Joseph berdiri dan dia hampir oleng lagi. Dia sendiri tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini dia merasa tubuhnya menjadi semakin lemah. "Jennifer, bisakah kamu mengantarkanku ke kamar," pinta Joseph kepada sekretaris itu dan tanpa mengatakan apa pun lagi, Jennifer mengangguk patuh. Jennifer membantu Joseph untuk bangun. Dia juga membiarkan Joseph berjalan sendiri, sementara dirinya berada di belakang atasannya itu. Sesampainya di kamar, Jennifer pun pamit undur diri. "Baiklah, Pak. Saya undur diri. Saya akan pulang," ujar Jennifer yang langsung diangguki oleh Joseph. "Sebelum kamu pergi, bisakah kamu memberitahu Ibuku atau istriku kalau aku akan malam di kamarku dan tolong suruh mereka bawa makan malamku ke sini." "Tentu. Ada lagi?" "Tolong ambilkan aku segelas air!" Jennifer memberikan segelas air dan Joseph meminumnya dengan cepat. "Terima kasih." Jennifer mengangguk. Setelah menyimpan gelas ditempatnya, Jennifer pun pergi dari kamar. Sekarang tinggal Joseph sendiri di kama
Juliana sedang berjalan untuk menemui Joseph dan membawakannya makan malam. Entah kenapa akhir-akhir ini dia selalu mengkhawatirkan Joseph mungkin karena Joseph sedang masa pemulihan. Sesampainya di kamar, dia tidak langsung masuk. Dia ingin mengetuk pintu dulu, mungkin saja di dalam Joseph sedang tertidur atau sibuk, tetapi Juliana tidak jadi mengetuk pintu saat melihat pintu kamar yang terbuka sedikit, ada celah di sana. Juliana mengikuti intuisinya untuk melihat celah itu dan Juliana langsung tersentak kala melihat Lena dan Joseph sedang berciuman. Perasaan tak suka pun langsung menyelusup ke hati. Walaupun dia hanyalah istri palsu, tetapi orang-orang mengetahui kalau Juliana adalah istri sah Joseph. Rasanya tidak pantas saja jika mereka melakukan itu. Ya walaupun Lena adalah mantan kekasih Joseph, tetap saja menurut Juliana itu tidak pantas. Dia masih berdiri di sana dan penasaran, apa yang akan mereka lakukan lagi. Mereka kemudian sedang berbicara. Sayangnya Juliana hanya mend
Bradley terkejut melihat kehadiran Lena. Dia memelankan langkahnya dan langsung terlihat gugup. Lena juga terus memandangi Bradley dengan penuh selidik. Mereka saling tatap dengan pemikiran masing-masing. Saat ini Bradley ketakutan jika Lena mencurigai aksinya yang tadi mengejar Juliana, jadi dia pun sengaja memelankan langkah agar Lena tidak berpikiran macam-macam. "Tunggu!" seru Lena berhasil menghentikan langkah Bradley. Pria itu merutuk dan memaki Lena dalam hati. Bradley memejamkan mata sembari menahan napas. Dia berusaha tenang agar tidak dicurigai oleh Lena. Kalau sampai rahasianya dan Juliana terungkap, maka nasibnya bisa ada di ujung tanduk, bahaya. Lena berjalan dan berhenti di hadapan Bradley. Itu karena sang Pria tidak juga menghadap padanya. "Sepertinya kamu sedang buru-buru?" tanya Lena sembari menelisik wajah pria itu. Bradley tersenyum miring tampak santai walau sebenarnya hatinya tengah ketar-ketir. "Memangnya kenapa?" tanya Bradley nadanya terdengar ketus.
Bradley berjalan cepat menuju kamarnya. Setelah sampai, dia pun membanting pintu sampai menggema di ruangan itu. Dengan cepat pula dia menyingkirkan barang-barang yang ada di meja. Bukan hanya itu saja, Bradley juga mendengus hingga dia pun mengerang begitu keras. Entahlah mungkin orang yang di luar sana mendengar teriakannya tadi, tetapi dia tidak peduli, karena saat ini Bradley benar-benar kesal. Bukan hanya Juliana yang menolaknya, Lena juga malah ikut campur dan bertanya macam-macam. Posisinya saat ini sedang tidak baik-baik saja dan kemungkinan besar Lena bisa kembali curiga. Jika dia gegabah maka semua ini akan hancur tanpa sisa. Dia bukan hanya kehilangan warisan yang diincar, tetapi juga pasti akan ditendang dari keluarga ini. Ditambah lagi mungkin juga Juliana akan meninggalkannya. Sekarang saja Juliana sudah berubah dan itu semua gara-gara Joseph. Bradley memejamkan mata sembari menghela napas berkali-kali. Dia berusaha untuk tenang dan harus menyusun rencana lagi. Apapu
Dengan tergesa, Juliana setengah berlari ke kamar Joseph disusul oleh Reina. Saat sampai di sana, mereka terkejut melihat banyak orang yang sudah mengerumuni Joseph, termasuk Ariana. Wanita paruh baya itu melihat menantunya sudah ada di ambang pintu dan langsung menghampiri Juliana. "Juliana, kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Ariana sembari menelisik penampilan menantunya dari atas sampai bawah. Juliana menggelengkan kepala dengan wajah bingung. "Aku tidak apa-apa, Bu. Memangnya ada apa?" tanya Juliana khawatir. Ariana hendak menjawab, tetapi diurungkan saat Juliana terperangah melihat Joseph yang tampak syok. Wanita itu pun langsung menghampiri Joseph. "Ada apa, Joseph? Apa yang terjadi?" tanya Juliana dengan kekhawatiran yang begitu kentara di wajahnya. "Aku tidak tahu, tiba-tiba saja ada yang menyerangku, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia ditutupi topeng." Reina dan Juliana terkejut. Mereka saling pandang, lalu melihat kembali kepada Joseph. Juliana duduk di s
Saat luka Joseph sudah diperban, Juliana melihat ada rembesan darah. Sepertinya luka yang tertoreh di lengan kanan Joseph cukup parah, membuat Juliana, Reina, dan Ariana terkejut bukan main. "Ya Tuhan, kenapa darahnya keluar lagi? Sepertinya ini harus dijahit, Bu," ucap Juliana kepada Ariana. Wanita paruh baya itu pun mengangguk dan tidak mengatakan apa pun lagi. Dia langsung mengambil tindakan untuk menelepon dokter pribadi yang selalu menangani keluarganya. Setelah itu dia kembali kepada Juliana sengaja mengajak Reina ke depan untuk menunggu dokter itu. "Reina, ikut aku! Juliana, kamu tolong jaga Joseph dulu," ucap Ariana kepada Juliana. Reina pun ikut bersama Ariana ke depan, meninggalkan Juliana beserta Joseph berdua di kamar. "Apa kamu yakin tidak mengenali orang itu?" tanya Juliana lagi masih penasaran. "Aku benar-benar tidak tahu, Juliana. Kalau saja saat itu aku bisa membuka topengnya pasti aku tahu siapa pelakunya, tetapi sialnya dia kabur duluan sebelum para pela
Saat ini dokter sedang menjahit luka Joseph. Sementara itu Juliana sengaja mengajak Reina untuk kembali ke kamar dengan alasan ingin ke toilet sebentar. Sebenarnya dia ingin membicarakan sesuatu bersama adiknya takut ada yang mendengar. Jadi, sebaiknya berbicara berdua saja. Sesampainya di kamar, Reina kebingungan karena kakaknya terlihat panik. "Kenapa tiba-tiba saja mengajak ke kamar? Bukankah Joseph sekarang masih diobati? Apa tidak apa-apa kalau meninggalkan begitu saja?" tanya Reina penasaran. "Tidak masalah kita kan sudah ada alasan ke toilet. Lagipula di sana ada Ibu, jadi aku yakin semua akan baik-baik saja. Aku ke sini ingin membicarakan sesuatu denganmu dan sangat penting," ucap Juliana menarik Reina untuk duduk di kasur. Keduanya pun saling diam, sementara Juliana malah bungkam dengan wajah yang khawatir. Melihat itu, Reina benar-benar bingung. Apa yang sebenarnya terjadi kepada kakaknya itu? "Ada apakah? Kenapa Kakak kelihatan bingung? Apa terjadi sesuatu lagi?" tan
Di kamar, dokter sudah selesai menjahit luka Joseph dan Joseph tidak melihat keberadaan Juliana di kamarnya. Hanya ada dia dan dokter saja. Sebelum dokter pergi, Joseph mengungkapkan pikiran yang menganggunya. "Dokter, akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku." Dokter itu menatap Joseph dengan wajah sangat serius. "Aku kadang merasa pusing ketika akan berdiri, tubuhku terasa lemas, terkadang aku merasa mual dan ingin muntah, bahkan mataku kadang terasa kabur dan terkadang sesak napas. Apa mungkin itu efek dari kecelakaan? Tapi itu sudah lama berlalu seharusnya aku merasa lebih baik bukan semakin memburuk." Dokter kembali memeriksa keadaan Joseph, lalu berkata, "Untuk mengetahui apa yang terjadi sebaiknya kita cek secara keseluruhan di rumah sakit." "Baiklah. Nanti aku pergi ke rumah sakit." "Sebaiknya Anda jangan terlalu lelah dan istirahat yang cukup." Ariana masuk ke kamar setelah melihat dokter pergi. "Bagaimana keadaan lukamu sekarang?" Joseph tersenyum lem
Lima tahun telah berlalu sejak Juliana melahirkan bayi kembarnya. Dia mengajar di sekolah baru di Miami. Ya, dia dipindah tugaskan ke sekolah lain. Sebenarnya Juliana tidak ingin kembali ke Miami, tapi dia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan pihak sekolah. Sekarang ia menyambut murid-muridnya. Satu per satu memasuki kelas. Ibu-ibu mereka mengantar hingga pintu, lalu melambaikan tangan. Anak-anak nampak ceria. Mereka duduk tenang, menunggu guru memulai pelajaran. "Pagi Bu guru!" sapa seorang anak perempuan bernama Clarie. Juliana tersenyum. "Pagi, Clarie!" Diusapnya rambut gadis kecil itu yang menggunakan jepit rambut berbentuk pita berwarna pink. Setelah semua anak-anak masuk kelas. Juliana berdiri di hadapan mereka, memulai pelajaran. Kali ini belajar menggambar. Dia memperhatikan satu per satu muridnya menggambar. Juliana nampak tertarik dengan hasil menggambar Clarie yang cukup bagus. Sejak melihat Clarie untuk pertama kalinya di tahun ajaran baru, entah kenapa J
"Kakak sudah bangun?" tanya Reina begitu melihat Juliana membukakan mata. Juliana menatap Reina dan Jennifer silih berganti. Dia baru sadar berada di rumah sakit. "Dimana anak-anakku?" Juliana nampak panik. "Tenanglah! Bayimu baik-baik saja. Sekarang ada di ruang bayi. Mungkin sebentar lagi perawat akan mengantarnya ke sini," ucap Jennifer. Juliana meringis kesakitan ketika akan membenarkan posisi berbaringnya. "Jangan banyak gerak dulu! Kakak baru melahirkan," ujar Reina. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Jennifer dan Reina membantunya agar Juliana bisa berbaring lebih nyaman lagi. "Terima kasih sudah mau datang." Juliana berkata pada Jennifer. Jennifer membalasnya dengan senyuman. "Tentu saja aku datang mana mungkin aku melewatkan kelahiran anak kembar bosku." "Joseph tidak tahu kan soal ini?" "Jangan khawatir! Pak Joseph tidak tahu." Juliana nampak lega. Dia sendiri yang menghubungi Jennifer kalau dia akan segera melahirkan, karena Juliana sudah berjanji untuk member
Setelah giliran Joseph mencoba pakaiannya, dia menunggu Lena yang sedang bicara dengan pemilik butik. Lelaki itu menatap Lena dari kejauhan. Rambutnya bergerak mengiringi gerakan kepalanya saat berbicara. Joseph menghela napas berkali-kali. Ini adalah kesalahannya pikir Joseph. Andai saja waktu itu, dia tidak melampiaskan kesedihannya dengan meminum alkohol dan benar-benar mabuk, dia tidak akan bersama Lena di kamar hotel. Sialnya Joseph tidak ingat apa-apa. Saat Ariana tahu tentang kehamilan Lena, wanita itu terus mendesaknya supaya dia segera menikah dengan Lena. Dua bulan sejak Juliana pergi dari rumah, para wartawan mulai mengendus tentang hubungan mereka berdua dan Joseph tidak bisa menghindar lagi saat banyak gosip bahwa dia dan Juliana tidak tinggal bersama lagi. Joseph mendengus kesal dengan semua berita itu. Dia heran apa mereka tidak mempunyai berita lagi selain mencampuri urusan kehidupan orang lain. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana orang-orang yang mengenalnya
Jennifer masuk ke ruangan Joseph membawakan secangkir kopi hitam. Dilihatnya pria itu sedang membereskan mejanya dan memakai jasnya. "Apa Anda akan pergi sekarang, Pak?" "Iya. Lena sudah menungguku di butik. Gaun pengantinnya sudah selesai." "Lalu bagaimana dengan kopinya, Pak?" Joseph berdecak. "Kopi itu untukmu saja." "Tapi saya tidak suka kopi hitam." "Buang saja!" "Tapi Pak, kopi ini sangat mahal. Saya tidak mau membuangnya." Joseph memandang kesal pada sekretarisnya. "Kenapa kamu sempat-sempatnya mempermasalahkan secangkir kopi saat ini? Kamu tahu kan sedang terburu-buru." "Saya tahu. Saya akan menyimpannya di meja. Terserah Anda mau meminumnya atau tidak setelah Anda kembali lagi ke kantor. Jangan suruh saya yang membuangnya!" "Astaga Jennifer!" Jospeh mengambil cangkir dari tangan Jennifer dan langsung meminumnya sampai habis. "Sekarang aku mau pergi." "Tunggu, Pak!""Ada apa lagi?" Joseph berbalik dengan mimik kesal. "Saya bukannya mau mencampuri urusan pribadi A
"Apa maksudmu?" "Ah tidak apa-apa, Pak. Lupakan saja!" Jennifer buru-buru pergi sebelum Joseph kembali bertanya, sedangkan pria itu masih penasaran apa maksud perkataan sekretarisnya yang tiba-tiba terlihat misterius. "Seharusnya tadi aku tidak berkata seperti itu," gumam Jennifer setelah berada di luar ruangan Joseph, lalu duduk di kursi sambil menyusun dokumen di meja. Berkali-kali Jennifer menghela napas dan berpikir andai saja bosnya tahu kalau Juliana sedang mengandung anaknya, entah apa reaksinya. Iya, Jennifer secara tidak sengaja mendengar pembicaraan Ariana dan Lena sebelum dia pulang kemarin sore. "Jadi Juliana hamil? Apa Tante yakin?" Lena nampak syok. "Yakin. Tidak salah lagi." "Kalau itu memang benar, anak siapa yang dikandung Juliana?" "Entahlah. Aku tidak tahu, tapi kemungkinan besar itu anak Joseph." Lena memejamkan matanya. "Apa Joseph tahu?" "Dia tidak tahu." "Joseph tidak boleh tahu hal ini. Kalau dia tahu, dia tidak akan jadi mengusir Juliana dari sini."
"Juliana, Reina," seru Diego terkejut. "Halo Ayah!" sapa Reina dengan senyuman yang dipaksakan. "Kenapa kalian bisa ada di sini? Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau kalian akan datang? Di mana Joseph?" Diego mengedarkan pandangan ke belakang Juliana dan tidak menemukan Joseph. "Joseph tidak ikut bersama kami," jawab Juliana. "Ayah, boleh kami masuk?" Reina bertanya. "Ya tentu saja." Diego memberi jalan pada kedua putrinya dengan menyingkir ke samping, lalu menutup pintu. Mereka memdorong koper dan menghempaskan diri di sofa. Diego yang masih penasaran dengan kepulangan kedua putrinya duduk di hadapan mereka menuntut penjelasan. "Apa yang terjadi?" Juliana dan Reina saling pandang dan keadaan ini tidak disukai oleh mereka berdua dimana mereka harus memberitahu Diego tentang apa yang terjadi. Reina baru saja membuka mulut, tapi Juliana sudah lebih dulu berkata. "Kami diusir dari kediaman Joseph." Mata Diego melebar. "Diusir bagaimana?" "Begini Ayah. Ada beberapa hal yang
Juliana tercekat, tidak percaya pada pendengarannya. "Apa maksud Ibu?" tanya Juliana yang mungkin saja dia salah dengar. "Kamu sedang hamil, Juliana." Reina memandangi Kakaknya tidak percaya. "Kenapa Kakak tidak bilang padaku kalau Kakak sedang hamil?" "Aku tidak tahu kalau sedang hamil." Juliana kembali menegaskan "Masa Kakak tidak tahu kalau sedang hamil," ujar Reina tak percaya. "Tapi itu benar. Akhir-akhir ini Kakak memang selalu merasa pusing dan tidak enak badan, tapi Kakak tak mengira kalau sedang hamil." Ariana menghela napas panjang melihat perdebatan kedua kakak adik itu. "Kalian berdua hentikan dan jangan berdebat lagi!" Mereka berdua terdiam. "Aku tidak tahu anak siapa yang sedang kamu kandung itu? Joseph atau Bradley?" Jika memang dia benar-benar hamil tentu saja Juliana yakin anak yang dikandungnya adalah anak Joseph, karena sejak dia tinggal di mansion, dia tidak pernah tidur lagi dengan Bradley. "Ibu tahu dari mana aku hamil, bahkan aku sendiri tidak tahu?"
"Pergilah! Dan jangan kembali lagi." Juliana memperhatikan wajah Joseph. Dia bisa menangkap ada sesuatu pada diri Joseph yang jauh berbeda saat dia pertama kali berjumpa dengannya. Tidak ada lagi kesan hangat yang selalu membuat perasaannya nyaman. Juliana menghela napas panjang. "Jika itu maumu, baiklah. Selamat tinggal!" Joseph memandangi kepergian Juliana. Jantungnya berdetak lebih cepat dan dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai resah yang menjalari setiap pembuluh darahnya. Semakin menatapnya, Joseph merasakan kegetiran hatinya. Dia berusaha mengebalkan diri dari ketertarikan yang terpendam pada wanita itu. Matanya mulai memanas tersengat air mata. Tak lama setelah kepergian Juliana, Jennifer masuk. Dia tidak tahu kalau sekretarisnya itu masih belum pulang. "Saya mau mengambil berkas yang ketinggalan." Joseph melihat ada satu tumpuk berkas di atas mejanya. Dia menyerahkannya pada Jennifer. "Lain kali jangan lupa lagi!" "Maaf Pak!" Sosok Jennifer masih saja b
Juliana masuk ke kamarnya dengan terburu-buru. Di sana Reina telah menunggunya. Begitu pintu kamar dibuka, Juliana masuk dan Reina menghampirinya. Mata Juliana memerah seperti habis menangis. "Apa yang terjadi?" Juliana tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia mengambil koper dan meletakkannya di atas tempat tidur, lalu membuka lemari dan mengambil semua pakaiannya. Dia memasukkan semua pakaiannya secara sembarang ke dalam koper tanpa dilipat dulu. "Apa Kakak akan pergi?" Juliana menghentikan kegiatannya dan menatap adiknya. "Seharusnya kamu jangan diam saja. Bereskan semua pakaian dan barangmu. Kita akan pergi dari sini sekarang juga." "Apa harus sekarang?" "Ya. Tentu saja. Kita tidak diperbolehkan tinggal di sini lebih lama lagi." "Itu artinya mereka sudah mengusir kita." Reina memasang wajah cemberutnya dan berdecak kesal. Sebenarnya dia sayang harus meninggalkan mansion ini. "Kita masih beruntung tidak dimasukan ke penjara," imbuh Juliana. "Kita harus mensyukuri itu, tapi