"Reina!" seru Juliana, tiba-tiba saja berteriak dari luar kamar. Juliana membuka pintu kamar dan masuk. "Ada apa, Kak?" tanya Reina penasaran. "Joseph sudah ditemukan dan dia selamat," seru Juliana kegirangan. Air mata Juliana kembali berderai dan Reina pun memeluk kakaknya dengan erat. "Benarkah kabar itu?" tanya Reina sekali lagi. Dia amat senang, tapi juga masih tidak percaya mendengar kabar itu. Juliana mengurai pelukan dan menceritakan semua yang dikatakan Ariana. "Walaupun begitu, aku tidak bisa menemuinya, Reina." Kesedihan amat kentara di wajah wanita itu. Ia benar-benar ingin bertemu dengan suaminya. Juliana ingin memastikan kalau suaminya memang baik-baik saja. Dengan begitu, Juliana bisa tenang. "Kenapa, Kak?" "Kata polisi keadaan Joseph masih belum stabil, jadi dia belum boleh dijenguk oleh siapa pun," ungkap Juliana, raut kesedihan masih kentara di wajah itu. "Tidak apa-apa, Kak. Setidaknya Joseph sudah ditemukan. Kakak yang sabar saja. Kalau sudah waktunya, Kaka
Juliana langsung memeluk sosok Joseph itu dengan erat. Dia merapalkan syukur berkali-kali, karena ternyata yang di depannya itu benar suaminya. Sementara itu, Reina yang ada di belakang Juliana pun syok melihat kedatangan Joseph. Dia sampai tak bergerak karena terlalu kaget. "Tapi Joseph, kenapa kamu ada di sini?" tanya Juliana setelah mengurai pelukan. Joseph memindai situasi dengan mengamati sekitar, lalu dengan cepat, dia menutup pintu kamar. Baik Juliana maupun Reina bingung melihat gelagat Joseph yang aneh. Akan tetapi, keduanya memilih diam. Situasi dan kondisi saat ini benar-benar membuat mereka tak berkutik. Setelah memastikan pintu kamar tertutup rapat, Joseph meminta Juliana dan Reina duduk. "Joseph, kenapa kamu ada di sini? Bukankah harusnya kamu ada di rumah sakit?" tanya Juliana sekali lagi yang masih bingung dan penasaran. Begitupun dengan Reina. Dia merasa mimpi melihat sosok kakak iparnya itu. Reina merasa ada yang tidak beres, karena baginya semua ini tidak masuk
Sepeninggalnya Bradley, Juliana hanya bisa menangis dengan perasaan hancur. Ia sudah ditipu dan dikhianati oleh orang yang dicintainya, sementara perasaan Juliana pada sosok Joseph palsu itu begitu tulus. Dia memang marah, tapi rasa cintanya membuat Juliana terdiam tak berdaya. Melihat sang Kakak yang terpuruk, Reina tak tega. Reina pikir, suami Juliana itu orang yang baik, jadi dia sempat tidak percaya dengan pengakuan Bradley, tetapi ternyata fakta menghantam kepercayaan Reina dan Juliana sekaligus. "Kak yang sabar, ya. Aku tahu ini pasti berat, tapi Kakak harus kuat. Ingat, Ayah menunggu kita di rumah." Reina bingung, bagaimana menenangkan kakaknya. Sampai akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulut Reina. Dia tahu ucapan saja tidak akan membuat perasaan Juliana kembali membaik seutuhnya. "Ini sangat menyakitkan, Reina. Rasanya aku seperti sengaja dijerumuskan ke jurang yang sangat dalam dan gelap." Reina mengusap punggung sang Kakak. Dia sungguh tidak tahu harus berkata apa
Jantung Juliana berdetak dengan kencang. Mereka berdua sungguh-sungguh dibuat syok, karena pria yang sedang menatap mereka itu sama persis dengan pria yang ada di foto yang di simpan di salah satu ruangan kediaman keluarga Reign. Pria dengan manik mata berwarna hijau. Kedua Kakak beradik itu saling pandang lagi. Mereka bingung bercampur kaget. Akan tetapi, keduanya tidak bisa mengatakan apapun selain melihat pria yang ada di sana dengan perasaan campur aduk. Di sisi lain, Ariana menautkan kedua alisnya melihat Juliana dan Reina yang hanya diam di ambang pintu. Padahal seharusnya Juliana langsung menghambur ke pelukan Joseph dan berekspresi senang. Namun, pada kenyataannya Juliana malah mematung seperti sedang melihat hantu yang hidup kembali. "Juliana, Sayang. Ayo ke sini! Jangan di situ terus," ucap Ariana dengan tangan yang terulur memberi isyarat pada Juliana untuk mendekat. Kerongkongan Juliana tiba-tiba terasa kering sampai sulit untuk meneguk saliva. Kalau saja itu adalah s
Reina dan Juliana ada di luar ruangan. Kebetulan saat ini waktunya makan siang, jadi Reina sengaja mencari alasan untuk keluar mengajak kakaknya. Padahal sebenarnya itu alasan Reina untuk menjauh agar berbicara leluasa dengan Juliana. "Kak, sebaiknya kita cari makan dulu!" ajak Reina sembari menarik lengan kakaknya. Juliana tidak merespon apapun dan memilih untuk ikuti kemauan adiknya, karena saat ini pikiran wanita itu sedang kacau. Reina mengajak Juliana ke kantin rumah sakit kalau harus pergi jauh untuk mencari makan ditakutkan Ariana mencari mereka. Reina mengajak Juliana untuk duduk di kursi paling ujung. Ini disengaja agar pembicaraan mereka tidak terdengar oleh siapa pun. Reina berinisiatif untuk memesan makanan, sementara Juliana sudah duduk dengan wajah lesu. Sungguh saat ini dia ingin berteriak, mengeluarkan semua keluh kesahnya yang menggumpal di dada. "Kak?" Juliana terperanjat mendengar namanya dipanggil. Ternyata adiknya sudah duduk di pinggir dengan wajah penasara
Suara pintu terbuka membuat Joseph dan Ariana menoleh. Sebelumnya mereka sedang mengobrol, tapi langsung terhenti saat melihat Juliana datang, sedangkan Bradley meninggalkan mereka begitu saja di depan pintu dan pergi entah kemana. "Maaf, apakah aku mengganggu?" tanya Juliana tak enak hati.Ariana langsung menerbitkan senyum dan menyuruh Juliana untuk mendekat. "Kamu dari mana, Sayang?" tanya Ariana saat Juliana sudah di hadapan Ariana dan Joseph. "Maaf, Bu. Tadi Reina lapar, jadi aku temani dia makan." Ariana tersenyum simpul. "Ya sudah, Ibu tinggal kalian dulu, ya. Ibu juga mau makan siang." Ariana beralasan belum makan siang, jadi Juliana bisa menemani Joseph. Sepeninggalnya Ariana, suasana tiba-tiba saja terasa canggung. Juliana memandang Joseph walaupun sesaat. Dia mengakui bahwa Joseph memang pria tampan seperti para pangeran putri-putri Disney. Joseph pun merasa aneh berhadapan dengan Juliana. Dia mengamati wanita itu dengan seksama. Entahlah dia merasa aneh saja karena
Juliana terlihat bergegas memasuki mansion. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Hati wanita itu dirundung kekalutan. Sedari keluar dari rumah sakit, Juliana tak tenang. Dia yakin, Lena sudah menaruh curiga padanya. "Astaga!" Juliana terperanjat mendapati Reina tiba-tiba saja muncul di balik pintu. Dia baru saja membuka pintu kamar dan sudah ada Reina yang berdiri menjulang di sana. "Ya ampun, Kakak. Kenapa tiba-tiba muncul?" ucap Reina terlihat kaget sembari memegangi dadanya yang berdegup kencang. "Aku juga kaget, Reina. Aku pikir kamu tidak ada di kamar," cetus Juliana sembari masuk ke kamar. Reina memang memilih pulang duluan dari rumah sakit, karena dia merasa tidak nyaman jika harus terus di rumah sakit. Setelah pintu ditutup rapat, Juliana duduk di atas tempat tidur. Wajahnya terlihat stres dan Reina melihat itu dengan sangat jelas. "Ada apa, Kak? Apakah terjadi sesuatu pada Joseph?" tanya Reina khawatir. Wajah Juliana pucat dan frustrasi. Juliana menggelengkan kepala
"Se-sepertinya tidak bisa, Bu," ucap Juliana membuat Ariana menautkan kedua alisnya. Dia bingung mendengar jawaban Juliana. "Kenapa tidak bisa? Hal yang wajar, kan, kalau suami istri ada dalam satu kamar?" Juliana tersenyum kaku mendengar pertanyaan dari Ariana. Kalau saja Ariana tahu dirinya bukan istri asli Joseph mungkin tidak akan ada perintah seperti itu. Ariana akan mengusirnya atau bahkan menyeretnya ke dalam penjara. Sekarang posisi Juliana terhimpit. Tidak ada yang membantunya termasuk Bradley, si dalang dari sandiwara ini. Reina merasa kasihan pada kakaknya pasti Juliana sangat tertekan, karena harus mencari alasan atas jawaban sang Tuan rumah. Akan tetapi, dia tidak bisa ikut campur, karena tidak mau membuat Juliana dalam kesulitan. "Em, itu karena ...." Juliana menggantungkan ucapannya sembari melirik pada Bradley yang ada di hadapannya. Pria itu tengah menatap tajam pada Juliana seolah mengintimidasi agar Juliana jangan sampai salah bicara. Di saat seperti inilah se
Sementara itu, di rumahnya, Juliana masih menatap layar ponselnya setelah membaca pesan terakhir dari Jennifer. "Aku tidak akan mengatakan apa pun. untuk sekarang, tapi kau harus memikirkan ini baik-baik, Juliana. Kau tidak bisa lari selamanya." Juliana menggigit bibirnya, hatinya terasa semakin gelisah. Ia tahu Jennifer benar. Cepat atau lambat, Joseph akan menemukan mereka, tapi ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa anak-anaknya. Mereka adalah dunianya, satu-satunya alasan ia bertahan setelah semua yang terjadi di masa lalu. Ia berjalan ke kamar anak-anaknya dan melihat mereka sedang tidur nyenyak di tempat tidur kecil mereka. Alya meringkuk dengan boneka beruang kesayangannya, sementara adiknya tidur dengan damai di sampingnya. Juliana duduk di tepi tempat tidur dan mengusap rambut Alya dengan lembut. "Ibu akan selalu melindungi kalian," bisiknya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Joseph, mengambil mereka darinya. *** Keesokan harinya, Joseph kembali ke kantor
Sinar matahari memantul di atas helm keselamatan yang dikenakan Joseph. Pria itu berdiri tegak di atas hamparan tanah luas yang sedang dipersiapkan untuk proyek pembangunan pusat perbelanjaan baru di Miami. Sekelilingnya, suara alat berat bergemuruh, para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing, dan tim arsitek berdiri tak jauh darinya, membahas temuan terbaru mereka. Jennifer, asistennya yang selalu sigap, berdiri di sisinya dengan tablet di tangan, siap mencatat setiap instruksi yang diberikan Joseph. "Jadi, apa kendala yang kita hadapi sekarang?" tanya Joseph dengan nada tegas, menatap kepala tim arsitek yang tampak sedikit ragu. Seorang pria berkacamata, Michael Carter, melangkah maju dengan lembaran peta dan blueprint proyek. "Mr. Reign, setelah melakukan survei lebih lanjut, kami menemukan bahwa struktur tanah di beberapa titik tidak cukup stabil untuk menopang beban bangunan sesuai rencana awal. Jika dipaksakan, ada risiko pergeseran pondasi dalam beberapa tahun ke depan."
Keesokan paginya, Lena memastikan bahwa Joseph sibuk dengan urusan pekerjaannya sebelum ia berangkat ke sekolah Clarie. Ia mengenakan kacamata hitam dan mantel panjang, berusaha agar tidak menarik perhatian siapa pun.Setibanya di sekolah, ia tidak langsung masuk ke gedung utama, tetapi menunggu di tempat yang lebih sepi hingga bel istirahat berbunyi.Beberapa saat kemudian, ia melihat sosok yang dicarinya.Juliana.Wanita itu masih terlihat seperti dulu. Rambut panjangnya tergerai indah, dan wajahnya tetap lembut seperti yang Lena ingat. Namun, ada ekspresi ketenangan di wajahnya yang tidak ia miliki dulu.Lena menarik napas, lalu melangkah mendekat."Juliana," panggilnya pelan.Juliana yang sedang membaca sesuatu di tablet-nya langsung menoleh. Begitu ia melihat Lena, matanya membelalak. "Lena?"Ada keheningan di antara mereka selama beberapa detik. Juliana tampak terkejut sekaligus waspada."Apa yang kau lakukan di sini?" Juliana akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar tetapi t
Suasana di dalam kamar Clarie terasa begitu nyaman. Dindingnya dihiasi wallpaper berwarna pastel dengan motif bintang-bintang kecil. Di salah satu sudut ruangan, boneka-boneka tersusun rapi di rak kayu, sementara di atas tempat tidur, selimut merah muda dengan gambar kelinci menjadi favorit Clarie.Lena duduk di tepi tempat tidur, menatap putrinya yang sedang asyik menggambar dengan krayon warna-warni di sebuah buku gambar besar. Clarie terlihat begitu ceria, jemarinya lincah menggoreskan warna biru ke langit gambarnya."Apa yang Clarie gambar?" tanya Lena dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatiannya dari kelelahan yang menggantung di pikirannya sejak pertemuan dengan Ariana tadi.Clarie tersenyum lebar dan menunjukkan gambarnya. "Ini aku, Mama, dan Papa!" katanya riang, menunjuk tiga sosok sederhana yang digambarnya dengan kepala bundar dan tangan serta kaki seperti lidi.Lena tersenyum kecil. "Itu gambar yang bagus, Sayang."Tiba-tiba, Clarie menambahkan sesuatu di samping
Langit senja mulai meredup saat mobil Ariana berhenti di depan rumah megahnya. Clarie, yang sejak tadi tidak berhenti berceloteh tentang sekolah, langsung berseru kegirangan begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Mama!"Lena, yang baru saja pulang, tersenyum tipis saat Clarie berlari menghampirinya. Ia berjongkok, membuka kedua lengannya, lalu memeluk putrinya erat."Kau sudah pulang, Sayang," ucap Lena sambil mengecup puncak kepala Clarie sekilas.Clarie mengangguk bersemangat. "Hari ini menyenangkan sekali! Aku belajar tentang harimau, aku menggambar, dan—"Lena mengelus rambut putrinya dengan lembut, tetapi matanya tidak benar-benar fokus. Ada ekspresi lelah di wajahnya, seolah pikirannya berada di tempat lain.Ariana mengamati pemandangan itu dalam diam. Clarie terlihat begitu bahagia, tetapi Lena, ia tampak jauh seperti seseorang yang hanya menjalankan perannya sebagai ibu tanpa benar-benar terlibat di dalamnya.Ariana menghela napas pelan sebelum berkata, "Clarie,
Ariana menutup ponselnya setelah membaca pesan dari sopir yang sedang menunggu di depan rumah. Hari ini, ia akan menjemput Clarie di sekolah—sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan sendiri. Biasanya, tugas itu diserahkan kepada pengasuh atau asistennya. Namun, sejak Clarie tidak henti-hentinya membicarakan guru barunya, seorang wanita bernama Juliana."Aku suka Bu Guru Juliana!" ujar Clarie suatu hari dengan mata berbinar. "Dia baik sekali, dan dia suka cerita sama aku!"Ariana awalnya tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, Clarie memang selalu akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Namun, entah mengapa, ketika Clarie menyebut nama Juliana, hatinya terasa sedikit tidak nyaman.Sekarang, sambil duduk di dalam mobil yang bergerak menuju sekolah Clarie, Ariana tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu. Apakah mungkin guru yang disebutkan Clarie itu... Juliana yang dulu? Tidak mungkin, kan?Mobil berhenti di depan sekolah, dan Ariana turun dengan anggun. Para orang tua lain yang juga
Matahari pagi menghangatkan halaman sekolah, sinarnya jatuh lembut di antara pohon-pohon rindang yang berjajar di sepanjang pagar. Anak-anak kecil berlarian riang menuju kelas masing-masing, sementara para guru berdiri di depan pintu menyambut mereka dengan senyum hangat. Juliana berdiri di depan kelasnya, memperhatikan murid-murid yang mulai masuk dan ia sudah menyiapkan banyak kegiatan menyenangkan. Namun, saat sepasang mata cokelat berbinar menatapnya dengan senyum ceria, Juliana merasa dunianya berputar sejenak. "Bu guru Juliana!" suara kecil itu menyapanya riang. Juliana tersenyum. "Selamat pagi, Clarie! Apa kabar?" "Aku baik. Aku nggak sabar belajar sama Bu guru," jawab Clarie sambil menepuk-nepuk tas kecilnya yang berwarna merah muda. Juliana mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut. Clarie adalah murid yang cerdas, penuh semangat, dan selalu membawa kehangatan ke dalam kelasnya. Awalnya, Juliana tidak pernah menyangka. Ia hanya menganggap Clarie sebagai salah satu
Joseph masih duduk di kursinya, menatap pemandangan kota yang terbentang luas dari balik dinding kaca kantornya. Pikirannya terusik, bukan oleh masalah bisnis, melainkan oleh kehidupan pribadinya yang terasa semakin kosong.Ia seharusnya bahagia. Ia memiliki segalanya. Perusahaan yang berkembang pesat, harta melimpah, dan kekuasaan yang diidamkan banyak orang. Namun, di balik kemegahan itu, ada perasaan hampa yang selalu menghantuinya.Pernikahannya dengan Lena sudah lama menjadi sekadar formalitas. Awalnya ia berpikir, mungkin waktu akan membuatnya terbiasa, tetapi ternyata tidak. Hubungan mereka tetap dingin, seperti dua orang asing yang hanya berbagi rumah.Sebuah ketukan di pintu mengalihkan pikirannya."Masuk!" ujarnya, kembali mengenakan ekspresi datarnya.Seorang pria bertubuh tegap masuk. William, kepala manajer divisi properti, membawa sebuah berkas tebal."Tuan, ini laporan terbaru mengenai proyek hotel bintang lima di Los Angeles," katanya, menyerahkan dokumen itu ke meja J
Keesokan paginya, Juliana bangun lebih awal dari biasanya. Ia ingin menikmati sedikit waktu sendiri sebelum hari yang panjang dimulai. Setelah memastikan Alya dan Malcom masih tertidur pulas, ia melangkah ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan.Saat aroma kopi memenuhi ruangan, Juliana duduk di meja makan dengan koran yang belum sempat ia baca selama beberapa hari terakhir. Namun, pikirannya masih belum lepas dari kejadian kemarin.Clarie.Juliana menghela napas, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya kebetulan. Ia tidak akan membiarkan hal ini mengusik hidupnya.Tak lama, langkah kaki kecil terdengar."Mommy!"Juliana menoleh dan mendapati Alya berdiri di ambang pintu dapur dengan mata yang masih sedikit mengantuk."Selamat pagi, Sayang!" ucap Juliana lembut, menarik Alya ke pangkuannya."Mommy, kenapa bangun pagi sekali?" tanya Alya sambil menyandarkan kepalanya di dada Juliana."Mommy hanya ingin menyiapkan sarapan untuk kalian."Tak lama, Malcom muncul dengan wajah meng