"Kamu jangan menuduh Kak Juliana. Kakakku tidak bersalah," seru Reina. Hatinya kembali memanas, tuduhan demi tuduhan ditujukan pada kakaknya. Reina tidak bisa menerima itu. Bradley tersenyum menyeringai dan menatap satu persatu mereka semua. "Aku berkata yang sebenarnya. Julianalah yang merencanakan semuanya. Kalian jangan sampai tertipu oleh kebaikan dan sifat manis Juliana, karena kalau tidak, kalian akan jatuh terperangkap oleh jebakan yang sudah dibuat wanita itu." "Kau...." seru Reina kesal. Hatinya sudah sangat dongkol dan ingin sekali merobek hati Bradley agar semua orang bisa melihat isi hatinya dan kebohongan yang sudah pria itu buat. Tentu saja hal itu tidaklah mungkin. "Sebenarnya aku ingin memberitahu kalian sejak awal tentang Juliana, tapi aku memutuskan untuk diam saja, karena aku tidak ingin membuat kalian sedih dan kecewa. Kalian sudah sangat menyukai Juliana. Aku jadi tidak tega." "Katakan pada kami. Apa yang sebenarnya terjadi diantara kalian?" tanya Ariana. "K
Lena menyusul Joseph. Ariana menatap Juliana dengan perasaan kecewa yang sangat dalam. Menantu yang dia anggap baik selama ini ternyata tidak sebaik yang dia sangka. "Bu, tolong dengarkan aku! Aku tidak seperti yang Ibu pikirkan. Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya!" Juliana menatap Ariana dengan tatapan memohon. Ariana yang tidak mau mendengarkan apa pun dari Juliana, pergi begitu saja. Setelah mereka semua pergi, Bradley mendekati Juliana dengan senyuman mengembang di wajahnya. "Lihat! Mereka lebih percaya padaku. Kamu tidak bisa melawanku." Juliana menatap geram pada Bradley. "Kenapa kamu memberikan cerita palsu pada mereka? Padahal kamu tahu itu semuanya tidak benar," seru Juliana kesal. "Aku sudah pernah memberitahumu kalau Ibu dan Kakakku akan lebih percaya padaku dan aku bisa memutar balikan fakta. Ini hukuman jika kamu mengkhianatiku dan mencoba melawanku. Sekarang kamu sudah nenjadi tersangka atas percobaan pembunuhan Joseph dan sebentar lagi kamu akan masuk penjara
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Joseph. "Aku mencarimu. Kita perlu bicara." Joseph berjalan melewati Juliana dan melepas jam tangannya dan menaruhnya di atas nakas. "Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Sebaiknya kamu pergi dari kamarku," hardik Joseph. "Aku mohon berikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya." "Tidak ada yang kamu perlu jelaskan saat ini. Sekarang pergilah dari kamarku!" Juliana menatap Joseph dengan raut muka sedih. "Baiklah. Aku pergi, tapi yang perlu kamu tahu, aku tidak seperti yang kamu pikirkan saat ini." Joseph menatap lunglai punggung Juliana ketika wanita itu akan keluar dari kamarnya. "Tunggu!" seru Joseph menyusul Juliana yang berhenti di ambang pintu. "Besok kita akan melakukan konferensi pers dan kamu tetap berpura-pura menjadi istriku. Setelah itu aku akan mengambil keputusanku terhadapmu." "Baiklah. Terserah kamu saja." Juliana membalikkan badan. Matanya berkaca-kaca dan pandangannya menjadi kabur. Dia cepat-cepat pergi ke kamarnya
Joseph bertemu Juliana yang sudah berada di depan pintu ruangan di mana konferensi pers akan dilakukan. Juliana nampak sangat cantik dengan gaun panjang merahnya. Rambutnya disanggul ke atas dan wanita itu terlihat sangat anggun. Sesaat jantung Joseph berhenti seketika dan sesak napas disaat yang bersamaan ketika ingat penipuan Juliana. Seharusnya ini menjadi momen bagi Joseph dan Juliana untuk mendeklarasikan hubungan mereka sebagai suami istri, tapi sekarang keadaannya berbeda. Lena yang baru saja datang memasang raut wajah kesal, karena melihat Joseph menggandeng tangan Juliana. "Apa kalian sudah siap?" tanya Jennifer. Mereka berdua mengangguk. Jennifer membuka pintu dan sinar blitz langsung mengarah pada mereka. Suasana riuh menyambut mereka dan saling berbisik. Juliana dan Joseph duduk di hadapan para wartawan. Tidak menunggu waktu lagi, Joseph langsung memperkenalkan Juliana sebagai istrinya di hadapan wartawan. Suasana ruangan menjadi semakin riuh. Setelah keadaan tenanga k
Mereka saling pandang atas apa yang terjadi. Juliana melihat tatapan luka Joseph pada adiknya itu. Entah sejak kapan Joseph mendengarkan pembicaraan mereka. Ada rasa lega di hati Juliana, karena pada akhirnya Joseph tahu siapa Bradley yang sebenarnya. Rahang Joseph menegang sampai urat-uratnya terlihat dengan sangat jelas. Kedua tangannya memutih terkepal kuat. Joseph langsung menyerang Bradley. Dia mencengkeram kerah kemeja adiknya dan mendorongnya sampai ke pilar. "Kakak, tenanglah! Aku bisa menjelaskan semuanya." "Tidak ada yang perlu kamu jelaskan lagi. Aku tadi sudah mendengarkan semuanya," geramnya. "Kakak salah paham." Joseph semakin kuat mencengkeram kerah Bradley. "Kamu bilang salah paham? Aku tadi mendengarnya dengan sangat jelas. Kamulah yang merencanakan pembunuhan atas diriku. Aku benar-benar sangat kecewa padamu," desis Joseph. Joseph meninju wajah Bradley sampai hidungnya berdarah. Juliana, Jennifer, dan Steve mulai terlihat panik. Sekali lagi Joseph memukul Brad
"Apa itu benar?" tanya Ariana pada Bradley dengan mimik penasaran. Bradley tidak langsung menjawabnya. Dia melirik ke arah kakaknya. Matanya menyorot tajam penuh kebencian. "Benar." Ariana memejamkan matanya tak kuasa menahan kekecewaannya. Wanita itu menatap putranya lekat-lekat. "Kenapa kamu lakukan itu?" hardik Ariana. Bradley tersenyum sinis. "Karena aku membenci Joseph. Dia memiliki segalanya yang tidak aku miliki." Joseph mendekat dan berdiri di depan Bradley yang sedang duduk di lantai. "Aku sungguh sangat kecewa padamu. Selama ini aku tidak pernah tahu kalau kamu membenciku sampai-sampai kamu tega ingin membunuhku. Padahal selama ini aku menyayangimu dan memenuhi semua keinginanmu, karena apa yang menjadi milikku menjadi milikmu juga." Sesungguhnya, Joseph menyesali apa yang sudah terjadi diantara mereka. Hubungan mereka tidak akan menjadi seperti dulu lagi yang dirusak oleh pengkhianatan. Dia belum bisa memaafkan perbuatan Bradley kepadanya. Mata Joseph berkilat menah
Juliana masuk ke kamarnya dengan terburu-buru. Di sana Reina telah menunggunya. Begitu pintu kamar dibuka, Juliana masuk dan Reina menghampirinya. Mata Juliana memerah seperti habis menangis. "Apa yang terjadi?" Juliana tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia mengambil koper dan meletakkannya di atas tempat tidur, lalu membuka lemari dan mengambil semua pakaiannya. Dia memasukkan semua pakaiannya secara sembarang ke dalam koper tanpa dilipat dulu. "Apa Kakak akan pergi?" Juliana menghentikan kegiatannya dan menatap adiknya. "Seharusnya kamu jangan diam saja. Bereskan semua pakaian dan barangmu. Kita akan pergi dari sini sekarang juga." "Apa harus sekarang?" "Ya. Tentu saja. Kita tidak diperbolehkan tinggal di sini lebih lama lagi." "Itu artinya mereka sudah mengusir kita." Reina memasang wajah cemberutnya dan berdecak kesal. Sebenarnya dia sayang harus meninggalkan mansion ini. "Kita masih beruntung tidak dimasukan ke penjara," imbuh Juliana. "Kita harus mensyukuri itu, tapi
"Pergilah! Dan jangan kembali lagi." Juliana memperhatikan wajah Joseph. Dia bisa menangkap ada sesuatu pada diri Joseph yang jauh berbeda saat dia pertama kali berjumpa dengannya. Tidak ada lagi kesan hangat yang selalu membuat perasaannya nyaman. Juliana menghela napas panjang. "Jika itu maumu, baiklah. Selamat tinggal!" Joseph memandangi kepergian Juliana. Jantungnya berdetak lebih cepat dan dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai resah yang menjalari setiap pembuluh darahnya. Semakin menatapnya, Joseph merasakan kegetiran hatinya. Dia berusaha mengebalkan diri dari ketertarikan yang terpendam pada wanita itu. Matanya mulai memanas tersengat air mata. Tak lama setelah kepergian Juliana, Jennifer masuk. Dia tidak tahu kalau sekretarisnya itu masih belum pulang. "Saya mau mengambil berkas yang ketinggalan." Joseph melihat ada satu tumpuk berkas di atas mejanya. Dia menyerahkannya pada Jennifer. "Lain kali jangan lupa lagi!" "Maaf Pak!" Sosok Jennifer masih saja b
Lima tahun telah berlalu sejak Juliana melahirkan bayi kembarnya. Dia mengajar di sekolah baru di Miami. Ya, dia dipindah tugaskan ke sekolah lain. Sebenarnya Juliana tidak ingin kembali ke Miami, tapi dia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan pihak sekolah. Sekarang ia menyambut murid-muridnya. Satu per satu memasuki kelas. Ibu-ibu mereka mengantar hingga pintu, lalu melambaikan tangan. Anak-anak nampak ceria. Mereka duduk tenang, menunggu guru memulai pelajaran. "Pagi Bu guru!" sapa seorang anak perempuan bernama Clarie. Juliana tersenyum. "Pagi, Clarie!" Diusapnya rambut gadis kecil itu yang menggunakan jepit rambut berbentuk pita berwarna pink. Setelah semua anak-anak masuk kelas. Juliana berdiri di hadapan mereka, memulai pelajaran. Kali ini belajar menggambar. Dia memperhatikan satu per satu muridnya menggambar. Juliana nampak tertarik dengan hasil menggambar Clarie yang cukup bagus. Sejak melihat Clarie untuk pertama kalinya di tahun ajaran baru, entah kenapa J
"Kakak sudah bangun?" tanya Reina begitu melihat Juliana membukakan mata. Juliana menatap Reina dan Jennifer silih berganti. Dia baru sadar berada di rumah sakit. "Dimana anak-anakku?" Juliana nampak panik. "Tenanglah! Bayimu baik-baik saja. Sekarang ada di ruang bayi. Mungkin sebentar lagi perawat akan mengantarnya ke sini," ucap Jennifer. Juliana meringis kesakitan ketika akan membenarkan posisi berbaringnya. "Jangan banyak gerak dulu! Kakak baru melahirkan," ujar Reina. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Jennifer dan Reina membantunya agar Juliana bisa berbaring lebih nyaman lagi. "Terima kasih sudah mau datang." Juliana berkata pada Jennifer. Jennifer membalasnya dengan senyuman. "Tentu saja aku datang mana mungkin aku melewatkan kelahiran anak kembar bosku." "Joseph tidak tahu kan soal ini?" "Jangan khawatir! Pak Joseph tidak tahu." Juliana nampak lega. Dia sendiri yang menghubungi Jennifer kalau dia akan segera melahirkan, karena Juliana sudah berjanji untuk member
Setelah giliran Joseph mencoba pakaiannya, dia menunggu Lena yang sedang bicara dengan pemilik butik. Lelaki itu menatap Lena dari kejauhan. Rambutnya bergerak mengiringi gerakan kepalanya saat berbicara. Joseph menghela napas berkali-kali. Ini adalah kesalahannya pikir Joseph. Andai saja waktu itu, dia tidak melampiaskan kesedihannya dengan meminum alkohol dan benar-benar mabuk, dia tidak akan bersama Lena di kamar hotel. Sialnya Joseph tidak ingat apa-apa. Saat Ariana tahu tentang kehamilan Lena, wanita itu terus mendesaknya supaya dia segera menikah dengan Lena. Dua bulan sejak Juliana pergi dari rumah, para wartawan mulai mengendus tentang hubungan mereka berdua dan Joseph tidak bisa menghindar lagi saat banyak gosip bahwa dia dan Juliana tidak tinggal bersama lagi. Joseph mendengus kesal dengan semua berita itu. Dia heran apa mereka tidak mempunyai berita lagi selain mencampuri urusan kehidupan orang lain. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana orang-orang yang mengenalnya
Jennifer masuk ke ruangan Joseph membawakan secangkir kopi hitam. Dilihatnya pria itu sedang membereskan mejanya dan memakai jasnya. "Apa Anda akan pergi sekarang, Pak?" "Iya. Lena sudah menungguku di butik. Gaun pengantinnya sudah selesai." "Lalu bagaimana dengan kopinya, Pak?" Joseph berdecak. "Kopi itu untukmu saja." "Tapi saya tidak suka kopi hitam." "Buang saja!" "Tapi Pak, kopi ini sangat mahal. Saya tidak mau membuangnya." Joseph memandang kesal pada sekretarisnya. "Kenapa kamu sempat-sempatnya mempermasalahkan secangkir kopi saat ini? Kamu tahu kan sedang terburu-buru." "Saya tahu. Saya akan menyimpannya di meja. Terserah Anda mau meminumnya atau tidak setelah Anda kembali lagi ke kantor. Jangan suruh saya yang membuangnya!" "Astaga Jennifer!" Jospeh mengambil cangkir dari tangan Jennifer dan langsung meminumnya sampai habis. "Sekarang aku mau pergi." "Tunggu, Pak!""Ada apa lagi?" Joseph berbalik dengan mimik kesal. "Saya bukannya mau mencampuri urusan pribadi A
"Apa maksudmu?" "Ah tidak apa-apa, Pak. Lupakan saja!" Jennifer buru-buru pergi sebelum Joseph kembali bertanya, sedangkan pria itu masih penasaran apa maksud perkataan sekretarisnya yang tiba-tiba terlihat misterius. "Seharusnya tadi aku tidak berkata seperti itu," gumam Jennifer setelah berada di luar ruangan Joseph, lalu duduk di kursi sambil menyusun dokumen di meja. Berkali-kali Jennifer menghela napas dan berpikir andai saja bosnya tahu kalau Juliana sedang mengandung anaknya, entah apa reaksinya. Iya, Jennifer secara tidak sengaja mendengar pembicaraan Ariana dan Lena sebelum dia pulang kemarin sore. "Jadi Juliana hamil? Apa Tante yakin?" Lena nampak syok. "Yakin. Tidak salah lagi." "Kalau itu memang benar, anak siapa yang dikandung Juliana?" "Entahlah. Aku tidak tahu, tapi kemungkinan besar itu anak Joseph." Lena memejamkan matanya. "Apa Joseph tahu?" "Dia tidak tahu." "Joseph tidak boleh tahu hal ini. Kalau dia tahu, dia tidak akan jadi mengusir Juliana dari sini."
"Juliana, Reina," seru Diego terkejut. "Halo Ayah!" sapa Reina dengan senyuman yang dipaksakan. "Kenapa kalian bisa ada di sini? Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau kalian akan datang? Di mana Joseph?" Diego mengedarkan pandangan ke belakang Juliana dan tidak menemukan Joseph. "Joseph tidak ikut bersama kami," jawab Juliana. "Ayah, boleh kami masuk?" Reina bertanya. "Ya tentu saja." Diego memberi jalan pada kedua putrinya dengan menyingkir ke samping, lalu menutup pintu. Mereka memdorong koper dan menghempaskan diri di sofa. Diego yang masih penasaran dengan kepulangan kedua putrinya duduk di hadapan mereka menuntut penjelasan. "Apa yang terjadi?" Juliana dan Reina saling pandang dan keadaan ini tidak disukai oleh mereka berdua dimana mereka harus memberitahu Diego tentang apa yang terjadi. Reina baru saja membuka mulut, tapi Juliana sudah lebih dulu berkata. "Kami diusir dari kediaman Joseph." Mata Diego melebar. "Diusir bagaimana?" "Begini Ayah. Ada beberapa hal yang
Juliana tercekat, tidak percaya pada pendengarannya. "Apa maksud Ibu?" tanya Juliana yang mungkin saja dia salah dengar. "Kamu sedang hamil, Juliana." Reina memandangi Kakaknya tidak percaya. "Kenapa Kakak tidak bilang padaku kalau Kakak sedang hamil?" "Aku tidak tahu kalau sedang hamil." Juliana kembali menegaskan "Masa Kakak tidak tahu kalau sedang hamil," ujar Reina tak percaya. "Tapi itu benar. Akhir-akhir ini Kakak memang selalu merasa pusing dan tidak enak badan, tapi Kakak tak mengira kalau sedang hamil." Ariana menghela napas panjang melihat perdebatan kedua kakak adik itu. "Kalian berdua hentikan dan jangan berdebat lagi!" Mereka berdua terdiam. "Aku tidak tahu anak siapa yang sedang kamu kandung itu? Joseph atau Bradley?" Jika memang dia benar-benar hamil tentu saja Juliana yakin anak yang dikandungnya adalah anak Joseph, karena sejak dia tinggal di mansion, dia tidak pernah tidur lagi dengan Bradley. "Ibu tahu dari mana aku hamil, bahkan aku sendiri tidak tahu?"
"Pergilah! Dan jangan kembali lagi." Juliana memperhatikan wajah Joseph. Dia bisa menangkap ada sesuatu pada diri Joseph yang jauh berbeda saat dia pertama kali berjumpa dengannya. Tidak ada lagi kesan hangat yang selalu membuat perasaannya nyaman. Juliana menghela napas panjang. "Jika itu maumu, baiklah. Selamat tinggal!" Joseph memandangi kepergian Juliana. Jantungnya berdetak lebih cepat dan dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai resah yang menjalari setiap pembuluh darahnya. Semakin menatapnya, Joseph merasakan kegetiran hatinya. Dia berusaha mengebalkan diri dari ketertarikan yang terpendam pada wanita itu. Matanya mulai memanas tersengat air mata. Tak lama setelah kepergian Juliana, Jennifer masuk. Dia tidak tahu kalau sekretarisnya itu masih belum pulang. "Saya mau mengambil berkas yang ketinggalan." Joseph melihat ada satu tumpuk berkas di atas mejanya. Dia menyerahkannya pada Jennifer. "Lain kali jangan lupa lagi!" "Maaf Pak!" Sosok Jennifer masih saja b
Juliana masuk ke kamarnya dengan terburu-buru. Di sana Reina telah menunggunya. Begitu pintu kamar dibuka, Juliana masuk dan Reina menghampirinya. Mata Juliana memerah seperti habis menangis. "Apa yang terjadi?" Juliana tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia mengambil koper dan meletakkannya di atas tempat tidur, lalu membuka lemari dan mengambil semua pakaiannya. Dia memasukkan semua pakaiannya secara sembarang ke dalam koper tanpa dilipat dulu. "Apa Kakak akan pergi?" Juliana menghentikan kegiatannya dan menatap adiknya. "Seharusnya kamu jangan diam saja. Bereskan semua pakaian dan barangmu. Kita akan pergi dari sini sekarang juga." "Apa harus sekarang?" "Ya. Tentu saja. Kita tidak diperbolehkan tinggal di sini lebih lama lagi." "Itu artinya mereka sudah mengusir kita." Reina memasang wajah cemberutnya dan berdecak kesal. Sebenarnya dia sayang harus meninggalkan mansion ini. "Kita masih beruntung tidak dimasukan ke penjara," imbuh Juliana. "Kita harus mensyukuri itu, tapi