Juliana kaget mendengar pertanyaan Ariana.
Dia pikir, ibu tiri Joseph itu tidak tertarik dengan perjalanan kisah cinta mereka, tetapi ternyata di luar dugaan.
"Aku bertemu dengan Joseph di Italia. Dia menolongku saat aku hampir tenggelam di kanal. Pertemuan itu mengalir begitu saja sampai akhirnya kami bisa menikah seperti ini," terang Juliana dengan wajah berseri. Dia tampak sedang mengenang masa-masa itu.
Ariana melihat ekspresi yang berbeda dari Juliana. Padahal sedari datang, wanita itu tampak murung dan sedih, tetapi saat ditanya tentang perjalanan cinta mereka, Juliana kontan berubah.
"Manis sekali. Sepertinya, Joseph memperlakukanmu dengan sangat baik, ya?" tanya Ariana lagi yang langsung diangguki oleh Juliana.
"Dia pria baik dan sopan. Mungkin itulah alasanku tertarik padanya," ungkap Juliana kembali mengenang.
Ariana menghela napas panjang. "Ya, Joseph memang sedang ada di Italia untuk perjalanan bisnis sebelum kecelakaan ini terjadi."
Wajah Juliana yang sebelumnya berseri pun langsung muram. Dia kembali ditampar akan kenyataan yang terjadi saat ini.
"Tapi apa kamu tahu aku senang karena Joseph bisa melupakan Lena."
Juliana langsung menoleh pada Ariana. Wanita itu menautkan kedua alisnya bertanda kalau dirinya bingung dengan ucapan Ariana barusan.
"Lena?" tanya Juliana pelan.
Ariana mengangguk pelan, lalu barulah menjawab pertanyaan Juliana. "Iya, Lena itu mantan kekasihnya Joseph. Saya pikir dia tidak bisa move on dari Lena, karena semenjak putus dengan Lena, Joseph tidak menjalin hubungan dengan wanita manapun. Saya mengkhawatirkan itu," papar Ariana membuat Juliana tertegun.
Dia seperti mendapat kado kejutan yang luar biasa. Satu lagi fakta tentang Joseph yang baru Juliana ketahui. Juliana jadi bertanya-tanya, apalagi rahasia yang Joseph sembunyikan darinya?
Mendengar ini semua, Juliana merasa sakit dan rindu bersamaan. Dia tak tahu harus bereaksi seperti apa, karena semua ini begitu mengejutkan hingga yang Juliana lakukan hanyalah diam.
Ariana hendak melanjutkan ceritanya, tapi tertahan karena tiba-tiba seorang pelayan datang dan menyodorkan telepon padanya.
"Siapa?"
"Pihak Kepolisian, Nyonya."
Mendengar ucapan sang pelayan, seketika tubuh Juliana menegang. Begitu juga, dengan Ariana. Wanita paruh baya itu menghela napas sejenak sebelum menerima telepon dari polisi.
"Ya dengan saya sendiri."
Ariana melirik pada Juliana saat mendapat pertanyaan dari pihak polisi. Sekarang dia tampak serius mendengarkan penjelasan polisi. Sampai akhir pembicaraan di telepon itu, wajah Ariana malah terlihat syok.
Juliana jadi ikut tegang melihat gelagat mertuanya. Dia pun langsung mengajukan pertanyaan tentang apa yang terjadi.
"Polisi bilang mereka menemukan helikopter yang membawa Joseph."
"Apa?"
Juliana langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Takut, cemas, dan perasaan gundah mulai bermunculan di hati Juliana. Berbagai pemikiran buruk pun singgah tanpa diminta. Dia berusaha untuk tenang, tapi tidak bisa.
"Ya Tuhan bagaimana keadaan Joseph?" gumam Juliana khawatir.
Ariana dapat merasakan ketakutan dari menantunya. Dia pun berharap kalau Joseph masih bisa diselamatkan.
"Tenanglah, Juliana! Ini baru kabar sebagian. Sebentar lagi, polisi akan datang ke sini. Sebaiknya kita bergegas," ujar Ariana yang langsung diangguki oleh Juliana.
Dengan cepat Juliana memanggil Reina untuk menyudahi aktivitasnya berenang. Mereka pun bergegas pergi untuk menunggu kedatangan polisi.Juliana mulai tidak karuan. Dia berharap apapun kabar yang akan diterimanya semoga dirinya siap.
****Selang beberapa menit, polisi yang ditunggu-tunggu pun datang.Ariana, Juliana, dan Reina sudah tidak sabar mendengar kabar tentang Joseph. Tanpa menunggu lama pihak polisi yang datang pun memberitahukan apa yang mereka temukan di tempat kejadian perkara.
"Helikopter yang ditumpangi Tuan Joseph ada di perkebunan gandum dalam keadaan hancur dan terbakar."
Tiga wanita yang mendengar kabar itu pun terperanjat kaget, bahkan wajah Juliana saat ini langsung memucat. Suara semua orang seolah menjauh dan yang terdengar hanyalah keterangan polisi itu.
"Apa benar yang Anda katakan, Pak?" tanya Ariana merasa tidak percaya.
Polisi itu mengangguk pasti. Dia juga menyodorkan foto puing-puing helikopter itu pada Ariana sampai tangan wanita paruh baya itu bergetar memegangnya.
Ariana tak tahu harus berkata apa. Begitu juga dengan Juliana.
Wanita itu hampir saja ambruk kalau tidak ditahan oleh Reina.
"Kak, tolong jangan seperti ini. Kita dengarkan dulu penjelasan polisi sampai selesai," ucap Reina berusaha menguatkan kakaknya.
Juliana lantas memejamkan matanya.
"Pilot yang membawa helikopter itu ditemukan tewas, tapi kami tidak mendapati Tuan Joseph di sekitar helikopter itu."
Deg!
Juliana langsung menangis. "Mak--maksud Anda apa, Pak?"
"Ada kemungkinan Tuan Joseph keluar dari helikopter sebelum terbakar," lanjut polisi tersebut.
Juliana mendengar keterangan lanjut dari polisi dengan gamang.
Dunianya benar-benar ambruk. Dia hanya mampu terduduk lemas di sofa dengan derai air mata yang tanpa suara.
Melihat kakaknya seperti ini, Reina sangat hancur. Padahal tadi Juliana sudah agak tenang, tetapi kabar yang datang malah semakin menghancurkan kakaknya.
Tak berbeda jauh dengan Juliana, Ariana pun tampak syok. Hanya saja, dia bisa mengendalikan diri agar tetap sadar.
"Apa kalian sudah mencarinya di sekitar tempat kecelakaan?" tanya Ariana masih tidak percaya.
Polisi itu menggelengkan kepala. "Tidak ada, Nyonya, bahkan kami sudah menyisir tempat itu, tapi tidak ditemukan Tuan Joseph."
Ariana memegangi dadanya, sesak mendengar kabar duka ini. Kalau Joseph meninggal harusnya ada jasadnya di sana, akan tetapi Joseph malah hilang tanpa jejak dan malah membuat Juliana dan Ariana semakin cemas. Bila dia terluka tanpa ada yang mengobati, itu akan lebih menyiksa.
"Pak, tolong cari anak saya sampai ketemu! Apa pun yang terjadi dan apa pun yang kalian butuhkan akan kami sediakan terpenting Joseph bisa ditemukan," ujar Ariana pada pihak kepolisian.
"Tentu, Nyonya. Kami akan lakukan tugas kami sebaik mungkin. Pencarian akan kami lakukan lebih lanjut. Jika Nyonya punya kabar tentang Tuan Joseph, kami harap kalian segera menghubungi kami," ucap polisi yang langsung diangguki oleh Ariana.
Setelah itu, pihak polisi pun pamit untuk pergi. Sekarang tinggal Juliana yang masih terpuruk dengan kabar ini.
Juliana memang menangis, tapi wanita itu tidak mengeluarkan isakan sama sekali. Ini artinya dia memang merasa sakit, karena kabar yang diterimanya begitu menyesakkan dada.
"Juliana, tenanglah! Masih ada harapan kalau Joseph masih hidup," ujar Ariana.
Ariana berusaha menenangkan Juliana. Dia paham apa yang dirasakan oleh menantunya itu. Tidak mudah menerima kenyataan apalagi tentang orang terkasih dan tercinta, tetapi kalau tidak tegar maka diri sendiri yang akan hancur.
"Benar. Kakak tidak boleh putus harapan. Sebelum jasad Joseph ditemukan, itu artinya dia masih hidup," papar Reina yang langsung mendapat tanggapan dari Juliana.
Juliana merasa apa yang dikatakan Reina benar. Dia harus yakin kalau Joseph masih hidup.
"Pak, tunggu!"
Juliana yang tadi terduduk lemah di sofa tiba-tiba saja mengejar langkah polisi. Untung saja dari rumah ke tempat mobil polisi itu cukup jauh, jadi Juliana bisa mengejar mereka."Pak, apakah kemungkinan suami saya selamat itu masih ada?""Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari Tuan Joseph, Nyonya. Kami akan segera menghubungi Anda atau Nyonya Ariana, jika ada kabar tentang Tuan Joseph."Ucapan diplomatis itu membuat Juliana terdiam. Itu tandanya, pihak kepolisian juga tidak tahu dan tak berani berasumsi.Setelah polisi itu pergi, tangis Juliana pecah. Dia bahkan hampir terduduk di tanah kalau saja Reina dan Ariana tidak menahannya."Sabar, Kak. Jangan seperti ini! Kamu harus kuat. Ingat kita masih punya harapan. Bisa saja Joseph diselamatkan oleh orang lain," ucap Reina berusaha menenangkan Juliana.Ariana yang sedari tadi berdiri pun merasa sedih melihat menantunya yang terpuruk seperti ini. Sungguh dia bisa melihat ketulusan dan rasa sayang Juliana pada anak tirinya. Wanita paruh baya itu pun langsung memeluk Juliana. Dia mengusap punggung menantunya agar bisa tenang."Ibu tahu apa yang kamu rasakan saat ini, tetapi ingatlah kalau kamu harus tegar. Kita berdoa saja semoga Joseph selamat."Mendengar perk
Ariana tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak, karena di sini ada Juliana dan Reina. Namun, Lena kembali memohon. Dia sangat ingin menginap karena merindukan tempat ini."Baiklah, Lena. Menginaplah satu hari di sini, kalau itu bisa membuat suasana hatimu membaik," ujar Ariana pada akhirnya setuju.Bagaimanapun, Ariana masih menganggap Lena sebagai anak sendiri. Itu karena Lena sudah cukup lama menjalin hubungan dengan Joseph.Dulu, Ariana kira Lena akan menjadi menantunya. Akan tetapi, keputusan Lena yang memilih pergi ke Eropa membuat harapan Ariana hanya menjadi asa kosong. Sekarang semua sudah berlalu. Ariana tidak bisa ikut campur dalam kehidupan Joseph. Apa pun yang terbaik untuk anak tirinya itu, Ariana akan mendukungnya."Kalau begitu aku tinggal. Masih ada pekerjaan."Lena pun mengangguk dan membiarkan Ariana pergi. Sementara dirinya pun langsung masuk ke mansion megah yang penuh kenangan itu.Lena menyusuri setiap sudut mansion ini. Dia seolah melihat bayangan dan ki
Reina belum puas menghabiskan waktu di pantai. Kedatangan Lena yang tiba-tiba membuat Reina kesal dan khawatir. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Juliana tahu tentang kedatangan Lena. Pasti akan sakit dan sedih, tetapi bagaimanapun Reina harus menceritakan semuanya sebelum Lena dan Juliana bertemu. Tentu saja mau tidak mau mereka pasti bertemu. Saat sampai di kamar tamu, Reina mendapati Juliana sudah bangun. Dia pun langsung menghampiri sang Kakak dengan wajah cemas. "Gawat, Kak! Ini gawat," ucap Reina dengan wajah gusar. Juliana mengernyitkan dahi, heran akan tingkah adiknya itu. Datang-datang sudah bersikap aneh. "Apanya yang gawat? Apa kamu bertemu pria tampan di sini?" tanya Juliana sedikit jahil. Dia gemas karena adiknya selalu heboh sendiri. "Kakak! Aku serius. Aku itu baru saja bertemu dengan mantan kekasih Joseph." Seketika pergerakan Juliana terhenti. Dia menatap wajah adiknya dengan kebingungan. "Maksudmu apa?" tanya Juliana masih belum paham dengan u
Suara denting alat makan beradu di ruang makan yang luas dan mewah. Lena dan Ariana tampak lebih luwes dibandingkan dengan Juliana dan Reina, jadi tidak canggung lagi berbeda dengan Juliana dan Reina. Melihat cara dua orang asing itu makan, Lena tersenyum miring. Seolah mengejek mereka yang tidak terbiasa dengan ini semua. Reina yang melihat gelagat Lena pun kesal. Dia ingin membalas perlakuan Lena, tapi tak bisa karena situasi dan kondisi. Lena tidak mempedulikan tatapan Reina yang kesal padanya. Dia malah lebih tertarik pada masa lalu wanita bernama Juliana itu, karena Lena masih tidak percaya, jika mantan kekasihnya memilih pasangan yang jauh dari kriteria seorang Joseph. "Juliana, dari nama asal kamu? Aku juga sangat penasaran bagaimana kalian bisa bertemu sampai menikah dengan Joseph?" tanya Lena tiba-tiba di sela makan. Semua orang yang ada di meja makan kaget dengan pertanyaan itu, namun Lena yang hanya seorang mantan kekasih malah mempertanyakan hal sensitif seperti ini. R
"Sudahlah, Kak. Mungkin Kakak salah lihat. Sebaiknya kita kembali berkeliling. Aku ingin tahu setiap sudut tempat di sini mungkin saja ada hal menarik yang kita temukan," ujar Reina sembari menarik tangan kakaknya. Akan tetapi, Juliana menahan Reina. "Tapi aku yakin dia adalah pria itu, Reina," timpal Juliana tetap pada pendiriannya. Reina menghela napas pelan. "Baiklah, anggap saja begitu. Lalu, sekarang apa? Bagaimana kalau nanti kita tanyakan saja pada Nyonya Ariana. Siapa pria itu? Sudahlah, ayo!" ajak Reina menarik lengan Juliana. Juliana pun akhirnya menurut, dia mengikuti langkah adiknya. Dari kejauhan, Ariana melihat Reina dan Juliana yang sedang berjalan-jalan. Dia pun menghampiri dua wanita itu dan mengajak mereka untuk berkenalan dengan pelayan yang ada di sana. "Ayolah, Sayang. Aku akan memperkenalkan kamu pada pelayan di sini dan kalau bisa ingat-ingat nama dan wajah mereka," kata Ariana yang membuat tubuh Juliana langsung menegang. Dia sampai meneguk saliva dengan s
Menurut informasi di internet, keluarga Reign adalah pengusaha ternama. Dari mulai pertambangan emas, minyak, banker, properti, hotel, dan ritel. Selain itu Joseph ada hubungannya dengan anggota keluarga kerajaan Monaco. Ibu kandungnya Joseph bernama Sofie adalah adik sepupu Raja Monaco yang menikah dengan ayahnya Joseph, yaitu Richardo Reign. Juliana dan Reina langsung syok membaca informasi di sana. Kedua saling pandang sejenak, lalu kembali membaca artikel itu. "Kak, ternyata suamimu itu konglomerat dan keponakan Raja Monaco!" seru Reina antusias dan masih kaget mendapati fakta ini. "Tapi sayang tidak ada foto keluarga Reign." Sementara itu, Juliana mematung di tempat. Dia lebih dari sekedar kaget. Saat ini, perasaan Juliana tak karuan. Entah apakah dia harus senang atau sedih mendapati suaminya bukan orang biasa hanya saja Juliana merasa sangat kecil dibandingkan Joseph yang bersinar di strata paling atas. Rasa rendah dirinya kembali hadir tentang dirinya yang tidak pantas se
Keesokan harinya, Juliana sudah bersiap untuk pergi sarapan, sementara Reina masih berbaring dan enggan bangkit. "Kenapa masih rebahan? Sebentar lagi waktunya sarapan, ayo bersiap!" ajak Juliana sembari duduk di sebelah Reina yang malah membelakangi Juliana. Melihat gelagat Reina, Juliana sepertinya mengerti kalau adiknya masih kesal karena kejadian semalam. "Kamu marah sama Kakak karena kejadian semalam?" tanya Juliana berusaha berbicara baik-baik. Reina menggelengkan kepala. "Tidak, Kak. Aku sama sekali tidak marah sama Kakak. Aku hanya malas kalau harus semeja dengan Lena. Dia masih membuatku kesal," terang Reina menjelaskan. Juliana menghela napas pelan ternyata memang masih masalah semalam, mencoba mengerti perasaan Reina dan akan berusaha membujuk adiknya agar mau sarapan. "Kakak mengerti kalau kamu masih kesal pada Lena, tapi kamu harus tetap sarapan, Reina. Jangan sampai sakit karena masalah Lena." "Kakak!" seru Reina mencebik. "Aku tidak akan sakit karena Lena. Lagian,
"Reina!" seru Juliana, tiba-tiba saja berteriak dari luar kamar. Juliana membuka pintu kamar dan masuk. "Ada apa, Kak?" tanya Reina penasaran. "Joseph sudah ditemukan dan dia selamat," seru Juliana kegirangan. Air mata Juliana kembali berderai dan Reina pun memeluk kakaknya dengan erat. "Benarkah kabar itu?" tanya Reina sekali lagi. Dia amat senang, tapi juga masih tidak percaya mendengar kabar itu. Juliana mengurai pelukan dan menceritakan semua yang dikatakan Ariana. "Walaupun begitu, aku tidak bisa menemuinya, Reina." Kesedihan amat kentara di wajah wanita itu. Ia benar-benar ingin bertemu dengan suaminya. Juliana ingin memastikan kalau suaminya memang baik-baik saja. Dengan begitu, Juliana bisa tenang. "Kenapa, Kak?" "Kata polisi keadaan Joseph masih belum stabil, jadi dia belum boleh dijenguk oleh siapa pun," ungkap Juliana, raut kesedihan masih kentara di wajah itu. "Tidak apa-apa, Kak. Setidaknya Joseph sudah ditemukan. Kakak yang sabar saja. Kalau sudah waktunya, Kaka
Lima tahun telah berlalu sejak Juliana melahirkan bayi kembarnya. Dia mengajar di sekolah baru di Miami. Ya, dia dipindah tugaskan ke sekolah lain. Sebenarnya Juliana tidak ingin kembali ke Miami, tapi dia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan pihak sekolah. Sekarang ia menyambut murid-muridnya. Satu per satu memasuki kelas. Ibu-ibu mereka mengantar hingga pintu, lalu melambaikan tangan. Anak-anak nampak ceria. Mereka duduk tenang, menunggu guru memulai pelajaran. "Pagi Bu guru!" sapa seorang anak perempuan bernama Clarie. Juliana tersenyum. "Pagi, Clarie!" Diusapnya rambut gadis kecil itu yang menggunakan jepit rambut berbentuk pita berwarna pink. Setelah semua anak-anak masuk kelas. Juliana berdiri di hadapan mereka, memulai pelajaran. Kali ini belajar menggambar. Dia memperhatikan satu per satu muridnya menggambar. Juliana nampak tertarik dengan hasil menggambar Clarie yang cukup bagus. Sejak melihat Clarie untuk pertama kalinya di tahun ajaran baru, entah kenapa J
"Kakak sudah bangun?" tanya Reina begitu melihat Juliana membukakan mata. Juliana menatap Reina dan Jennifer silih berganti. Dia baru sadar berada di rumah sakit. "Dimana anak-anakku?" Juliana nampak panik. "Tenanglah! Bayimu baik-baik saja. Sekarang ada di ruang bayi. Mungkin sebentar lagi perawat akan mengantarnya ke sini," ucap Jennifer. Juliana meringis kesakitan ketika akan membenarkan posisi berbaringnya. "Jangan banyak gerak dulu! Kakak baru melahirkan," ujar Reina. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Jennifer dan Reina membantunya agar Juliana bisa berbaring lebih nyaman lagi. "Terima kasih sudah mau datang." Juliana berkata pada Jennifer. Jennifer membalasnya dengan senyuman. "Tentu saja aku datang mana mungkin aku melewatkan kelahiran anak kembar bosku." "Joseph tidak tahu kan soal ini?" "Jangan khawatir! Pak Joseph tidak tahu." Juliana nampak lega. Dia sendiri yang menghubungi Jennifer kalau dia akan segera melahirkan, karena Juliana sudah berjanji untuk member
Setelah giliran Joseph mencoba pakaiannya, dia menunggu Lena yang sedang bicara dengan pemilik butik. Lelaki itu menatap Lena dari kejauhan. Rambutnya bergerak mengiringi gerakan kepalanya saat berbicara. Joseph menghela napas berkali-kali. Ini adalah kesalahannya pikir Joseph. Andai saja waktu itu, dia tidak melampiaskan kesedihannya dengan meminum alkohol dan benar-benar mabuk, dia tidak akan bersama Lena di kamar hotel. Sialnya Joseph tidak ingat apa-apa. Saat Ariana tahu tentang kehamilan Lena, wanita itu terus mendesaknya supaya dia segera menikah dengan Lena. Dua bulan sejak Juliana pergi dari rumah, para wartawan mulai mengendus tentang hubungan mereka berdua dan Joseph tidak bisa menghindar lagi saat banyak gosip bahwa dia dan Juliana tidak tinggal bersama lagi. Joseph mendengus kesal dengan semua berita itu. Dia heran apa mereka tidak mempunyai berita lagi selain mencampuri urusan kehidupan orang lain. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana orang-orang yang mengenalnya
Jennifer masuk ke ruangan Joseph membawakan secangkir kopi hitam. Dilihatnya pria itu sedang membereskan mejanya dan memakai jasnya. "Apa Anda akan pergi sekarang, Pak?" "Iya. Lena sudah menungguku di butik. Gaun pengantinnya sudah selesai." "Lalu bagaimana dengan kopinya, Pak?" Joseph berdecak. "Kopi itu untukmu saja." "Tapi saya tidak suka kopi hitam." "Buang saja!" "Tapi Pak, kopi ini sangat mahal. Saya tidak mau membuangnya." Joseph memandang kesal pada sekretarisnya. "Kenapa kamu sempat-sempatnya mempermasalahkan secangkir kopi saat ini? Kamu tahu kan sedang terburu-buru." "Saya tahu. Saya akan menyimpannya di meja. Terserah Anda mau meminumnya atau tidak setelah Anda kembali lagi ke kantor. Jangan suruh saya yang membuangnya!" "Astaga Jennifer!" Jospeh mengambil cangkir dari tangan Jennifer dan langsung meminumnya sampai habis. "Sekarang aku mau pergi." "Tunggu, Pak!""Ada apa lagi?" Joseph berbalik dengan mimik kesal. "Saya bukannya mau mencampuri urusan pribadi A
"Apa maksudmu?" "Ah tidak apa-apa, Pak. Lupakan saja!" Jennifer buru-buru pergi sebelum Joseph kembali bertanya, sedangkan pria itu masih penasaran apa maksud perkataan sekretarisnya yang tiba-tiba terlihat misterius. "Seharusnya tadi aku tidak berkata seperti itu," gumam Jennifer setelah berada di luar ruangan Joseph, lalu duduk di kursi sambil menyusun dokumen di meja. Berkali-kali Jennifer menghela napas dan berpikir andai saja bosnya tahu kalau Juliana sedang mengandung anaknya, entah apa reaksinya. Iya, Jennifer secara tidak sengaja mendengar pembicaraan Ariana dan Lena sebelum dia pulang kemarin sore. "Jadi Juliana hamil? Apa Tante yakin?" Lena nampak syok. "Yakin. Tidak salah lagi." "Kalau itu memang benar, anak siapa yang dikandung Juliana?" "Entahlah. Aku tidak tahu, tapi kemungkinan besar itu anak Joseph." Lena memejamkan matanya. "Apa Joseph tahu?" "Dia tidak tahu." "Joseph tidak boleh tahu hal ini. Kalau dia tahu, dia tidak akan jadi mengusir Juliana dari sini."
"Juliana, Reina," seru Diego terkejut. "Halo Ayah!" sapa Reina dengan senyuman yang dipaksakan. "Kenapa kalian bisa ada di sini? Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau kalian akan datang? Di mana Joseph?" Diego mengedarkan pandangan ke belakang Juliana dan tidak menemukan Joseph. "Joseph tidak ikut bersama kami," jawab Juliana. "Ayah, boleh kami masuk?" Reina bertanya. "Ya tentu saja." Diego memberi jalan pada kedua putrinya dengan menyingkir ke samping, lalu menutup pintu. Mereka memdorong koper dan menghempaskan diri di sofa. Diego yang masih penasaran dengan kepulangan kedua putrinya duduk di hadapan mereka menuntut penjelasan. "Apa yang terjadi?" Juliana dan Reina saling pandang dan keadaan ini tidak disukai oleh mereka berdua dimana mereka harus memberitahu Diego tentang apa yang terjadi. Reina baru saja membuka mulut, tapi Juliana sudah lebih dulu berkata. "Kami diusir dari kediaman Joseph." Mata Diego melebar. "Diusir bagaimana?" "Begini Ayah. Ada beberapa hal yang
Juliana tercekat, tidak percaya pada pendengarannya. "Apa maksud Ibu?" tanya Juliana yang mungkin saja dia salah dengar. "Kamu sedang hamil, Juliana." Reina memandangi Kakaknya tidak percaya. "Kenapa Kakak tidak bilang padaku kalau Kakak sedang hamil?" "Aku tidak tahu kalau sedang hamil." Juliana kembali menegaskan "Masa Kakak tidak tahu kalau sedang hamil," ujar Reina tak percaya. "Tapi itu benar. Akhir-akhir ini Kakak memang selalu merasa pusing dan tidak enak badan, tapi Kakak tak mengira kalau sedang hamil." Ariana menghela napas panjang melihat perdebatan kedua kakak adik itu. "Kalian berdua hentikan dan jangan berdebat lagi!" Mereka berdua terdiam. "Aku tidak tahu anak siapa yang sedang kamu kandung itu? Joseph atau Bradley?" Jika memang dia benar-benar hamil tentu saja Juliana yakin anak yang dikandungnya adalah anak Joseph, karena sejak dia tinggal di mansion, dia tidak pernah tidur lagi dengan Bradley. "Ibu tahu dari mana aku hamil, bahkan aku sendiri tidak tahu?"
"Pergilah! Dan jangan kembali lagi." Juliana memperhatikan wajah Joseph. Dia bisa menangkap ada sesuatu pada diri Joseph yang jauh berbeda saat dia pertama kali berjumpa dengannya. Tidak ada lagi kesan hangat yang selalu membuat perasaannya nyaman. Juliana menghela napas panjang. "Jika itu maumu, baiklah. Selamat tinggal!" Joseph memandangi kepergian Juliana. Jantungnya berdetak lebih cepat dan dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai resah yang menjalari setiap pembuluh darahnya. Semakin menatapnya, Joseph merasakan kegetiran hatinya. Dia berusaha mengebalkan diri dari ketertarikan yang terpendam pada wanita itu. Matanya mulai memanas tersengat air mata. Tak lama setelah kepergian Juliana, Jennifer masuk. Dia tidak tahu kalau sekretarisnya itu masih belum pulang. "Saya mau mengambil berkas yang ketinggalan." Joseph melihat ada satu tumpuk berkas di atas mejanya. Dia menyerahkannya pada Jennifer. "Lain kali jangan lupa lagi!" "Maaf Pak!" Sosok Jennifer masih saja b
Juliana masuk ke kamarnya dengan terburu-buru. Di sana Reina telah menunggunya. Begitu pintu kamar dibuka, Juliana masuk dan Reina menghampirinya. Mata Juliana memerah seperti habis menangis. "Apa yang terjadi?" Juliana tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia mengambil koper dan meletakkannya di atas tempat tidur, lalu membuka lemari dan mengambil semua pakaiannya. Dia memasukkan semua pakaiannya secara sembarang ke dalam koper tanpa dilipat dulu. "Apa Kakak akan pergi?" Juliana menghentikan kegiatannya dan menatap adiknya. "Seharusnya kamu jangan diam saja. Bereskan semua pakaian dan barangmu. Kita akan pergi dari sini sekarang juga." "Apa harus sekarang?" "Ya. Tentu saja. Kita tidak diperbolehkan tinggal di sini lebih lama lagi." "Itu artinya mereka sudah mengusir kita." Reina memasang wajah cemberutnya dan berdecak kesal. Sebenarnya dia sayang harus meninggalkan mansion ini. "Kita masih beruntung tidak dimasukan ke penjara," imbuh Juliana. "Kita harus mensyukuri itu, tapi