Part 65Marahnya Suami Sepulang dari makan malam di luar, kami langsung pulang. Sesampainya di rumah, Mas Saleh langsung mandi dan pergi ke kamar. Dia tidak banyak bicara semenjak makan malam tadi. Hanya perasaanku saja atau memang dia saat ini sedang tidak dalam suasana hati yang baik?“Mas, kamu udah tidur?” tanyaku padanya. Dia sedang tidur membelakangi posisiku yang saat ini sedang berdiri. Tidak ada jawaban darinya. Kuyakin kalau dia belum tidur. Sekarang masih jam 8 malam, dan bukan kebiasaannya tidur jam segini. Akhirnya aku mendekati Mas Saleh dengan naik ke ranjang. Masih dengan jarak yang dibatasi guling, aku menjulurkan tangan dan menepuk lengannya pelan. “Mas,” panggilku lagi.“Ada apa, sih, Dek?” Aku bisa mendengar nada ketus disahutannya. “Kamu kenapa, Mas? Tumben banget jam segini udah tiduran di kamar.”“Emangnya kenapa? Nggak boleh?” Dia menjawab tanpa membalikkan badan sama sekali. Aku rasa dia marah, tetapi kenapa? Apa alasannya? “Kamu—““Aku ngantuk, Dek. Uda
Bab 66Suami yang Dingin“Maksud kamu gimana, Hil?” Hilda menghela napasnya panjang. Tiba-tiba dia menarik tangan dan membimbingku untuk duduk dia kursi yang berada di belakang kami. Dia masih dengan senyum menawan ketika mengatakan, “Aku nggak tahu apa yang terjadi sama Mbak Mega secara keseluruhan, tapi yang jelas selama ini Mbak Mega sudah menjalani kehidupan yang sangat baik. Aku saja kagum sama Mbak, loh. Sudah jadi istri yang baik, ibu yang pengertian, dan sekarang berhasil mengembangkan bisnis juga.” Dia menjelaskan dengan sangat halus, seolah-olah apa yang dia katakan barusan benar-benar dari hatinya yang paling dalam. Ada sedikit perasaan lega saat mendengarnya. Bukan karena aku merasa demikin baik seperti yang dikatakan Hilda barusan, hanya saja, aku bersyukur masih bisa memiliki teman yang sangat baik dan pengertian seperti wanita cantik di sampingku ini.“Terima kasih, Hil. Tapi, aku nggak sebaik apa yang kamu katakan tadi, kok.” Kalau aku sebaik itu, mana mungkin Mas Sa
Bab 67Pov FebyBukan sebuah kebetulan aku mendatangi toko Mega. Memang apa hebatnya toko kecil dan barang murahan di sana sampai aku harus capek-capek ke sana?! Sekarang aku sedang berada di restoran mahal, tempat biasa aku dan Saleh dulu menghabiskan waktu santai setelah dia pulang bekerja. Dan … lelaki gagah berkulit sawo matang dengan topi kebanggaannya sebagai satpam sudah terlihat di mataku.Bagi sebagaian orang mungkin ini terlalu mengejutkan, tetapi tidak juga buatku. Benar, Saleh saat ini sedang berada di luar restoran, kemudian masuk dan berjalan ke arah mejaku. Aku melambaikan tangan dan tersenyum lebar padanya. Saleh hanya melempar senyum kecil dan membalas lambaian seadanya. “Udah pesan makanannya, Tante?” tanyanya seraya duduk berhadapan denganku. Dia melepas topi dan menaruhnya di atas meja yang hanya tersedia segelas air putih.“Udah tadi. Makanan favorit kamu di sini. Tunggu aja, bentar lagi pasti datang, kok,” jawabku tanpa melepas senyuman. Bagi yang masih bin
Bab 68Ketidakpuasan SuamiMega masih dibingungkan oleh Saleh yang sikapnya menjadi dingin akhir-akhir ini. Wanita itu juga kesulitan untuk mengajak bicara suaminya meski sedang dalam keadaan senggang atau santai. Semakin lama, Mega merasa bahwa ada jarak diantara mereka. Jika semua itu berawal dari kelalaiannya yang sampai melewatkan masak makan malam bagi suaminya, dia siap untuk meminta maaf meski sudah dijelaskan alasannya berkali-kali."Mas, kamu ini kenapa, sih?" Sudah dua hari sejak kepulangan Saleh yang mengabaikannya. Mega tidak bisa menahan lagi jika didiamkan seperti ini terus. "Kalau ada masalah, seharusnya kita bicarakan itu baik-baik. Kita sepakat, 'kan, untuk sering berdiskusi kalau sedang terjadi masalah? Udah 2 hari, loh, kamu diemin aku. Siapapun pasti bakalan merasa aneh dan nggak nyaman kalau berada di posisiku." Mega berkata dengan nada penuh pengertian, berhati-hati dalam memprotes. "Kamunya aja yang sensian." Hanya satu kalimat itu yang terlontar dari mulut Sa
Bab 69Suami yang SensitifPov MegaAku sudah kehilangan semangat sejak dua hari yang lalu. Mas Saleh tidak kunjung bersikap hangat kepadaku. Dia terus saja menghindar dariku, entah saat aku tidak sengaja berpapasan dengannya di rumah, atau saat aku sengaja mengajak bicara dengannya lebih dulu. Rasanya ingin menyerah dalam usaha mengajak berdamai. Mas Saleh tidak pernah marah selama ini, apa lagi sampai mengabaikanku. Hari ini adalah weekend, biasanya Mas Saleh akan mengajak kami jalan-jalan. Sebenarnya juga aku masih ada kerjaan di toko, hanya saja untuk berjaga-jaga kalau dia akan bersedia damai, aku meminta Hilda yang meng-handle-nya lebih dulu. Mungkin nanti, agak sorean aku akan ke toko.Pagi kami seperti biasanya, sarapan bersama. Bedanya adalah tidak seceria dan seramai dulu. Jujur saja, aku merasa kesepian dengan Mas Saleh yang begini. “Mas—“ Lihat? Baru saja aku mengeluarkan satu kata, dia sudah bergegas mau pergi. Nasi goreng spesial pagi ini hanya dia makan empat sendo
Bab 70Keakraban yang CanggungAku bertemu dengan Mbak Desi saat sedang menunggu angkutan umum. Dia terlihat berbeda dari biasanya. Maksudku adalah dandanannya tidak seheboh dulu, atau aku yang salah lihat? “Hai, Mega.” Dia tersenyum padaku, jenis senyuman yang juga sangat berbeda dari yang dulu-dulu. Kalau sebelumnya selalu terlihat angkuh dan merendahkan, sekarang kesan itu sudah hilang.“Mbak Desi, ada apa? Mbak mau ke mana?” tanyaku tak lupa juga melepar senyum padanya. “Mau nemuin kamu, Ga. Tapi, tadi aku nggak sengaja lihat kamu, jadi sekalian sapa aja. Eh, tapi kamu mau ke mana?” Siapa pun yang tahu tentang siapa Mbak Desi dan bagaimana sikapnya padaku, pasti akan merasakan apa yang kurasakan saat ini. Aku seperti sedang berbicara dengan orang yang beda, bukan Mbak Desi yang selama ini aku kenal. Bukan maksudku tidak suka, malah sebaliknya. Aku sangat bersyukur kalau dia mau berubah. Itu artinya Mas Mamat berhasil mendidik istrinya dengan baik. Semoga saja kali ini Mbak
Bab 71Masih BerjarakSetelah aku pulang, rupanya Mas Saleh belum ada di rumah, pesanku juga tidak kunjung dia balas. Akhir-akhir ini, selain dia mengabaikanku secara langsung, Mas Saleh juga selalu mengabaikan pesan atau telepon dariku. Mungkin saja dia sibuk, tetapi apakah tidak ada sedikitpun waktu untuk sekedar mengetikkan beberapa kalimat untuk dia kirimkan kepadaku?Aku tidak ingin kembali mencurigainya, tetapi siapa yang bisa tenang ketika suami sendiri mulai tak acuh dan menjaga jarak?Saat aku sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak untuk makan malam, ponselku yang berada di atas meja berdering. Kupikir itu berasal dari Mas Saleh, tetapi ternyata si penelepon adalah Mbak Desi."Waalaikumsalam, Mbak." Aku menjawab salamnya."Kamu udah ada di rumah atau masih di toko?" "Aku lagi di rumah, Mbak. Memangnya kenapa?""Lagi sama Saleh nggak?"Aku heran karena mendadak Mbak Desi menanyakan suamiku. "Mas Saleh belum pulang, Mbak.""Apa kamu tahu dia ada di mana sekarang?"S
Bab 72Obrolan SensitifAku berhenti berlari saat Tante Feby menggendong Kevin. “Aduh, Sayang … ini kaki kamu luka. Di mana ibu kamu, Kevin?”Dari jarak kurang lebih 5 meter aku masih bisa mendengar suaranya di tengah hiruk pikuk ramainya taman bermain. “Tante,” panggilku saat sudah tepat berada di depannya. Tante Feby yang sedang berjongkok sambil memeluk anakku pun mendongak tanpa melepas pelukannya. “Mega, kamu ini ke mana aja? Lihat, Kevin nangis karena jatuh dan kakinya lecet.” Tanpa perlu dijelaskan pun aku sudah tahu, dan tanpa menjawab ucapannya, aku menarik pelan Kevin dari pelukannya. Segera kugendong dia yang masih terisak. “Maaf, Sayang. Kita cari tempat duduk dulu, yuk?” kataku menenangkannya. Bangku yang tadi aku duduki sudah ditempati orang lain, jadilah perlu berjalan beberapa saat untuk menemukan tempat yang sedikit lebih tenang. Namun, bukannya langsung berpamitan, Tante Feby malah mengikutiku. Tentu saja awalnya risih, karena itulah aku merasa ada alasan di mana