Keesokan paginya, Juliana dan Reina hendak ke ruang makan untuk sarapan ternyata di sana sudah ada Joseph. Juliana tanpa sengaja bertemu pandang dengan pria itu dan langsung tersipu kala mengingat mereka sudah menghabiskan waktu bersama malam kemarin. Wanita itu bahkan menunduk atau mengalihkan pandangan, karena malu dengan tatapan Joseph saat ini kepadanya. Di sisi lain, Joseph pun merasa demikian. Dia benar-benar senang bisa melihat wajah Juliana lagi. Kerinduan semalam bisa terbayar. Lagi-lagi bayangan tentang kejadian kemarin malam hinggap di hati Joseph. Sementara itu, Reina yang melihat gelagat dua orang itu pun hanya terdiam dengan senyum seperti sepasang kekasih yang tengah kasmaran. Di saat seperti itu, tiba-tiba saja Bradley datang. Dia bergabung di ruang makan itu. Tubuh Juliana menegang melihat kedatangan Bradley. Kali ini dia malah mengingat tentang pertengkarannya dengan Bradley di pantai kemarin. Pria itu pun menatap Juliana dengan tajam. Dia masih kesal, karena p
Bradley langsung pergi dari hadapan Reina tanpa mengatakan apa pun. Gelagat kakak iparnya itu membuat sang gadis kebingungan. Dia sampai mengernyitkan dahi dan berpikir apa yang sebenarnya terjadi, tetapi sayangnya Reina tidak menemukan jawaban apa pun, karena Bradley tidak berkata apa-apa, langsung pergi dengan tergesa. Pria itu bahkan berlari untuk pergi ke garasi. Dia sangat khawatir kepada Juliana, karena menaiki mobil yang sama dengan Joseph. Bradley takut Juliana celaka sebab mobil yang dikendarai oleh Joseph remnya sudah dipotong olehnya. Ketika dia hendak naik mobil bermaksud menyusul mereka, tiba-tiba mengurungkan niatnya. Bradley berpikir untuk apa mencemaskan Juliana, bahkan wanita itu sudah tidak mencintainya lagi. Pria itu sekarang mengharapkan Juliana mati bersama Joseph. *** Joseph yang baru tersadar dari rasa terkejutnya sambil menahan rasa sakit di dahinya langsung memeriksa keadaan Juliana. "Kamu baik-baik saja?" tanya Joseph khawatir. Namun, sedetik kemudian Jo
Di saat seperti itu tiba-tiba saja ketukan pintu di kamar menginstruksi kedua wanita yang ada di dalamnya. Mereka saling pandang sejenak, lalu kembali menatap daun pintu yang saat ini masih diketuk. "Juliana, ini aku. Bisa kamu bukakan pintu?" "Itu Joseph," bisik Reina. "Biar aku saja yang buka." Reina membuka pintu dan tersenyum lebar, membiarkan Joseph masuk. "Aku akan meninggalkan kalian berdua." Reina keluar kamar dan menutup pintu. "Apa aku menganggumu?" tanya Joseph yang masih nampak khawatir."Aku baik." Terdengar helaan napas lega dari Joseph. "Maaf. Gara-garaku kamu jadi terluka." Raut mukanya kembali berubah sedih dan penuh penyesalan. Juliana menyentuh wajah Joseph. "Sudah aku katakan ini bukan salahmu. Jangan menyalahkan dirimu!" Joseph tersenyum dan mengangguk. Dia melihat pakaian Juliana belum diganti. "Sebaiknya kamu mengganti pakaianmu dulu." "Ya kamu benar." Juliana membuka lemari, lalu memilih sebuah kemeja longgar dari lemarinya. Dia masuk ke kamar mandi
Joseph menghela napas panjang sembari mengusap rambutnya. Setelah mendengar kabar itu dan memikirkan kemungkinan yang terjadi, membuatnya jadi kepikiran tentang siapa orang yang ingin membunuhnya. Dia melihat jam di dinding sudah hampir tengah malam. Dia pun keluar dari ruangan kerja dan berjalan ke kamar, tetapi niat itu diurungkan saat dia mengingat sesuatu, memutar jalan dan pergi ke garasi mobilnya. Dia mengecek CCTV yang ada di sana. "Rusak. Ternyata CCTV di garasi rusak. Aku bahkan baru tahu sekarang. Sejak kapan?" tanya Joseph pada diri sendiri. Dia semakin yakin kalau ada orang yang sengaja ingin mengincar nyawanya. Joseph mengecek lagi dan kerusakannya itu terlihat sekali dibuat-buat. Dia menerka-nerka, siapa kira-kira yang mencelakainya. Satu hal yang pasti, orang itu ada di dekatnya dan Joseph harus lebih hati-hati kepada orang-orang yang ada di sini. Kemungkinan terburuk pasti ada. Sekarang tiba-tiba ketakutan pun menyergap dengan rasa khawatir yang teramat sangat k
"Halo, Joseph. Apa kabar?" tanya Lena tiba-tiba saja masuk ke ruang kerja pria itu. Joseph terlihat kaget. "Apa yang kamu lakukan di sini dan kenapa tidak mengetuk pintu?" tanya Joseph dengan datar dan nada dingin. "Oh, soal itu. Aku minta maaf, karena sudah terbiasa masuk ke ruanganmu. Jadi aku lupa untuk mengetuk pintu." kamu harus menghargai privasiku ini," ungkap Joseph membuat Lena terdiam. "Baiklah, tidak perlu marah. Sebaiknya lupakan masalah tadi. Aku dengar kamu dan Juliana baru saja mengalami kecelakaan." "Iya itu benar.""Akhir-akhir ini kamu sering mendapat musibah. Apa menurutmu itu tidak aneh?" Joseph memandang Lena dengan kesal. "Mungkin aku sedang sial saja." Lena berjalan mengelilingi ruang kerja Joseph sesekali melirik pria itu. "Sekarang katakan saja, apa tujuanmu datang ke sini? Jangan berpikir untuk macam-macam, Lena." "Oh iya, tadi sebelum aku masuk ke sini, aku melihat Bradley itu keluar dari kamar Juliana. Apa kamu tidak curiga dengan adik tirimu it
Di koran sudah tersebar tentang berita bahwa Joseph berciuman dengan seorang wanita yang tidak lain adalah Juliana. Ariana melihat isi berita itu sangat memojokkan Juliana, karena Juliana disebut sebagai wanita penghibur. Bukan itu saja di beberapa media sosial tersebar foto saat Joseph dan Juliana masuk ke sebuah hotel. Ini benar-benar sebuah berita yang mengejutkan dan di luar dugaan. Ariana pun langsung memanggil Joseph yang kebetulan tidak bekerja dan sedang masa pemulihan setelah kecelakaan. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ada berita seperti ini?" tanya Ariana khawatir bercampur heran. Joseph tidak langsung menjawab, melainkan menyuruh ibunya untuk duduk sebentar. Dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi walaupun itu belum pasti. "Tenanglah dulu, Bu. Jangan panik, berita itu kan tidak benar. Aku yakin, orang yang mengambil foto ini adalah orang yang sengaja ingin menjatuhkan namaku, jadi sebaiknya Ibu tenang. Aku akan menyelesaikan semua ini dengan cepat,. Mereka t
"Kamu memang benar-benar wanita penipu. Kasian sekali Joseph sudah jatuh cinta pada seorang wanita penipu sepertimu. Dia pasti akan sangat sedih sekali," sindirnya. "Kamu tidak mengerti, Lena. Aku tidak bermaksud untuk menipu siapapun." "Jadi kamu mengakui perbuatanmu ini?" tanya Lena sambil mengibaskan rambutnya. "Aku tidak seperti apa yang kamu bayangkan. Aku bukan penipu. Sungguh." Juliana merasa tidak punya pilihan lain selain menerima atas semua apa yang terjadi kepada dirinya. "Yang jelas kamu sudah menipu semua orang yang ada di sini. Ini suatu kejahatan." Reina yang sejak dari tadi diam saja tidak tahan kakaknya terus disalahkan. Dia berdiri dihadapan Lena dengan pandangan marah dan kesal. "Kalau bicara jangan asal tuduh. Kakakku tidak pernah berbuat jahat pada siapapun apa lagi menipu. Kakakku terpaksa melakukannya, karena sudah dijebak oleh Bradley yang tidak tahu diri itu." "Reina, sudah hentikan!" seru Juliana. "Tidak bisa, Kak. Aku harus memberitahu wanita ini ka
"Juliana, apa yang kamu katakan tadi?" tanya Joseph. Pria itu beranjak dari kursinya dan mendekati Juliana. Juliana memberanikan diri untuk memandang Joseph dan mengigit bibir bawahnya. "Maafkan aku! Aku memang bukan istrimu. Aku telah berbohong padamu dan juga kalian." Joseph dan Ariana tidak bisa berkata apa-apa, sedangkan Lena nampak sangat kesal, karena hal ini tidak sesuai rencananya. Tadinya dia ingin membongkar kejahatan Juliana di depan awak media supaya semua orang tahu kalau Juliana seorang penjahat dan penipu. Bradley yang tak mengira Juliana akan memberitahukan yang sebenarnya kepada keluarganya, dia sangat marah, karena Juliana pasti akan memberitahu apa yang sudah dia lakukan pada Joseph dan kejahatannya akan segera terbongkar, tapi saat itu juga pikiran licik Bradley langsung bekerja. Dia tidak ingin masuk penjara gara-gara Juliana dan tidak ingin disalahkan atas apa yang terjadi. Bradley segera pergi diam-diam. "Apa maksudmu? Kamu ini kenapa? Pasti kamu sedang ber
Lima tahun telah berlalu sejak Juliana melahirkan bayi kembarnya. Dia mengajar di sekolah baru di Miami. Ya, dia dipindah tugaskan ke sekolah lain. Sebenarnya Juliana tidak ingin kembali ke Miami, tapi dia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan pihak sekolah. Sekarang ia menyambut murid-muridnya. Satu per satu memasuki kelas. Ibu-ibu mereka mengantar hingga pintu, lalu melambaikan tangan. Anak-anak nampak ceria. Mereka duduk tenang, menunggu guru memulai pelajaran. "Pagi Bu guru!" sapa seorang anak perempuan bernama Clarie. Juliana tersenyum. "Pagi, Clarie!" Diusapnya rambut gadis kecil itu yang menggunakan jepit rambut berbentuk pita berwarna pink. Setelah semua anak-anak masuk kelas. Juliana berdiri di hadapan mereka, memulai pelajaran. Kali ini belajar menggambar. Dia memperhatikan satu per satu muridnya menggambar. Juliana nampak tertarik dengan hasil menggambar Clarie yang cukup bagus. Sejak melihat Clarie untuk pertama kalinya di tahun ajaran baru, entah kenapa J
"Kakak sudah bangun?" tanya Reina begitu melihat Juliana membukakan mata. Juliana menatap Reina dan Jennifer silih berganti. Dia baru sadar berada di rumah sakit. "Dimana anak-anakku?" Juliana nampak panik. "Tenanglah! Bayimu baik-baik saja. Sekarang ada di ruang bayi. Mungkin sebentar lagi perawat akan mengantarnya ke sini," ucap Jennifer. Juliana meringis kesakitan ketika akan membenarkan posisi berbaringnya. "Jangan banyak gerak dulu! Kakak baru melahirkan," ujar Reina. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Jennifer dan Reina membantunya agar Juliana bisa berbaring lebih nyaman lagi. "Terima kasih sudah mau datang." Juliana berkata pada Jennifer. Jennifer membalasnya dengan senyuman. "Tentu saja aku datang mana mungkin aku melewatkan kelahiran anak kembar bosku." "Joseph tidak tahu kan soal ini?" "Jangan khawatir! Pak Joseph tidak tahu." Juliana nampak lega. Dia sendiri yang menghubungi Jennifer kalau dia akan segera melahirkan, karena Juliana sudah berjanji untuk member
Setelah giliran Joseph mencoba pakaiannya, dia menunggu Lena yang sedang bicara dengan pemilik butik. Lelaki itu menatap Lena dari kejauhan. Rambutnya bergerak mengiringi gerakan kepalanya saat berbicara. Joseph menghela napas berkali-kali. Ini adalah kesalahannya pikir Joseph. Andai saja waktu itu, dia tidak melampiaskan kesedihannya dengan meminum alkohol dan benar-benar mabuk, dia tidak akan bersama Lena di kamar hotel. Sialnya Joseph tidak ingat apa-apa. Saat Ariana tahu tentang kehamilan Lena, wanita itu terus mendesaknya supaya dia segera menikah dengan Lena. Dua bulan sejak Juliana pergi dari rumah, para wartawan mulai mengendus tentang hubungan mereka berdua dan Joseph tidak bisa menghindar lagi saat banyak gosip bahwa dia dan Juliana tidak tinggal bersama lagi. Joseph mendengus kesal dengan semua berita itu. Dia heran apa mereka tidak mempunyai berita lagi selain mencampuri urusan kehidupan orang lain. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana orang-orang yang mengenalnya
Jennifer masuk ke ruangan Joseph membawakan secangkir kopi hitam. Dilihatnya pria itu sedang membereskan mejanya dan memakai jasnya. "Apa Anda akan pergi sekarang, Pak?" "Iya. Lena sudah menungguku di butik. Gaun pengantinnya sudah selesai." "Lalu bagaimana dengan kopinya, Pak?" Joseph berdecak. "Kopi itu untukmu saja." "Tapi saya tidak suka kopi hitam." "Buang saja!" "Tapi Pak, kopi ini sangat mahal. Saya tidak mau membuangnya." Joseph memandang kesal pada sekretarisnya. "Kenapa kamu sempat-sempatnya mempermasalahkan secangkir kopi saat ini? Kamu tahu kan sedang terburu-buru." "Saya tahu. Saya akan menyimpannya di meja. Terserah Anda mau meminumnya atau tidak setelah Anda kembali lagi ke kantor. Jangan suruh saya yang membuangnya!" "Astaga Jennifer!" Jospeh mengambil cangkir dari tangan Jennifer dan langsung meminumnya sampai habis. "Sekarang aku mau pergi." "Tunggu, Pak!""Ada apa lagi?" Joseph berbalik dengan mimik kesal. "Saya bukannya mau mencampuri urusan pribadi A
"Apa maksudmu?" "Ah tidak apa-apa, Pak. Lupakan saja!" Jennifer buru-buru pergi sebelum Joseph kembali bertanya, sedangkan pria itu masih penasaran apa maksud perkataan sekretarisnya yang tiba-tiba terlihat misterius. "Seharusnya tadi aku tidak berkata seperti itu," gumam Jennifer setelah berada di luar ruangan Joseph, lalu duduk di kursi sambil menyusun dokumen di meja. Berkali-kali Jennifer menghela napas dan berpikir andai saja bosnya tahu kalau Juliana sedang mengandung anaknya, entah apa reaksinya. Iya, Jennifer secara tidak sengaja mendengar pembicaraan Ariana dan Lena sebelum dia pulang kemarin sore. "Jadi Juliana hamil? Apa Tante yakin?" Lena nampak syok. "Yakin. Tidak salah lagi." "Kalau itu memang benar, anak siapa yang dikandung Juliana?" "Entahlah. Aku tidak tahu, tapi kemungkinan besar itu anak Joseph." Lena memejamkan matanya. "Apa Joseph tahu?" "Dia tidak tahu." "Joseph tidak boleh tahu hal ini. Kalau dia tahu, dia tidak akan jadi mengusir Juliana dari sini."
"Juliana, Reina," seru Diego terkejut. "Halo Ayah!" sapa Reina dengan senyuman yang dipaksakan. "Kenapa kalian bisa ada di sini? Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau kalian akan datang? Di mana Joseph?" Diego mengedarkan pandangan ke belakang Juliana dan tidak menemukan Joseph. "Joseph tidak ikut bersama kami," jawab Juliana. "Ayah, boleh kami masuk?" Reina bertanya. "Ya tentu saja." Diego memberi jalan pada kedua putrinya dengan menyingkir ke samping, lalu menutup pintu. Mereka memdorong koper dan menghempaskan diri di sofa. Diego yang masih penasaran dengan kepulangan kedua putrinya duduk di hadapan mereka menuntut penjelasan. "Apa yang terjadi?" Juliana dan Reina saling pandang dan keadaan ini tidak disukai oleh mereka berdua dimana mereka harus memberitahu Diego tentang apa yang terjadi. Reina baru saja membuka mulut, tapi Juliana sudah lebih dulu berkata. "Kami diusir dari kediaman Joseph." Mata Diego melebar. "Diusir bagaimana?" "Begini Ayah. Ada beberapa hal yang
Juliana tercekat, tidak percaya pada pendengarannya. "Apa maksud Ibu?" tanya Juliana yang mungkin saja dia salah dengar. "Kamu sedang hamil, Juliana." Reina memandangi Kakaknya tidak percaya. "Kenapa Kakak tidak bilang padaku kalau Kakak sedang hamil?" "Aku tidak tahu kalau sedang hamil." Juliana kembali menegaskan "Masa Kakak tidak tahu kalau sedang hamil," ujar Reina tak percaya. "Tapi itu benar. Akhir-akhir ini Kakak memang selalu merasa pusing dan tidak enak badan, tapi Kakak tak mengira kalau sedang hamil." Ariana menghela napas panjang melihat perdebatan kedua kakak adik itu. "Kalian berdua hentikan dan jangan berdebat lagi!" Mereka berdua terdiam. "Aku tidak tahu anak siapa yang sedang kamu kandung itu? Joseph atau Bradley?" Jika memang dia benar-benar hamil tentu saja Juliana yakin anak yang dikandungnya adalah anak Joseph, karena sejak dia tinggal di mansion, dia tidak pernah tidur lagi dengan Bradley. "Ibu tahu dari mana aku hamil, bahkan aku sendiri tidak tahu?"
"Pergilah! Dan jangan kembali lagi." Juliana memperhatikan wajah Joseph. Dia bisa menangkap ada sesuatu pada diri Joseph yang jauh berbeda saat dia pertama kali berjumpa dengannya. Tidak ada lagi kesan hangat yang selalu membuat perasaannya nyaman. Juliana menghela napas panjang. "Jika itu maumu, baiklah. Selamat tinggal!" Joseph memandangi kepergian Juliana. Jantungnya berdetak lebih cepat dan dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai resah yang menjalari setiap pembuluh darahnya. Semakin menatapnya, Joseph merasakan kegetiran hatinya. Dia berusaha mengebalkan diri dari ketertarikan yang terpendam pada wanita itu. Matanya mulai memanas tersengat air mata. Tak lama setelah kepergian Juliana, Jennifer masuk. Dia tidak tahu kalau sekretarisnya itu masih belum pulang. "Saya mau mengambil berkas yang ketinggalan." Joseph melihat ada satu tumpuk berkas di atas mejanya. Dia menyerahkannya pada Jennifer. "Lain kali jangan lupa lagi!" "Maaf Pak!" Sosok Jennifer masih saja b
Juliana masuk ke kamarnya dengan terburu-buru. Di sana Reina telah menunggunya. Begitu pintu kamar dibuka, Juliana masuk dan Reina menghampirinya. Mata Juliana memerah seperti habis menangis. "Apa yang terjadi?" Juliana tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia mengambil koper dan meletakkannya di atas tempat tidur, lalu membuka lemari dan mengambil semua pakaiannya. Dia memasukkan semua pakaiannya secara sembarang ke dalam koper tanpa dilipat dulu. "Apa Kakak akan pergi?" Juliana menghentikan kegiatannya dan menatap adiknya. "Seharusnya kamu jangan diam saja. Bereskan semua pakaian dan barangmu. Kita akan pergi dari sini sekarang juga." "Apa harus sekarang?" "Ya. Tentu saja. Kita tidak diperbolehkan tinggal di sini lebih lama lagi." "Itu artinya mereka sudah mengusir kita." Reina memasang wajah cemberutnya dan berdecak kesal. Sebenarnya dia sayang harus meninggalkan mansion ini. "Kita masih beruntung tidak dimasukan ke penjara," imbuh Juliana. "Kita harus mensyukuri itu, tapi