"Sudahlah, Kak. Mungkin Kakak salah lihat. Sebaiknya kita kembali berkeliling. Aku ingin tahu setiap sudut tempat di sini mungkin saja ada hal menarik yang kita temukan," ujar Reina sembari menarik tangan kakaknya. Akan tetapi, Juliana menahan Reina. "Tapi aku yakin dia adalah pria itu, Reina," timpal Juliana tetap pada pendiriannya. Reina menghela napas pelan. "Baiklah, anggap saja begitu. Lalu, sekarang apa? Bagaimana kalau nanti kita tanyakan saja pada Nyonya Ariana. Siapa pria itu? Sudahlah, ayo!" ajak Reina menarik lengan Juliana. Juliana pun akhirnya menurut, dia mengikuti langkah adiknya. Dari kejauhan, Ariana melihat Reina dan Juliana yang sedang berjalan-jalan. Dia pun menghampiri dua wanita itu dan mengajak mereka untuk berkenalan dengan pelayan yang ada di sana. "Ayolah, Sayang. Aku akan memperkenalkan kamu pada pelayan di sini dan kalau bisa ingat-ingat nama dan wajah mereka," kata Ariana yang membuat tubuh Juliana langsung menegang. Dia sampai meneguk saliva dengan s
Menurut informasi di internet, keluarga Reign adalah pengusaha ternama. Dari mulai pertambangan emas, minyak, banker, properti, hotel, dan ritel. Selain itu Joseph ada hubungannya dengan anggota keluarga kerajaan Monaco. Ibu kandungnya Joseph bernama Sofie adalah adik sepupu Raja Monaco yang menikah dengan ayahnya Joseph, yaitu Richardo Reign. Juliana dan Reina langsung syok membaca informasi di sana. Kedua saling pandang sejenak, lalu kembali membaca artikel itu. "Kak, ternyata suamimu itu konglomerat dan keponakan Raja Monaco!" seru Reina antusias dan masih kaget mendapati fakta ini. "Tapi sayang tidak ada foto keluarga Reign." Sementara itu, Juliana mematung di tempat. Dia lebih dari sekedar kaget. Saat ini, perasaan Juliana tak karuan. Entah apakah dia harus senang atau sedih mendapati suaminya bukan orang biasa hanya saja Juliana merasa sangat kecil dibandingkan Joseph yang bersinar di strata paling atas. Rasa rendah dirinya kembali hadir tentang dirinya yang tidak pantas se
Keesokan harinya, Juliana sudah bersiap untuk pergi sarapan, sementara Reina masih berbaring dan enggan bangkit. "Kenapa masih rebahan? Sebentar lagi waktunya sarapan, ayo bersiap!" ajak Juliana sembari duduk di sebelah Reina yang malah membelakangi Juliana. Melihat gelagat Reina, Juliana sepertinya mengerti kalau adiknya masih kesal karena kejadian semalam. "Kamu marah sama Kakak karena kejadian semalam?" tanya Juliana berusaha berbicara baik-baik. Reina menggelengkan kepala. "Tidak, Kak. Aku sama sekali tidak marah sama Kakak. Aku hanya malas kalau harus semeja dengan Lena. Dia masih membuatku kesal," terang Reina menjelaskan. Juliana menghela napas pelan ternyata memang masih masalah semalam, mencoba mengerti perasaan Reina dan akan berusaha membujuk adiknya agar mau sarapan. "Kakak mengerti kalau kamu masih kesal pada Lena, tapi kamu harus tetap sarapan, Reina. Jangan sampai sakit karena masalah Lena." "Kakak!" seru Reina mencebik. "Aku tidak akan sakit karena Lena. Lagian,
"Reina!" seru Juliana, tiba-tiba saja berteriak dari luar kamar. Juliana membuka pintu kamar dan masuk. "Ada apa, Kak?" tanya Reina penasaran. "Joseph sudah ditemukan dan dia selamat," seru Juliana kegirangan. Air mata Juliana kembali berderai dan Reina pun memeluk kakaknya dengan erat. "Benarkah kabar itu?" tanya Reina sekali lagi. Dia amat senang, tapi juga masih tidak percaya mendengar kabar itu. Juliana mengurai pelukan dan menceritakan semua yang dikatakan Ariana. "Walaupun begitu, aku tidak bisa menemuinya, Reina." Kesedihan amat kentara di wajah wanita itu. Ia benar-benar ingin bertemu dengan suaminya. Juliana ingin memastikan kalau suaminya memang baik-baik saja. Dengan begitu, Juliana bisa tenang. "Kenapa, Kak?" "Kata polisi keadaan Joseph masih belum stabil, jadi dia belum boleh dijenguk oleh siapa pun," ungkap Juliana, raut kesedihan masih kentara di wajah itu. "Tidak apa-apa, Kak. Setidaknya Joseph sudah ditemukan. Kakak yang sabar saja. Kalau sudah waktunya, Kaka
Juliana langsung memeluk sosok Joseph itu dengan erat. Dia merapalkan syukur berkali-kali, karena ternyata yang di depannya itu benar suaminya. Sementara itu, Reina yang ada di belakang Juliana pun syok melihat kedatangan Joseph. Dia sampai tak bergerak karena terlalu kaget. "Tapi Joseph, kenapa kamu ada di sini?" tanya Juliana setelah mengurai pelukan. Joseph memindai situasi dengan mengamati sekitar, lalu dengan cepat, dia menutup pintu kamar. Baik Juliana maupun Reina bingung melihat gelagat Joseph yang aneh. Akan tetapi, keduanya memilih diam. Situasi dan kondisi saat ini benar-benar membuat mereka tak berkutik. Setelah memastikan pintu kamar tertutup rapat, Joseph meminta Juliana dan Reina duduk. "Joseph, kenapa kamu ada di sini? Bukankah harusnya kamu ada di rumah sakit?" tanya Juliana sekali lagi yang masih bingung dan penasaran. Begitupun dengan Reina. Dia merasa mimpi melihat sosok kakak iparnya itu. Reina merasa ada yang tidak beres, karena baginya semua ini tidak masuk
Sepeninggalnya Bradley, Juliana hanya bisa menangis dengan perasaan hancur. Ia sudah ditipu dan dikhianati oleh orang yang dicintainya, sementara perasaan Juliana pada sosok Joseph palsu itu begitu tulus. Dia memang marah, tapi rasa cintanya membuat Juliana terdiam tak berdaya. Melihat sang Kakak yang terpuruk, Reina tak tega. Reina pikir, suami Juliana itu orang yang baik, jadi dia sempat tidak percaya dengan pengakuan Bradley, tetapi ternyata fakta menghantam kepercayaan Reina dan Juliana sekaligus. "Kak yang sabar, ya. Aku tahu ini pasti berat, tapi Kakak harus kuat. Ingat, Ayah menunggu kita di rumah." Reina bingung, bagaimana menenangkan kakaknya. Sampai akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulut Reina. Dia tahu ucapan saja tidak akan membuat perasaan Juliana kembali membaik seutuhnya. "Ini sangat menyakitkan, Reina. Rasanya aku seperti sengaja dijerumuskan ke jurang yang sangat dalam dan gelap." Reina mengusap punggung sang Kakak. Dia sungguh tidak tahu harus berkata apa
Jantung Juliana berdetak dengan kencang. Mereka berdua sungguh-sungguh dibuat syok, karena pria yang sedang menatap mereka itu sama persis dengan pria yang ada di foto yang di simpan di salah satu ruangan kediaman keluarga Reign. Pria dengan manik mata berwarna hijau. Kedua Kakak beradik itu saling pandang lagi. Mereka bingung bercampur kaget. Akan tetapi, keduanya tidak bisa mengatakan apapun selain melihat pria yang ada di sana dengan perasaan campur aduk. Di sisi lain, Ariana menautkan kedua alisnya melihat Juliana dan Reina yang hanya diam di ambang pintu. Padahal seharusnya Juliana langsung menghambur ke pelukan Joseph dan berekspresi senang. Namun, pada kenyataannya Juliana malah mematung seperti sedang melihat hantu yang hidup kembali. "Juliana, Sayang. Ayo ke sini! Jangan di situ terus," ucap Ariana dengan tangan yang terulur memberi isyarat pada Juliana untuk mendekat. Kerongkongan Juliana tiba-tiba terasa kering sampai sulit untuk meneguk saliva. Kalau saja itu adalah s
Reina dan Juliana ada di luar ruangan. Kebetulan saat ini waktunya makan siang, jadi Reina sengaja mencari alasan untuk keluar mengajak kakaknya. Padahal sebenarnya itu alasan Reina untuk menjauh agar berbicara leluasa dengan Juliana. "Kak, sebaiknya kita cari makan dulu!" ajak Reina sembari menarik lengan kakaknya. Juliana tidak merespon apapun dan memilih untuk ikuti kemauan adiknya, karena saat ini pikiran wanita itu sedang kacau. Reina mengajak Juliana ke kantin rumah sakit kalau harus pergi jauh untuk mencari makan ditakutkan Ariana mencari mereka. Reina mengajak Juliana untuk duduk di kursi paling ujung. Ini disengaja agar pembicaraan mereka tidak terdengar oleh siapa pun. Reina berinisiatif untuk memesan makanan, sementara Juliana sudah duduk dengan wajah lesu. Sungguh saat ini dia ingin berteriak, mengeluarkan semua keluh kesahnya yang menggumpal di dada. "Kak?" Juliana terperanjat mendengar namanya dipanggil. Ternyata adiknya sudah duduk di pinggir dengan wajah penasara
Darah Joseph mendidih. Matanya berkilat marah saat jemarinya meremas surat itu. "Lena brengsek!" Juliana meraih surat itu dari tangannya, membacanya dengan mata yang membelalak marah. "Apa dia sudah gila?! Dia ingin melarikan diri dengan Clarie!" Ariana menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar menahan isak tangis. "Joseph, kita harus menemukannya! Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Clarie! Dia pasti ketakutan!" Joseph mengepalkan tangannya. Hatinya berdenyut sakit membayangkan Clarie yang mungkin sedang menangis dalam perjalanan entah ke mana. Lena mungkin ibunya, tapi dia juga orang yang egois. Ia tidak peduli bagaimana perasaan Clarie. Yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. "Kita harus berpikir," kata Joseph, berusaha menenangkan dirinya. "Ke mana Lena akan pergi?" Juliana berpikir cepat. "Dia pasti butuh tempat bersembunyi. Mungkin ke rumah kerabatnya?" Joseph menggeleng. "Dia tidak punya banyak keluarga di sini. Satu-satunya kemungkinan adalah tempat yang memil
Suasana hening dan nyaman yang menyelimuti Joseph dan Juliana pecah begitu saja saat suara getaran ponsel memenuhi ruangan.Joseph melirik layar ponselnya. Keningnya berkerut. Kenapa ibunya menelepon malam-malam begini? Ada sesuatu yang terasa aneh. Perasaan tidak enak langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Dengan jantung berdegup lebih cepat, ia menjawab panggilan itu."Ibu?"Di ujung sana, suara Ariana terdengar terputus-putus, napasnya tersengal seakan ia habis berlari."Joseph!" Ada kepanikan dalam suaranya. "Clarie! Clarie dibawa pergi oleh Lena!"Pikirannya membeku. Hanya satu kata yang bisa keluar dari mulutnya."Apa?"Juliana yang duduk di sebelahnya langsung menoleh, wajahnya berubah khawatir melihat ekspresi Joseph yang mendadak tegang."Aku baru saja akan mengantarkan susu untuk Clarie," suara Ariana gemetar, hampir menangis. "Lena dan Clarie tidak ada! Aku sudah mengecek rekaman CCTV! Lena membawa Clarie pergi dengan tergesa-gesa!"Jantung Joseph seolah diperas. Sebuah kem
Juliana buru-buru membuka pintu dan langsung terkejut melihat keadaannya.Pakaian pria itu berantakan, kemejanya tidak terkancing dengan rapi, rambutnya acak-acakan, dan matanya merah, entah karena marah, sedih. "Joseph?" Juliana mengerutkan kening, suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Apa yang terjadi?" Joseph menatapnya dalam diam selama beberapa detik sebelum tiba-tiba melangkah masuk, hampir membuat Juliana terhuyung ke belakang. "Joseph, kau kenapa?" Pria itu menggeleng pelan. "Aku hanya minum sedikit." Juliana bisa mencium bau alkohol yang kuat darinya. Joseph berjalan ke ruang tamu dan langsung menjatuhkan diri di sofa. Kepalanya menunduk, kedua tangannya meremas rambutnya dengan frustasi. Juliana menutup pintu dan mengikutinya. "Joseph, ada apa?" Butuh waktu beberapa saat sebelum Joseph akhirnya berbicara. "Lena berbohong padaku," suaranya serak, nyaris berbisik. Juliana mengernyit. "Apa maksudmu?" Joseph mengangkat kepalanya, dan untuk pertama kalinya, Juliana melihat t
Lena menatap punggung Joseph yang menjauh, rasa panik menyelimuti seluruh tubuhnya."Joseph!" ia berteriak, berlari dan menarik lengan pria itu sebelum ia benar-benar meninggalkan rumah. "Tolong, dengarkan aku dulu!"Joseph berhenti, tetapi tidak menoleh. Otot-otot rahangnya menegang, tangan yang digenggam Lena terasa kaku, seolah hanya menunggu detik berikutnya untuk menepisnya.Lena mencengkeramnya lebih erat, air matanya jatuh tanpa henti. "Aku tahu aku salah, aku tahu aku telah menipumu, tapi aku melakukan semua ini karena aku mencintaimu!"Joseph menarik napas tajam sebelum akhirnya menoleh. Matanya yang dulu penuh kasih kini hanya memancarkan kebencian yang membakar."Cinta?" katanya dengan suara rendah, tetapi menusuk. "Jangan bicara tentang cinta padaku, Lena. Cinta bukan kebohongan. Cinta bukan manipulasi. Cinta bukan penghancuran."Lena menggeleng cepat, kepanikannya semakin memuncak. "Aku tidak ingin kehilanganmu! Aku takut kalau aku mengatakan yang sebenarnya, kau tidak ak
Suasana di ruang tamu terasa tegang. Lena duduk dengan gelisah di sofa, sementara Ariana berdiri di depannya dengan tangan terlipat di dada, ekspresinya dipenuhi amarah."Jadi selama ini kau sudah membohongi Joseph dan aku?" Ariana membuka suara dengan nada tajam, matanya menatap Lena penuh kemarahan.Lena menggigit bibirnya, tangannya mengepal erat di atas pahanya. "Ariana, dengarkan aku dulu.""Tidak! Aku sudah cukup mendengarkan kebohonganmu, Lena!" Ariana memotong dengan suara bergetar. "Kau bilang Clarie adalah anak Joseph, kau membuat kami semua percaya selama ini! Bagaimana bisa kau melakukan ini?!"Lena menunduk, berusaha mengendalikan emosinya. "Aku tidak punya pilihan."Ariana mendengus marah. "Tidak punya pilihan? Kau bercanda?! Kau punya banyak pilihan, Lena! Tapi kau memilih untuk menipu Joseph dan membiarkannya berpikir bahwa Clarie adalah anaknya!"Lena mengangkat kepalanya, air mata menggenang di matanya. "Ariana, tolong Aku memohon padamu. Jangan beritahu Joseph!"Ari
Kafe yang mereka sepakati untuk bertemu berada di sudut kota, jauh dari pusat keramaian. Interiornya hangat dengan lampu temaram dan aroma kopi yang menguar di udara. Joseph tiba lebih dulu. Duduk di sudut ruangan dekat jendela besar, ia menyesap kopinya sambil menunggu Juliana datang.Pikirannya dipenuhi banyak hal tentang keputusan yang baru saja ia buat, tentang percakapannya dengan Lena dan tentang reaksi Juliana yang sebentar lagi akan ia hadapi.Beberapa menit kemudian, suara lonceng pintu berbunyi saat seseorang masuk. Juliana.Joseph menegakkan tubuhnya. Ia memperhatikan bagaimana wanita itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe sebelum akhirnya menemukan sosoknya.Juliana berjalan mendekat, langkahnya mantap, tetapi ada sedikit ketegangan di matanya. Ia mengenakan mantel krem di atas gaun hitamnya, dengan rambut yang tergerai rapi.“Joseph,” sapanya pelan setelah ia duduk di kursi di hadapannya.Joseph menatapnya dalam. "Juliana."Pelayan datang untuk mencatat pesanan,
Di salah satu hotel mewah milik keluarganya, Joseph melangkah melewati lobi dengan langkah tegas dan penuh wibawa. Lantai marmer berkilau memantulkan sinar lampu kristal yang tergantung megah di langit-langit, menciptakan atmosfer elegan yang memancarkan kelas tinggi. Aroma bunga segar dari rangkaian anggrek putih yang menghiasi meja resepsionis bercampur dengan wangi khas parfum mahal yang dipakai para tamu.Hotel berbintang lima ini adalah salah satu aset paling berharga keluarganya dan hari ini ia memutuskan untuk mengecek langsung bagaimana operasionalnya."Selamat siang, Tuan Joseph!" sapa seorang manajer hotel, pria berusia sekitar 40-an dengan setelan rapi dan sikap profesional. Namanya George, orang kepercayaannya dalam mengelola hotel ini."Pagi, George! Bagaimana situasi hotel?" tanya Joseph, matanya menyapu sekeliling, memperhatikan setiap detail.Lobi tampak sibuk namun tetap tertata. Seorang bellboy mendorong troli koper berisi barang-barang tamu yang baru datang, sementa
Setelah menutup telepon dari Reina, Juliana menatap langit malam yang gelap dari jendela apartemennya. Suara lalu lintas terdengar samar dari kejauhan, tetapi pikirannya terlalu kacau untuk benar-benar memperhatikannya. Reina benar. Joseph telah menyakitinya di masa lalu. Luka itu masih ada, meskipun waktu telah berlalu. Namun, melihat bagaimana Joseph berusaha untuk mengenal anak-anak mereka membuat pertahanannya perlahan runtuh. Ia berbalik dan berjalan ke ruang tamu, duduk di sofa sambil menggenggam ponselnya. Jarinya melayang di atas layar, ragu untuk mengirim pesan kepada Joseph. Juliana: Terima kasih sudah menemui Alya dan Malcom hari ini. Ia menatap pesan itu selama beberapa detik sebelum akhirnya menekan tombol kirim. Tak butuh waktu lama sebelum ponselnya bergetar. Joseph: Aku yang seharusnya berterima kasih. Mereka luar biasa. Aku beruntung bisa menjadi ayah mereka. Juliana menelan ludah, jantungnya berdebar lebih cepat. Ada sesuatu dalam kata-kata Joseph yang terasa b
Juliana duduk di ruang tamunya, menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Layar ponselnya masih menyala, menampilkan pesan terbaru dari Joseph.Joseph: Terima kasih sudah mengizinkanku bertemu mereka. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.Juliana menutup matanya, menghela napas panjang. Ia bisa merasakan ketulusan dalam pesan itu.Namun, ia masih takut.Takut berharap. Takut kecewa lagi. Takut membiarkan masa lalu kembali menyakitinya. Suara langkah kaki kecil terdengar mendekat."Mommy?"Juliana membuka matanya dan mendapati Alya berdiri di dekatnya, menatapnya dengan mata besarnya yang jernih."Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut, berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya.Alya tersenyum kecil, menaiki sofa dan duduk di sampingnya. "Aku suka Joseph."Juliana terdiam.Gadis kecil itu mengayunkan kakinya pelan di tepi sofa. "Dia baik. Dia membawakan kami buku cerita."Juliana tersenyum tipis. "Benarkah?"Alya mengangguk penuh semangat. "Dia juga bilang dia akan selalu ada u