Tidak membuang waktu, Lena segera menghubungi dan menemui seorang detektif untuk mencari tahu siapa Juliana yang sebenarnya dan membuka identitasnya yang sebenarnya. "Apakah hanya ini, Nona?" tanya detektif itu melihat beberapa foto Juliana dan informasi yang minim. "Ya, hanya ini yang aku punya. Tapi, aku perlu semua latar belakang tentang Juliana, berapa pun akan aku bayar asalkan identitasnya bisa terungkap." Mungkin memang sulit mencari latar belakang Juliana, apalagi dengan informasi yang Lena punya sangat sedikit sekali. Akan tetapi, Lena yakin jika terus mencari, maka tidak mustahil mencari tahu siapa Juliana sebenarnya. "Lihat saja, Juliana! Cepat atau lambat, identitasmu akan terungkap," ucapnya dalam hati. *** Hari demi hari telah berlalu. Setiap hari, Juliana menemani Joseph yang sedang masa pemulihan. Mereka membicarakan banyak hal. Juliana menemani Joseph hampir tiap saat. Itu karena permintaan Joseph sendiri. Walaupun sebelumnya Juliana mendapat teguran dari Brad
"Sebaiknya kita pulang. Tidak baik berlama-lama di bawah sinar matahari," kata Joseph sambil berdiri. Tubuh Joseph tiba-tiba menjadi oleng dan Juliana cepat-cepat berdiri menahan tubuh Joseph. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Juliana khawatir. "Tadi aku merasa pusing." "Kamu belum pulih benar. Aku akan mengantarmu ke kamar." Pada saat itu juga pandangan mereka bertemu. Keduanya bersitatap selama sejenak. Suara angin yang berhembus dan deburan ombak seolah menghilang dari dunia mereka. Juliana mendapati Joseph tersenyum hangat kepadanya. Detak jantungnya semakin meningkat. Rambut hitam Joseph yang telah disisir rapih kembali berantakan tertiup angin. Dunia meluruh dan warna-warna memudar di depan Juliana hanya menyisakan sosok tampan Joseph di bawah sinar matahari. "Se-sebaiknya kita masuk ke dalam." Juliana nampak gugup dan berusaha menutupi kegugupannya. Di kamar, Juliana membantu Joseph berbaring dan mengambil air minum untuknya. Dia hendak pergi setelah menyelimuti Joseph, tapi k
Napas Juliana terengah-engah saat masuk ke kamarnya. Dia setengah berlari saat keluar dari kamar Bradley. Rasanya Juliana tidak sanggup kalau harus berhadapan dengan pria itu lagi, tetapi untunglah dia bisa melarikan diri darinya. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi padanya. Wanita itu menghembuskan napas berkali-kali berusaha meredam emosi yang masih menguasai diri. Sekarang Juliana merasa ragu pada perasaannya sendiri. Dia tidak tahu apakah masih mencintai Bradley, tetapi yang dirasakan Juliana saat ini adalah marah, kecewa, dan sedih. Semua itu berbaur menjadi satu. Mata wanita itu terasa memanas dan tanpa aba-aba air mata sudah menggenang di pelupuk mata. Dia hampir saja menjatuhkan air matanya kalau tidak dikagetkan dengan suara pintu terbuka. Juliana langsung mundur beberapa langkah dan tampak bersiaga. Dalam benaknya dia menduga, kalau yang datang adalah Bradley. Tetapi, ternyata .... "Reina?" Juliana langsung menghembuskan napas lega melihat adiknya yang membuka p
Joseph yang sudah bangun dan hampir waktu makan malam tiba, dia memutuskan keluar dari kamar. Sebelum keluar kamar, dia minum segelas air, lalu ke ruangan kerjanya untuk mengecek sesuatu sebelum makan malam. Saat sedang berjalan menuju ruang kerja, dia merasa tubuhnya selalu lemas dan tidak ada perubahan, bahkan Joseph merasa agak pusing. Dia tidak sengaja berpapasan dengan Bradley. Pria itu pun langsung menyapa adik tirinya, tetapi Bradley malah mengangguk saja dengan tatapan kesal. Seolah tidak memedulikan ekspresi wajah Bradley, Joseph pun kembali melanjutkan perjalanan sembari bersenandung dan senyuman mengembang. Bradley pun ikut masuk ke ruangan kerja yang sama-sama di satu tempat dengan kakak tirinya itu. Melihat Joseph yang bahagia seperti itu, Bradley jadi teringat dengan kejadian di pantai dan kamar tadi. Saat ini kecemburuannya kembali berkobar. Akan tetapi, dia tidak bisa mencairkan kemarahannya pada Joseph. Bradley hanya bisa menahan amarah. Melihat kebahagiaan Joseph
"Ini tidak mungkin. Pasti kalian salah." Joseph menggelengkan kepalanya tidak percaya bahwa adik tiri yang dia sayangi selama ini bisa melakukan tindakan kejahatan seperti itu. Setahu Joseph, adiknya itu pria baik dan tidak pernah berbuat masalah. Pikiran dan hatinya menolak, jika Bradley pelaku penggelapan dana perusahaan, membayangkan saja Joseph tidak bisa. "Bradley tidak mungkin mengkhianati kepercayaanku," ucap Joseph dengan suara serak. "Saya mengerti. Ini tidak mudah bagi Anda mengetahui kenyataan ini," ujar Jennifer yang masih tidak bergerak dari tempatnya berdiri. "Apakah kalian yakin soal ini?" Joseph kembali bertanya. Wanita itu langsung mengangguk yakin, karena selama bekerja di perusahaan milik keluarga Reign, ini pertama kalinya Jennifer menemukan pengeluaran yang membengkak seperti ini dan ini dilakukan oleh adik bosnya sendiri. "Saya yakin, Pak," jawab Jennifer tegas, meskipun dia tak tega harus melukai perasaan Joseph. Wajah Joseph langsung memerah dengan urat
Joseph berdiri dan dia hampir oleng lagi. Dia sendiri tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini dia merasa tubuhnya menjadi semakin lemah. "Jennifer, bisakah kamu mengantarkanku ke kamar," pinta Joseph kepada sekretaris itu dan tanpa mengatakan apa pun lagi, Jennifer mengangguk patuh. Jennifer membantu Joseph untuk bangun. Dia juga membiarkan Joseph berjalan sendiri, sementara dirinya berada di belakang atasannya itu. Sesampainya di kamar, Jennifer pun pamit undur diri. "Baiklah, Pak. Saya undur diri. Saya akan pulang," ujar Jennifer yang langsung diangguki oleh Joseph. "Sebelum kamu pergi, bisakah kamu memberitahu Ibuku atau istriku kalau aku akan malam di kamarku dan tolong suruh mereka bawa makan malamku ke sini." "Tentu. Ada lagi?" "Tolong ambilkan aku segelas air!" Jennifer memberikan segelas air dan Joseph meminumnya dengan cepat. "Terima kasih." Jennifer mengangguk. Setelah menyimpan gelas ditempatnya, Jennifer pun pergi dari kamar. Sekarang tinggal Joseph sendiri di kama
Juliana sedang berjalan untuk menemui Joseph dan membawakannya makan malam. Entah kenapa akhir-akhir ini dia selalu mengkhawatirkan Joseph mungkin karena Joseph sedang masa pemulihan. Sesampainya di kamar, dia tidak langsung masuk. Dia ingin mengetuk pintu dulu, mungkin saja di dalam Joseph sedang tertidur atau sibuk, tetapi Juliana tidak jadi mengetuk pintu saat melihat pintu kamar yang terbuka sedikit, ada celah di sana. Juliana mengikuti intuisinya untuk melihat celah itu dan Juliana langsung tersentak kala melihat Lena dan Joseph sedang berciuman. Perasaan tak suka pun langsung menyelusup ke hati. Walaupun dia hanyalah istri palsu, tetapi orang-orang mengetahui kalau Juliana adalah istri sah Joseph. Rasanya tidak pantas saja jika mereka melakukan itu. Ya walaupun Lena adalah mantan kekasih Joseph, tetap saja menurut Juliana itu tidak pantas. Dia masih berdiri di sana dan penasaran, apa yang akan mereka lakukan lagi. Mereka kemudian sedang berbicara. Sayangnya Juliana hanya mend
Bradley terkejut melihat kehadiran Lena. Dia memelankan langkahnya dan langsung terlihat gugup. Lena juga terus memandangi Bradley dengan penuh selidik. Mereka saling tatap dengan pemikiran masing-masing. Saat ini Bradley ketakutan jika Lena mencurigai aksinya yang tadi mengejar Juliana, jadi dia pun sengaja memelankan langkah agar Lena tidak berpikiran macam-macam. "Tunggu!" seru Lena berhasil menghentikan langkah Bradley. Pria itu merutuk dan memaki Lena dalam hati. Bradley memejamkan mata sembari menahan napas. Dia berusaha tenang agar tidak dicurigai oleh Lena. Kalau sampai rahasianya dan Juliana terungkap, maka nasibnya bisa ada di ujung tanduk, bahaya. Lena berjalan dan berhenti di hadapan Bradley. Itu karena sang Pria tidak juga menghadap padanya. "Sepertinya kamu sedang buru-buru?" tanya Lena sembari menelisik wajah pria itu. Bradley tersenyum miring tampak santai walau sebenarnya hatinya tengah ketar-ketir. "Memangnya kenapa?" tanya Bradley nadanya terdengar ketus.
Setahun telah berlalu sejak kepergian Lena, tetapi kenangannya masih melekat di hati mereka, tersimpan dalam setiap sudut rumah dan dalam setiap langkah kecil Clarie. Meskipun duka itu tidak benar-benar hilang, waktu telah mengajarkan mereka bahwa cinta dan kebahagiaan bisa kembali ditemukan, bahkan setelah kehilangan yang menyakitkan.Joseph dan Juliana tidak terburu-buru. Mereka membangun kembali hubungan mereka dengan penuh kesabaran, memberi ruang bagi luka-luka lama untuk benar-benar pulih. Tidak ada janji yang diucapkan dengan tergesa-gesa, tidak ada keputusan yang diambil tanpa pertimbangan. Mereka memilih untuk saling mengenal kembali bukan sebagai dua orang yang memiliki masa lalu yang pahit, tetapi sebagai dua hati yang akhirnya mengerti betapa berartinya satu sama lain.Clarie tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, meskipun masih sering menatap ke luar jendela, seolah menunggu ibunya kembali. Namun, dalam pelukan hangat Joseph dan Juliana, ia menemukan tempat yang aman, tem
Mobil Joseph melaju kencang menuju lokasi. Lena, Ariana, dan Juliana duduk dengan tegang di dalam mobil, perasaan mereka bercampur antara cemas, marah, dan takut. Begitu mereka tiba, pemandangan di depan mereka membuat jantung mereka berdegup lebih kencang.Sebuah rumah tua berdiri di pinggiran kota, tampak gelap dan sepi. Catnya sudah mengelupas, jendelanya tertutup rapat, dan pagar kayunya sudah lapuk dimakan usia. Rumah itu tampak seperti sudah lama tidak dihuni, tetapi semua orang tahu bahwa di sanalah Damian bersembunyi bersama Clarie.Di sekitar rumah, polisi sudah bersiap dengan senjata terangkat, mengenakan rompi anti-peluru. Lampu-lampu kendaraan polisi menyala, menerangi malam yang mencekam.Seorang petugas mendekati Joseph dan berbicara dengan suara rendah."Kami sudah mengepung rumah ini dari semua sisi. Tim kami sudah memastikan bahwa tidak ada jalan keluar bagi Damian. Kami hanya menunggu perintah untuk masuk."Joseph mengepalkan tangannya. "Lakukan!"Kapten polisi menga
Suasana di dalam mobil terasa berat. Lena duduk di kursi penumpang, jemarinya mencengkeram erat ponselnya, matanya kosong menatap jalanan malam yang sepi.Di belakang kemudi, Joseph mengendarai mobil dengan rahang mengatup. Napasnya berat, tangannya mencengkeram setir seolah itu satu-satunya hal yang bisa menjaga amarahnya tetap terkendali.Ariana dan Juliana duduk di kursi belakang, sama tegangnya. Semua orang tahu bahwa mereka sedang berpacu dengan waktu.Saat itulah ponsel Lena berdering. Nada deringnya memecah keheningan, membuat semua orang tersentak. Lena langsung meraih ponsel, melihat nama di layar.Damian.Darah Lena berdesir. Ia menekan tombol jawab dan langsung menempelkan ponsel ke telinganya."Damian! Di mana Clarie?!" serunya panik.Suara tawa rendah terdengar dari seberang sana, mengirimkan getaran tak nyaman ke dalam tulang belakang Lena."Tenanglah, Sayang," kata Damian dengan nada mengejek. "Clarie baik-baik saja. Untuk saat ini."Tangan Lena mengepal, matanya berkil
Suasana di dalam mobil terasa berat. Lena duduk di kursi penumpang, jemarinya mencengkeram erat ponselnya, matanya kosong menatap jalanan malam yang sepi. Di belakang kemudi, Joseph mengendarai mobil dengan rahang mengatup. Napasnya berat, tangannya mencengkeram setir seolah itu satu-satunya hal yang bisa menjaga amarahnya tetap terkendali. Ariana dan Juliana duduk di kursi belakang, sama tegangnya. Semua orang tahu bahwa mereka sedang berpacu dengan waktu. Saat itulah ponsel Lena berdering. Nada deringnya memecah keheningan, membuat semua orang tersentak. Lena langsung meraih ponsel, melihat nama di layar. Damian. Darah Lena berdesir. Ia menekan tombol jawab dan langsung menempelkan ponsel ke telinganya. "Damian! Di mana Clarie?!" serunya panik. Suara tawa rendah terdengar dari seberang sana, mengirimkan getaran tak nyaman ke dalam tulang belakang Lena. "Tenanglah, Sayang!" kata Damian dengan nada mengejek. "Clarie baik-baik saja untuk saat ini." Tangan Lena mengepal, matan
Telepon dari Juliana masih menggema di kepala Joseph saat ia menekan pedal gas lebih dalam. Mobilnya melaju dengan kecepatan gila, membelah jalanan kota yang mulai diselimuti gelapnya malam. Tangannya mencengkeram setir erat, rahangnya mengatup keras menahan gejolak emosi yang siap meledak.Clarie diculik.Pikiran itu terus menggerogoti benaknya.Putrinya, gadis kecil yang begitu ia cintai, kini berada di tangan seseorang yang entah siapa dan dengan niat apa.Siapa pun yang berani menyentuh Clarie tidak akan dibiarkan hidup dengan tenang.Joseph hampir tidak bisa berpikir jernih. Bayangan Clarie menangis, ketakutan, mungkin memanggil namanya dalam keputusasaan, membuat dadanya seperti terbakar.Sial!Tangannya gemetar saat ia menekan panggilan ke Lena. Nada sambung berbunyi. Sekali. Dua kali.“Halo?”Suara Lena terdengar malas, seolah tidak ingin berbicara dengannya.Joseph tidak peduli.“Clarie diculik.”Hening.“Apa?” Suara Lena nyaris tidak terdengar, penuh keterkejutan dan ketidak
Keesokan paginya, mentari bersinar terang, menerangi halaman sekolah Clarie dengan cahaya hangat. Anak-anak berlarian riang, beberapa duduk di bangku taman, dan yang lain bercengkerama dengan teman-teman mereka. Suasana tampak begitu biasa, begitu normal tidak ada yang menyangka bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi hari itu.Di sudut area parkir, seorang pria berdiri dengan kacamata hitam dan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya. Damian.Matanya tajam mengamati gerak-gerik Clarie dari kejauhan. Gadis kecil itu tampak ceria, berbincang dengan teman-temannya sebelum masuk ke dalam kelas."Jadi, dia anakku," gumam Damian pelan, nyaris tanpa emosi.Tapi di balik kata-katanya yang datar, ada ambisi besar dalam hatinya. Ia tak peduli siapa yang membesarkan Clarie selama ini. Yang jelas, ia adalah ayah biologisnya, dan itu berarti Clarie seharusnya menjadi miliknya.Damian mengencangkan jaketnya, menyembunyikan kegelisahan yang mulai menguar. Ini bukan sekadar soal ingin mendapatkan C
Suaranya nyaris tak terdengar, tetapi beratnya emosi yang tersimpan dalam kalimat itu menusuk ke dalam hatinya sendiri.Clarie tidak merespons. Ia tetap tertidur, damai, tidak menyadari gejolak yang sedang berkecamuk di hati pria yang baru saja mengikrarkan janjinya.Joseph menelan ludah, lalu membungkuk, mengecup kening Clarie dengan penuh kelembutan, meninggalkan jejak cinta dan perlindungan yang tak terucapkan. Baru setelah itu, dengan berat hati, ia berdiri dan berjalan keluar kamar.Saat menutup pintu, ia menarik napas panjang. Mungkin, untuk malam ini, Clarie bisa tidur dengan tenang. Tapi untuknya? Ia tahu, malam ini akan menjadi malam panjang yang dipenuhi pikiran yang tak kunjung reda.**Sementara itu, di ruang tamu, Ariana dan Juliana duduk di sofa, masih terbungkus dalam kebisuan yang agak canggung.Ariana menatap Juliana dengan ragu, sebelum akhirnya menghela napas panjang dan berkata, "Juliana, aku ingin meminta maaf padamu."Juliana mengangkat alisnya, sedikit terkejut.
Joseph mengusap punggung Clarie lembut, mencoba menyalurkan kehangatan yang bisa meredakan kepanikannya. Ia menunduk, mengecup puncak kepala anak itu. "Kau tidak apa-apa, Sayang?" bisiknya. Clarie mengangguk kecil, tapi matanya masih basah oleh air mata. Juliana menatap mereka dengan ekspresi penuh kelegaan bercampur kesedihan. Ariana berjalan mendekati Lena, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Lena...," suaranya pelan tetapi penuh emosi. "Apa yang kau pikirkan? Kau benar-benar ingin melarikan Clarie dari kami semua?" Lena tidak menjawab. Ia berdiri di sudut ruangan dengan bahu menegang, wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi kelelahan. "Aku tidak tahu...," gumamnya akhirnya. Suaranya bergetar. "Aku hanya tidak ingin kehilangan dia." Joseph menatap Lena dengan mata tajam. "Kau tidak akan kehilangan Clarie. Aku juga tidak akan mengambilnya darimu hanya saja caramu salah." Lena mendongak, ekspresinya berubah. Ada kemarahan di sana, tetapi juga
Darah Joseph mendidih. Matanya berkilat marah saat jemarinya meremas surat itu. "Lena brengsek!" Juliana meraih surat itu dari tangannya, membacanya dengan mata yang membelalak marah. "Apa dia sudah gila?! Dia ingin melarikan diri dengan Clarie!" Ariana menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar menahan isak tangis. "Joseph, kita harus menemukannya! Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Clarie! Dia pasti ketakutan!" Joseph mengepalkan tangannya. Hatinya berdenyut sakit membayangkan Clarie yang mungkin sedang menangis dalam perjalanan entah ke mana. Lena mungkin ibunya, tapi dia juga orang yang egois. Ia tidak peduli bagaimana perasaan Clarie. Yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. "Kita harus berpikir," kata Joseph, berusaha menenangkan dirinya. "Ke mana Lena akan pergi?" Juliana berpikir cepat. "Dia pasti butuh tempat bersembunyi. Mungkin ke rumah kerabatnya?" Joseph menggeleng. "Dia tidak punya banyak keluarga di sini. Satu-satunya kemungkinan adalah tempat yang memil