Juliana tampak mondar-mandir di kamarnya, setelah Ariana memintanya menemui Joseph pada saat sarapan pagi. "Aku penat. Apalagi setelah berhadapan dengan Bradley. Rasanya emosiku ingin meledak, jadi aku butuh menyegarkan otak dan hatiku. Kakak mau ikut ke pantai?" Kalau saja posisinya sedang tidak terimpit, tanpa berpikir panjang Juliana pasti akan ikut. "Aku tidak bisa, Reina." Reina menghembuskan napas kasar sembari memandangi Juliana datar. "Kalau begitu, Kakak harus berperan menjadi istri yang baik. Datang sana temui Joseph, beres, kan? Aku pergi dulu." Juliana lagi-lagi mendengus kasar. Kata-kata Reina terdengar sarkastis. Dia berusaha membujuk Reina agar tidak pergi, tapi sayangnya wanita itu malah pergi begitu saja. Dia bingung apakah harus ke kamar Joseph atau tidak, karena kalau ke sana dirinya akan merasa canggung sendiri, tetapi kalau tidak menghampiri Joseph, semua orang yang ada di rumah ini akan menaruh curiga padanya. Ia terus berpikir dan menimbang apa yang seharus
"Aku tidak mengambil uang perusahaan untuk kepentingan pribadi dan mana mungkin aku mengambilnya tanpa alasan yang jelas." "Saya tahu, Pak. Anda tidak mungkin mengambil uang perusahaan itu. Saya sudah bekerja pada Anda selama bertahun-tahun." "Terima kasih sudah mau percaya padaku." "Jenny, bisakah kamu membantuku mencari tahu siapa orang yang sudah memalsukan tanda tanganku?" "Ya. Tentu. Kami akan menyelidikinya." "Seperti yang kamu tahu. Aku tidak ingat apa yang terjadi padaku. Aku hanya ingat saat aku akan pergi ke Italia dan setelah itu aku tidak ingat apa pun." "Saya mengerti. Kita bicara lagi nanti. Permisi!" ucapnya sambil melirik ke arah Juliana. Jennifer pun pergi, walaupun sebenarnya ia masih mau di sana, karena penasaran dengan sosok Juliana. Setelah kepergian Jennifer, akhirnya Juliana bisa bernapas lega. Joseph bahkan bisa mendengar helaan napas panjang itu. Ia menatap Juliana yang terdiam, lalu tak lama kemudian pandangan mereka saling bersitatap. "Maaf," ucap J
Joseph terus bercerita apa saja yang bisa membuat suasana di antara dirinya dan Juliana membaik. Dia sudah cukup merasakan kecanggungan di antara dirinya dan Juliana, jadi Joseph akan lakukan segala cara agar dirinya bisa lebih akrab dengan Juliana mungkin dengan begitu dia bisa mengingat sesuatu. Juliana tersentak ketika tangannya digenggam oleh Joseph. Sebuah senyuman kembali merekah di wajah tampan pria itu. Genggaman tangannya begitu erat dan tatapan matanya kembali membuat Juliana gemetar, tidak dapat bicara atau pun bergerak. Tatapan pria itu mengunci matanya. Ia hanya dapat menatap dalam-dalam mata Joseph. Belaian tangan pria itu di pipinya terasa hangat dan lembut, membuat Juliana terkejut dan tersentak, nyaris tidak bernapas. Tanpa disadari oleh Juliana, bibirnya sudah berada dalam kuluman pria itu dan tubuhnya sudah berada dalam pelukannya. Otak Juliana tidak sanggup untuk berpikir lagi. Tegang dan bingung. Joseph menciumnya dengan rakus. Di lumatnya bibir Juliana yang m
Tidak membuang waktu, Lena segera menghubungi dan menemui seorang detektif untuk mencari tahu siapa Juliana yang sebenarnya dan membuka identitasnya yang sebenarnya. "Apakah hanya ini, Nona?" tanya detektif itu melihat beberapa foto Juliana dan informasi yang minim. "Ya, hanya ini yang aku punya. Tapi, aku perlu semua latar belakang tentang Juliana, berapa pun akan aku bayar asalkan identitasnya bisa terungkap." Mungkin memang sulit mencari latar belakang Juliana, apalagi dengan informasi yang Lena punya sangat sedikit sekali. Akan tetapi, Lena yakin jika terus mencari, maka tidak mustahil mencari tahu siapa Juliana sebenarnya. "Lihat saja, Juliana! Cepat atau lambat, identitasmu akan terungkap," ucapnya dalam hati. *** Hari demi hari telah berlalu. Setiap hari, Juliana menemani Joseph yang sedang masa pemulihan. Mereka membicarakan banyak hal. Juliana menemani Joseph hampir tiap saat. Itu karena permintaan Joseph sendiri. Walaupun sebelumnya Juliana mendapat teguran dari Brad
"Sebaiknya kita pulang. Tidak baik berlama-lama di bawah sinar matahari," kata Joseph sambil berdiri. Tubuh Joseph tiba-tiba menjadi oleng dan Juliana cepat-cepat berdiri menahan tubuh Joseph. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Juliana khawatir. "Tadi aku merasa pusing." "Kamu belum pulih benar. Aku akan mengantarmu ke kamar." Pada saat itu juga pandangan mereka bertemu. Keduanya bersitatap selama sejenak. Suara angin yang berhembus dan deburan ombak seolah menghilang dari dunia mereka. Juliana mendapati Joseph tersenyum hangat kepadanya. Detak jantungnya semakin meningkat. Rambut hitam Joseph yang telah disisir rapih kembali berantakan tertiup angin. Dunia meluruh dan warna-warna memudar di depan Juliana hanya menyisakan sosok tampan Joseph di bawah sinar matahari. "Se-sebaiknya kita masuk ke dalam." Juliana nampak gugup dan berusaha menutupi kegugupannya. Di kamar, Juliana membantu Joseph berbaring dan mengambil air minum untuknya. Dia hendak pergi setelah menyelimuti Joseph, tapi k
Napas Juliana terengah-engah saat masuk ke kamarnya. Dia setengah berlari saat keluar dari kamar Bradley. Rasanya Juliana tidak sanggup kalau harus berhadapan dengan pria itu lagi, tetapi untunglah dia bisa melarikan diri darinya. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi padanya. Wanita itu menghembuskan napas berkali-kali berusaha meredam emosi yang masih menguasai diri. Sekarang Juliana merasa ragu pada perasaannya sendiri. Dia tidak tahu apakah masih mencintai Bradley, tetapi yang dirasakan Juliana saat ini adalah marah, kecewa, dan sedih. Semua itu berbaur menjadi satu. Mata wanita itu terasa memanas dan tanpa aba-aba air mata sudah menggenang di pelupuk mata. Dia hampir saja menjatuhkan air matanya kalau tidak dikagetkan dengan suara pintu terbuka. Juliana langsung mundur beberapa langkah dan tampak bersiaga. Dalam benaknya dia menduga, kalau yang datang adalah Bradley. Tetapi, ternyata .... "Reina?" Juliana langsung menghembuskan napas lega melihat adiknya yang membuka p
Joseph yang sudah bangun dan hampir waktu makan malam tiba, dia memutuskan keluar dari kamar. Sebelum keluar kamar, dia minum segelas air, lalu ke ruangan kerjanya untuk mengecek sesuatu sebelum makan malam. Saat sedang berjalan menuju ruang kerja, dia merasa tubuhnya selalu lemas dan tidak ada perubahan, bahkan Joseph merasa agak pusing. Dia tidak sengaja berpapasan dengan Bradley. Pria itu pun langsung menyapa adik tirinya, tetapi Bradley malah mengangguk saja dengan tatapan kesal. Seolah tidak memedulikan ekspresi wajah Bradley, Joseph pun kembali melanjutkan perjalanan sembari bersenandung dan senyuman mengembang. Bradley pun ikut masuk ke ruangan kerja yang sama-sama di satu tempat dengan kakak tirinya itu. Melihat Joseph yang bahagia seperti itu, Bradley jadi teringat dengan kejadian di pantai dan kamar tadi. Saat ini kecemburuannya kembali berkobar. Akan tetapi, dia tidak bisa mencairkan kemarahannya pada Joseph. Bradley hanya bisa menahan amarah. Melihat kebahagiaan Joseph
"Ini tidak mungkin. Pasti kalian salah." Joseph menggelengkan kepalanya tidak percaya bahwa adik tiri yang dia sayangi selama ini bisa melakukan tindakan kejahatan seperti itu. Setahu Joseph, adiknya itu pria baik dan tidak pernah berbuat masalah. Pikiran dan hatinya menolak, jika Bradley pelaku penggelapan dana perusahaan, membayangkan saja Joseph tidak bisa. "Bradley tidak mungkin mengkhianati kepercayaanku," ucap Joseph dengan suara serak. "Saya mengerti. Ini tidak mudah bagi Anda mengetahui kenyataan ini," ujar Jennifer yang masih tidak bergerak dari tempatnya berdiri. "Apakah kalian yakin soal ini?" Joseph kembali bertanya. Wanita itu langsung mengangguk yakin, karena selama bekerja di perusahaan milik keluarga Reign, ini pertama kalinya Jennifer menemukan pengeluaran yang membengkak seperti ini dan ini dilakukan oleh adik bosnya sendiri. "Saya yakin, Pak," jawab Jennifer tegas, meskipun dia tak tega harus melukai perasaan Joseph. Wajah Joseph langsung memerah dengan urat
Lima tahun telah berlalu sejak Juliana melahirkan bayi kembarnya. Dia mengajar di sekolah baru di Miami. Ya, dia dipindah tugaskan ke sekolah lain. Sebenarnya Juliana tidak ingin kembali ke Miami, tapi dia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan pihak sekolah. Sekarang ia menyambut murid-muridnya. Satu per satu memasuki kelas. Ibu-ibu mereka mengantar hingga pintu, lalu melambaikan tangan. Anak-anak nampak ceria. Mereka duduk tenang, menunggu guru memulai pelajaran. "Pagi Bu guru!" sapa seorang anak perempuan bernama Clarie. Juliana tersenyum. "Pagi, Clarie!" Diusapnya rambut gadis kecil itu yang menggunakan jepit rambut berbentuk pita berwarna pink. Setelah semua anak-anak masuk kelas. Juliana berdiri di hadapan mereka, memulai pelajaran. Kali ini belajar menggambar. Dia memperhatikan satu per satu muridnya menggambar. Juliana nampak tertarik dengan hasil menggambar Clarie yang cukup bagus. Sejak melihat Clarie untuk pertama kalinya di tahun ajaran baru, entah kenapa J
"Kakak sudah bangun?" tanya Reina begitu melihat Juliana membukakan mata. Juliana menatap Reina dan Jennifer silih berganti. Dia baru sadar berada di rumah sakit. "Dimana anak-anakku?" Juliana nampak panik. "Tenanglah! Bayimu baik-baik saja. Sekarang ada di ruang bayi. Mungkin sebentar lagi perawat akan mengantarnya ke sini," ucap Jennifer. Juliana meringis kesakitan ketika akan membenarkan posisi berbaringnya. "Jangan banyak gerak dulu! Kakak baru melahirkan," ujar Reina. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Jennifer dan Reina membantunya agar Juliana bisa berbaring lebih nyaman lagi. "Terima kasih sudah mau datang." Juliana berkata pada Jennifer. Jennifer membalasnya dengan senyuman. "Tentu saja aku datang mana mungkin aku melewatkan kelahiran anak kembar bosku." "Joseph tidak tahu kan soal ini?" "Jangan khawatir! Pak Joseph tidak tahu." Juliana nampak lega. Dia sendiri yang menghubungi Jennifer kalau dia akan segera melahirkan, karena Juliana sudah berjanji untuk member
Setelah giliran Joseph mencoba pakaiannya, dia menunggu Lena yang sedang bicara dengan pemilik butik. Lelaki itu menatap Lena dari kejauhan. Rambutnya bergerak mengiringi gerakan kepalanya saat berbicara. Joseph menghela napas berkali-kali. Ini adalah kesalahannya pikir Joseph. Andai saja waktu itu, dia tidak melampiaskan kesedihannya dengan meminum alkohol dan benar-benar mabuk, dia tidak akan bersama Lena di kamar hotel. Sialnya Joseph tidak ingat apa-apa. Saat Ariana tahu tentang kehamilan Lena, wanita itu terus mendesaknya supaya dia segera menikah dengan Lena. Dua bulan sejak Juliana pergi dari rumah, para wartawan mulai mengendus tentang hubungan mereka berdua dan Joseph tidak bisa menghindar lagi saat banyak gosip bahwa dia dan Juliana tidak tinggal bersama lagi. Joseph mendengus kesal dengan semua berita itu. Dia heran apa mereka tidak mempunyai berita lagi selain mencampuri urusan kehidupan orang lain. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana orang-orang yang mengenalnya
Jennifer masuk ke ruangan Joseph membawakan secangkir kopi hitam. Dilihatnya pria itu sedang membereskan mejanya dan memakai jasnya. "Apa Anda akan pergi sekarang, Pak?" "Iya. Lena sudah menungguku di butik. Gaun pengantinnya sudah selesai." "Lalu bagaimana dengan kopinya, Pak?" Joseph berdecak. "Kopi itu untukmu saja." "Tapi saya tidak suka kopi hitam." "Buang saja!" "Tapi Pak, kopi ini sangat mahal. Saya tidak mau membuangnya." Joseph memandang kesal pada sekretarisnya. "Kenapa kamu sempat-sempatnya mempermasalahkan secangkir kopi saat ini? Kamu tahu kan sedang terburu-buru." "Saya tahu. Saya akan menyimpannya di meja. Terserah Anda mau meminumnya atau tidak setelah Anda kembali lagi ke kantor. Jangan suruh saya yang membuangnya!" "Astaga Jennifer!" Jospeh mengambil cangkir dari tangan Jennifer dan langsung meminumnya sampai habis. "Sekarang aku mau pergi." "Tunggu, Pak!""Ada apa lagi?" Joseph berbalik dengan mimik kesal. "Saya bukannya mau mencampuri urusan pribadi A
"Apa maksudmu?" "Ah tidak apa-apa, Pak. Lupakan saja!" Jennifer buru-buru pergi sebelum Joseph kembali bertanya, sedangkan pria itu masih penasaran apa maksud perkataan sekretarisnya yang tiba-tiba terlihat misterius. "Seharusnya tadi aku tidak berkata seperti itu," gumam Jennifer setelah berada di luar ruangan Joseph, lalu duduk di kursi sambil menyusun dokumen di meja. Berkali-kali Jennifer menghela napas dan berpikir andai saja bosnya tahu kalau Juliana sedang mengandung anaknya, entah apa reaksinya. Iya, Jennifer secara tidak sengaja mendengar pembicaraan Ariana dan Lena sebelum dia pulang kemarin sore. "Jadi Juliana hamil? Apa Tante yakin?" Lena nampak syok. "Yakin. Tidak salah lagi." "Kalau itu memang benar, anak siapa yang dikandung Juliana?" "Entahlah. Aku tidak tahu, tapi kemungkinan besar itu anak Joseph." Lena memejamkan matanya. "Apa Joseph tahu?" "Dia tidak tahu." "Joseph tidak boleh tahu hal ini. Kalau dia tahu, dia tidak akan jadi mengusir Juliana dari sini."
"Juliana, Reina," seru Diego terkejut. "Halo Ayah!" sapa Reina dengan senyuman yang dipaksakan. "Kenapa kalian bisa ada di sini? Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau kalian akan datang? Di mana Joseph?" Diego mengedarkan pandangan ke belakang Juliana dan tidak menemukan Joseph. "Joseph tidak ikut bersama kami," jawab Juliana. "Ayah, boleh kami masuk?" Reina bertanya. "Ya tentu saja." Diego memberi jalan pada kedua putrinya dengan menyingkir ke samping, lalu menutup pintu. Mereka memdorong koper dan menghempaskan diri di sofa. Diego yang masih penasaran dengan kepulangan kedua putrinya duduk di hadapan mereka menuntut penjelasan. "Apa yang terjadi?" Juliana dan Reina saling pandang dan keadaan ini tidak disukai oleh mereka berdua dimana mereka harus memberitahu Diego tentang apa yang terjadi. Reina baru saja membuka mulut, tapi Juliana sudah lebih dulu berkata. "Kami diusir dari kediaman Joseph." Mata Diego melebar. "Diusir bagaimana?" "Begini Ayah. Ada beberapa hal yang
Juliana tercekat, tidak percaya pada pendengarannya. "Apa maksud Ibu?" tanya Juliana yang mungkin saja dia salah dengar. "Kamu sedang hamil, Juliana." Reina memandangi Kakaknya tidak percaya. "Kenapa Kakak tidak bilang padaku kalau Kakak sedang hamil?" "Aku tidak tahu kalau sedang hamil." Juliana kembali menegaskan "Masa Kakak tidak tahu kalau sedang hamil," ujar Reina tak percaya. "Tapi itu benar. Akhir-akhir ini Kakak memang selalu merasa pusing dan tidak enak badan, tapi Kakak tak mengira kalau sedang hamil." Ariana menghela napas panjang melihat perdebatan kedua kakak adik itu. "Kalian berdua hentikan dan jangan berdebat lagi!" Mereka berdua terdiam. "Aku tidak tahu anak siapa yang sedang kamu kandung itu? Joseph atau Bradley?" Jika memang dia benar-benar hamil tentu saja Juliana yakin anak yang dikandungnya adalah anak Joseph, karena sejak dia tinggal di mansion, dia tidak pernah tidur lagi dengan Bradley. "Ibu tahu dari mana aku hamil, bahkan aku sendiri tidak tahu?"
"Pergilah! Dan jangan kembali lagi." Juliana memperhatikan wajah Joseph. Dia bisa menangkap ada sesuatu pada diri Joseph yang jauh berbeda saat dia pertama kali berjumpa dengannya. Tidak ada lagi kesan hangat yang selalu membuat perasaannya nyaman. Juliana menghela napas panjang. "Jika itu maumu, baiklah. Selamat tinggal!" Joseph memandangi kepergian Juliana. Jantungnya berdetak lebih cepat dan dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai resah yang menjalari setiap pembuluh darahnya. Semakin menatapnya, Joseph merasakan kegetiran hatinya. Dia berusaha mengebalkan diri dari ketertarikan yang terpendam pada wanita itu. Matanya mulai memanas tersengat air mata. Tak lama setelah kepergian Juliana, Jennifer masuk. Dia tidak tahu kalau sekretarisnya itu masih belum pulang. "Saya mau mengambil berkas yang ketinggalan." Joseph melihat ada satu tumpuk berkas di atas mejanya. Dia menyerahkannya pada Jennifer. "Lain kali jangan lupa lagi!" "Maaf Pak!" Sosok Jennifer masih saja b
Juliana masuk ke kamarnya dengan terburu-buru. Di sana Reina telah menunggunya. Begitu pintu kamar dibuka, Juliana masuk dan Reina menghampirinya. Mata Juliana memerah seperti habis menangis. "Apa yang terjadi?" Juliana tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia mengambil koper dan meletakkannya di atas tempat tidur, lalu membuka lemari dan mengambil semua pakaiannya. Dia memasukkan semua pakaiannya secara sembarang ke dalam koper tanpa dilipat dulu. "Apa Kakak akan pergi?" Juliana menghentikan kegiatannya dan menatap adiknya. "Seharusnya kamu jangan diam saja. Bereskan semua pakaian dan barangmu. Kita akan pergi dari sini sekarang juga." "Apa harus sekarang?" "Ya. Tentu saja. Kita tidak diperbolehkan tinggal di sini lebih lama lagi." "Itu artinya mereka sudah mengusir kita." Reina memasang wajah cemberutnya dan berdecak kesal. Sebenarnya dia sayang harus meninggalkan mansion ini. "Kita masih beruntung tidak dimasukan ke penjara," imbuh Juliana. "Kita harus mensyukuri itu, tapi