Pintu ruang perawatan terbuka, Reina melongokan kepalanya ke dalam. Pelan-pelan dia menutup pintu dan menghampiri kakaknya. Sejenak Reina melihat ke arah Joseph yang masih belum sadar, lalu memandangi kakaknya yang terlihat sedih. "Apa ada yang bisa aku bantu?" tanyanya. Juliana memaksakan untuk tersenyum agar adiknya itu tidak khawatir. "Tidak ada. Sebaiknya kamu pulang saja." "Aku tidak mau. Bagaimana aku bisa meninggalkan Kakak di sini sendirian?" "Aku tidak akan apa-apa di sini sendiri." Reina menatap wajah kakaknya memastikan kalau kakaknya itu memang baik-baik saja. Akan tetapi, dia tak percaya kakaknya baik-baik saja. "Aku akan tetap bersama Kakak di sini," tegasnya sambil melipat tangan di dada. Reina begitu bersikeras tidak mau pulang. Juliana meraih tangan Reina dan membawanya keluar. Di depan ruangan terlihat sepi. Juliana seakan sedang mencari seseorang. "Di mana Bu Ariana?" "Oh dia sedang bicara dengan dokter sejak dari tadi." "Jennifer?" "Dia sudah kembali ke
Ariana sudah membawa air minum Joseph ke laboratorium disebuah rumah sakit untuk diperiksa. Jika benar ada racun di air minum itu, Ariana yakin kalau salah satu orang yang mendiami mansionnya adalah seorang pembunuh dan dia harus segera mencari tahu siapa pelakunya. Ariana tidak akan pernah memaafkannya dan akan memasukannya ke penjara. Reina yang sejak dari tadi memperhatikan Ariana merasa ikut khawatir. Dia tidak tahu bagaimana caranya supaya Bradley bisa diketahui sebagai orang yang memberikan racun pada Joseph, karena Reina yakin, pria itu memiliki sejuta cara untuk menutupi kejahatannya. "Reina, aku mau istirahat di kamar. Kepalaku pusing dengan masalah yang terjadi akhir-akhir ini.""Baiklah Nyonya Ariana." Baru saja Reina akan pergi ke kamarnya, dia melihat Bradley yang baru saja pulang. Reina langsung menarik pria itu ke luar dan memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Kamu ini kenapa Reina? Tiba-tiba menarikku ke sini." Reina bersidekap dengan kekesalan di wajah
Seperti apa yang dikatakan oleh wanita itu, orang-orang di pasar itu kenal dengan Diego sehingga mudah untuk ditemukan. Detektif itu menghampiri kios milik Diego. "Selamat sore!" "Sore! Anda membutuhkan apa?" tanya Diego. "Aku ke sini tidak untuk membeli buah-buahan. Ada yang ingin aku tanyakan tentang Juliana." Kening Diego berkerut dan memandang curiga pada sang Detektif. "Oh ya perkenalkan namaku, Daniel. Aku teman lama Juliana." Diego seakan tidak percaya dengan pengakuan Daniel, tapi dia mencoba untuk berprasangka baik mungkin saja Daniel memang teman Juliana yang tidak diketahui olehnya. "Apa kita bisa bicara sebentar?" "Tentu saja," jawab Diego. Mereka kemudian duduk dan minum teh. "Aku teman kuliah Juliana dan sudah lama kehilangan kontak dengannya sampai akhirnya aku mendapatkan informasi kalau Juliana tinggal di sini." "Jadi apa keperluanmu dengan Juliana?" "Aku mau mengundangnya ke acara pernikahanku dan aku dengar dia sudah menikah dan tidak lagi tinggal di sin
"Aku rasa pelakunya, Bradley." Juliana tidak bisa berkata-kata dan seketika tubuhnya lemas. Jantungnya berdetak kencang. Tiba-tiba Joseph tertawa lepas dan membuat Juliana bingung. "Raut wajah terkejutmu itu sangat lucu. Aku hanya bercanda. Pelakunya tak mungkin Bradley." Juliana memukul tubuh Joseph. "Kamu jangan bercanda. Ini tidak lucu. Aku kira itu betulan." Joseph menangkap tangan Juliana dan menggenggam tangannya. "Maaf! Aku hanya ingin mengerjaimu sedikit." Joseph menciumi jari-jemari Juliana dan untuk sementara hatinya lega. Dia masih belum siap jika nanti Bradley ketahuan sebagai pelakunya, karena pria itu nanti akan menyeretnya dan membeberkan semua rahasia mereka, meskipun dia ingin sekali kejahatan Bradley terungkap. Sekarang dia sedang berada di posisi yang serba salah. ***Diego berada di apartemennya dan memikirkan pria yang menemuinya beberapa hari yang lalu. Sekarang dia tiba-tiba meragukan, bahwa pria yang mengaku bernama Daniel itu adalah teman Juliana. Diego
Juliana sedang bersiap-siap untuk menghadiri makan malam dengan Joseph dan untuk menambah percaya diri Juliana, Reina pun membantu kakaknya bersiap-siap. Dia yang memilih gaun beserta mendandani Juliana. "Wah, Kak. Kamu cantik sekali seperti Ratu yang akan menghadiri pesta dansa," cetus Reina memuji kecantikan Juliana. Saat ini Reina berdiri menghadap cermin bersama Juliana yang duduk di depan meja rias. Melihat pantulan diri di cermin, Juliana benar-benar terpukau. Dia seperti melihat orang lain di sana dan ini semua hasil polesan Reina. "Kamu benar, aku seperti orang lain. Kamu benar-benar hebat, Reina. Bisa mengubahku seperti ini," ucap Juliana memuji keahlian adiknya. Reina menaikkan dagu sembari melipat tangan di depan dada. "Tentu saja. Siapa dulu, Reina!" ucap Reina dengan tersenyum. Mereka terkekeh pelan, lalu Reina pun mengatakan agar Juliana segera pergi, takut jika Joseph sudah menunggu wanita itu. Juliana pun mengangguk setuju. Dia meminta Reina untuk terus mend
Juliana berdesis sembari memegangi kepalanya. Dia berusaha untuk mengingat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya semalam, tetapi sayangnya karena kepala yang terasa sakit, wanita itu hanya bisa terdiam sembari berusaha untuk terus mencari potongan kejadian yang menimpa dirinya. Di saat seperti ini, tiba-tiba saja pria yang ada di sampingnya itu terbangun. Joseph tersenyum sembari mengucapkan selamat pagi kepada Juliana. "Hai, Sayang. Selamat pagi!" ucap Joseph membuat Juliana terkesiap. Wanita itu tersentak kaget sembari membenarkan posisi selimut yang menutupi tubuh polosnya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau ternyata yang di sebelahnya itu Joseph. "Kamu? Apa yang terjadi pada kita? Kenapa kita ada di sini?" tanya Juliana tampak kebingungan. Wajahnya juga terlihat pucat mungkin karena kaget dan masih tidak percaya kalau dia ada di kamar hotel bersama Joseph dalam keadaan tanpa sehelai benang. Senyuman Joseph langsung luntur saat melihat ekspresi Juliana yang khawatir
Mobil pun berhenti di depan pintu utama mansion. Di dalam mobil, Juliana masih bersama dengan Joseph. Jantungnya berdetak dengan kencang setelah Joseph mengatakan kalau mereka berdua menghabiskan malam bersama dengan melakukan hubungan yang dilakukan oleh suami istri. Juliana masih belum bisa menerima itu semua, tapi kenyataannya memang dia bangun dalam keadaan tanpa pakaian. Elusan di kepala membuat Juliana tersentak dari lamunan. Dia menoleh dan mendapati Joseph tengah tersenyum ramah kepadanya. "Mungkin kamu lelah, sebaiknya kamu pulang, ya? Tapi aku tidak bisa masuk ke dalam," ucap Joseph membuat Juliana menautkan kedua alisnya. "Kenapa kamu tidak pulang?" tanya Juliana keheranan. Joseph terkekeh lalu menjawab pertanyaan Juliana. "Aku harus ke apartemen dulu untuk mengganti pakaian, karena pakaian yang akan aku kenakan ada di sana. Setelahnya langsung ke kantor. Banyak pekerjaan yang menungguku. Aku harap kamu bisa mengerti?" Joseph memberikan penjelasan. Juliana menghela
Juliana termangu menatap lurus ke depan. Dia masih memikirkan tentang perkataan Reina sebelumnya. Ya, pertanyaan yang membuat hati Juliana ketar-ketir. Sampai saat ini, dia takut jika semua yang diperkirakan itu akan menjadi kenyataan. "Tidak, tidak mungkin! Tidak mungkin aku hamil. Aku hanya melakukannya sekali dengan Joseph, bagaimana bisa aku mengandung anaknya?" Juliana berkata kepada diri sendiri berusaha untuk menenangkan hati agar tidak terus-terusan ketakutan. Saat ini bukan itu yang menjadi tujuan utamanya, dia harus tetap fokus melindungi Joseph dari kejahatan, lalu masalah semalam dia juga harus bisa mengendalikan diri agar tidak dicurigai oleh Bradley atau dirinya akan berada dalam bahaya. Sementara itu di kantor, Joseph lebih banyak melamun. Dia memikirkan tentang kebersamaan dirinya dengan Juliana semalam. Sebuah kejadian yang tidak pernah diduga, tapi membekas di hati pria itu. Sesekali pria itu tersenyum sendiri. Padahal saat ini dia sedang rapat dengan beberapa
Lena berdiri di ambang pintu ruang keluarga dengan napas tertahan. Ia tidak sengaja mendengar percakapan Joseph dan Ariana dan itu membuat jantungnya berdebar kencang. Juliana punya anak kembar. Itu berarti…. Lena menggigit bibirnya, merasa cemas. Ia melangkah cepat ke dalam ruangan, menghampiri Ariana yang masih terduduk dengan ekspresi kosong setelah kepergian Joseph. "Ariana," bisik Lena dengan nada mendesak. "Kau harus melakukan sesuatu!" Ariana mendongak, menatap Lena dengan mata yang sulit dibaca. Lena semakin gelisah. “Jika Joseph mulai mencari tahu lebih dalam, dia akan mengetahui semuanya. Dia akan tahu apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu. Kau tidak bisa membiarkan itu terjadi.” Ariana tetap diam. Ia hanya menatap Lena tanpa ekspresi sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. “Ariana?” panggil Lena, semakin cemas. Tanpa menjawab, Ariana berbalik dan berjalan pergi, menyusul Joseph. Lena hanya bisa menggigit bibirnya, jantungnya berdebar cemas. Joseph baru saj
Setelah jam sekolah, Juliana berjalan keluar dari gedung sekolah dengan langkah berat. Ia tahu Joseph menunggunya. Ia bisa melihatnya berdiri di dekat mobilnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Dengan napas tertahan, Juliana akhirnya melangkah mendekat. Begitu mereka berdiri berhadapan, keheningan kembali menyelimuti mereka. Joseph menatapnya lama, seolah mencoba mencari sesuatu dalam matanya. “Kenapa?” suara Joseph serak. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?” Juliana menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Karena itu tidak lagi penting.” Joseph tertawa pahit. “Tidak penting? Kau menyembunyikan anak-anak dariku, dan kau bilang itu tidak penting?” Juliana menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya. “Aku melakukan apa yang harus aku lakukan.” “Apa yang harus kau lakukan?” suara Joseph naik satu oktaf. "Membesarkan mereka sendirian tanpa memberitahuku?” Juliana mengangkat dagunya. “Kalau aku memberitahumu saat itu, apakah kau akan melakukan sesuatu? K
Anak-anak yang tidak pernah ia ketahui keberadaannya. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun, ia baru menyadarinya. “Apa yang akan Anda lakukan sekarang?” Joseph mendongak, matanya penuh dengan tekad. “Saya akan menemui Juliana.” Jennifer menahan napas. “Pak, Anda harus hati-hati. Jika Anda terlalu memaksanya, dia mungkin akan semakin menjauh.” Joseph menggeleng. “Aku tidak peduli. Aku tidak bisa diam saja. Aku harus bertemu dengannya. Aku harus melihat anak-anakku.” Jennifer tahu ia tidak bisa menghentikan Joseph kali ini. Ia hanya bisa berharap bahwa pertemuan mereka tidak akan berakhir dengan lebih banyak luka. Joseph mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dadanya terasa sesak. Bagaimana mungkin ia bisa tidak mengetahui sesuatu yang begitu penting? "Berapa umur mereka?" tanyanya lagi. Jennifer terdiam sejenak sebelum menjawab, "5 tahun sama dengan Clarie." Keheningan memenuhi ruangan. Jennifer menunduk, merasa semakin bersalah, karena telah membuka rahasia yang seharusnya b
Sementara itu, di rumahnya, Juliana masih menatap layar ponselnya setelah membaca pesan terakhir dari Jennifer. "Aku tidak akan mengatakan apa pun. untuk sekarang, tapi kau harus memikirkan ini baik-baik, Juliana. Kau tidak bisa lari selamanya." Juliana menggigit bibirnya, hatinya terasa semakin gelisah. Ia tahu Jennifer benar. Cepat atau lambat, Joseph akan menemukan mereka, tapi ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa anak-anaknya. Mereka adalah dunianya, satu-satunya alasan ia bertahan setelah semua yang terjadi di masa lalu. Ia berjalan ke kamar anak-anaknya dan melihat mereka sedang tidur nyenyak di tempat tidur kecil mereka. Alya meringkuk dengan boneka beruang kesayangannya, sementara adiknya tidur dengan damai di sampingnya. Juliana duduk di tepi tempat tidur dan mengusap rambut Alya dengan lembut. "Ibu akan selalu melindungi kalian," bisiknya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Joseph, mengambil mereka darinya. *** Keesokan harinya, Joseph kembali ke kantor
Sinar matahari memantul di atas helm keselamatan yang dikenakan Joseph. Pria itu berdiri tegak di atas hamparan tanah luas yang sedang dipersiapkan untuk proyek pembangunan pusat perbelanjaan baru di Miami. Sekelilingnya, suara alat berat bergemuruh, para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing, dan tim arsitek berdiri tak jauh darinya, membahas temuan terbaru mereka. Jennifer, asistennya yang selalu sigap, berdiri di sisinya dengan tablet di tangan, siap mencatat setiap instruksi yang diberikan Joseph. "Jadi, apa kendala yang kita hadapi sekarang?" tanya Joseph dengan nada tegas, menatap kepala tim arsitek yang tampak sedikit ragu. Seorang pria berkacamata, Michael Carter, melangkah maju dengan lembaran peta dan blueprint proyek. "Mr. Reign, setelah melakukan survei lebih lanjut, kami menemukan bahwa struktur tanah di beberapa titik tidak cukup stabil untuk menopang beban bangunan sesuai rencana awal. Jika dipaksakan, ada risiko pergeseran pondasi dalam beberapa tahun ke depan."
Keesokan paginya, Lena memastikan bahwa Joseph sibuk dengan urusan pekerjaannya sebelum ia berangkat ke sekolah Clarie. Ia mengenakan kacamata hitam dan mantel panjang, berusaha agar tidak menarik perhatian siapa pun.Setibanya di sekolah, ia tidak langsung masuk ke gedung utama, tetapi menunggu di tempat yang lebih sepi hingga bel istirahat berbunyi.Beberapa saat kemudian, ia melihat sosok yang dicarinya.Juliana.Wanita itu masih terlihat seperti dulu. Rambut panjangnya tergerai indah, dan wajahnya tetap lembut seperti yang Lena ingat. Namun, ada ekspresi ketenangan di wajahnya yang tidak ia miliki dulu.Lena menarik napas, lalu melangkah mendekat."Juliana," panggilnya pelan.Juliana yang sedang membaca sesuatu di tablet-nya langsung menoleh. Begitu ia melihat Lena, matanya membelalak. "Lena?"Ada keheningan di antara mereka selama beberapa detik. Juliana tampak terkejut sekaligus waspada."Apa yang kau lakukan di sini?" Juliana akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar tetapi t
Suasana di dalam kamar Clarie terasa begitu nyaman. Dindingnya dihiasi wallpaper berwarna pastel dengan motif bintang-bintang kecil. Di salah satu sudut ruangan, boneka-boneka tersusun rapi di rak kayu, sementara di atas tempat tidur, selimut merah muda dengan gambar kelinci menjadi favorit Clarie.Lena duduk di tepi tempat tidur, menatap putrinya yang sedang asyik menggambar dengan krayon warna-warni di sebuah buku gambar besar. Clarie terlihat begitu ceria, jemarinya lincah menggoreskan warna biru ke langit gambarnya."Apa yang Clarie gambar?" tanya Lena dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatiannya dari kelelahan yang menggantung di pikirannya sejak pertemuan dengan Ariana tadi.Clarie tersenyum lebar dan menunjukkan gambarnya. "Ini aku, Mama, dan Papa!" katanya riang, menunjuk tiga sosok sederhana yang digambarnya dengan kepala bundar dan tangan serta kaki seperti lidi.Lena tersenyum kecil. "Itu gambar yang bagus, Sayang."Tiba-tiba, Clarie menambahkan sesuatu di samping
Langit senja mulai meredup saat mobil Ariana berhenti di depan rumah megahnya. Clarie, yang sejak tadi tidak berhenti berceloteh tentang sekolah, langsung berseru kegirangan begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Mama!"Lena, yang baru saja pulang, tersenyum tipis saat Clarie berlari menghampirinya. Ia berjongkok, membuka kedua lengannya, lalu memeluk putrinya erat."Kau sudah pulang, Sayang," ucap Lena sambil mengecup puncak kepala Clarie sekilas.Clarie mengangguk bersemangat. "Hari ini menyenangkan sekali! Aku belajar tentang harimau, aku menggambar, dan—"Lena mengelus rambut putrinya dengan lembut, tetapi matanya tidak benar-benar fokus. Ada ekspresi lelah di wajahnya, seolah pikirannya berada di tempat lain.Ariana mengamati pemandangan itu dalam diam. Clarie terlihat begitu bahagia, tetapi Lena, ia tampak jauh seperti seseorang yang hanya menjalankan perannya sebagai ibu tanpa benar-benar terlibat di dalamnya.Ariana menghela napas pelan sebelum berkata, "Clarie,
Ariana menutup ponselnya setelah membaca pesan dari sopir yang sedang menunggu di depan rumah. Hari ini, ia akan menjemput Clarie di sekolah—sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan sendiri. Biasanya, tugas itu diserahkan kepada pengasuh atau asistennya. Namun, sejak Clarie tidak henti-hentinya membicarakan guru barunya, seorang wanita bernama Juliana."Aku suka Bu Guru Juliana!" ujar Clarie suatu hari dengan mata berbinar. "Dia baik sekali, dan dia suka cerita sama aku!"Ariana awalnya tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, Clarie memang selalu akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Namun, entah mengapa, ketika Clarie menyebut nama Juliana, hatinya terasa sedikit tidak nyaman.Sekarang, sambil duduk di dalam mobil yang bergerak menuju sekolah Clarie, Ariana tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu. Apakah mungkin guru yang disebutkan Clarie itu... Juliana yang dulu? Tidak mungkin, kan?Mobil berhenti di depan sekolah, dan Ariana turun dengan anggun. Para orang tua lain yang juga