“Permisi, saya tidak salah orang kan?” tanya pria itu lagi saat melihat Yolla hanya terdiam tanpa sedikitpun merespons ucapannya. “Waktu saya tidak banyak, jadi saya harus pastikan kalau saya tidak salah orang.”
Yolla mengerjabkan matanya perlahan, dia tidak mungkin salah lihat. Pria yang berada di hadapannya ini adalah ....“B—Byanz?” ucap Yolla dengan suara bergetar hebat. “K—kamu ... Ini kamu ...?”“Maaf?” potong pria itu. “Saya datang untuk memenuhi undangan Bu Yolla, jadi di mana beliau berada sekarang?”Yolla terpaku tak percaya, jelas-jelas pria itu adalah Byanz. Tetapi untuk apa dia berpura-pura tidak mengenalnya?“Kamu nggak perlu bersandiwara di depanku, Byanz. Jadi kamu sengaja bersembunyi selama ini dari semua orang?” kata Yolla tanpa mempersilakan pria itu untuk duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Anda ini bicara apa, sih? Saya Callisto Antaresa, perwakilan dari Eagle Corp untuk menemui Bu Yolla.” Pria itu menYolla berdiri dari duduknya dan berjalan mondar-mandir di ruangannya dengan rasa gelisah yang begitu tinggi.Seharian itu Yolla sibuk mencari informasi tentang profil perusahaan yang menaungi seorang Callisto Antaresa, meskipun jujur itu bukanlah tujuan utamanya.Yolla masih sulit percaya jika pria itu mirip sekali dengan Byanz, mendiang suaminya. Meskipun dia ingat bahwa tubuh Byanz tidak sepadat tubuh Callisto yang jauh lebih tegap berisi.“Astaga!” rutuk Yolla lagi sambil mengacak-acak rambut curly miliknya. “Sempat-sempatnya aku mikir hal kotor kayak tadi ... Apa ini karena aku yang kelamaan menjanda?”Sisty tidak bisa lagi menahan tawanya saat mendengar keluhan Yolla.“Kamu mungkin kangen sama Byanz,” komentarnya. “Itu karma, karena dulu kamu selalu menginjak-injak dia tanpa belas kasihan.”Yolla mendengus pelan.“Aku lagi nggak ngomongin soal Byanz,” sengitnya. “Tapi si Callisto yang wajahnya mirip sama Byanz, aneh nggak sih menurut kamu?”Sisty
“Papa tidak suka kamu seperti ini,” tegur Sony tegas. “Semua karyawan di sini adalah aset papa, kamu mengerti?”Kemarahan Sony rasanya berlangsung berjam-jam seakan sedang memperjuangkan nasib para karyawannya yang sudah berada di ujung tanduk.“Iya Pa, aku minta maaf!” seru Yolla tertahan.“Jangan minta maaf sama papa, tapi minta maaflah sama karyawan yang pernah kamu rampas hak mereka dengan semena-mena.” Sony menepis ucapan putrinya, membuat Yolla tidak kuasa lagi meluruhkan bulir bening di kedua matanya.Untuk meluapkan kesedihannya yang tertahan, Yolla memilih membelokkan mobilnya ke kafe elit yang berlawanan arah dengan rumah kedua orang tuanya.Sebenarnya Yolla tergoda sekali ingin mampir ke sebuah klub malam, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah dan juga nama besar perusahaan.Setibanya di kafe, Yolla memilih meja kosong yang berada paling pojok dan memesan beberapa cangkir kopi dan teh untuk dia minum sendiri.“M
Callisto melirik dingin pada Yolla yang duduk terpejam di sampingnya sementara mobil yang mereka tumpangi melaju kencang di jalanan beraspal.Yolla menggeliat di balik selimut tebal yang menutupi sekujur tubuhnya. Aroma minyak kayu putih yang menyengat menguar hingga ke hidungnya. "Aduhh ..." rintih Yolla pelan sambil mrngerjabkan matanya. "Kembung banget ...."Kedua mata Yolla terbuka sepenuhnya dan heran karena dia tidak sedang berada di kamarnya sendiri. Dia bangun dengan hati-hati dan terbelalak kaget ketika menyadari bahwa seluruh pakaiannya sudah tertanggal semuanya dan berganti dengan piyama tidur bermotif polkadot."Apa yang terjadi? Aku ... apa yang aku lakukan...?" Keringat dingin mulai membasahi wajah Yolla yang panik. "Papa ... papa bakalan membunuhku!"Yolla memandang berkeliling dan melihat tasnya teronggok pasrah di atas meja samping tempat tidurnya. Dia cepat-cepat mengambilnya dan berusaha mencari pakaiannya sendiri. "Papa pasti bakalan mem
Terima kasih, saya akan segera transfer ganti ruginya!" ucap Yolla sambil menerima kunci mobilnya dari tangan Callisto. "Oke," angguk Callisto singkat dari dalam mobilnya sendiri. Kali ini Sony jelas tidak dapat memaklumi kelakuan putri tunggalnya itu. Begitu dia melihat Yolla menampakkan dirinya di kantor, dia langsung memerintahkan Mita untuk menyampaikan perintahnya.“Bu Yolla, Anda diminta Pak Sony untuk menghadap ke ruangannya.” Mita memberi tahu dengan takut-takut.“Oke,” angguk Yolla datar, dia sudah menduga jika cepat atau lambat Sony pasti akan memanggilnya.“Kenapa semakin ke sini kamu semakin susah diatur?” tegur Sony sambil memandang tajam Yolla saat dia sudah duduk menghadapnya. “Kamu sudah tidak bukan remaja lagi, Yol.”“Maaf Pa,” sahut Yolla pendek, pikirannya yang sedang dipenuhi oleh sosok Callisto membuatnya tidak terlalu meresapi ucapan sang ayah.“Semalam kamu pergi ke mana?” tanya Sony penuh selidik.“Papa biasanya tahu aku suka
Dan kini, dia menagih janjinya kepada Yolla.“Saya yang seharusnya minta maaf,” ucap Yolla ketika dia dan Callisto bertemu di kafe setelah pulang kantor. “karena saya lupa minta nomor rekening Anda.”“Tidak masalah,” sahut Callisto tenang. “Mana ganti rugi yang Anda janjikan?”Yolla mengulurkan satu tas belanjaan kepada Callisto. "Saya pesan khusus sesuai dengan standar yang Anda minta," tutur Yolla dengan sungguh-sungguh. Callisto menerima tas itu, tapi meleset hingga tas dan seisinya itupun jatuh ke lantai kafe. "Maaf!" seru Yolla terkejut saat Callisto terpaksa membungkukkan tubuhnya untuk meraih tas pemberian Yolla. Yolla berdiri dan cepat-cepat membantunya. Saat dia menundukkan wajah, Callisto menegakkan diri dan tanpa sengaja membuat kepalanya beradu cukup keras dengan dagu lancip Yolla. "Aduh!" rintih Yolla ketika dia merasakan bibir bagian dalamnya membentur giginya sendiri akibat tabrakan yang keras tadi. "Bu Yolla?" Callisto terkej
Sempat terpikir dalam benak Yolla untuk minta dibuatkan perusahaan baru yang bergerak di bidang dagang dengan penjualan produk-produk kecantikan. Namun, dia tak yakin Sony akan mengabulkan keinginannya begitu saja.“Bikin perusahaan baru? Memangnya perusahaan yang ini sudah mampu kamu bawa sampai mana?” tanya Sony dalam benak Yolla.Membayangkan kemungkinan itu, Yolla memilih untuk berkonsentrasi penuh memajukan perusahaannya. Apalagi kelak dia akan mengambil alih kepemimpinan perusahaan Sony karena Byanz sudah tidak ada di tengah-tengah mereka.Rapat siang itu digunakan Yolla untuk membahas beberapa kendala yang ada di dalam perusahaan, salah satunya tentang usulan menaikkan upah lembur demi meningkatkan kesejahteraan para karyawan.“Hari yang sibuk?” sapa Virnie ketika Yolla tiba di rumah.“Lumayan Ma,” sahut Yolla dengan wajah lelah. “Papa mana?”“Kamu ini aneh, satu kantor sama papa kok sampai nggak tahu kalau papa lembur.” Virnie berkomentar sambil mengg
“Dia ... ternyata sudah punya anak?” gumam Yolla, terasa sedikit hantaman cukup keras yang melanda jantungnya saat itu.Betapa herannya Sisty saat Yolla muncul di salonnya dengan wajah masam, dia meletakkan satu porsi sop ayam di atas meja kemudian langsung berlalu pergi begitu saja.Sejak itu Yolla merasa emosinya suka berubah-ubah tanpa sebab yang jelas, terlebih saat dia sedang sendirian.“Nyebelin banget ...” Yolla membenamkan wajahnya di atas lutut sambil menggerutu. Dia berusaha keras mengusir bayangan Callisto yang kadang-kadang berseliweran di dalam kepalanya. Di saat yang bersamaan dia merasa ingin marah dan tersenyum sekaligus tanpa mampu dia kendalikan.“Dugem, yuk?” ajak Yolla kepada Sisty saat akhir pekan tiba.“Kamu nggak usah aneh-aneh,” sahut Sisty tidak setuju. “Masalahnya kamu itu anak papa, bisa habis aku diceramahi Om Sony kalau aku ketahuan dugem sama kamu.”Yolla menghela napas berat.“Kamu kenapa sih, Yol?” tanya Sisty ingin tahu. “
“Sudah saya bereskan saat memenuhi undangan CEO-nya,” jawab Callisto tanpa mendongak, karena dia tahu bahwa Clerin hanya mencari topik agar bisa berlama-lama di ruangannya.“Clerin, kapan saya bisa pergi?” tanya Callisto dengan nada jenuh ketika tiba jam makan siang.“Kenapa? Kamu sudah tidak sayang lagi sama Vhea?” tanya Clerin balik.“Tentu saja saya sayang sama Vhea,” jawab Callisto tegas. “Tapi kalau cara kamu seperti ini, maka sama saja kamu sudah membohonginya, dan menurut saya itu tidak baik untuk masa depannya nanti.”Clerin menatap Callisto lekat-lekat.“Vhea masih sangat kecil, dia tidak akan bisa mengerti kalau ayahnya sudah meninggal. Tolong kamu bertahan sedikit lagi demi dia,” pinta Clerin dengan wajah memohon. “Saya tidak keberatan untuk membantu kamu mendapatkan dokter terbaik demi kesembuhan kamu.”Callisto tidak menjawab.“Sudah satu setengah tahun dan tidak ada kemajuan sedikitpun,” keluhnya kemudian.“Itu karena kamu terlalu sibuk
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it