Suara pintu terbuka membuat Joseph dan Ariana menoleh. Sebelumnya mereka sedang mengobrol, tapi langsung terhenti saat melihat Juliana datang, sedangkan Bradley meninggalkan mereka begitu saja di depan pintu dan pergi entah kemana. "Maaf, apakah aku mengganggu?" tanya Juliana tak enak hati.Ariana langsung menerbitkan senyum dan menyuruh Juliana untuk mendekat. "Kamu dari mana, Sayang?" tanya Ariana saat Juliana sudah di hadapan Ariana dan Joseph. "Maaf, Bu. Tadi Reina lapar, jadi aku temani dia makan." Ariana tersenyum simpul. "Ya sudah, Ibu tinggal kalian dulu, ya. Ibu juga mau makan siang." Ariana beralasan belum makan siang, jadi Juliana bisa menemani Joseph. Sepeninggalnya Ariana, suasana tiba-tiba saja terasa canggung. Juliana memandang Joseph walaupun sesaat. Dia mengakui bahwa Joseph memang pria tampan seperti para pangeran putri-putri Disney. Joseph pun merasa aneh berhadapan dengan Juliana. Dia mengamati wanita itu dengan seksama. Entahlah dia merasa aneh saja karena
Juliana terlihat bergegas memasuki mansion. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Hati wanita itu dirundung kekalutan. Sedari keluar dari rumah sakit, Juliana tak tenang. Dia yakin, Lena sudah menaruh curiga padanya. "Astaga!" Juliana terperanjat mendapati Reina tiba-tiba saja muncul di balik pintu. Dia baru saja membuka pintu kamar dan sudah ada Reina yang berdiri menjulang di sana. "Ya ampun, Kakak. Kenapa tiba-tiba muncul?" ucap Reina terlihat kaget sembari memegangi dadanya yang berdegup kencang. "Aku juga kaget, Reina. Aku pikir kamu tidak ada di kamar," cetus Juliana sembari masuk ke kamar. Reina memang memilih pulang duluan dari rumah sakit, karena dia merasa tidak nyaman jika harus terus di rumah sakit. Setelah pintu ditutup rapat, Juliana duduk di atas tempat tidur. Wajahnya terlihat stres dan Reina melihat itu dengan sangat jelas. "Ada apa, Kak? Apakah terjadi sesuatu pada Joseph?" tanya Reina khawatir. Wajah Juliana pucat dan frustrasi. Juliana menggelengkan kepala
"Se-sepertinya tidak bisa, Bu," ucap Juliana membuat Ariana menautkan kedua alisnya. Dia bingung mendengar jawaban Juliana. "Kenapa tidak bisa? Hal yang wajar, kan, kalau suami istri ada dalam satu kamar?" Juliana tersenyum kaku mendengar pertanyaan dari Ariana. Kalau saja Ariana tahu dirinya bukan istri asli Joseph mungkin tidak akan ada perintah seperti itu. Ariana akan mengusirnya atau bahkan menyeretnya ke dalam penjara. Sekarang posisi Juliana terhimpit. Tidak ada yang membantunya termasuk Bradley, si dalang dari sandiwara ini. Reina merasa kasihan pada kakaknya pasti Juliana sangat tertekan, karena harus mencari alasan atas jawaban sang Tuan rumah. Akan tetapi, dia tidak bisa ikut campur, karena tidak mau membuat Juliana dalam kesulitan. "Em, itu karena ...." Juliana menggantungkan ucapannya sembari melirik pada Bradley yang ada di hadapannya. Pria itu tengah menatap tajam pada Juliana seolah mengintimidasi agar Juliana jangan sampai salah bicara. Di saat seperti inilah se
Tiga hari kemudian, Juliana dan Ariana pergi ke rumah sakit untuk menjemput Joseph. Reina sengaja tidak ikut, karena beberapa alasan. Selama dalam perjalanan ke rumah sakit, Ariana terus bercerita tentang betapa senangnya, karena Joseph bisa pulang ke rumah. Juliana tak banyak bicara kecuali sesekali tersenyum dan hanya sekedar menanggapi Ariana. Itu karena, saat ini pikirannya bercabang. Dia merasa akan menghadapi ujian besar yang membuat jantungnya berdetak kencang. Nyalinya seolah diuji dengan sandiwara yang sedang dia jalani. Setiap hari, Juliana dibayangi ketakutan. Dia merasa harus siap menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi setiap harinya. Sekarang saja, rasanya berat sekali, karena harus menjemput Joseph. Dia selalu merasa bersalah jika bertatap muka dengannya. "Juliana?" Juliana terperanjat saat mendengar Ariana memanggilnya dengan cukup keras. Wanita itu langsung menoleh dan mendapati Ariana sedang memandanginya dengan tatapan khawatir. "Kenapa kamu diam saja?" tan
Matanya yang hijau dan dalam terlihat intim, membuat getaran menjalari tulang punggung Juliana dan muncul perasaan tersekat yang tidak memudar untuk waktu yang lama. Juliana memusatkan perhatian kepada selimut Joseph, berharap pria itu tidak melihat rona merah yang menjalari wajahnya. "Sepertinya kamu kehilangan ketenangan dirimu," ucap Joseph. "I-itu karena kamu tiba-tiba menciumku." Joseph tersenyum simpul hanya menatap Juliana. Juliana berdiri dan memaksa dirinya melanjutkan. "Sebaiknya aku pergi. Aku tidak ingin mengganggu istirahatmu." Juliana waswas mengamati pria itu dari bulu matanya dan cepat-cepat pergi dari kamar Joseph. Di luar kamar, Juliana merasa sangat lega sampai lututnya gemetar. Perlahan-lahan dia menyentuh bibirnya. Jejak hangat bibir Joseph masih terasa. Juliana pun segera pergi dari sana tidak ingin memikirkan apa yang barusan saja terjadi. *** Rambut panjang yang terurai sangat indah dipandang. Dari sisi, wanita itu terlihat cantik dan menarik. Penampilan
Keesokan paginya, Joseph termenung menatap satu per satu foto dirinya dan Juliana. Dia tersenyum melihat betapa bahagia dirinya saat sedang bersama Juliana di foto itu. Dia terus melihat foto yang diberikan Bradley padanya. Dia teringat dengan perkataan Bradley tentang perasaan Juliana saat ini. Mungkin saja memang benar, Juliana sakit hati karena Joseph tidak mengenalinya, jadi dia mencari cara agar semua ingatan tentang istrinya itu kembali. Dia kemudian menyusun foto-foto itu di hadapannya. Joseph mengambil setiap foto dan berusaha keras mengingat waktu dan tempat saat foto itu diambil. Dari sekian banyak foto, tidak ada satupun yang Joseph ingat. Pria itu merasa sedih. Dia kembali menatap semua foto itu dan berusaha keras untuk kembali mengingatnya, tetapi tidak ada satupun kenangan tentang Juliana yang menempel di benak Joseph. "Akh!" Joseph meringis kesakitan sembari memegangi kepalanya yang berdenyut hebat, karena terlalu memaksakan diri untuk mengingat tentang Juliana, kepal
Juliana tampak mondar-mandir di kamarnya, setelah Ariana memintanya menemui Joseph pada saat sarapan pagi. "Aku penat. Apalagi setelah berhadapan dengan Bradley. Rasanya emosiku ingin meledak, jadi aku butuh menyegarkan otak dan hatiku. Kakak mau ikut ke pantai?" Kalau saja posisinya sedang tidak terimpit, tanpa berpikir panjang Juliana pasti akan ikut. "Aku tidak bisa, Reina." Reina menghembuskan napas kasar sembari memandangi Juliana datar. "Kalau begitu, Kakak harus berperan menjadi istri yang baik. Datang sana temui Joseph, beres, kan? Aku pergi dulu." Juliana lagi-lagi mendengus kasar. Kata-kata Reina terdengar sarkastis. Dia berusaha membujuk Reina agar tidak pergi, tapi sayangnya wanita itu malah pergi begitu saja. Dia bingung apakah harus ke kamar Joseph atau tidak, karena kalau ke sana dirinya akan merasa canggung sendiri, tetapi kalau tidak menghampiri Joseph, semua orang yang ada di rumah ini akan menaruh curiga padanya. Ia terus berpikir dan menimbang apa yang seharus
"Aku tidak mengambil uang perusahaan untuk kepentingan pribadi dan mana mungkin aku mengambilnya tanpa alasan yang jelas." "Saya tahu, Pak. Anda tidak mungkin mengambil uang perusahaan itu. Saya sudah bekerja pada Anda selama bertahun-tahun." "Terima kasih sudah mau percaya padaku." "Jenny, bisakah kamu membantuku mencari tahu siapa orang yang sudah memalsukan tanda tanganku?" "Ya. Tentu. Kami akan menyelidikinya." "Seperti yang kamu tahu. Aku tidak ingat apa yang terjadi padaku. Aku hanya ingat saat aku akan pergi ke Italia dan setelah itu aku tidak ingat apa pun." "Saya mengerti. Kita bicara lagi nanti. Permisi!" ucapnya sambil melirik ke arah Juliana. Jennifer pun pergi, walaupun sebenarnya ia masih mau di sana, karena penasaran dengan sosok Juliana. Setelah kepergian Jennifer, akhirnya Juliana bisa bernapas lega. Joseph bahkan bisa mendengar helaan napas panjang itu. Ia menatap Juliana yang terdiam, lalu tak lama kemudian pandangan mereka saling bersitatap. "Maaf," ucap J
Lena berdiri di ambang pintu ruang keluarga dengan napas tertahan. Ia tidak sengaja mendengar percakapan Joseph dan Ariana dan itu membuat jantungnya berdebar kencang. Juliana punya anak kembar. Itu berarti…. Lena menggigit bibirnya, merasa cemas. Ia melangkah cepat ke dalam ruangan, menghampiri Ariana yang masih terduduk dengan ekspresi kosong setelah kepergian Joseph. "Ariana," bisik Lena dengan nada mendesak. "Kau harus melakukan sesuatu!" Ariana mendongak, menatap Lena dengan mata yang sulit dibaca. Lena semakin gelisah. “Jika Joseph mulai mencari tahu lebih dalam, dia akan mengetahui semuanya. Dia akan tahu apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu. Kau tidak bisa membiarkan itu terjadi.” Ariana tetap diam. Ia hanya menatap Lena tanpa ekspresi sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. “Ariana?” panggil Lena, semakin cemas. Tanpa menjawab, Ariana berbalik dan berjalan pergi, menyusul Joseph. Lena hanya bisa menggigit bibirnya, jantungnya berdebar cemas. Joseph baru saj
Setelah jam sekolah, Juliana berjalan keluar dari gedung sekolah dengan langkah berat. Ia tahu Joseph menunggunya. Ia bisa melihatnya berdiri di dekat mobilnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Dengan napas tertahan, Juliana akhirnya melangkah mendekat. Begitu mereka berdiri berhadapan, keheningan kembali menyelimuti mereka. Joseph menatapnya lama, seolah mencoba mencari sesuatu dalam matanya. “Kenapa?” suara Joseph serak. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?” Juliana menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Karena itu tidak lagi penting.” Joseph tertawa pahit. “Tidak penting? Kau menyembunyikan anak-anak dariku, dan kau bilang itu tidak penting?” Juliana menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya. “Aku melakukan apa yang harus aku lakukan.” “Apa yang harus kau lakukan?” suara Joseph naik satu oktaf. "Membesarkan mereka sendirian tanpa memberitahuku?” Juliana mengangkat dagunya. “Kalau aku memberitahumu saat itu, apakah kau akan melakukan sesuatu? K
Anak-anak yang tidak pernah ia ketahui keberadaannya. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun, ia baru menyadarinya. “Apa yang akan Anda lakukan sekarang?” Joseph mendongak, matanya penuh dengan tekad. “Saya akan menemui Juliana.” Jennifer menahan napas. “Pak, Anda harus hati-hati. Jika Anda terlalu memaksanya, dia mungkin akan semakin menjauh.” Joseph menggeleng. “Aku tidak peduli. Aku tidak bisa diam saja. Aku harus bertemu dengannya. Aku harus melihat anak-anakku.” Jennifer tahu ia tidak bisa menghentikan Joseph kali ini. Ia hanya bisa berharap bahwa pertemuan mereka tidak akan berakhir dengan lebih banyak luka. Joseph mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dadanya terasa sesak. Bagaimana mungkin ia bisa tidak mengetahui sesuatu yang begitu penting? "Berapa umur mereka?" tanyanya lagi. Jennifer terdiam sejenak sebelum menjawab, "5 tahun sama dengan Clarie." Keheningan memenuhi ruangan. Jennifer menunduk, merasa semakin bersalah, karena telah membuka rahasia yang seharusnya b
Sementara itu, di rumahnya, Juliana masih menatap layar ponselnya setelah membaca pesan terakhir dari Jennifer. "Aku tidak akan mengatakan apa pun. untuk sekarang, tapi kau harus memikirkan ini baik-baik, Juliana. Kau tidak bisa lari selamanya." Juliana menggigit bibirnya, hatinya terasa semakin gelisah. Ia tahu Jennifer benar. Cepat atau lambat, Joseph akan menemukan mereka, tapi ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa anak-anaknya. Mereka adalah dunianya, satu-satunya alasan ia bertahan setelah semua yang terjadi di masa lalu. Ia berjalan ke kamar anak-anaknya dan melihat mereka sedang tidur nyenyak di tempat tidur kecil mereka. Alya meringkuk dengan boneka beruang kesayangannya, sementara adiknya tidur dengan damai di sampingnya. Juliana duduk di tepi tempat tidur dan mengusap rambut Alya dengan lembut. "Ibu akan selalu melindungi kalian," bisiknya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Joseph, mengambil mereka darinya. *** Keesokan harinya, Joseph kembali ke kantor
Sinar matahari memantul di atas helm keselamatan yang dikenakan Joseph. Pria itu berdiri tegak di atas hamparan tanah luas yang sedang dipersiapkan untuk proyek pembangunan pusat perbelanjaan baru di Miami. Sekelilingnya, suara alat berat bergemuruh, para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing, dan tim arsitek berdiri tak jauh darinya, membahas temuan terbaru mereka. Jennifer, asistennya yang selalu sigap, berdiri di sisinya dengan tablet di tangan, siap mencatat setiap instruksi yang diberikan Joseph. "Jadi, apa kendala yang kita hadapi sekarang?" tanya Joseph dengan nada tegas, menatap kepala tim arsitek yang tampak sedikit ragu. Seorang pria berkacamata, Michael Carter, melangkah maju dengan lembaran peta dan blueprint proyek. "Mr. Reign, setelah melakukan survei lebih lanjut, kami menemukan bahwa struktur tanah di beberapa titik tidak cukup stabil untuk menopang beban bangunan sesuai rencana awal. Jika dipaksakan, ada risiko pergeseran pondasi dalam beberapa tahun ke depan."
Keesokan paginya, Lena memastikan bahwa Joseph sibuk dengan urusan pekerjaannya sebelum ia berangkat ke sekolah Clarie. Ia mengenakan kacamata hitam dan mantel panjang, berusaha agar tidak menarik perhatian siapa pun.Setibanya di sekolah, ia tidak langsung masuk ke gedung utama, tetapi menunggu di tempat yang lebih sepi hingga bel istirahat berbunyi.Beberapa saat kemudian, ia melihat sosok yang dicarinya.Juliana.Wanita itu masih terlihat seperti dulu. Rambut panjangnya tergerai indah, dan wajahnya tetap lembut seperti yang Lena ingat. Namun, ada ekspresi ketenangan di wajahnya yang tidak ia miliki dulu.Lena menarik napas, lalu melangkah mendekat."Juliana," panggilnya pelan.Juliana yang sedang membaca sesuatu di tablet-nya langsung menoleh. Begitu ia melihat Lena, matanya membelalak. "Lena?"Ada keheningan di antara mereka selama beberapa detik. Juliana tampak terkejut sekaligus waspada."Apa yang kau lakukan di sini?" Juliana akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar tetapi t
Suasana di dalam kamar Clarie terasa begitu nyaman. Dindingnya dihiasi wallpaper berwarna pastel dengan motif bintang-bintang kecil. Di salah satu sudut ruangan, boneka-boneka tersusun rapi di rak kayu, sementara di atas tempat tidur, selimut merah muda dengan gambar kelinci menjadi favorit Clarie.Lena duduk di tepi tempat tidur, menatap putrinya yang sedang asyik menggambar dengan krayon warna-warni di sebuah buku gambar besar. Clarie terlihat begitu ceria, jemarinya lincah menggoreskan warna biru ke langit gambarnya."Apa yang Clarie gambar?" tanya Lena dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatiannya dari kelelahan yang menggantung di pikirannya sejak pertemuan dengan Ariana tadi.Clarie tersenyum lebar dan menunjukkan gambarnya. "Ini aku, Mama, dan Papa!" katanya riang, menunjuk tiga sosok sederhana yang digambarnya dengan kepala bundar dan tangan serta kaki seperti lidi.Lena tersenyum kecil. "Itu gambar yang bagus, Sayang."Tiba-tiba, Clarie menambahkan sesuatu di samping
Langit senja mulai meredup saat mobil Ariana berhenti di depan rumah megahnya. Clarie, yang sejak tadi tidak berhenti berceloteh tentang sekolah, langsung berseru kegirangan begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Mama!"Lena, yang baru saja pulang, tersenyum tipis saat Clarie berlari menghampirinya. Ia berjongkok, membuka kedua lengannya, lalu memeluk putrinya erat."Kau sudah pulang, Sayang," ucap Lena sambil mengecup puncak kepala Clarie sekilas.Clarie mengangguk bersemangat. "Hari ini menyenangkan sekali! Aku belajar tentang harimau, aku menggambar, dan—"Lena mengelus rambut putrinya dengan lembut, tetapi matanya tidak benar-benar fokus. Ada ekspresi lelah di wajahnya, seolah pikirannya berada di tempat lain.Ariana mengamati pemandangan itu dalam diam. Clarie terlihat begitu bahagia, tetapi Lena, ia tampak jauh seperti seseorang yang hanya menjalankan perannya sebagai ibu tanpa benar-benar terlibat di dalamnya.Ariana menghela napas pelan sebelum berkata, "Clarie,
Ariana menutup ponselnya setelah membaca pesan dari sopir yang sedang menunggu di depan rumah. Hari ini, ia akan menjemput Clarie di sekolah—sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan sendiri. Biasanya, tugas itu diserahkan kepada pengasuh atau asistennya. Namun, sejak Clarie tidak henti-hentinya membicarakan guru barunya, seorang wanita bernama Juliana."Aku suka Bu Guru Juliana!" ujar Clarie suatu hari dengan mata berbinar. "Dia baik sekali, dan dia suka cerita sama aku!"Ariana awalnya tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, Clarie memang selalu akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Namun, entah mengapa, ketika Clarie menyebut nama Juliana, hatinya terasa sedikit tidak nyaman.Sekarang, sambil duduk di dalam mobil yang bergerak menuju sekolah Clarie, Ariana tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu. Apakah mungkin guru yang disebutkan Clarie itu... Juliana yang dulu? Tidak mungkin, kan?Mobil berhenti di depan sekolah, dan Ariana turun dengan anggun. Para orang tua lain yang juga