dimasukkan ke dalam tas itu untuk memastikan tidak ada baju yang tertinggal.Sikap Mas Banu aneh, untuk apa dia membawa baju sebanyak itu? Apakah ada urusan kantor yang mengharuskan dia menginap disuatu tempat? Akan tetapi, kenapa dia tidak memberitahuku dulu?Pandanganku ke sana ke mari melihat tingkah Mas Banu yang belum berhenti. Dia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Setelah dirasa cukup, kemudian Mas Banu duduk untuk mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar."Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?" tanyaku seraya meraih pergelangan tangan suamiku.
"Ira, uangku tidak akan habis kalau untuk biaya anak-anak!" ucap Mas Banu.Aku tahu, suamiku kini telah mendapat posisi penting di kantornya. Bahkan jika dia mau, dia bisa memiliki empat orang istri sekaligus. Dia menjamin semuanya tidak akan kekurangan dalam hal ekonomi. Tapi dia tidak melakukannya karena menjaga perasaanku. Aku tahu, dia menikah dengan Lidya karena hutang budi pada Rizal, temannya.Karena kecukupan dalam ekonomilah Mas Banu melarangku bekerja. Takut aku kelelahan ataupun khawatir kalau aku disukai teman kerja. Ada saja alasan darinya. Aku bisa maklum, dia memang sangat mencintaiku.Namun, bagaimanapun juga, aku harus bekerja. Dulu waktu aku masih sekolah menengah, aku sekolah sambil bekerja. Aku yakin kalau aku bisa kuat kerja. Dan aku tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya aku ingin bekerja. Takut jika dia semakin merasa bersalah."Bukan begitu Mas, aku sering kesepian kalau di rumah. Anak kita sibuk semua dengan
"Ira?" ucap seorang pria itu.Aku menatap dengan saksama wajah laki-laki itu. Seperti kenal, tetapi siapa aku tidak ingat. Mencoba mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapanku ini. "Oh, Rendi!" tebakku. Aku melihat bekas luka di dekat lesung pipinya. Dulu dia pernah aku pukul dengan kayu hingga mengenai pipinya. Ya, aku yakin dia Rendi."Yaps, aku Rendi," jawabnya.Rendi adalah teman SMAku. Dulu kami sangat dekat hingga guru kami mengatakan kalau kami cocok menjadi pasangan suami istri. Aku tahu itu hanya sebuah candaan. Usia kami masih terbilang muda untuk memikirkan hal itu.Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Saat kuliahlah aku bertemu dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Sedangkan Rendi, dia mendapatkan beasiswa full di Kairo. Semenjak saat itu, aku tidak mendengar kabar tentangnya."Sudah lama kita nggak ketemu, kamu apa kabar?" tanya Rendi
Aku berlari kecil mendatangi Lidya. "Apa sih, teriak-teriak?" tanyaku pada Lidya."Makanan mana makanan?" tanya Lidya. Kedua tangannya disodorkan padaku seperti anak kecil yang merengek meminta permen."Kamu pikir aku pembantu kamu? Kalo lapar, masak aja sendiri!" ucapku dengan nada kesal. Bukannya pergi untuk masak atau cari makanan, Lidya malah tetap berdiri di tempat. Dia terus memandangiku. "Kenapa?" tanyaku."Gimana mau masak? Goreng telor aja gosong," ucap Lidya dengan santai."Ka-kamu ngga bisa masak?" tanyaku. Sedikit terkekeh karena wanita cantik yang di depanku tidak bisa masak. Padahal kalau dilihat dengan saksama dia terlihat seperti wanita sempurna yang tidak memiliki kekurangan apa pun."Jangan ngeledek! Cepetan bikinin makanan!" perintah Lidya padaku.Aku menatap wajah Lidya. Tidak mungkin aku menuruti ucapan madu tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menyuruh aku untuk masak. "Ngg
"Ya ampun Sari, kamu kenapa? Mata kamu jadi merah sayang." Aku meniup kedua mata putri bungsuku. Dia belum berhenti menangis."Bunda, tadi makanan Adek masuk mata," ucap Frendi, anak sulungku."Astaga sayang, sini Bunda kasih air biar ngga sakit lagi." Aku mengambil air di telapak tanganku, lalu mengusapkan pada Sari. Aku kembali meniup mata anakku, semoga bisa segera reda sakitnya.Sari itu agak manja. Kena apa sedikit bawaannya langsung menangis. Mungkin karena dia anak yang paling akhir dan merasa diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Akan tetapi, dia juga tahu batasannya, walau usianya masih terbilang kecil."Kamu gimana sih ngurus anak! Gitu aja ngga becus!" teriak wanita yang sekarang menjadi maduku.Kenapa tiba-tiba Lidya ada di ruang tengah? Bukannya tadi dia makan sama Mas Banu. Perlu apa dia ke sini? Ah bodo amat, apa urusannya denganku.Tangis Sari sudah tidak terdengar lagi. Dia kembali makan seper
1. Madu atau Cerai?"Mas, mau kemana?" Aku bertanya pada suamiku, Mas Banu. Dia tampak sibuk memasukkan beberapa bajunya kedalam tas besar.Dia tidak menggubrisku. Memilih sibuk dengan tumpukan baju yang akan dipindahkan dalam tas besar. Sesekali dia mengecek barang yang sudah dimasukkan ke dalam tas itu untuk memastikan tidak ada baju yang tertinggal.Sikap Mas Banu aneh, untuk apa dia membawa baju sebanyak itu? Apakah ada urusan kantor yang mengharuskan dia menginap disuatu tempat? Akan tetapi, kenapa dia tidak memberitahuku dulu?Pandanganku ke sana ke mari melihat tingkah Mas Banu yang belum berhenti. Dia masih saja sibuk dengan kegiatannya. Setelah dirasa cukup, kemudian Mas Banu duduk untuk mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar."Mas, ada apa? Ada masalah di kantor?" tanyaku seraya meraih pergelangan tangan suamiku.